Shelter Communication System

Abstrak

Komunikasi merupakan hal yang sangat penting ketika suatu bencana terjadi. Para korban bencana yang berada di dalam Shelter pengungsian membutuhkan komunikasi baik dengan pihak-pihak di luar wilayah bencana maupun warga-warga yang berada di Shelter pengungsian lain. Diilhami oleh bencana besar yang menerpa Jepang pada Maret 2011 lalu, Tim peneliti dari Universitas Niigawa yang dipimpin oleh Kenichi Mase mengembangkan SCS (Shelter Communication System), yaitu sebuah konsep sistem komunikasi yang diharapkan mampu memenuhi kebutuhan komunikasi para korban bencana. Pada SCS, sebuah komputer (Server Shelter) terhubung pada jaringan internet dan beberapa komputer lain (PC Shelter) di setiap Shelter yang terhubung juga ke jaringan internet menggunakan koneksi akses internet yang memadai seperti High Speed Packet Access. Server Shelter dan PC Shelter berkolaborasi dalam menyediakan layanan pengiriman pesan antar Shelter dan antara Shelter dengan orang-orang yang berada di luar Shelter. Dengan menggunakan asumsi dan peralatan tertentu, sebuah prototipe dari SCS telah didemonstrasikan untuk menunjukkan kemampuan SCS. Evaluasi yang sederhana menunjukkan bahwa SCS mampu menyediakan layanan komunikasi pesan bagi para pengungsi dalam jumlah yang besar di dalam Shelter-Shelter bila terjadi bencana yang besar sekali, selain itu SCS juga lebih handal dibandingkan media email telefon selular, SMS telefon selular dan faksimili dalam menghantarkan pesan saat bencana datang. Hasil penelitian yang dilakukan di Jepang ini belum dapat diterapkan di Indonesia secara menyeluruh karena faktor keterbatasan sarana, prasarana dan budaya masyarakat Indonesia.

Latar Belakang

Bencana bukanlah hal yang dapat ditolak, namun dampak dari timbulnya bencana tetap harus dapat diminimalisir oleh manusia. Ketika bencana yang sangat besar muncul, banyak penduduk yang kehilangan tempat tinggalnya dan terpaksa mengungsi dalam kurun waktu beberapa hari, minggu atau bahkan bulan. Tempat mengungsi atau Shelter dapat berupa fasilitas-fasilitas publik seperti ruangan serba guna kantor pemerintahan, tempat ibadah atau sekolah. Secala alamiah kebutuhan manusia adalah papan, pangan dan sandang. Hal ini berlaku pula bagi para pengungsi yang berada di dalam Shelter. Listrik juga merupakan kebutuhan para korban, listrik dapat diperoleh dengan menggunakan genset darurat. Selain hal-hal yang telah disebutkan, komunikasi juga merupakan kebutuhan yang sangat penting. Sayangnya, ketika bencana besar terjadi, jaringan telefon biasanya tidak bekerja dengan normal untuk beberapa hari, minggu atau bulan tergantung skala besarnya kerusakan perangkat telekomunikasi dan kepadatan trafik telekomunikasi akibat bencana yang muncul.

Para provider dan operator dapat berkontribusi memberikan bantuan dengan menyediakan stasiun bumi untuk menyediakan layanan komunikasi satelit di wilayah bencana dan menyediakan telefon umum gratis bagi para korban di Shelter pengungsian. Namun, jumlah terminal telefon, kanal telefon dan berbagai sumber daya lain ketersediaannya terbatas dan kemungkinan besar tidak mampu memberikan layanan komunikasi suara yang baik bagi seluruh korban. Demand akan komunikasi saat bencana besar datang, pasti menanjak cukup curam.

Bencana yang sangat besar dapat menimbulkan berbagai masalah sosial dan ekonomi. Para pengungsi dapat mengalami stres akibat bencana yang menimpa mereka. Komunikasi adalah hal yang dapat memitigasi masalah-masalah ini. Dengan komunikasi, para korban dapat memberikan dan menerima kabar dari dan menuju Shelter tempat mereka mengungsi. Aktifitas bisnis yang terganggu juga dapat diminimalisir efeknya dengan komunikasi. Setiap pengungsi harus memiliki akses yang sama terhadap paling tidak layanan komunikasi pada tingkatan yang minimun sampai layanan telekomunikasi konvensional dapat pulih kembali.

Pada dasarnya terdapat 2 pendekatan dalam mengurangi celah antara depand dan supply akan komunikasi pada masa-masa setelah bencana muncul. Pendekatan pertama adalah meningkatkan supply untuk mengurangi demand. Pendekatan ini tentunya sangat diinginkan namun tidak realistis untuk menyediakan sumber daya komunikasi menghadapi trafik komunikasi yang sangat besar ketika bencana baru saja terjadi. Perusahaan telekomunikasi dan pemerintah memiliki keterbatasan sumber daya dalam melakukan hal tersebut. Pendekatan kedua yang lebih realistis adalah menerapkan regulasi komunikasi yang tegas untuk mencegah kepadatan trafik (network congestion) sehingga demand dapat terlayani dengan sumber daya yang terbatas. Untuk memenuhi pendekatan yang kedua ini, dibutuhkan aplikasi baru yang mampu memenuhi demand yang besar akan komunikasi. Tim peneliti dari Universitas Niigata yang dipimpin oleh Kenichi Mase menggunakan layanan komunikasi pesan untuk mendemonstrasikan pendekatan yang kedua ini. Mereka mendiskusikan tantangan teknis dan mekanisme dalam mendisain SCS. Mereka mengevaluasi kelayakan dari SCS berdasarkan performa dari prototipe yang sedang mereka kembangkan. Layanan dari SCS ini juga dibandingkan dengan beberapa layanan telekomunikasi pesan yang konvensional sehingga kelebihan dari SCS dapat terlihat dengan lebih jelas.

Asumsi dan Sumber Daya yang Dibutuhkan

Dalam mendisain SCS, para peneliti Jepang ini mengasumsikan:

  1. Listrik tersedia pada setiap Shelter. Hal ini dimungkinkan dengan penggunaan genset.
  2. Para korban yang berada di dalam Shelter tidak memiliki perangkat telekomunikasi pribadi seperti telefon selular, PC dan sebagainya.
  3. Minimal terdapat 1 PC Shelter yang memiliki akses ke jaringan internet pada setiap Shelter.
  4. Sebagai komponen utama dari SCS, Server Shelter memiliki akses ke jaringan internet. Server Shelter dapat dioperasikan oleh pihak pemerintah, pihak operator telekomunikasi atau relawan. Server ini merupakan perangkat yang terpisah di luar Shelter dan selalu dalam posisi siap beroperasi bilamana bencana datang.

Gambar 1. Contoh Akses Internet Darurat

Untuk jaringan internet yang dipergunakan oleh Server Shelter, dapat digunakan HSPA (High Speed Packet Access).  Layanan komunikasi data seperti itu dapat tersedia dengan menggunakan fasilitas telekomunikasi eksisting yang tidak rusak atau fasilitas telekomunikasi darurat seperti base station telefon selular yang dikoneksikan dengan stasiun bumi sebagaimana terlihat pada gambar 1.

Gambar 2. Wireless Sky Mesh Network

Wireless mesh network antar Shelter yang ada pada gambar 1 dapat menggunakan berbagai teknologi wireless yang tersedia, diantaranya adalah sky mesh network yang menggunakan balon udara. Sky mesh network pada gambar 2 adalah jaringan telekomunikasi darurat untuk mendukung SCS yang sedang dikembangkan oleh Jepang.  Selain dapat memberikan komunkasi antar beberapa Shelter, jaringan darurat ini juga dapat digunakan untuk memberikan kanal komunikasi antara suatu Shelter dengan stasiun bumi.

Ketika bencana datang, fasilitas-fasilitas telekomunikasi eksisting kemungkinan besar akan mengalami network congestion dan tidak mampu memberikan layanan komunikasi data dengan Quality of Service (QoS) yang baik. Perlu diingat bahwa SCS hanya membutuhkan suatu single data communication session pada setiap Shelter untuk melayani semua korban bencana yang berada di dalam Shelter. Layanan komunikasi publik seperti SCS sudah seharusnya diberikan prioritas utama di atas layanan komunikasi publik umum lainnya. Prioritas ini dapat diperoleh dengan bantuan kerjasama antara pemerintah dan operator telekomunikasi yang ada pada suatu negara. 

Setiap pengungsi yang di dalam Shelter sudah sepantasnya mendapat perlakuan yang sama dan adil. Layanan telefon gratis yang diberikan oleh operator telekomunikasi sering memberikan antrian yang cukup panjang karena keterbatasan sumber daya yang tersedia. Antrian yang panjang ini harus dihindarkan karena dapat membuat para pengungsi yang sudah stares menjadi semakin stres. Komunikasi harus dapat mencapai orang-orang yang berada di luar wilayah bencana dan orang-orang yang berada Shelter lain. Berdasarkan pengamatan di atas, SCS harus memberikan layanan yang:

  1. Tersedia bagi semua
  2. Tersedia setiap saat tanpa harus terlalu lama menunggu
  3. Mendukung komunikasi dengan siapapun dan di manapun

Konsep dan Prinsip Layanan

Menggunakan sebuah PC di dalam Shelter secara bergantian bukanlah hal yang praktis. Selain itu tidak semua pengungsi mahir menggunakan aplikasi-aplikasi di dalam PC Shelter tersebut. Hal ini merupakan tantangan yang cukup besar dalam pengoperasian SCS agar sistem ini dapat beroperasi dengan efisien, efektif dan adil.

Bagi orang-orang yang berada di luar wilayah bencana, internet dan telefon selular merupakan media komunikasi yang tidak tergantikan. Mereka dapat menggunakan aplikasi yang sehari-hari digunakan dalam berkomunikasi. Mereka kemungkinan besar akan mengalami kesulitan bila diharuskan menggunakan aplikasi khusus untuk berkomunikasi dengan para pengungsi di wilayah bencana.

Menghadapi berbagai tantangan di atas, para peneliti dari Universitas Niigata memiliki ide sebagai berikut:

  • Para pengungsi yang berada di dalam Shelter menulis pesan dengan tulisan tangan di sebuah kertas dengan format tertentu. Kertas-kertas tersebut kemudian dimasukkan ke dalam PC Shelter dengan menggunakan scanner sehingga 1 PC dapat digunakan oleh banyak orang.
  • PC Shelter menciptakan data-data pesan berdasarkan data-data yang masuk melalui scanner, kemudian mengupload file tersebut kepada Server Shelter.
  • Server Shelter memneruskan setiap pesan yang diterima kepada telefon selular atau PC dari penerima di luar wilayah bencana dalam bentuk e-mail yang sudah akrab bagi orang-orang di kota besar.
  • Pesan dari luar wilayah bencana dan Shelter lain diterima oleh Server Shelter. Server Shelter memilah-milah tujuan dari pesan yang masuk kemudian meneruskan data-data pesan tersebut kepada PC Shelter tujuan. Setiap pesan kemudian dicetak menggunakan printer yang ada di setiap Shelter.

Keunggulan dari komunikasi pesan dari SCS antara lain adalah:

  • Pesan dapat ditulis dengan tulisan tangan pada sebuah kertas khusus tanpa memerlukan keahlian lain selain keahlian menulis.
  • Pesan yang diterima dapat dicetak dalam bentuk kertas yang langsung dapat dibaca tanpa menggunakan alat khusus.
  • Pesan dapat dikirim dan diterima kapanpun tanpa terpengaruh oleh keadaan pihak pengirim dan penerima. Sebagai pembanding, dapat dibayangkan banyak orang berbicara menggunakan telefon selular di dalam Shelter yang sangat padat, tentunya hal ini akan mempengaruhi kejelasan informasi karena Shelter menjadi sangat berisik.
  • Pesan dapat disimpan dan disatukan di dalam suatu format tertentu sebelum ditransmisikan. Hal ini dapat menghemat bandwidth dari akses internet darurat yang dipergunakan.
  • Saat ini, penggunaan e-mail sudah tidak asing lagi bagi masyarakat umum terutama masyarakat perkotaan.

Ide-Ide Kunci Untuk Merealisasikan Konsep Layanan SCS

Nomor telefon ditulis dalam tulisan tangan pada kertas khusus untuk kemudian dianalisa oleh OCR (Optical Character Recognition) untuk mengidentifikasi pengirim dan penerima dari pesan yang dikirim. Informasi lain seperti alamat e-mail tidak perlu dicantumkan walaupun pada akhirnya pesan akan dikirim kepada PC atau telefon selular di luar wilayah bencana dalam bentuk e-mail. Alasan kenapa nomor telefon digunakan sebagai identitas pengenal pengirim dan penerima adalah:

  • Nomer telefon lebih dikenal oleh masyarakat dibandingkan alamat e-mail.
  • Manusia lebih mudah menulis nomor telefon dibandingkan menulis alamat e-mail.
  • OCR cenderung lebih mudah mengenali nomor dibandingkan huruf atau karakter khusus.

OCR tidak dipergunakan untuk mengenali isi pesan dalam tulisan tangan. Isi pesan akan diperlakukan sebagai data gambar. Hal ini dilakukan karena rasio pengenalan tulisan tangan cenderung gagal memenuhi tingkat kepuasan yang diinginkan. Sesuai pada asumsi nomor 2 yang sudah diutarakan, diasumsikan tidak tersedia perangkat khusus yang dapat membantu pengungsi dalam mengetik pesan. Data pesan dalam bentuk gambar dikirimkan dalam bentuk lampiran para e-mail atau dapat diakses oleh penerima dengan meng-klik URL pada e-mail yang diterima oleh penerima.

Gambar 3. Contoh Format Kertas SCS di Jepang

Ketika sebuah pesan dikirimkan kepada penerima dalam bentuk e-mail, alamat e-mail tersebut  harus diterjemahkan dari nomor telefon. Para peneliti mengandalkan peran aktif dari pengguna SCS di luar wilayah bencana untuk melakukan mapping. Ketika seseorang dari luar wilayah bencana mengirimkan pesan kepada seseorang di dalam Shelter menggunakan SCS, dia diminta menuliskan nomor telefon dan alamat e-mail miliknya. Server Shelter akan merekam nomor telefon dan alamat e-mail tersebut dalam sebuah mapping database.  Data ini akan dipergunakan ketika si pengirim tadi akan menjadi penerima pesan dari dalam Shelter, Server Shelter akan mengenali alamat e-mail melalui nomor telefon yang sudah ada pada mapping database Server Shelter. Pada kasus lain ketika penerima pesan di luar wilayah bencana belum pernah mengakses SCS sebelumnya, maka mapping alamat e-mail dan nomor telefonnya belum ada di dalam database Server Shelter. Bila ini terjadi, Server Shelter secara otomatis akan menelefon nomor telefon penerima untuk memberitahukan kepada penerima bahwa ia mendapat pesan dari seseorang di dalam wilayah bencana dan penerima harus memasukkan data nomor telefon beserta alamat e-mail miliknya ke dalam mapping database Server Shelter.

Prinsip Disain dan Fungsi dari SCS

Gambar 4. Diagram SCS

Diagram SCS pada gambar 4 menunjukkan bahwa komponen utama dari SCS adalah Server Shelter dan PC Shelter. Agar sistem pengoperasian menjadi lebih mudah, Kenichi Mase mengadopsi prinsip dasar dalam mendisiain sistem sebagai berikut:

  • Pekerjaan PC Shelter didisain sesederhana mungkin. PC tersebut dapat langsung dipergunakan ketika ia dinyalakan dan terhubung dengan Server Shelter melalui jaringan internet.
  • Pekerjaan yang rumit dibebankan kepada Server Shelter.
  • Halaman website SCS disediakan sebagai interface bagi pengguna.

Berdasarkan prinsip-prinsip di atas, akun pengguna dan penyimpanan pesan yang dibutuhkan oleh SCS diciptakan dan dikelola oleh Server Shelter sehingga PC Server boleh dimatikan dan diganti kapan saja.

Untuk memulai layanan SCS pada suatu Shelter, seseorang di dalam Shelter dapat mengakses halaman website SCS untuk memasukkan identitas shelter. Akun shelter tercipta di dalam Server Shelter dan layanan SCS siap dipergunakan. Seperangkat PC Shelter dilengkapi oleh ADF (Auto Document Feeder), scanner dan printer. Kertas dalam format tertentu, yang dipergunakan untuk menulis pasan,  telah disiapkan pada ADF. Kertas ini di-scan lembar per lembar untuk ditransformasikan menjadi data elektronik sebagai masukan bagi PC Shelter.

PC Shelter menggabungkan dan memadatkan data-data yang masuk menjadi satu data ketika rentang waktu tertentu telah tercapai atau setelah lembar terakhir telah dimasukkan atau ketika ukuran dari data yang masuk sudah mencapai ambang batas yang telah ditentukan. Kemudian PC Shelter akan mengupload data tersebut kepada Server Shelter. PC Server juga akan mendownload data yang datang dari Server Shelter untuk kemudian diurai menjadi data-data yang berisi pesan-pesan. Data-data ini selanjutnya akan dicetak satu per satu menggunakan printer yang telah tersedia.

Server Shelter berfungsi mengelola akun para pengguna dan menyimpan pesan-pesan. Sebuah Akun pengguna mengandung data nomor telefon, alamat e-mail dan identitas shelter. Akun pengguna diciptakan dan dikelola secara otomatis ketika terdapat permintaan akan layanan komunikasi pesan dan tidak membutuhkan pendaftaran atau pre-registration. Penyimpanan pesan pada Server Shelter terdiri dari kotak penyimpanan pesan umum dan kotak penyimpanan shelter. Setiap Shelter memiliki kotak penyimpanan sendiri di dalam Server Shelter. Kotak penyimpanan umum merupakan tempat penyimpanan sementara bagi pesan-pesan yang data alamat e-mail atau identitas Shelter penerimanya belum tersedia pada akun penerima.  Kotak penyimpanan Shelter adalah tempat menyimpan pesan yang ditujukan bagi Shelter sesuai kode identitas Shelter yang disikan pada akun penerima.

Server Shelter menerima data dari PC Server yang sudah dimampatkan untuk kemudian diuraikan kembali menjadi beberapa data berisikan pesan. Setelah diuraikan, Server Shelter melakukan pemeriksaan apakah akun dari penerima dan pengirim dari pesan-pesan tersebut sudah ada atau belum. Selain itu Server Shelter juga memeriksa apakah nomor telefon penerima sudah ada atau belum. Bila belum ada, Server Shelter akan membantu menciptakannya agar pesan dapat dikirimkan. Untuk akun pengirim pesan, identitas Shelter adalah sesuai dengan identitas PC Shelter yang mengirimkan pesan dan alamat e-mail adalah dalam keadaan kosong ketika akun baru saja diciptakan. Sedangkan untuk akun penerima pesan, baik alamat e-mail maupun identitas Shelter adalah dalam keadaan kosong ketika akun baru saja diciptakan.

Gambar 5. Proses Pengiriman Pesan

Bila data nomor telefon beserta alamat e-mail atau identitas Shelter dari penerima sudah tersedia, maka Server Shelter akan mengirimkan pesan dalam bentuk e-mail atau menyimpan pesan pada kotak penyimpanan Shelter sesuai tujuan dari pesan. Bila data-data tersebut belum tersedia, maka Server Shelter akan menyimpan pesan di dalam kotak penyimpanan umum  untuk kemudian dikirimkan kepada alamat e-mail atau kotak penyimpanan Shelter tujuan bila data-data yang diperlukan sudah tersedia. Gambar 5 menunjukkan hal-hal yang dilakukan oleh Server Shelter ketika akan mengirim pesan ke luar wilayah bencana.

SCS menyediakan web mail interface bagi orang-orang di luar wilayah bencana yang ingin mengirimkan pesan kepada para pengungsi di dalam Shelter. Ketika seseorang di luar wilayah bencana mengakses website SCS, dia diminta untuk memasukkan nomor telefonnya dan nomor telefon orang yang ingin dituju. Server Shelter kemudian memeriksa akun pengguna dari pihak pengirim. Bila Server Shelter tidak menemukan akun penggunanya, maka pengirim diharuskan memasukkan alamat e-mail-nya. Server Shelter menciptakan akun pengguna berdasarkan data nomor telefon dan alamat e-mail yang diterima. Server Shelter juga memeriksa akun penerima dari pesan tersebut dan melakukan proses yang mirip dengan proses yang telah dijabarkan di atas. Prosedur ini diilustrasikan pada gambar 6.

Gambar 6. Proses Penerimaan Pesan

Ketika Server Shelter akan mengirim beberapa pesan kepada PC Shelter, pesan-pesan tersebut dimampatkan terlebih dahulu menjadi satu data. Setelah dimampatkan, data tersebut dikirimkan kepada PC Shelter yang bersangkutan.

Pengembangan Prototipe dan Evaluasi

Sebuah prototipe dari SCS telah dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip dan fungsi-fungsi dari disain sistem yang telah dijabarkan pada bagian terdahulu. Para peneliti mendefinisikan waktu upload dan pemrosesan sebagai waktu yang diperlukan mulai dari melakukan proses scan terhadap kertas-kertas khusus di dalam Shelter sampai proses yang terjadi di Server Shelter selesai. Para peneliti telah melakukan eksperimen dalam mengukur waktu upload dan pemrosesan bagi beberapa lembar kertas berisi pesan-pesan. Pada eksperimen ini, 1 PC Shelter terhubung dengan Server Shelter menggunakan jaringan internet dengan kecepatan 32 kb/s. Spesifikasi dari PC Shelter dan Server Shelter yang digunakan adalah sebagai berikut:

Shelter PC:

1)   Note PC (NEC PC-VJ17MFC7RFW5OS, CeleronM 530, 1.73GHz, 512MB, Windows XP Pro)

2)   Scanner:  PFU fi-6140 (50 sheets maximum in ADF)

3)   Printer: HP LserJet P4515nofficejet J6480

4)   OCR software: DynaEye Pro V5.0)

5)   Browser: Internet Explorer 6

6)   Development Language: Java

7)   Lain-lain: Java Runtime Environment, HttpUnit (Browser Emulation tool)

Shelter Server:

1)   Desktop PC (Dell OptiPrex 740, AMD Athlon x 2 dual core processor 5000B, 512KB x 2 Cash, 1GB x 2 SDRAM, Windows Server 2003)

2)   Database: SQLServer2005Express

3)   Web server: IIS 6.0

4)   Development Language: ASP.NET, Java

5)   Lain-lain: .NET Framework, Java Runtime Environment, HttpUnit

Hasil dari ekperimen ini ditunjukkan oleh tabel 1. Para peneliti telah menurunkan  persamaan untuk menghitung waktu upload dan pemrosesan (waktu upload kertas-kertas berisikan pesan + waktu pemrosesan Server Shelter) sebagai berikut:

Dimana:

Tu = waktu upload dan pemrosesan (detik)

n = jumlah kertas pesan per hari (detik)

B = Bandwidth antara PC Shelter dan Server Shelter

Tabel 1. Waktu Upload & Pemrosesan (detik)

Estimasi Kapasitas Layanan

Gambar 7. Hubungan Antara Jumlah Shelter dengan Jumlah Pesan yang Dikirimkan per Hari

Pada ekperimen yang telah dilakukan oleh Kenichi Mase dan timnya, hanya satu PC Shelter yang dipergunakan. Ketika bencana datang, Shelter yang membutuhkan komunikasi bisa saja lebih dari satu sehingga PC Shelter yang digunakan juga bisa saja lebih dari satu. Web Server pada Server Shelter juga harus menangani sejumlah sesi dari beberapa PC Shelter secara simultan. Pada kasus ini, waktu penggunaan Server Shelter per hari adalah Tu * S, dimana S merupakan jumlah dari PC Shelter.

Diasumsikan jumlah pengungsi yang ada pada suatu Shelter adalah 100 orang, setiap orang mengirim 2 atau 4 pesan setiap hari, maka jumlah pesan pada Shelter tersebut adalah 200 atau 400 per hari. Perlu diingat bahwa bukanlah hal yang mudah untuk menghasilkan pesan yang sangat banyak dalam bentuk tulisan tangan, selain itu orang-orang yang sibuk pada umumnya menghabiskan banyak waktu mereka di luar Shelter. Orang tua dan anak kecil juga tidak menghasilkan banyak pesan. Dengan mengingat asumsi di atas, maka jumlah pesan yang dikirim per hari relatif rendah. Kemudian para peneliti mengasumsikan bandwidth dari jaringan internet yang dipergunakan di setiap Shelter adalah 1 Mb/s. Bandwidth ini sudah tersedia oleh layanan HSPA yang diberikan oleh operator telekomunikasi saat ini. Garis putus-putus pada gambar 7 menunjukkan waktu 12 jam yang merupakan batas atas dari jam pengoperasian Server Shelter, diasumsikan 12 jam dari 24 jam sisanya dipergunakan untuk men-download pesan-pesan. Gambar tersebut juga menunjukkan bahwa 600 atau 300 Shelter dapat dilayani ketika jumlah pesan setiap Shelter adalah 200 atau 400. Kalkulasi ini menunjukkan bahwa 1 Server Shelter yang dikembangkan pada prototipe SCS dapat menghadapi bencana kelas menengah. Diasumsikan bahwa terjadi bencana kelas tinggi dengan total dua juta pengungsi, 100 pengungsi per Shelter, total Shelter yang dibutuhkan adalah dua ribu. Jika kita menggunakan spesifikasi yang sama seperti yang digunakan pada prototipe, dibutuhkan load sharing dengan menggunakan 30 sampai 60 Server Shelter. Jumlah Server Shelter dapat dikurangi dengan menggunakan komputer spesifikasi yang lebih tinggi. Bencana kelas menengah lebih sering terjadi dibandingkan bencana kelas tinggi. Kita dapat memverifikasi asumsi-asumsi yang telah dijabarkan di atas dengan benar-benar menggunakan SCS pada bencana kelas menenga untuk mempersiapkan penggunaannya bagi bencana kelas tinggi.

Perbandingan Layanan

Untuk melakukan perbandingan terhadap layanan SCS, para peneliti dari Jepang ini memilih 2 layanan komunikasi pesan tertulis lain yang mungkin digunakan di dalam Shelter dalam keadaan darurat, yaitu faksimili di dalam Shelter dan layanan e-mail telefon selular yang dimiliki secara individual. Sebagaimana diilustrasikan pada tabel 2, perbandingan-perbandingan yang dilakukan menggunakan pengkategorian dengan menggunakan 3 faktor utama dan beberapa faktor lain.

Faktor utama yang pertama, yaitu beneficiary. Faktor ini berhubungan dengan ketersediaan layaran bagi para pengungsi. E-mail telefon selular tidak dimiliki secara merata oleh semua orang di dalam Shelter, selain itu tidak semua pengungsi memiliki pengetahuan dalam mengoperasikan e-mail. Sementara itu faksimili dan SCS dapat digunakan oleh hampir semua pengungsi karena pesan dapat ditulis menggunakan tulisan tangan biasa dan pesan dapat diterima dalam bentuk kertas.

Faktor utama yang kedua, yaitu waiting for service. Faktor ini berhubungan dengan ketersediaan setiap saat tanpa harus lama menunggu. Untuk mengirimkan pesan menggunakan faksimili, pihak pengirim membutuhkan waktu untuk dialing. Ketika banyak pengingsi ingin mengirimkan pesan-pesan secara simultan, maka para pengungsi terpaksa mengantri menunggu giliran. Sedangkan untuk penggunaan e-mail telefon selular, pengungsi tidak perlu mengantri karena telefon selular dimiliki secara individual. Sementara itu untuk SCS, setiap pengungsi tidak perlu mengantri untuk menggunakan PC Shelter walaupun diperlukan sedikit waktu untuk mengumpulkan kertas-kertas yang akan dimasukkan ke dalam scanner.

Faktor utama yang ketiga, yaitu reachability. Faktor ini berhubungan dengan dukungan layanan  komunikasi terhadap siapapun dan di manapun. Ketersediaan terminal faksimili di rumah-rumah atau lokasi bencana cenderung lebih kecil dibandingkan telefon selular dan PC. Sedangkan layanan e-mail telefon selular tidak selalu tersedia di wilayah bencana karena keterbatasan jaringan. Sementara itu SCS dapat dipergunakan dengan menggunakan sumber daya jaringan yang lebih kecil dan efisien dibandingkan telefon selular.

Tabel 2. Perbandingan Komunikasi Pesan pada Shelter

Selain ketiga faktor utama di atas, terdapat 4 faktor lain yang digunakan untuk membandingkan layanan-layanan di lokasi bencana. Tingkat kerahasiaan atau Privacy of correspondance dari SCS dan faksimili lebih kecil dibandingkan layanan e-mail telefon selular, ada kemungkinan pesan yang ditulis pada kertas dapat terlihat oleh orang lain. Kesalahan pengiriman atau misdelivering dari dari layanan e-mail telefon selular dan faksimili dapat terjadi akibat kesalahan penggunan ketikan menekan nomor tujuan, sementara itu pada SCS hal ini dapat terjadi akibat kesalahan operator PC Shelter dalam mendistribusikan pesan yang masuk dari printer dan kesalahahan OCR dalam membaca nomor tujuan. Dari segi biaya yang harus dibayarkan oleh pengguna atau networking cost/user, layanan e-mail telefon selular menjadi sangat mahal dibandingkan faksimili dan SCS karena ketika bencana tiba, kemungkinan besar jaringan akan penuh dan menyebabkan berbagai gangguanan jaringan sehingga pengguna telefon selular kemungkinan besar harus menggunakan beberapa sesi untuk mengirimkan pesan. Untuk harga terminal, telefon selular tidak mengeluarkan biaya karena telah dimiliki secara individual ketika bencana datang, sedangkan faksimili dan SCS cukup ekonomis karena 1 Shelter minimal cukup memiliki 1 terminal.

 Implementasi SCS di Indonesia

Indonesia sebagai negara yang rawan akan bencana, memerlukan juga fasilitas komunikasi seperti yang sedang dikembangkan oleh Jepang. Bencana tsunami di Aceh pada tahun 2004 lalu merupakan satu dari beberapa bencana besar yang pernah menimpa Indonesia. Sekarang pertanyaan yang muncul adalah mampukah SCS diterapkan di Indonesia? Saat ini hanya kota-kota besar di Indonesia yang mampu mengimplementasikan SCS karena keterbatasan sarana, prasarana dan budaya. Tidak semua daerah-daerah di Indonesia memiliki genset dan jaringan telekomunikasi darurat yang memadai ketika bencana datang. Ketersedian genset dan jaringan telekomunikasi membutuhkan komitmen dari pemerintah dan operator telekomunikasi. Selain sumber daya fisik, budaya masyarakat Indonesia juga dapat menjadi faktor penghambat berjalannya SCS. Masyarakat Indonesia, terutama yang tinggal di pedesaan, belum mengenal dan akrab dengan e-mail. Selain itu kebiasaan masyarakat yang sering berganti nomor telefon juga membuat SCS sulit berjalan. Namun semua hambatan-hambatan di atas dapat diatasi dengan pembangunan sarana dan prasarana fisik serta edukasi kepada masyarakat sehingga Indonesia dapat meniru Jepang yang mau dan mampu belajar dari bencana yang pernah mereka alami. Bencana tidak dapat ditolak, namun akibat dari bencana dapat diminimalisir.

 KESIMPULAN

Kebutuhan akan komunikasi bagi para korban bencana yang mengungsi di Shelter-Shelter perlu dipenuhi untuk meminimalisir dampak ekonomi dan sosial dari bencana yang datang. Ketika bencana datang, jaringan telekomunikasi sering mengalami gangguan dan kepadatan trafik (network congestion) sehingga hanya sebagian orang saja yang dapat menikmati komunikasi. Oleh karena itu diperlukan suatu sistem komunikasi darurat yang lebih efisien dalam memanfaatkan kanal-kanal komunikasi yang ada agar kebutuhan komunikasi pengungsi dapat terpenuhi dengan lebih adil dan merata. Sebuah tim peneliti yang dipimpin oleh Kenichi Mase dari Universitas Niigawa mengusulkan SCS (Shelter Communication System) untuk memenuhi kebutuhan para korban bencana tersebut. SCS merupakan sistem komunikasi darurat yang membutuhkan suatu Server yang terpisah dari Shelter, PC pada setiap Shelter, akses internet antara PC Shelter dengan Server yang memadai dan listrik pada setiap Shelter.  Sistem ini efisien karena setiap Shelter hanya membutuhkan 1 PC Shelter yang terhubung pada 1 jaringan internet untuk memenuhi kebutuhan komunikasi seluruh pengungsi di dalam Shelter tersebut sehingga mereka dapat berkomunikasi dengan orang lain di Shelter lain dan orang-orang yang berada di luar wilayah bencana.

Hasil percobaan dan evaluasi dengan menggunakan protipe SCS yang dilakukan oleh tim peneliti Universitas Niigawa menunjukkan bahwa SCS dapat digunakan oleh Jepang ketika negara tersebut harus menghadapi bencana kelas tinggi. SCS juga dibandingkan dengan layanan komunikasi pesan lainnya. Kelebihan dan keunggulan SCS telah didemonstrasikan.

Prototipe yang digunakan pada percobaan tersebut menggunakan satu Server Shelter dan hanya mampu digunakan ketika Jepang menghadapi bencana kelas menengah. Evaluasi dan analisa tim peneliti Universitas Niigawa menunjukkan bahwa ketika bencana kelas tinggi datang, maka diperlukan lebih dari 1 Server Shelter yang bekerja secara load sharing untuk memenuhi kebutuhan seluruh pengungsi.

Implementasi SCS di Indonesia akan menemui hambatan akibat keterbatasan sarana dan prasarana. Selain itu budaya masyarakat Indonesia juga dapat menjadi faktor penghambat, budaya masyarakat Jepang tidak sama dengan budaya masyarakat Indonesia. Komitmen pemerintah dan para operator telekomunikasi sangat diperlukan agar Indonesia dapat memiliki sistem komunikasi darurat yang handal.

Referensi

  1. K. Mase, “How to Deliver Yout Message from/to a Disaster Area,” IEEE Commun. Mag., vol 49, no 1, 2011.
  2. K. Mase, “Research and Development on Information & Communication Networks  in Niigata University,”  Hacettepe University Technopolis Days, 2010.
  3. K. Mase, H. Okada, dan N. Azuma, “Development of an Emergency Communication System for Evacuees of Shelters,” IEEE WCNC, 2010.
  4. N. Fukumoto, “Business Continuity and Disaster Recovery in KDDI,” IEEE Commun. Society Commun. Quality & Reliability Wksp., Apr. 2008.
  5. T. Kitaguchi dan H. Hamada, “Telecommunications Service Continuity and Disaster Recovery,” IEEE Commun. Society Commun. Quality & Reliability Wksp., Apr. 2008.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s