Shadow (2018)

Shadow (2018) atau 影 bukanlah film yang saya nanti-nantikan untuk saya tonton. Keberadaan film inipun baru saya ketahui beberapa minggu yang lalu, hohohohoho. Secara tidak terduga, film Tiongkok yang satu ini ternyata memberikan visual yang cantik sekali. Nuansa yang didominasi oleh warna hitam putih, ternyata mempu memberikan perasaan yang senada dengan tema cerita Shadow (2018).

Konon pada zaman dahulu kala, wilayah Cina terbagi ke dalam berbagai kerajaan. Kerajaan Pei dan Kerajaan Yang merupakan 2 kerjaan yang sempat memperebutkan Kota Jingzhou. Entah apa alasannya, kota yang satu ini seolah-olah menjadi sebuah lambang kejayaan bagi Kerajaan yang menguasainya. Pada awal cerita, dikisahkan bahwa Kerajaan Yang berhasil menguasai Kota Jingzhou. Sementara itu, raja dari Kerajaan Pei berusaha sekuat tenaga agar perdamaian antara Kerajaan Yang dengan Kerajaan Pei dapat tetap terjaga, dengan mengikhlaskan Kota Jingzhou. Tidak semua pihak setuju dengan kebijakan raja Kerajaan Pei yang terlihat lemah. Panglima besar Kerajaan Pei bahkan berani menentang titah rajanya dengan menantang raja Kerajaan Yang untuk melakukan duel 1 lawan 1.

Lalu, dimana Shadow-nya?? Wkwkwkwkwk. Nah, konon para pejabat pemerintahan menggunakan orang lain untuk menyamar sebagai diri mereka. Hal ini dilakukan untuk mencapai berbagai tujuan tertentu. Diantara pejabat pemerintahaan Kerajaan Pei, terdapat seorang shadow atau bayangan yang sedang menyamar. Hal ini membuat 15 menit pertama Shadow (2018) nampak membingungkan. Lama kelamaan nampak betapa rumitnya politik dan intrik yang Shadow (2018) suguhkan. Hal inilah yang menjadi daya tarik Shadow (2018). Saya sangat menikmati bagaimana cerita pada Shadow (2018) berjalan.

Film ini disutradarai oleh Zhang Yimou yang sukses membesut House of Flying Dagger (2004) dan Hero (2002). Dua film yang banyak menuai pujian tapi kurang saya sukai hehehehe. Kali ini, saya senang dengan film garapab Opa Zhang. Shadow (2018) penuh intik dan kejutan, disertai oleh visual yang sangat cantik. Adegan aksi ala kung-fu-nya pun terbilang lumayan keren. Saya rasa Shadow (2018) sudah sepantasnya memperoleh nilai 4 dari skala maksimum 5 yang artinya “Bagus”. Ini merupakan salah satu film Tiongkok terbaik yang pernah saya tonton.

Sumber: http://www.le.com

Confession of Murder (2012)

Kali ini saya akan membahas film detektif asal Korea Selatan yang berjudul Confession of Murder (2012) atau 내가 살인범이다. Film ini berhasil memenangkan berbagai penghargaan dan sudah pernah dibuat ulang oleh sutradara Jepang. Memoirs of Muder (2017) bisa dikatakan merupakan versi Jepang dari Confession of Murder (2012). Jarang-jarang nih ada film Korea yang sampai dibuat ulang oleh orang Jepang. Apakah Confession of Murder (2012) memang semenarik itu?

Konflik utama pada Confession of Murder (2012) diawali ketika Lee Doo-seok (Park Si-hoo) meluncurkan buku terbarunya yang berjudul I Am the Murderer. Buku tersebut mengisahkan secara detail bagaimana Lee melakukan beberapa pembunuhan antara tahun 1986 sampai 1990. Pada rentang tahun tersebut, memang terdapat pembunuh berantai yang gagal polisi tangkap. Lee secara terbuka mengakui bahwa ia adalah pelaku pembunuhan tersebut. Buku tersemut memuat detail-detail yang belum pernah diketahui oleh publik. Hal inilah yang menguatkan klaim Lee atas kejahatan-kejahatan tersebut.

Peraturan di Korea saat itu, menetapkan bahwa kasus yang sudah melewati 15 tahun, akan diputihkan alias dihapus. Hal inilah yang membuat hukum tidak dapat menyentuh Lee sebab pengakuan Lee dilakukan 17 tahun setelah pembunuhan berantai terjadi. Wajah tampan dan pencitraan yang baik membuat popularitas Lee semakin menanjak. Ia berhasil meraih simpati dari mayoritas publik Korea.

Tentunya, tidak semua orang senang dengan sepak terjang Lee. Choi Hyeong-goo (Jung Jae-young) merupakan salah satu pihak yang terlihat paling tidak berkenan dengan hal-hal yang Lee lakukan. Sebagai detektif yang dulu memimpin penyelidikan kasus pembunuhan berantai Lee, kasus tersebut menjadi sesuai yang bersifat pribadi bagi Choi. Namun sebagai seorang anggota kepolisian, Choi tetap patuh dengan hukum yang ada. Ia bahkan ikut mencegah upaya pembunuhan dari pihak keluarga korban.

Sekilas, Confession of Murder (2012) seolah hanya akan bercerita mengenai pergolakan antara Lee dan Choi. Adegan aksinya yah begitulah, ada beberapa yang tidak masuk akal. Apakah film ini hanyalah film aksi dengan latar belakang kriminal dam detektif saja?

Ternyata semakin lama film tersebut berhasil memberikan kejutan atau twist yang menarik. Arah cerita seakan bergeser-geser dan memberikan berbagai alternatif. Saya suka dengan bagaimana kisah ini disajikan.

Saya rasa, film yang satu ini merupakan salah satu film detektif terbaik dari Korea Selatan. Masuk akal kalau ada produser dari Jepang, bersedia me-remake Confession of Murder (2012). Film ini layak untuk memperoleh nilai 4 dari skala maksimum yang artinya “Bagus”.

Sumber: http://www.showbox.co.kr/Movie/Detail?keyword=&modate=2012&mvcode=JA120151

Franchise Insidious (2010 – 2018)

Berawal dari kesuksesan Insidious (2010), lahirlah Insidious: Chapter 2 (2013), Insidious: Chapter 3 (2015) dan Insidious: The Last Key (2018). Produser mana yang tidak senang dengan film beranggaran rendah dengan profit setinggi langit. Hal itulah yang terus terjadi pada film-film Insidious. Tak heran kalau akan terus bermunculan film-film Insidious berikutnya. Insidious pun menjelma menjadi sebuah franchise yang terdiri dari banyak film. Sampai saat saya menulis tulisan ini, sudah ada 4 film Insidious yang dirilis dan Insidious: The Last Key (2018) adalah yang terbaru. Jadi kali ini saya akan membahas keempat film Insidious yang sudah dirilis.

Kalau dilihat dari urutan perilisan, memang Insidious: The Last Key (2018) adalah yang paling akhir muncul. Namun, kalau dilihat dari urutan waktu pada jalan ceritanya, film tersebut bukanlah yang terakhir. Beginilah urutan film-film Insidious kalau dilihat dari waktu. Semua diawali oleh Insidious: Chapter 3 (2015), kemudian diikuti oleh Insidious: The Last Key (2018), Insidious (2010) dan diakhiri oleh Insidious: Chapter 2 (2013). Wah acak-acakan yah :’D.

Pada dasarnya, keempat film tersebut mengisahkan kasus supranatural yang dihadapi oleh Elise Rainier (Lin Shaye) dan rekan-rekan. Elise merupakan paranormal handal yang menggunakan kemampuannya untuk menolong. Semua kasus yang ia hadapi berhubungan dengan dunia roh yang pada film ini disebut The Furher. Hanya roh orang-orang tertentu saja yang dapat pergi menuju The Futher. Pintu menuju sangat banyak dan tidak mengenal batasan waktu. Hal inilah yang menjadi daya tarik Insidious.

Supaya sesuai dengan urutan waktunya, mari kita mulai dari Insidious: Chapter 3 (2015) :). Pada awal film, dikisahkan bahwa Elise berhenti dari kegiatan supranatural karena ketakutannya akan sosok yang diramalkan akan menjadi lawan terberatnya. Sebuah sosok yang akan Elise hadapi pada Insidious (2010) dan Insidious: Chapter 2 (2013). Kekhawatiran akan kegagalan dan kematian terus menghantui Elise sampai hatinya tergerak untuk menolong seorang gadis yang mengalami gangguan supranatural. Disinilah awal mula Elise bertemu dengan kedua anak muda yang menjadi rekan barunya. Melalui kasus ini pulalah, Elise memperoleh kepercayaan dirinya kembali untuk terus menggunakan kekuatannya untuk kebaikan.

Kemudian pada Insidious: The Last Key (2018), Elise dan kedua rekan barunya, pergi ke kampung halaman Elise untuk menyelesaikan sebuah kasus. Yang menarik di sini adalah, lokasi kejadiannya adalah rumah masa kecil Elise. Di sini, Elise harus berhadapan kembali dengan masa lalunya yang kelam. Mau tak mau, kasus yang kini ia hadapi, berhubungan erat dengan masalah keluarga Elise.

Uniknya, detail kecil pada akhir dari Insidious: The Last Key (2018) menunjukkan asal mula dari segala bencana yang muncul pada Insidious (2010). Hanya saja, saya sendiri harus mengulang bagian akhirnya untuk mengerti hal tersebut. Inilah salah satu kelebihan dari film-film Insidious. Film yang satu bisa berkaitan dengan cara yang tidak terduga dengan film lainnya.

Hal yang sama pun terjadi pada Insidious (2010) dan Insidious: Chapter 2 (2013). Insidious: Chapter 2 (2013) menjelaskan beberapa kejadian misterius pada Insidious (2010). Kedua film ini memang sangat erat hubungannya karena pada kedua film inilah Elise dan kawan-kawan berhadapan dengan kasus yang sangat berat.

Insidious (2010) dan Insidious: Chapter 2 (2013) mengambil latar belakang setelah kejadian pada Insidious: The Last Key (2018). Kali ini dikisahkan bahwa keluarga Lambert mengalami gangguan supranatural sejak mereka pindah rumah. Kalau mengikuti pola film horor pada umumnya, ya sopasti si korban terus saja ada di rumah tersebut dan menghadapi teror-teror yang ada. Nah, keluarga Lambert melakukan hal yang sangat logis. Mereka langsung pindah rumah. Sayang, teror terus mengikuti mereka dimanapun mereka berada.

Elise dan kawan-kawan pun dipanggil untuk menolong. Sumber dari semua masalah tersebut ternyata merupakan sesuatu yang sangat jahat dan kuat. Sekilas, memang semua nampak klise ya. Akhir dari Insidious (2010) pun seolah membuat film ini mengikuti pola film horor pada umumnya. Semua berubah 180 derajat ketika saya menonton Insidious: Chapter 2 (2013). Kedua film tersebut memang merupakan kesatuan yang saling melengkapi.

Insidious (2010) dan Insidious: Chapter 2 (2013) hadir dengan jump scare dan sound effect ala film horor lawas yang bernada tinggi. Namun semuanya tidal nampak murahan sebab penggunaannya memang untuk bagian-bagian yang penting saja. Sentuhan James Wan sebagai sang sutradara memberikan perbedaan yang sangat nyata. Kedua film yang ia sutradarai ini berhasil memberikan kengerian dengan alur cerita yang tidak membosankan. Rasa penasaran terus menghantui saya ketika menonton film-film tersebut.

Bagaimana dengan Insidious: Chapter 3 (2015) dan Insidious: The Last Key (2018)? Walaupun skrip keempat film Insidious ditulis oleh orang yang sama, keduanya tidak disutradarai oleh James Wan. Sebenarnya, jalan cerita kedua film tersebut memiliki potensi yang besar. Sayang kok eksekusinya terasa sedikit hambar. Misterinya memang masih ada, hanya saja alur ceritanya tidak terlalu ngeri dan ada beberapa bagian yang cukup membosankan. Terus terang kualitas Insidious: Chapter 3 (2015) dan Insidious: The Last Key (2018) berada di bawah Insidious (2010) dan Insidious: Chapter 2 (2013). Bisa jadi, semua karena perbedaan siapa sutradaranya.

Hal-hal diataslah yang membuat saya hanya dapat memberikan Insidious: Chapter 3 (2015) dan Insidious: The Last Key (2018), nilai 3 dari skala maksimum 5 yang artinya “Lumayan”. Sedangkan untuk Insidious (2010) dan Insidious: Chapter 2 (2013), saya ikhlas untuk memberikan nilai 4 dari skala maksimum 5 yang artinya “Bagus”. Kabarnya, film Insidious kelima akan hadir dengan judul Insidious: Death’s Lair. Melihat trend, semakin menurunnya kualitas film-film Insidious, saya ragu apakah film kelima tersebut dapat mengulang kesuksesan film pertama dan keduanya? Kita lihat saja nanti ;).

Sumber: http://www.sonypictures.com