Run (2020)

Melihat Run (2020) membuat saya teringat akan kasus Keluarga Blanchard yang benar-benar terjadi di dunia nyata. Sebuah kasus yang sempat heboh di Amerika pada 2015 lalu. Sutradara dan penulis Run (2020) menyatakan bahwa film ini dibuat dari berbagai kisah dan pengalaman hidup. Tapi, sumpah Run (2020) ini sangat mirip dengan kasus Keluarga Blanchard. Hanya saja, karena Run (2020) bukanlah film dokumenter, maka wajar kalau ada sedikit bumbu yang membuatnya berbeda dengan kasus Keluarga Blanchard.

Sepanjang film, saya disuguhkan bagaimana hubungan antara ibu dan anak yang berubah-ubah. Sejak kecil, Chloe Sherman (Kiera Allen) menderita berbagai penyakit yang membuatnya lumpuh, dan harus memperoleh berbagai pengobatan di rumah. Beruntung Chloe memiliki Diane Sherman (Sarah Paulson) sebagai ibu. Dengan sabar dan penuh kasih sayang, Diane nampak tabah dan ikhlas merawat anak semata wayangnya.

Semua berubah ketika Chloe menemukan beberapa kejanggalan dari perilaku Diane. Chloe merupakan anak cerdas yang memiliki keinginan kuat untuk maju. Maka tak heran, kalau Chloe melakukan segala cara untuk memperoleh jawaban sedetail mungkin. Kenyataan apakah yang pada akhirnya harus Chroe terima?

Bagi teman-teman yang sudah pernah mengikuti kasus Blancheard, Run (2020) bukanlah kisah misteri. Sejak awal film, tidak ada yang perlu dibuktikan, sama persis kok dasar ceritanya hehehehe. Memasuki pertengahan film, semua sudah dapat ditebak bagi mayoritas penonton. Ceritanya sederhana dan mudah dipahami. Terkadang ada beberapa bagian film yang sedikit membosankan.

Beruntung unsur thriller Run (2020) terbilang cukup kencang. Adegan thriller hampir terus menerus hadir pada setiap bagian film tersebut. Paling tidak hal itu dapat sedikit mengobati kebosanan saya ketika saya sudah dapat menebak jalan ceritanya.

Dasar ceritanya memang sama dengan kasus Keluarga Blanchard, namun akhir dari Run (2020) sangat berbeda dengan kasus Keluarga Blanchard. Akhir dari Run (2020) terbilang cukup mengejutkan sekaligus memuaskan bagi saya pribadi, Savage! 🙂

Jalan cerita yang terkadang sedikit membosankan, masih dapat terselamatkan dengan ketengangan yang terus menerus muncul. Ditambah lagi, bagian akhir yang “meyenangkan”, sedikit banyak memberikan nilai positif bagi Run (2020). Saya rasa, film yang tayang perdana di Hulu Streaming On-Demand ini, masih layak untuk memperoleh nilai 3 dari skala maksimum 5 yang artinya “Lumayan”.

Sumber: run.movie

Tenet (2020)

Christopher Edward Nolan merupakan salah satu sutradara favorit saya. Mayoritas film besutannya masuk ke dalam daftar wajib tonton saya. Mulai dari Memento (2000), Inception (2010), Trilogi Batman, Interstellar (2014), sampai Dunkirk (2017). Beberapa diantaranya penuh intrik dan sangat membingungkan. Karya terbaru Nolan, Tenet (2020), sepertinya akan menjadi salah satu film Nolan yang paling membingungkan.

Nolan memang gemar bermain dengan ruang dan waktu. Semua itu mencapai puncaknya pada Tenet (2020). Untuk sepenuhnya memahami Tenet (2020), Saya sendiri perlu 2 kali menontonnya dan sedikit membaca literatur mengenai Time Inversion. Konsep Time Inversion merupakan konsep perjalanan menembus waktu yang tidak biasa. Suatu hal yang belum pernah saya temukan pada film-film lain.

Pada Time Inversion, ketika seseorang melakukan perjalanan waktu ke masa lalu, ia akan mengalami berbagai kejadian dalam keadaan terbalik. Tenaga yang ia gunakan merupakan arus waktu berbalik. Namun, kekuatan dari arus waktu berbalik bertumbukan dengan arus waktu lurus yang normal. Oleh karena itu, ada beberapa hal yang terlihat berjalan terbaik, dan ada beberapa hal pula yang terlihat berjalan normal. Bingung? Tak usah malu, pemeran utama film ini saja tidak sepenuhnya faham dengan konsep Time Inversion :’D.

Anak dari Denzel Washington, yaitu John Davis Washington, menjadi pemeran utama Tenet (2020). Siapa yang John perankan? Seseorang yang sepanjang film hanya disebut dengan panggilan Sang Protagonis wkwkwkwk. Ajaib, Tenet (2020) memang benar-benar ajaib. Sepanjang film, Sang Protagonis memiliki misi untuk mencegah kehancuran Bumi akibat Time Inversion. Terdapat beberapa individu yang menyalahgunakan teknologi Time Inversion untuk kepentingannya sendiri.

Mirip seperti beberapa film Nolan sebelumnya. Kebingungan yang disajikan berhasil menjadi sesuatu yang menarik untuk diselidiki, dipikirkan dan dibahas. Dalam fisika, Time Inversion sendiri memang benar-benar ada. Secara tidak langsung, Tenet (2020) memang mengajak penontonnya untuk belajar Fisika @_@.

Tingkat kekompleksan Tenet (2020) melebihi Memento (2000), Inception (2020), Serial Dark, dan Interstellar (2014). Bagi saya pribadi, kekompleksan tersebut agak overdosis ya. Sepanjang film, saya dibuat berfikir dan terus kebingungan. Tenet (2020) gagal memberikan penjelasan yang agak jelas gamblang mengenai beberapa hal. Hal ini membuat saya terus berfikir tanpa bisa terlalu menikmati alur cerita yang ada. Padahal, kalau ditelaah lagi, cerita dari Tenet (2020) sendiri sebenarnya terbilang keren lohh.

Alur cerita yang bagus, menjadikan Tenet (2020) sebagai sebuah film yang memikat. Namun kekompleksan ceritanya, dapat menjadi daya tarik sekaligus sumber ketidakjelasan yang berlebih dari karya terbaru Opa Nolan tersebut. Dengan demikian, Tenet (2020) sudah sepantasnya memperoleh nilai 3 dari skala maksimum 5 yang artinya “Lumayan”. Selamat belajar fisika teman-teman, hehehehehe.

Sumber: http://www.tenetfilm.com

Wonder Woman 1984 (2020)

Seumur-umur saya belum pernah membaca buku komik Wonder Woman.  Saya hanya sempat menonton Serial Wonder Woman yang pernah hadir di TV nasional kita pada era tahun 90-an. Yah, tokoh ini memang bukanlah tokoh favorit saya. Pamornya masih kalah jika dibandingkan dengan Batman atau Superman.

Namun, saat ini sepertinya franchise film Wonder Woman sajalah yang masih dapat bersaing. Film standalone Wonder Woman pertama, Wonder Woman (2017), dapat dikatakan relatif lebih baik ketimbang film-film pahlawan super lainnya dari DC Comics. Tak heran kalau sekuel Wonder Woman (2017) kembali hadir pada tahun 2020 ini melalui Wonder Women 1984 (2020).

Dari judulnya saja sudah terlihat bahwa latar belakang petualangan Wonder Woman kali ini adalah tahun 1984. Otomatis kejadian yang diangkat terjadi antara Wonder Woman (2017) dan Man of Steel (2013). Pada tahun 1984, Superman dan Batman belum hadir, yang ada hanya Wonder Woman (Gal Gadot) saja. Karena keturunan separuh dewa, Wonder Woman atau Diana Prince dikisahkan tidak dapat menua. Maka, selama ini ia sudah berkali-kali kehilangan orang-orang disekitarnya. Semua dapat ia jalani dengan tabah. Hanya saja, ada 1 orang tetap selalu ada di hati Wonder Woman, Steve Trevor (Chris Pine).

Steve sudah tewas pada Wonder Woman (2017). Bagaimana cara Wonder Woman menghidupkan Steve kembali? Semua itu mungkin dengan adanya artefak kuno yang dapat mengaburkan berbagai keinginan. Wonder Woman 1984 (2020) mengambil jalan cerita mengenai bagaimana keinginan dan keserakahan manusia dapat menimbulkan malapetaka. Sebuah tema yang sudah beberapa kali saya lihat pada film-film lainnya. Hanya saja, di sini ada superhero seperti Wonder Woman. Kemudian hadir Cheetah (Kristen Wiig) dan Maxwell Lord (Pedro Pascal) sebagai tokoh antagonisnya. Ternyata, tema ini berhasil diramu dengan baik. Wonder Woman 1984 (2020) pun mampu memberikan pelajaran mengenai keinginan dan keserakahan.

Mulai dari seorang ayah baik yang putus asa sepert Lord, seorang ilmuwan pintar yang sulit bergaul seperti Cheetah, sampai superhero keturunan Dewa Zeus seperti Wonder Woman. Setiap mahluk pastilah memiliki keinginan, beberapa diantaranya sulit dan bahkan hampir mustahil untuk diwujudkan. Tidak hanya menggoda Wonder Woman. Keinginan jugalah yang berhasil membuat Cheetah dan Lord ikut hadir. Cheetah memang sudah lama menjadi lawan utama Wonder Woman. Kalau Batman memiliki Joker, dan Superman memiliki Luthor, maka Wonder Woman memiliki Cheetah. Sayangnya, Cheetah seolah-olah hadir hanya dimaksudkan agar film ini memiliki adegan aksi. Sebuah adegan aksi yang mengecewakan karena gelap dan diiringi lagu yang tidak sekeren lagu pada Wonder Woman (2017). Lagu yang mendampingi adegan aksi pada Wonder Woman (2017) memang terbilang keren. Sayangnya, bagian dari lagu tersebut didaurulang dan muncul lagi pada Wonder Woman 1984 (2020), namun dengan cara yang kurang greget. Yah sebenarnya adegan aksi pada Wonder Woman 1984 (2020) tetap dapat dibilang lumayan baguslah. Tapi, hal ini merupakan sebuah penurunan kalau dibandingkan dengan Wonder Woman (2017).

Kemudian, entah kenapa kostum emas yang Wonder Woman gunakan pada akhir film, tidak nampak terlalu bermakna. Kemampuan dan efek dari kostum tersebut tidak terlalu terlihat. Kilas balik masa kecil Wonder Woman pun tidak terlalu bermakna bagi plot utama Wonder Woman 1984 (2020). Kilas balik tersebut hanya pembukaan bagi kisah dibalik kostum keemasan milik pahlawan Amazon. Kesimpulannya, apakah kostum emas Wonder Woman keren? Bagi saya pribadi, biasa saja, tidak ada kesan “Wah” ketika melihatnya.

Dengan demikian, rasanya Wonder Woman 1984 (2020) masih layak untuk memperoleh nilai 3 dari skala maksimum 5 yang artinya “Lumayan”. Film ini cocok untuk dijadikan tontonan di rumah, sambil menunggu pandemi Covid-19 berakhir. Semua dapat ditonton di layanan streaming berbayar seperti HBO+.

Sumber: http://www.wonderwomanfilm.net