Déjà Vu (2006) diawali dengan penyelidikan kasus pemboman kapal feri yang membunuh ratusan tentara Amerika bersama keluarganya. Douglas Carlin (Denzel Washington) merupakan agen ATF yang menyelidiki kasus tersebut. Dengan daya ingat, ketelian dan kemampuan analisa Douglas yang di atas rata-rata, ia berhasil mengungkap berbagai fakta terkait kasus ini.
Sekilas film ini seperti film detektif biasa. Semua berubah ketika FBI datang dengan membawa sebuah teknologi yang dapat melihat kejadian di masa lalu. Semakin lama, semakin terlihat unsur misteri dan fiksi ilmiah dari Déjà Vu (2006). Pihak FBI ternyata tidak 100% jujur kepada Douglas akan teknologi baru yang sedang mereka gunakan.
Dengan teknologi tersebut, déjà vu menjadi suatu hal yang benar-benar dialami oleh karakter utama pada film ini. Déjà vu sendiri dapat diartikan sebagai perasaan aneh ketika seseorang mengalami suatu peristiwa yang sepertinya sudah pernah ia alami di masa lalu. Pertanyaannya, apakah Déjà Vu (2006) merupakan film yang kompleks? Tidak. Hebatnya, film ini mampu menampilkan semuanya dengan cara yang sangat mudah dipahami.
Di sana pun terdapat adegan kejar-kejaran yang cukup menegangkan dan realistis. Beberapa diantaranya bahkan tampil beda. Dikisahkan bahwa Douglas harus mengejar seseorang di masa lampau dengan menggunakan kendaraan yang berjalan di masa kini. Semua memungkinkan dengan teknologi terbaru FBI. Ahhhh sungguh déjà vu :’D.
Aksi, thriller, misteri dan fiksi ilmiah berhasil ditampilkan dengan sederhana oleh Déjà Vu (2006). Film ini dapat dijadikan sebagai tontonan ringan yang menarik. Itulah mengapa film ini layak untuk memperoleh nilai 4 dari skala maksimum 5 yang artinya “Bagus”.
Dari berbagai novel dan film Sherlock Holmes yang pernah saya lihat, saya hanya mengetahui bahwa Mycroft Holmes adalah satu-satunya saudara Sherlock. Baru kali inilah saya diperlihatkan karakter Enola, adik perempuan dari Sherlock dan Mycroft. Enola Holmes memang tidak ada di dalam novel Sherlock Holmes asli karya Sir Arthur Conan Doyle. Karakter Enola ternyata memang ciptaan Nancy Springer melalui novelnya. Baru pada tahun 2020 inilah Enola hadir dalam bentuk film pada Enola Holmes (2020).
Sudah pernah menonton Serial Stranger Things? Millie Bobby Brown tampil sebagai salah satu pemeran utama serial tersebut. Kali ini ia harus memerankan Enola Holmes, seseorang dengan karakter yang sangat berbeda dengan karakter yang perankan Millie pada Serial Stranger Things. Enola hadir sebagai karakter yang aktif, mandiri, ceria dan cerdas. Ia bukanlah anak perempuan biasa. Kemampuannya dalam memecahkan masalah, sudah dapat disetarakan dengan Sherlock Holmes (Henry Cavill).
Pada saat itu Sherlock sudah dikenal sebagai detektif terkenal. Sementara itu Mycroft Holmes (Sam Claflin) mampu memegang jabatan tinggi di Kepolisian Inggris. Enola tidak serta merta tenggelam di bawah bayang-bayang nama besar kedua kakaknya. Ia bahkan mampu menunjukkan kekuatannya sebagai wanita.
Latar belakang Enola Holmes (2020) adalah Inggris di sekitar tahun 1800-an. Sebuah era dimana emansipasi wanita belum seperti sekarang. Wanita-wanita muda diajarkan berpakaian dan berprilalu sopan, untuk kemudian menikah dan menjadi ibu yang baik. Hal ini sangat berbeda dengan Enola yang berjiwa bebas. Sejak kecil, Enola diajarkan sebuah konsep dimana wanita bisa dan bebas menjadi apa saja yang mereka mau. Didikan ibu dari Enola memang berbeda dengan cara ibu-ibu lain pada saat itu.
Sebuah konflik muncul ketika ibu Enola menghilang tanpa kabar. Sebagai wali Enola yang baru, Mycroft hendak mengubah pola pendidikan Enola. Enola pun memilih untuk kabur dari rumah. Dalam pelariannya, ia menemukan sebuah misteri yang secara tak langsung berhubungan dengan hilangnya ibu Enola.
Emansipasi wanita menjadi topik utama dari Enola Holmes (2020). Unsur misteri memang sangat kental melekat pada film ini. Namun pemecahan misteri itupun tetap menunjukkan betapa kuatnya kaum wanita yang diwakili oleh Enola Holmes. Jelas sudah, film ini bukanlah film misteri biasa. Bukan karena kejutan atau misterinya yang keren. Melainkan karena balutan feminism yang rapi pada setiap bagiannya. Millie Bobby Brown pun mampu menampilkan tokoh Enola dengan sangat baik. Enola berhasil menampilkan karakter wanita yang kuat dan pantas menjadi tokoh utama film ini. Dengan demikian, Enola Holmes (2020) layak untuk memperoleh nilai 4 dari skala maksimum 5 yang artinya “Bagus”.
Kisah kejayaan Kesultanan Ottoman Turki tentunya sudah melegenda dan diceritakan dalam berbagai bentuk. Salah satunya pernah saya bahas pada Fetih 1453 (2012). Sebuah film Turki yang mengisahkan penaklukan Konstantinopel oleh Kesultanan Ottoman dibawah kendali Sultan Mehmed II. Bertahun-tahun kemudian, saya kembali menonton kisah penaklukan tersebut namun dalam bentuk film seri Rise of Empires: Ottoman. Mana yang lebih bagus ya?
Karena hadir berbentuk mini seri maka Rise of Empires: Ottoman akan memiliki lebih banyak durasi untuk menampilkan detail-detail kejayaan Ottoman tersebut. Kesultanan Ottoman memamg sempat menguasai banyak wilayah. Namun lambang kejayaan Ottoman memang terlihat ketika mereka mampu menaklukkan Kota Konstantinopel yang pada saat itu dikuasai oleh Kerajaan Romawi Timur atau Bizantium. Kota tersebut dikenal sebagai kota dengan berbagai lapisan pertahanan yang sulit ditembus.
Detail mengenai strategi perang antara Bizzantium dan Ottoman dibahas dengan detail pada serial ini. Taktik jenius Sultan Mehmed II (Cem Yiğit Üzümoğlu) yang memindahkan armada laut lewat jalan darat, dibahas dengan jelas disana. Menonton Rise of Empires: Ottoman, tak ubahnya seperti menonton pelajaran sejarah dengan cara yang menyenangkan.
Penggunaan narasi dari berbagai ahli sejarah, semakin memperkuat unsur dokumenter dari Rise of Empires: Ottoman. Jangan kaget kalau pada beberapa bagian film, terdapat beberapa ahli sejarah yang memberikan komentar sekaligus tambahan detail akan apa yang sedang terjadi. Sungguh menarik, sebab ada beberapa hal yang saya baru ketahui. Melalui film ini, saya memperoleh gambaran yang lebih luas mengenai berbagai alasan kenapa Konstantinopel dapat dikuasi Ottoman.
Saya rasa tidak ada pihak yang digambarkan sebagai penjahat pada Rise of Empires: Ottoman. Kaisar Konstantin XI (Tommaso Basili) tampil sebagai kaisar terakhir Kerajaan Bizantium yang berusaha bertahan. Ia tidak digambarkan sebagai seorang pemimpin yang kejam atau jahat. Sultan Mehmed II pun hadir dengan sangat manusiawi dengan berbagai kelebihan dan kekurangannya sebagai manusia biasa. Film ini tentunya banyak sekali membahas gejolak yang harus Mehmed II hadapi ketika memimpin.
Sayangnya, pembahasan mengenai konflik internal antara Mehmed II dan penasihat utamanya, ditampilkan terlalu banyak. Sejak masih bergelar putra mahkota, Mehmed II memang sudah berambisi untuk menaklukkan Konstantinopel. Hal ini ditentang oleh penasihat utama kerajaan. Selain itu terdapat berbagai hal yang menyebabkan keduanya memiliki banyak perbedaan, tapi tetap saling membutuhkan. Kemudian diperlihatkan pula mengenai keberadaan mata-mata dan pejabat kerajaan yang saling main mata. Hal-hal yang rasanya tidak terlalu penting dan kurang menarik. Bagian ini membuat saya agak mengantuk hehehehe. Rasanya akan lebih menarik bila konflik antara Bizantium dengan Paus dibahas dengan lebih detail. Krisis ekonomi dan perbedaan faham dengan kerajaan-kerajaan Eropa yang tunduk kepada Paus, rasanya hanya memperoleh porsi yang relatif kecil.
Porsi penampilan Kaisar Konstantin XI pun tidak sebanyak tokoh Giovanni Giustiniani (Birkan Sokullu). Namun hal ini masih masuk akal sebab Giustiniani merupakan pemimpin pertahanan Konstantinopel. Jadi, kalau dalam pengaturan strategi peperangan, Giustiniani-lah tokoh yang berhadapan langsung dengan Sultan Mehmed II.
Saya sadar bahwasanya akan selalu ada perdebatan dalam berbagai hal, termasuk sejarah. Detail-detail kecil pada Rise of Empires: Ottoman memang menunjukkan ketidaksempurnaan Sultan Mehmed II Sang Al-Fatih. Pada serial yang satu ini, Sultan Mehmed II memang tidak tampil sebagai mahluk sempurna. Namun itu tidak menghapus kegigihan dan kejeniusan beliau dalam menaklukan Konstantinopel. Julukan Al-Fatih memang pantas untuk diberikan kepadanya.
Saya rasa, Rise of Empires: Ottoman dapat dijadikan tontonan yang menghibur sekaligus mendidik bagi penonton dewasa. Terdapat beberapa bagian yang kurang pas untuk ditonton oleh anak-anak tapi tidak separah Fetih 1453 (2012). Film seri Turki yang satu ini masib setingkat lebih baik daripada Fetih 1453 (2012). Serial Rise of Empires: Ottoman masih layak untuk memperoleh nilai 3 dari skala maksimum 5 yang artinya “Lumayan”.