Primal Fear (1996)

Terbunuhnya seorang pastur yang telah menjadi tokoh keagamaan terkemuka di Chicago, menjadi awal yang menarik dari Primal Fear (1996). Pembunuhan dilakukan dengan keji dan menunjukkan adanya dendam pribadi dari si pelaku. Tak lama, Aaron Stampler (Edward Norton) dijadikan tersangka dan terancam hukuman mati.

Aaron merupakan putra altar atau asisten misa dari sang pastur. Hhmmmm, putra altar dan pastur? Aahh, dari awal saya sudah bisa menebak jalan cerita Primal Fear (1996) hendak dibawa kemana. Saya pikir ini akan menjadi sebuah kasus yang sederhana. Namun, ternyata Primal Fear (1996) menyuguhkan jalan cerita yang dapat mengecoh para penontonnya.

Martin Vail (Richard Gere) dapat dikatakan sebagai tokoh utama yang dibuat terkecoh oleh jalannya persidangan kasus ini. Hadir sebagai pengacara handal dengan kepercayaan diri yang tinggi, Vail pun pada akhirnya terkecoh dan harus mengakui kesilapannya.

Terkuaknya kasus skandal seksual di gereja, tentunya membuat saya menduga bahwa semua ini pasti terkait skandal seks saja. Ternyata selain itu, sang pastur memiliki sebuah proyek yang melibatkan jaksa dan orang-orang terkemuka lainnya pula. Semua semakin rumit ketika Aaron menunjukkan gejala penyakit kejiwaan akut. Sebagai ketua tim pengacara Aaron, Vail beberapa kali menemukan jalan buntu dan mengubah strategi pembelaannya. Semua karena sebenarnya, tidak semua yang Vail ketahui merupakan kebenaran yang sesungguhnya. Apakah terkait skandal seks, proyek milyaran dollar, atau kejiwaan Aaron? Semua membuat Vail berubah.

Di sini akting Richard Gere dan Edward Norton nampak bagus, terutama Norton. Pada film inilah awal mula karir Edward Norton bersinar. Melalui film inilah Norton memenangkan Golden Globe dan memperoleh nominasi Oscar. Setelah bermain pada Primal Fear (1996), nama Norton semakin bersinar dan memperoleh nama sabagai salah satu aktor papan atas Hollywood pada saat itu.

Bagi sebagian orang, akhir dari Primal Fear (1996) merupakan akhir sedih dimana sang tokoh utama kalah. Bagi saya pribadi, hal tersebut tidak sepenuhnya benar. Sebab, bagimanapun juga, tokoh yang sebenarnya keji pada akhirnya memperoleh balasan dari perbuatannya, meskipun dengan cara yang tidak pas secara hukum.

Saya pribadi menikmati Primal Fear (1996) yang sebagian besar latar belakangnya adalah ruang persidangan. Rasa penasaran terus membuat mata saya tidak mengantuk, meskipun saya menonton film ini setelah selesai lembur di kantor hehehe. Primal Fear (1996) tentunya layak untuk memperoleh nilai 4 dari skala maksimum 5 yang artinya “Bagus”.

Sumber: http://www.paramount.com/movies/primal-fear

Serial Talking Tom Heroes

Ponsel Android beserta layar sentuhnya baru bisa saya miliki sekitar tahun 2011. Menggunakan layar sentuh merupakan hal baru saat itu, termasuk untuk bermain. Layar sentuh melahirkan berbagai gameplay baru yang unik. Maklum, dahulu kala saya bermain dengan menekan tombol-tombol, tidak seperti sekarang dimana semuanya sudah menggunakan layar sentuh :’D. Nah, Talking Tom Cat merupakan salah satu permainan pertama yang saya mainkan di Android dan berhasil memberikan pengalaman bermain yang baru.

Pada awalnya, Talking Tom Cat adalah permainan hewan peliharaan virtual yang cukup sukses, karena konsep permainan yang diangkat masih tergolong baru dan pesaingnya belum banyak. Kesuksesan Talking Tom melahirkan permainan lain seperti Talking Angela, Talking Ginger, Talking Hank, Talking Ben dan Talking-Talking lainnya. Semuanya dikembangkan oleh perusahaan asal Slovenia, yaitu Outfit 7.

Lama kelamaan Talking Tom Cat dan kawan-kawan hadir dalam berbagai varian permainan yang hadir di platform Andoid dan IOS. Tidak puas sampai di sana, Outfit 7 sebagai pihak pengembang Talking Tom Cat pun, sudah sejak lama melakukan perluasan dengan bekerjasama dengan pihak lain untuk membuat film-film seri Talking Tom Cat seperti Talking Friends, Talking Tom and Friends, Talking Tom Shorts, Talking Tom and Friends Minis dan Talking Tom Heroes.

Perlu diingat, tidak semua konten terkait Talking Tom Cat, pantas ditonton anak kecil. Terkadang ada permainannya atau filmnya yang mengisahkan percintaan karakter Tom dan Angela serta kisah cinta-cintaan lainnya. Saya sendiri sudah menonton beberapa versi dari film seri Talking Tom Cat. Dari sana saya menemukan bahwa sementara ini, Talking Tom Heroes merupakan serial yang paling menghibur dan relatif aman ditonton anak-anak.

Film seri Talking Tom Heroes mengangkat tema penyelamatan dan kepahlawanan. Di sana, dikisahkan bahwa Tom, Hank, Angela dan Ben memiliki kekuatan super. Tom memiliki kekuatan yang sangat besar, Angela dapat bergerak secepat kilat, Ben dapat memanipulasi berbagai peralatan canggih dari jarak jauh, dan Hank memiliki kantung ajaib yang dapat mengeluarkan berbagai barang yang dibutuhkan. Selain keempat pahlawan super tersebut, hadir pula Ginger yang ingin ikut membantu, walaupun ia tidak memiliki kekuatan apa-apa.

Ginger merupakan cara film seri ini untuk menyampaikan bahwa, kekuatan super bukanlah persyaratan mutlak untuk menolong orang lain. Selain itu, film ini menyampaikan pesan moral terkait kejahatan melawan kebaikan dengan cara yang menghibur.

Yaaah, pesan moral dan pelajaran yang disampaikan Talking Tom Heroes memang standard ya hehehe. Saya rasa kelebihan serial ini adalah dari segi hiburan. Film seri yang semua karakternya tidak berbicara, berhasil menyampaikan berbagai kisah yang menarik dan tidak membosankan, termasuk bagi orang dewasa. 

 

Saya pribadi, tidak merasa bosan ketika menemani anak saya menonton Talking Tom Heroes. Saya bahkan merasa terhibur ketika menonton setiap episodenya yang hanya berdurasi sekitar 10 menit. Itulah mengapa film ini layak untuk memperoleh nilai 4 dari skala maksimum 5 yang artinya “Bagus”. Film seri ini dapat dijadikan sebagai hiburan segar bagi seluruh anggota keluarga.

Sumber: outfit7.com

Serial Barbie Dreamhouse Adventures

Boneka barbie sudah menjadi salah satu mainan terpopuler anak perempuan sejak dahulu kala. Sampai sekarang, Barbie masih menjadi sebuah franchise yang laris manis. Barbie pun sudah memiliki beberapa film seri, mulai dari Life in the Dreamhouse, Dreamtopia, sampai yang terbaru yaitu Barbie Dreamhouse Adventure.

Kalau dari segi cerita, Barbie Dreamhouse Adventure pun menampilkan cerita yang relatif dapat dinikmati oleh penonton dengan rentang umur yang lebih lebar. Apa bedanya dengan kedua serial Barbie sebelumnya? Life in the Dreamhouse bercerita mengenai kehidupan Barbie dengan teman-temannya yang sudah bukan anak-anak. Serial tersebut lebih cocok untuk ditonton oleh remaja sebab terlalu dewasa bila ditonton oleh anak TK atau SD. Sedangkan Dreamtopia bercerita mengenai petualangan Barbie dan adiknya dinegeri dongeng. Serial ini tentunya lebih menargetkan penonton yang jauh lebih muda.

Nah, Barbie Dreamhouse Adventure mengisahkan keseharian dan petualangan Barbie bersama keluarga dan sahabatnya. Di sana terdapat nilai-nilai kekompakan keluarga dan hubungan persahabatan antar sahabat. Topik yang dihadirkan memang sedikit klise, tapi paling tidak kisahnya tidak terlalu dewasa, relatif masih bersahabat untuk ditonton anak kecil. Barbie Dreamhouse Adventure memiliki jalan cerita yang tidak terlalu membosankan bagi orang dewasa, dan tetap dapat dinikmati oleh anak-anak, terutama anak perempuan yah, namanya juga Barbie hohohohoho.

Film ini berasal dari sebuah produk, maka tak heran apabila unsur konsumerism sangat melekat pada Barbie Dreamhouse Adventure. Hampir semua yang ditampilkan pada serial tersebut, ada produknya dan dapat dibeli di toko mainan :’D. Sepertinya film-film Barbie memang tidak hanya berniat memperoleh laba dari filmnya, namun melalui penjualan produk mainannya. Terkadang, anak-anak memang lebih senang membeli mainan yang ada filmnya. Yah hitung-hitung menyelam sambil minum air.

Melihat dari segi kualitas gambar dan cerita, saya rasa serial Barbie yang satu ini masih layak untuk memperoleh nilai 3 dari skala maksimum 5 yang artinya “Lumayan”. Hanya saja, jangan kaget kalau anak kita meminta mainan Barbie setelah menonton serial ini. Yah tak apalah, cari yang diskonan saja hehehehe.

Sumber: play.barbie.com/en-us

The Wailing (2016)

The Wailing (2016) atau 곡성 merupakan film asal Korea Selatan dengan latar belakang pedesaan yang masih asri. Kedamaian desa tersebut terusik ketika beberapa penduduk ditemukan tewas dengan kondisi yang mengenaskan. Pembunuhan dilakukan oleh salah satu penghuni rumah, kepada penghuni rumah yang lain. Hal ini terus terjadi dari 1 rumah ke rumah lainnya. Dugaan sementara, hal ini terjadi karena keracunan jamur liar. Sekilas seperti film misteri pembunuhan bukan? Sampai di sini saya memandang The Wailing (2016) sebagai film detektif.

Semakin lama, penyelidikan kasus ini mengarah kepada ritual-ritual misterius yang dilakukan oleh seorang penghuni baru. Hadir pula cenayang lengkap dengan upacara-upacara perdukunan ala-ala Korea. Sesuatu yang belum pernah saya. Baiklah, seketika itu pulalah The Wailing (2016) berubah menjadi film horor. Ini bisa jadi merupakan berita buruk bagi saya pribadi.

Mayoritas film-film horor Jepang dan Korea memiliki akhir yang …… yah begitulah. Fokus utama mayoritas film-film tersebut bukanlah memberikan kengerian atau ketakutan, melainkan kesedihan dan keputusasaan. Sayangnya, The Wailing (2016) memang mengikuti pakem tersebut. Sesuatu yang kurang saya sukai dari sebuah film.

Padahal jalan cerita The Wailing (2016) terbilang memikat. Penonton beberapa kali dibuat menerka-nerka siapa dan apa yang terjadi di desa tersebut. Kebenaran yang diungkap pun, diluar dugaan saya. Meskipun untuk mengetahui kebenaran tersebut, saya harus menonton The Wailing (2016) dengan durasi sekitar 2 jam. Wow, lama juga ya hehehehe.

Ada beberapa bagian dari film ini yang membuat saya mengantuk. Mengantuk adalah sebuah kesalahan, sebab The Wailing (2016) memiliki detail yang menarik. Saya jadi harus mengulang menonton beberapa bagian agar faham betul akhir dari film ini. Bagian akhir film tidak dijelaskan secara gamblang. Hanya ada kesedihan dan keputusasaan di sana. Terlebih lagi The Wailing (2016) berhasil membuat saya peduli terhadap keluarga si tokoh utama. Aahhh sebuah akhir yang mudah ditebak bagi orang-orang yang sudah beberapa kali menonton film horor Jepang dan Korea.

Saya pribadi hanya dapat memberikan The Wailing (2016) nilai 4 dari skala maksimum 5 yang artinya “Bagus”. Saya tetap kurang suka dengan bagaimana The Wailing (2016) berakhir. Kelebihan film ini adalah pada misteri, jalan cerita dan karakternya.

Sumber: http://www.foxkorea.co.kr

Focus (2015)

Focus (2015) adalah film yang sama sekali tidak saya lirik ketika film tersebut baru dirilis. Melihat posternya, seperti melihat poster iklan kacamata hitam. Memang sih ada gambar Will Smith di sana, tapi saya bukanlah fans Om yang satu itu. Yang ada di kepala saya hanya … oooo itu iklan kacamata hitamnya Will Smith :P.

Baru pada pertengahan 2020 inilah saya menontom Focus (2020), itupun secara tidak sengaja. Saya terlanjur salah menekan tombol hehehehe. Baiklah, sudah terlanjur, lanjuuuut. Sesuai judulnya, fokus merupakan sesuatu hal yang sangat penting. Pada awal film saja, kata fokus, fokus, fokus, sering sekali diulang-ulang. Iyah, iya saya sadar film ini judulnya fokus x_x. Fokus untuk apa sih?? Ternyata fokus untuk mencopet dan menipu.

Whah, ternyata Focus (2020) tidak bercerita mengenai hal-hal yang berbau kacamata hitam sama sekali. Film tersebut ternyata mengisahkan dunia penipu yang penuh intrik. Kisahnya berkisar pada bagaimana Nicky Spurgeon (Will Smith) menjalankan aksinya. Sebagai seorang penipu ulung, ia melakukan berbagi trik yang cukup menghibur untuk ditonton.

Tak hanya tipu menipu saja, terdapat unsur drama romantis pula di sana. Sepanjang film, saya bertanya-tanya mengenai hubungan asmara yang Nicky hadapi. Apakah ia sungguh-sungguh, atau ini hanyalah bagian dari aksi tipu-tipu saja.

Sayangnya, saya tidak menemukan sesuatu yang istimewa di sana. Intrik-intrik yang disajikan tidak terlalu mengejutkan. Drama romantisnya agak tanggung. Namun, bagaimanapun juga, Focus (2015) berhasil memberikan hiburan segar yang mudah dipahami. Penonton tidak diajak berfikir terlalu dalam untuk mengetahui apa yang terjadi. Maka, dengan demikian, film ini layak untuk memperoleh nilai 3 dari skala maksimum 5 yang artinya “Lumayan”.

Sumber: http://www.warnerbros.com/movies/focus

Mortal Engine (2018)

Mortal Engine (2018) bercerita mengenai keadaan Bumi di masa depan. Semua yang kita miliki saat ini dianggap sebuah artefak dari masa lampau. Dunia yang kita temui di abad 21 ini hancur karena penggunaan energi kuantum. Dunia beserta manusianya pun mengalami perubahan gaya hidup. Manusia di masa depan harus bertahan hidup di tengah-tengah Bumi yang beracun.

Di wilayah Eropa, manusia tidak lagi tinggal di wilayah yang berdiri di atas tanah. Mereka tinggal di kota-kota yang berupa kendaraan raksasa. Kota-kota tersebut berpindah-pindah untuk berdagang dan menghindari kota-kota lain yang berniat buruk. Awalnya, Mortal Engine (2018) memberikan gambaran akan sebuah masa depan yang berbeda dan unik. Sebuah dunia yang luas, megah dan menarik untuk dilihat. Namun apakah itu cukup untuk membuat Mortal Engine (2018) tampil sebagai film yang menarik?

London adalah sebuah kota besar yang berpindah-pindah melahap kota-kota kecil yang mereka ditemui. Di kota inilah terdapat sebuah rencana besar yang dapat membuat dunia kembali hancur. Seperti biasa, tentunya terdapat beberapa tokoh protagonis yang mencoba menghentikan bencana tersebut. Sebuah jalan cerita yang sudah sering saya lihat pada film-film mengenai dunia di masa depan yang tidak sempurna.

Belum lagi terdapat sub plot yang cukup panjang dan … ternyata tidak terlalu berhubungan dengan plot utama x_x. Semuanya hanya ingin mengisahkan masa lalu si tokoh utama. Tokoh utama yang tidak terlalu saya pedulikan. Mortal Engine (2018) gagal membuat saya peduli dengan tokoh-tokoh yang mereka perkenalkan. Film ini memperkenalkan beberapa tokoh tanpa memberikan penekanan bahwa inilah tokoh yang sangat penting. Tokoh yang kalau dilihat ternyata tidak terlalu berpengaruh terhadap plot utama, seolah memperoleh porsi yang terlalu besar. Potensi-potensi akan konflik pun sepertinya kurang ditonjolkan dengan baik, sehingga semua hanya lewat seperti angin lalu saja.

Semuanya sedikit terselamatkan oleh latar belakang yang terlihat megah. Sebuah dunia yang nampak unik sampai …. menjelang akhir cerita. Mortal Engine (2018) sukses mempekenalkan kota-kota nomanden yang berpindah-pindah dengan mesin-mesinnya yang megah. Namun film ini gagal memperkenalkan jenis kota-kota lain yang ternyata ada di dalam cerita. Semua terasa terburu-buru dan kurang pas.

Bisa saja ini terjadi karena Mortal Engine (2018) berusaha menceritakan kisah utama pada novel Mortal Engine karangan Philip Reeve yang terdiri dari 4 buku. Bayangkan saja, 4 buku novel mau dikisahkan hanya dalam waktu sekitar 2 jam. Ini bukan hal yang tidak mungkin, tapi sopasti ini bukanlah hal yang mudah.

Dahulu kala Peter Jackson pernah berhasil memfilmkan Lord of the Rings yang diadaptasi dari sebuah novel legendaris. Campur tangan Jackson dalam Mortal Engine (2018) sebenarnya sudah terlihat ketika film ini menunjukkan latar belakang yang megah dan fantastis. Namun, kehadiran Jackson yang kali ini hadir sebagai salah satu produser, gagal mengangkat Mortal Engine (2018) menjadi sebuah adaptasi novel yang menarik.

Cerita yang basi dan pendalam karakter yang kurang membuat saya tak heran kalau Mortal Engine (2018) gagal di tanggal Box Office. Maaf seribu maaf, Mortal Engine (2018) hanya mampu memperoleh nilai 2 dari skala maksimum 5 yang artinya “Kurang Bagus”. Film yang kurang ok, bukan berarti novelnya juga kurang ok loh. Keempar seri novel Mortal Engine berhasil memenangkan berbagai penghargaan loh. Berbanding terbalik dengan versi filmnya.

Sumber: http://www.universalpictures.com/movies/mortal-engines

Serial T.O.T.S.

Dalam beberapa kepercayaan kuno, burung bangau sering kali diasosiasikan dengan bayi. Sebenarnya, semua diawali di Jerman ratusan tahun yang lalu. Pola migrasi burung bangau sedemikian rupa membuat burung-burung tersebut ramai melewati Jerman di saat ketika banyak bayi lahir. Maka, muncul mitoa bahwa bayi-bayi tersebut datang dibawa oleh bangau. Dari sana, munculah kisah-kisah fantasi terkait burung bangau yang datang mengantarkan bayi ke rumah-rumah.

Hal inilah yang menjadi latar belakang T.O.T.S. Film seri Disney tersebut berada di sebuah dunia dimana bayi-bayi binatang diantarkan ke orang tua mereka oleh T.O.T.S. (Tiny Ones Transport Service). Bayi-bayi mungil beraneka binatang pertama-tama dirawat dan dipersiapkan terlebih dahulu sebelum akhirnya diantarkan oleh burung-burung T.O.T.S. Semua armada pengantar T.O.T.S adalah burung bangau kecuali pasangan Pip (Jet Jurgensmeyer) dan Freddy (Christian J. Simon).

Pip yang seekor pinguin harus memberikan petunjuk arah yang tepat bagi Freddy si burung flamingo. Keduanya bekerjasama saling menutupi kekurangan di tengah-tengah sebuah pekerjaan yang umumnya dilakukan oleh burung bangau. Di sini penonton diajarkan untuk mau bekerjasama, pantang menyerah dan tidak malu untuk tampil beda.

Selain itu, karena bayi binatang yang T.O.T.S. antarkan sangat beraneka ragam, maka penonton pun memperoleh pengetahuan mengenai ciri-ciri berbagai binatang. Bayi-bayi ini juga tampil lucu dan imut sehingga mampu membuat anak-anak untuk betah menonton serial tersebut. Terlebih lagi, setiap episode T.O.T.S. didampingi oleh lagu-lagu anak.

 

 

 

Hanya saja, konsep bahwa bayi diantarkan oleh burung, tetap membutuhkan penjelasan dari orang dewasa. Kita semua tahu bahwa bayi itu berasal dari rahim ibu, bukan dikirim oleh burung seperti paket JNE :P.

Saya rasa T.O.T.S. layak untuk memperoleh nilai 3 dari skala maksimum 5 yang artinya “Lumayan”. Untuk beberapa waktu, film seri anak ini berhasil menjadi film favorit anak-anak saya loh ;).

Sumber: disneynow.com/shows/tots

Serial Daniel Tiger’s Neighborhood

Sebenarnya sudah beberapa kali saya hendak memutar Daniel Tiger’s Neighborhood di rumah. Namun nampaknya film seri asal benua Amerika tersebut kalah pamor dengan film-film kartun anak lain yang diputar di Netflix, Nickelodeon dan Disney. Yaah, Daniel Tiger’s Neighborhood memang hanya dapat ditemukan di saluran TV berbayar PBS atau Amazone, agak susah yaaa hehehehe. Film seri ini bercerita tentang apa sih? Film seri anak Daniel Tiger’s Neighborhood mengisahkan keseharian Daniel (Jake Beale) dan bagaimana ia berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Daniel merupakan seorang anak harimau berjaket merah yang hidup bersama dengan papa, mama dan adik perempuannya. Sehari-hari Daniel berinteraksi pula dengan beraneka karakter lain seperti anak kelinci, anak kucing, pangeran dan lain-lain. Sekilas, saya jadi ingat dengan film kartun anak-anak lainnya, yaitu Shimajiro. Ahhh, tapi semakin lama, semakin jelas bahwa Daniel Tiger’s Neighborhood jauh berbeda dengan Shimajiro.

Pada setiap episodenya, Daniel menemukan masalah dan ia pun memperoleh cara untuk menyelesaikan masalah tersebut. Masalah tersebut dihadirkan dengan berbagai cara yang kreatif, tidak selalu dengan menampilkan kesalahan karakter tertentu. Tidak ada karakter antagonis pada Daniel Tiger’s Neighborhood. Semuanya digambarkan sebagai karakter-karakter dengan keunikan, kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Kemudian aplikasi dari topik yang diangkat, dihadirkan pula di dunia nyata dengan anak-anak sebagai tokoh utamanya. Semua dimaksudkan agak anak-anak dapat lebih memahami topik & masalah yang disajikan. Yang paling kerennya dari serial ini, topik & masalah yang diangkat adalah sesuatu yang sangat detail dan jarang saya temui pada film kartun anak-anak lainnya. Daniel Tiger’s Neighborhood mengajarkan berbagai hal baik bagi anak-anak, bahkan hal-hal yang tidak saya sadari. Saya rasa orang dewasa pun masih dapat mengambil pelajaran dan menikmati alur cerita Daniel Tiger’s Neighborhood. 

Pembawaan nuansa yang halus dan santai memang membuat film seri yang satu ini sebagai salah satu film seri teraman untuk ditonton anak kecil. Dibandingkan film-film serupa seperti Shimajiro, jelas terlihat bahwa fokus utama dari Daniel Tiger’s Neighborhood adalah lebih menitikberatkan pada unsur pendidikan. Tapi ini bukan berarti tidak ada unsur hiburannya sama sekali looh. Unsur hiburannya memang terasa sebagai pelengkap, tapi tetap mengena dan mampu membuat film seri ini nyaman untuk ditonton anak-anak bersama orang dewasa yang menemaninya :).

Saya rasa Daniel Tiger’s Neighborhood layak untuk memperoleh nilai 5 dari skala maksimum 5 yag artinya “Bagus Sekali”. Saat ini saya sering menonton Daniel Tiger’s Neighborhood bersama kedua anak saya yang masih balita :). 

Sumber: pbskids.org/daniel/

I Saw the Devil (2010)

Kali ini saya akan membahas I Saw the Devil (2010) atau 악마를 보았다, sebuah film aksi asal Korea Selatan yang sempat memenangkan berbagai penghargaan. Kalau dilihat dari jalan ceritanya, has I Saw the Devil (2010) sepertinya hanya film aksi mengenai balas dendam saja. Sesuatu yang sudah sering ada pada film-film aksi lainnya. Kok bisa memenangkan banyak penghargaan ya?

Film ini diawali dengan perbuatan keji Jang Kyung-chul (Min-sik Choi) kepada seorang ibu hamil. Korban Kyung-chul kali ini ternyata istri Kim Soo-hyeon (Byung-hun Lee), seorang agen senior NIS yang handal. NIS sendiri merupakan semacam organisasi intelejennya Korea Selatan. Dapat dibayangkan seberapa kuat dan ahlinya Soo-hyeon. Dalam waktu singkat ia sudah dapat menemukan Kyung-chul dan membalaskan dendam istrinya.

Uniknya, Soo-hyeon ingin agar Kyung-chul merasakan sakit yang mendiang istri Soo-hyeon rasakan. Langsung datang dan membunuh Kyung-chul bukanlah pilihan. Soo-hyeon ingin melakukan balas dendam yang sangat menyakitkan. Agen NIS ini menggunakan keahliannya jauh di luar jalur hukum yang ada.

Hebatnya, kekejaman yang Soo-hyeon lakukan kepada Kyung-chul menjadi sesuatu yang memuaskan bagi saya. Biasanya saya kurang suka dengan film-film sadis, walaupun film tersebut memiliki kejutan yang keren seperti Saw (2004). Semua itu terjadi karena kehandalan Min-sik Choi dalam memerankan Kyung-chul. Karakter antagonis yang satu ini kerap melakukan hal hina. Sumpah, Kyung-chul seolah pantas memperoleh hukuman yang ia terima.

Tidak sampai di sana, I Saw the Devil (2010) berhasil mempertunjukkan transformasi yang halus bagimana reputasi Kyung-chul dihadapan penonton perlahan berubah. Psikopat yang pada awalnya nampak seolah hanya seseorang yang lemah, perlahan menunjukkan jati dirinya yang sesungguhnya. Sepertinya balas dendam ala Soo-hyeon memiliki dampak negatif yang akan Soo-hyeon sesali seumur hidup.

Tidak hanya berisi adegan aksi yang keras, film ini pun memberikan pelajaran mengenai balas dendam. Cara Soo-hyeon berduka memang panjang dan ternyata memberikan dampak negatif pula bagi lingkungan sekitarnya. Kesedihan seakan terus melekat pada Soo-hyeon, sampai akhir film. Inilah yang membuat I Saw the Devil (2010) layak untuk memperoleh nilai 4 dari skala maksimum 5 yang artinya “Bagus”. Tak heran film Korea yang satu ini memenangkan berbagai penghargaan.

Sumber: http://www.showbox.co.kr

Old Guard (2020)

Nama Old Guard sudah beberapa kali dipergunakan di dalam dunia militer. Nama inipun sudah beberapa kali dipergunakan sebagai judul film. Namun Old Guard yang kali ini hendak saya bahas merupakan Old Guard (2020) produksi Netflix yang dibuat berdasarkan serial buku komik dengan judul yang sama. Kalau di komiknya sih, Old Guard jelas bukan bacaan yang pantas bagi anak-anak. Selain gambarnya yang sadis, ceritanya pun mengandung konten yang sedikit tabu dan dewasa. Bagaimana dengan versi filmnya?

Tingkat kesadisan Old Guard (2020) jauh di bawah versi komiknya. Film ini lebih memilih untuk menampilkan aksi dan hiburan segar. Jalan ceritanya tidak menbingungkan dan sangat mudah difahami, tapi yaaaaa agak klise yahh. Jalan ceritanya berkisar pada sekelompok prajurit abadi yang dipimpin oleh Andy (Charlize Theron). Mereka sudah hidup ratusan tahun, beberapa diantaranya pernah ikut serta dalam perang salid, perang Napoleon dan lain-lain.

Tapi Old Guard (2020) tidak melihat semuanya dari kacamata Andy dan tentara abadi lain yang sudah berpengalaman. Film ini melihat semua peristiwa yang terjadi dari kacamata Nile Freeman (Kiki Layne), seorang marinir yang baru saja memperoleh keabadian. Tiba-tiba, tubuh Niki dapat sembuh dari berbagai luka yang mematikan. Seketika itu pulalah, keabadian menjadi sebuah misteri yang menarik dari Old Guard (2020). Sayang Old Guard (2020) tidak mengungkap semua misteri yang ada. Mungkin karena hendak membuat sekuelnya?

Yang pasti keabadian tidaklah membuat mereka 100% bahagia. Mirip seperti manusia lain, ada bagian-bagian yang tidak menyenangkan dari kehidupan. Itupun mereka alami, selama ratusan tahun. Permasalahan ini nampaknya hendak digali dan dijadikan sub plot, mendampingi plot utama yang sangat standard dan mudah ditebak.

Uniknya, yang saya paling suka dari Old Guard (2020), adalah bagaimana tokoh antagonis utama film ini tewas. Aaahhh rasanya puas sekali. Tokoh antagonis pada Old Guard (2020) memang terbilang lemah dan seperti tidak bisa apa-apa. Kelebihan yang ia miliki hanyalah kemampuan super untuk bertingkah sangat menyebalkan :’D.

Aksi dan jalan cerita yang standard, sedikit terobati dengan kekalahan tokoh antagonis yang menyebalkan. Dengan demikian, saya pribadi lkhlas memberikan Old Guard (2020) nilai 3 dari skala maksimum 5 yang artinya “Lumayan”

Sumber: http://www.netflix.com/id-en/title/81038963