Aquaman (2018)

Aquaman (2018) hadir di atas reruntuhan DC Extended Universe yang terpuruk setelah kurang berhasilnya Justice League (2017). Kepergian sutradara dan pemain utama dari DC Extended Universe membayangi khadiran Aquaman di layar lebar. Bagaimanapun juga, Aquaman (2018) sebenarnya bagian dari sederet film-film superhero DC Comics yang pada awalnya akan saling terkait dan membentuk DC Extended Universe. Sayang pendekatan yang terlalu serius dan gelap membuat DC Extented Universe kalah jauh dengan Marvel Cinematic Universe, pesaing mereka. Akankah Aquaman (2018) dapat belajar dari kegagalan dan membuat perbedaan?

Karakter Aquaman atau Arthur Curry (Jason Momoa) kali ini nampak garang dan sangar. Film ini berhasil mengubah citra Aquaman sebagai superhero culun kelas 2. Adegan perkelahian pada Aquaman (2018) sangat menghibur dan cantik. Semua adegan pertarungan nampal jelas karena pertarungan tidak hanya ditunjukkan dari jarak dekat. Semua sudut ditunjukkan, apalagi mayoritas latar belakang film ini adalah lautan yang sangat luas. Pertarungan di bawah laut memang membawa nuansa lain dibandingkan film-film superhero DC sebelumnya.

Tapi kok di bawah laut? Aquaman memiliki kekuatan berkomunikasi dengan binatang laut, berenang super cepat, mengendalikan laut dan kekuatan di atas rata-rata manusia biasa. Ia adalah anak dari seorang manusia biasa dengan ratu Atlantis. Perbedaan asal usul kedua orang tuanya membuat Aquaman seolah “dibuang” dan hidup di permukaan yang kering, tidak di bawah laut bersama bangsa Atlantis. Aquaman di sini adalah seseorang yang memendam amarah dan siap meledak kapan saja.

Kedamaian antara penduduk darat dan penduduk bawah laut terancam ketika adik tiri Aquaman, Orm Marius (Patrick Wilson), berusaha mengadu domba kedua belah pihak demi menyatukan Kerajaan Atlantis dan menjadi raja Atlantis yang baru. Saat ini keadaan Atlantis memang terpecah ke dalam beberapa Kerajaan bawah laut. Belum ada sosok seorang raja yang mampu menyatukan mereka dan membentuk kembali Kerajaan Atlantis yang kuat.

Nah, 2 orang bangsawan Atlantis, YMera Xebella “Mera” Challa (Amber Heard) dan Nuidis Vulko (Willem Dafoe), berusaha membawa Aquaman kembali ke Atlantis untuk menghentikan Orm dan menyatukan kembali Atlantis di bawah 1 kepemimpinan seperti sediakala.

Ahhh di sini sebenarnya terdapat plot from zero to hero yang seharusnya menarik. Sayang jalan cerita yang lebih fokus pada pencarian sebuah senjata super membuat semuanya terasa agak hambar dan mudah ditebak. Terdapat banyak sub-plot yang sebenarnya memiliki potensi untuk memperkaya cerita, tapi kenyataannya hanya terhenti dengan cepat dan tanpa emosi.

Karakter antagonisnya pun seharusnya Orm dan Black Manta (Yahya Abdul-Mateen II) ya tapi kok hanya Orm saja yang muncul dipermukaan. Padahal rasanya Black Manta lebih populer loh di komiknya. Karakter Black Manta gagal tampil menonjol padahal sudah ada amunisi terkait dendam lama antara ia dengan Aquaman. Yaaah, semua karakter antagonis pada Aquaman (2018) memiliki alasan yang klise dalam melakukan kejahatan, ya begitu-begitu saja :’D.

Saya rasa Aquaman (2018) layak untuk memperoleh nilai 3 dari skala maksimum 5 yang artinya “Lumayan”. Film ini tidak menenggelamkan DC Extended Universe, tapi gagal pula membuat franchise tersebut kembali bersinar.

Sumber: http://www.aquamanmovie.net

Alita: Battle Angel (2019)

Era manga sudah berakhir bagi saya. Jadi, saya betul-betul tidak mengetahui apa Alita itu. Begitu mendengar kata Alita, yang terbesit di pikiran saya justru malah sebuah perusahaan telekomunikasi, bukan film. Alita kebetulan merupakan nama sebuah perusahaan telekomunikasi yang menjadi vendor beberapa operator telekomunikasi di Indonesia :’D. Lah kok ingetnya malah kerjaan yah :P.

Jadi, Alita: Battle Angel (2019) adalah film yang diadaptasi dari manga atau komik Jepang berjudul Gunnm (銃夢). Sebenarnya sih Gunnm itu sudah terbit di tahun 90-an, tapi sepertinya di tahun-tahun tersebut saya sibuk membaca manga Kungfu Boy, Dragon Ball dan Saint Seiya :’D. Selepas itu, saya agak terputus dari manga, saya lebih banyak membaca DC Comics dan Marvel Comics.

Alita: Battle Angel (2019) mengambil latar belakang Bumi di tahun 2563, yaitu 300 tahun setelah “The Fall” terjadi. “The Fall” sendiri merupakan sebuah perang besar yang melanda Zarem. Zarem merupakan sebuah kota kaya raya yang mengapung di udara. Konon, hanya masyarakat kelas ataslah yang dapat hidup di Zarem. Di bawah Zarem, terdapat kota Iron yang miskin. Sampah-sampah dari Zarem, dibuang ke kota Iron yang berada di bawahnya.

Dari berbagai sampah yang turun dari Zarem, Dr. Dyson Ido (Christoph Waltz) menemukan potongan dari sebuah cyborg unik yang inti dan otaknya masih bekerja. Dengan menggunakan suku cadang cyborg yang Ido miliki, ia memperbaiki cyborg tersebut dan menamainya Alita (Rosa Salazar). Kenapa nama Alita yang dipilih? Ahhh, ternyata ada makna sentimental bagi Ido di sana, bukan karena Ido pernah kerja di Perusahaan Alita yah :P.

Alita memiliki wujud seperti remaja wanita yang mungil dan imut. Karena Alita hilang ingatan, ia tidak dapat mengingat kenapa ia bisa berada di pembuangan sampah Zarem. Padahal sebenarnya masa lalu Alita sangatlah kelam dan berhubungan dengan “The Fall”, perang besar yang legendaris. Perlahan tapi pasti, Alita dapat mengingat siapa dia sebenarnya, yaitu sebuah mesin pembunuh paling mematikan yang pernah dibuat, sebuah cyborg dengan teknologi tua yang misterius.

Di kota Iron, Alita mengumpulkan uang dengan mengikuti kompetisi olahraga dan menjadi pemburu bayaran. 2 buah profesi berbahaya yang dapat Alita jalani dengan tubuh mungilnya. Tubuh memang mungil, tetapi pikiran Alita masih menyimpan memori dan refleks seorang pembunuh. Aaahhh, buat apa Alita susah-susah mengumpulkan uang??

Alita terlibat romansa dengan Hugo (Keean Johnson). Agar Alita dan Hugo dapat migrasi bersama-sama ke Zarem, mereka berdua harus mengumpulkan sejumlah uang. Saya rasa disinilah titik terlemah dari Alita: Battle Angel (2019). Saya tidak melihat chemistry antara Alita dan Hugo. Hugo hanya nampak seperti karakter tak berguna yang kalaupun tewas atau hilang, saya sebagai penonton tidak akan sedih atau kecewa :P. Sayang beberapa bagian dari plot utama film ini dibentuk dari romansa Alita dan Hugo. Rasanya chemistry Alita-Hugo masih kalah dengan chemistry bapak-anak antara Igo dan Alita.

Beruntung film ini memiliki jalan cerita yang tidak membosankan. Dunia yang dibangun di sekitar Alita pun nampak elok dan cukup kuat untuk mendukung cerita. Alita hidup dimana tubuh manusia dapat diperbaharui dengan mesin. Cyborg semacam Alita pun dapat hidup relatif normal bak manusia biasa.

Saya suka dengan latar belakang film ini. Tokoh Alita pun nampak keren dan cocok sebagai protagonis utama. Hal-hal ini masih dapat menambal kekurangan film ini di sisi romansa Alita dan Hugo yang hambar. Cerita tentang seorang prajurit tangguh yang lupa ingatan memang sudah banyak diangkat di film-film lain, tapi ramuan topik tersebut nampak jauh lebih baik dan menarik ketika diangkat lagi pada Alita: Battle Angel (2019). Saya rasa Alita: Battle Angel (2019) masih layak untuk memperoleh nilai 4 dari skala maksimum 5 yang artinya “Bagus”. Film ini memang mirip dengan Ghost in the Shell (2017), tapi Alita: Battle Angel (2019) tetap lebih menarik ;).

Sumber: http://www.alitatickets.com

Venom (2018)

Venom merupakan lawan Spider-Man favorit saya sepanjang masa. Pada perkembangannya, Venom pun menjadi semacam anti-hero ketika dunia diserang Carnage. Yaaah mungkin kata-kata saya di atas terlihat aneh dan asing bagi teman-teman yang tidak memgikuti komik Spider-Man. Pada komiknya ya Venom memamg tidak selalu jahat. Penggambaran Venom yang pernah diperlihatkan Sam Raimi pada Spider-Man 3 (2007) merupakan awal dari Venom dimana Venom memang masih sangat buas.

Nah kali ini, asal mula Venom dibuat dengan cara yang berbeda dan tanpa mengikutsertakan Spider-Man. Venom (2018) adalah benar-benar film solo dari Venom. Entah apakah Venom yang satu ini akan masuk ke dalam MCU (Marvel Cinematic Universe) atau tidak, sebab Venom (2018) 100% tidak menampilkan superhero atau supervillain dari jagad MCU.

Baiklah, Venom sendiri sebenarnya bukan manusia, melainkan sebuah entitas berbentul cairan hitam dari luar angkasa. Cairan tersebut dapat menempel dan bergabung dengan tubuh manusia. Hasil dari penggabungan ini menghasilkan tubuh manusia dengan kekuatan jauh di atas rata-rata.

Venom tidak sembarangan memilih tubuh untuk dihinggapi. Proses penggabungan yang kurang cocok, akan membuat manusia yang di hinggapi mengalami kesakitan yang luar biasa, sampai akhirnya tewas. Itulah yang Carlton Drake (Riz Ahmed) lakukan, dengan cairan hitam misterius yang ditemukan pada roket luar angkasa yang jatuh di Malaysia, ahhh kenapa Malaysia, mana Indonesia??? :P. Drake menggunakan beberapa manusia sungguhan dalam eksperimen penggabungan cairan misterius dengan tubuh manusia. Drake sendiri sedang mengalami tuntutan hukum terkait dugaan penggunaan manusia pada beberapa eksperimennya.

Tuntutan hukum ini masuk ke dalam radar Eddie Brooks (Tom Hardy), seorang jurnalis idealis yang pemberani. Eddie kemudian tidak sengaja bersentuhan dengan cairan misterius di dalam laboratorium milik Drake ketika Eddie sedang menyelinap ke sana. Di sini, Eddie mulai mendengar suara-suara di dalam kepalanya. Ia pun mendadak memiliki kekuatan aneh ketika menghadapi bahaya. Mulai saat itu, tubuh Eddie seakan dimiliki pula oleh cairan hitam yang menamakan dirinya sebagai Venom.

Melihat Eddie berkeliaran dengan suara-suara di dalam kepalanya, sambil sesekali berubah wujud, memang menyenangkan. Pengenalan dan adaptasi Eddie terhadap apa yang menimpanya menjadi daya tarik film ini. Selain itu, adegan aksi pada Venom (2018) terbilang cukup menghibur juga.

Sayang hal di atas tidak diikuti dengan alur cerita yang “wah”. Membuat versi awal yang beda bagi Venom memang merupakan langkah yang unik. Tapi beberapa bagian film ini terkadang membuat saya mengantuk.

Dengan demikian, rasanya Venom (2018) masih layak untuk memperoleh nilai 3 dari skala maksimum 5 yang artinya “Lumayan”. Pendapatan yang sangat besar dari Venom (2018), tentunya akan membuat memicu hadirnya sekuel dari Venom (2018). Semoga kalaupun ada, sekuelnya bisa lebih bagus lagi :).

Sumber: http://www.venom.movie

Membagi 1 File Excel ke Dalam Beberapa File Excel

Adakalanya kita butuh memecah 1 file excel ke dalam beberapa file excel. Jadi informasi yang ada di dalam file excel tersebut dipecah-pecah ke dalam beberapa file excel sesuai kebutuhan. Saya mengalami masalah ini ketika saya harus meng-upload ribuan baris data excel ke dalam sebuah database padahal sekali  upload hanya dapat membaca 50 baris data. Setelah putar sana putar sini, akhirnya saya menggunakan cara di bawah ini pada Microsoft Excel saya.

Pertama-tama, saya akan membagi data yang ada di dalam 1 Sheet, ke dalam beberapa Sheet tapi masih dalam 1 file Excel yang sama. Pada contoh kali ini saya memiliki data yang terdiri dari 1284 baris. Nah data ini akan saya pecah-pecah ke dalam beberapa Sheet dimana 1 Sheet terdiri dari 50 baris data.

Dari Excel, tekan Alt+F11 untuk membuka Visual Basic. Kemudian pilih Insert dan Module untuk membuka modul script VB.

Copy-paste command-command di bawah ini ke dalam modul script VB yang sudah terbuka

Sub SplitData()
Dim WorkRng As Range
Dim xRow As Range
Dim SplitRow As Integer
Dim xWs As Worksheet
On Error Resume Next
xTitleId = "AliefKasep"
Set WorkRng = Application.Selection
Set WorkRng = Application.InputBox("Range", xTitleId, WorkRng.Address, Type:=8)
SplitRow = Application.InputBox("Split Row Num", xTitleId, 5, Type:=1)
Set xWs = WorkRng.Parent
Set xRow = WorkRng.Rows(1)
Application.ScreenUpdating = False
For i = 1 To WorkRng.Rows.Count Step SplitRow
resizeCount = SplitRow
If (WorkRng.Rows.Count - xRow.Row + 1) < SplitRow Then resizeCount = WorkRng.Rows.Count - xRow.Row + 1
xRow.Resize(resizeCount).Copy
Application.Worksheets.Add after:=Application.Worksheets(Application.Worksheets.Count)
Application.ActiveSheet.Range("A1").PasteSpecial
Set xRow = xRow.Offset(SplitRow)
Next
Application.CutCopyMode = False
Application.ScreenUpdating = True
End Sub

 

Jalankan command dengan memilih Run atau menekan F5. Maka kemudian akan muncul pertanyaan mengenai data mana yang hendak dipecah-pecah. Dalam contoh ini saya memilih data dari cell A1 sampai G1284. Hal ini dapat dilakukan dengan memblok cell yang hendak dipilih.

Kemudian akan muncul pertanyaan, pemecahannya hendak dibuat per-berapa baris? Pada contoh ini saya membutuhkan pemecahan data setiap 50 baris.

Setelah itu, command-command VB berjalan dan membuat data yang tadinya terdiri dari 1284 baris terpecah-pecah ke dalam 25 Sheet. Setiap Sheet pada Sheet2 sampai Sheet 27 berisi 50 bari pecahan data dari Sheet1. Sheet1 masih utuh berisikan data awal yang belum dipecah dan masih terdiri dari 1284 baris.

Baiklah, dengan selesainya proses di atas maka pemecahan 1 Sheet ke dalam beberapa Sheet sudah selesai. Selanjutnya, saya ingin memecah Sheet-Sheet ini ke dalam beberapa file Excel yang terpisah. Langkah berikutnya adalah kembali membuka Visual Basic dengan menekan Alt+F11. Kemudian kembali buka modul dan copy-paste command-command di bawah ini.

Sub Splitbook()
'AliefCakep
Dim xPath As String
xPath = Application.ActiveWorkbook.Path
Application.ScreenUpdating = False
Application.DisplayAlerts = False
For Each xWs In ThisWorkbook.Sheets
xWs.Copy
Application.ActiveWorkbook.SaveAs Filename:=xPath & "\" & xWs.Name & ".xlsx"
Application.ActiveWorkbook.Close False
Next
Application.DisplayAlerts = True
Application.ScreenUpdating = True
End Sub

Jalankan command dengan menekan F5 dan Sheet-Sheet pada file tersebut sudah terpecah-pecah ke dalam beberapa file excel yang terpisah. Judul dan isi dari masing-masing file tersebut akan sama persis dengan Sheet-Sheet yang terdapat pada file awal.

Akhir kata, semoga bermanfaat (^_^).