Serial Kingdom

Mengambil latar belakang era kekuasaan Dinasti Joseon di Korea, Serial Kingdom (킹덤) berbicara mengenai perebutan kekuasaan. Pertikaian memperebutkan kekuasaan memang sudah sering menjadi topik yang diangkat pada berbagai film lainnya. Agak berbeda dengan yang lain, Kingdom menambahkan unsur misteri dan horor ke dalam perebutan kekuasaan tersebut.

Diawali oleh kegagalan invasi Jepang ke wilayah Korea pada Perang Imjin. Korea berhasil bertahan namun dengan cara yang tidak lazim. Cara ini pun dipergunakan oleh petinggi kerajaan demi memperoleh kekuasaan. Cara yang tidak lazim ini melahirkan sebuah penyakit yang ganas dan sulit untuk dibendung.

Penderita penyakit misterius ini akan berperilaku seperti layaknya mayat hidup atau zombie. Penyakit ini sangat mudah menular karena dapat menyebar melalui gigitan. Apalagi para zombie pada Kingdom, dapat berlari dengan sangat agresif. Hal ini menambah ketegangan ketika menonton serial tersebut.

Dari banyak karakter licik dan kejam yang ada, paling tidak terdapat 1 tokoh mulia pada serial ini. Sang Putra Mahkota Lee Chang (Ju-Ji-hoon) memiliki ambisi untuk membangun pemerintahan yang adil dan memihak rakyat. Namun, cepat lambat ia tidak akan memiliki rakyat apabila para zombie masih berkeliaran menularkan penyakit.

Dengan dibantu oleh beberapa pihak tidak semuanya 100% setia, Chang harus memusnahkan para zombie dan mengamankan tahta kerajaan dari para pejabat kotor. Perlahan misteri mengenai penyakit zombie mulai terkuak. Sebuah misteri yang tidak terlalu misterius. Namun jalan yang ditempuh untuk memecahkan misterinyalah yang menyenangkan untuk ditonton.

Perebutan kekuasaannya pun menggunakan beberapa fitnah dan taktik licik lainnya. Semuanya dalam takaran yang pas sehingga saya tidak bosan ketika melihat Chang tertimpa kemalangan. Si tokoh utama tidak dizalimi terlalu lama. Kisah Kingdom tidak bertele-tele seperti sinetron. Selalu ada saja sesuatu yang baru. Jadi saya menemukan beberapa bagian yang menyenangkan ketika menonton Kingdom.

Saya pribadi ikhlas untuk memberikan Kingdom nilai 4 dari skala maksimum 5 yang artinya “Bagus”. Perebutan tahta kerajaan di tengah-tengah serangan zombie, ternyata mampu menjadi hiburan yang menarik.

Sumber: astory.co.kr

Serial Wednesday

Dahulu kala, saya pernah menonton serial The Addams Family. Kurang lebih serial tersebut mengisahkan sebuah keluarga dengan nuansa horor sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari mereka. Semua yang seharusnya menyeramkan, diolah menjadi sarkasme. Sayangnya, saat itu saya masih terlalu kecil untuk faham sarkasmenya. Ketika The Addams Family hadir dalam berbagai film animasi atau serial lainpun, saya tidak tertarik untuk ikut menontonnya. Serial Wednesday agak berbeda. Berhubung aplikasi streaming smartphone saya terus menerus menampilkan iklan serial ini, saya pun akhirnya mencoba menontonnya. Saya menonton Wednesday tanpa mengetahui ini serial apa :’D.

Ternyata Wednesday itu adalah nama tokoh utamanya. Tokoh utama serial ini bernama Wednesday Addams (Jenna Ortega). Sudah ada nama Addams saja, pada awalnya saya tetap belum sadar siapa itu Mba Wednesday hehehehehe. Lama-kelamaan saya baru menyadari bahwa Wednesday Addams adalah salah satu anak dari The Addams Family. Jadi dapat dikatakan bahwa Wednesday adalah spin-off dari The Addams Family.

Wednesday Addams tampil sebagai gadis gothic yang cuek, pantang menyerah, cerdas dan penuh sarkasme. Uniknya, sarkasme pada serial ini berhasil membuat saya tertawa. Pembawaan karakter Wednesday sangat menyenangkan untuk ditonton. Akting Jenna Ortega sebagai Wednesday terbilang menonjol.

Selain itu, Wednesday dipenuhi oleh berbagai misteri yang menarik untuk diikuti. Setiap episodenya terdapat sesuatu yang membuat menonton penasaran. Walaupun penuh misteri, semuanya disajikan dengan sederhana dan mudah dipahami. Misterinya bukan misteri yang seperti benang kusut ala sinetron kok. Misterinya berada di tengah-tengah dunia supranatural yang bernuansa gothic.

Serial ini mengambil latar belakang yang sama dengan The Addams Family. Jadi, beberapa karakter pada serial ini memiliki kekuatan tertentu. Namun kekuatan tersebut tidak digambarkan seperti kekuatan superhero. Semua digambarkan sebagai kekuatan supranatural yang agak suram dan gelap.

Sutradara serial ini adalah Tim Burton yang sangat akrab dengan karya-karyanya yang bernuansa gothic. Biasanya saya tidak terlalu suka dengan film-filmnya Opa Tim Burton. Tapi kali ini saya harus mengacungkan 2 jempol bagi Serial Wednesday. Serial Wednesday ini layak untuk memperoleh nilai 4 dari skala maksimum 5 yang artinya “Bagus”. Saya jauh lebih suka Wednesday ketimbang The Addams Family.

Sumber: http://www.mgm.com

Pengabdi Setan 2: Communion (2022)

Pengabdi Setan 2: Communion (2022) melanjutkan berbagai musibah yang menimpa keluarga Suwono pada Pengabdi Setan (2017). Setelah menghadapi serangkaian teror pada Pengabdi Setan (2017), Rini Suwono (Tara Basro) dan keluarganya memutuskan untuk pindah ke kota besar. Belajar dari pengalaman terdahulu, mereka tidak mau lagi tinggal di rumah tua dengan lokasi yang terpencil. Rini, Tony (Endy Arfian), Bondi (Nasar Anuz) dan sang ayah, Bahri Suwono (Bront Palarae), tinggal di sebuah Rumah Susun yang ramai. Walaupun terletak agak menyendiri dan dekat dengan laut, paling tidak tempat tinggal mereka kali ini dipadati oleh berbagai penduduk.

Tanpa Rini dan keluarga sadari, sebagian tetangga mereka ternyata masih memiliki kaitan dengan para pengabdi setan. Pada lokasi dan waktu yang tepat, para pengabdi setan telah merencanakan untuk menggelar sebuah pesta atau upacara misterius. Ironisnya, Rini beserta keluarganya dan beberapa tetangga yang tak tahu apa-apa, terjebak di tengah-tengah peristiwa mengerikan tersebut.

Lorong-lorong Rumah Susun beserta ruangan-ruangannya, berhasil memberikan nuansa horor yang kental. Penampakan setan atau hantunya tidak terlalu banyak. Namun kengerian yang dibangun sungguh terasa.

Nuansa tahun 80-annya pun menambah keangkeran film ini. Lagu-lagu lawas yang diputar, membuat Pengabdi Setan 2: Communion (2022) semakin nampak menakutkan. Kereeen deh pokoknya.

Penonton diajak untuk tegang, sekaligus penasaran selama Pengabdi Setan 2: Communion (2022) berlangsung. Misteri demi misteri terungkap perlahan dengan waktu yang tepat. Misteri yang ada, berhasil menjadi daya tarik yang membuat mata saya tidak mengantuk sepanjang film diputar. Bahkan sampai film berakhir terdapat beberapa hal yang masih belum terungkap. Jauh dari kata menyebalkan, hal inu justru menjadi sesuatu yang menyenangkan untuk ditelisik dan dibahas. Apalagi film ini adalah film Joko Anwar yang sepertinya memiliki korelasi dengan film-film lainnya selain Pengabdi Setan (2017).

Pengabdi Setan 2: Communion (2022) merupakan sebuah film horor dan misteri yang komplit. Film ini mampu menebarkan kengerian tanpa mengobral jomp scare atau penampakan setan-setanan yang menjijikan. Dengan demikian, sekuel Pengabdi Setan (2017) ini layak untuk memperoleh nilai 4 dari skala maksimum 5 yang artinya “Bagus”.

Sumber: http://www.rapifilms.com

Serial The Midnight Club

Film seri The Midnight Club mengisahkan kehidupan dari penghuni sebuah Hospice. Pada dasarnya, para pasien hospice merupakan penderita penyakit ganas dengan peluang kesembuhan yang sangat kecil. Mereka menghadapi kondisi dimana para profesional hanya dapat memberikan perawatan paliatif saja dengan probalitas peluang hidup berada di bawah 6 bulan. Hospice diharapkan untuk dapat meningkatkan kualitas hidup mereka sebelum ajal menjemput. Bukan untuk menyembuhkan.

Hospice memiliki berbagai kegiatan dan Midnight Club sebenarnya bukan salah satunya. Begitupula dengan Brightcliffe Hospice. Di atas kertas, tidak ada Midnight Club di sana. Memasuki pergantian hari pada pukul 24:00, Para pasien Brightcliffe Hospice yang semuanya masih remaja, menyelinap keluar kamar. Mereka berkumpul di sebuah tempat rahasia. Di tengah gelapnya malam, mereka bertukar kisah-kisah horor dan misteri. Masing-masing kisah biasanya berhubungan dengan masa lalu dan kegelisahan dari dari karakter yang bercerita. Melalui kisah-kisah inilah penonton diajak untuk semakin mengenal para karakter The Midnight Club.

Sayangnya, beberapa kisah-kisah tersebut agak kurang menarik. Beberapa diantaranya justru keluar jalur menjadi kisah fiksi ilmiah dan drama, bukan horor atau misteri. Biasanya, setiap episode dari The Midnight Club memiliki 1 atau 2 kisah pendek karangan pasien Brightcliffe Hospice. Durasinya tidak terlalu panjang kok. Kalau panjang, yaaa saya pasti akan tertidur hehehe.

Yang menjadi magnet dari The Midnight Club adalah misteri yang menyelimuti Brightcliffe Hospice. Bangunan Hospice ini adalah bangunan tua dengan sejuta cerita. Tempat ini pernah menjadi lokasi kematian masal sebuah sekte misterius. Sesuatu yang spesial membuat beberapa pihak menggunakan lokasi ini untuk ritual dan hal-hal supranatural lainnya. Beberapa pasien pun sempat dihantui oleh beberapa sosok misterus ketika berada di dalam Hospice ini. Kematian dan misteri di sekeliling Brightcliffe Hospice, sangat menarik untuk ditonton.

Tak lupa serial ini ternyata memiliki muatan drama yang cukup kental. Akan ada air mata bagi karakter-karakter yang ada di sana. Mereka semua adalah remaja-remaja yang sekarat. Bersama menanti ajal di dalam sebuah Hospice. Pada beberapa episode, unsur dramanya justru sangat kental. Jadi The Midnight Club bukan horor dan misteri saja.

Saya belun pernah membaca versi novelnya. Tapi saya yakin ceritanya akan berbeda. Dengan format serial, The Midnight Club memiliki banyak ruang untuk mengekplorasi berbagai permsalahan yang muncul. Serial ini layak untuk memperoleh nilai 3 dari skala maksimum 5 yang artinya “Lumayan”.

Sumber: http://www.intrepidpictures.com

The Black Phone (2021)

The Black Phone (2021) merupakan film yang diadaptasi dari sebuah cerita pendek karya Joe Hill. Saya beberapa kali melihat kegagalan dari film yang diambil dari cerita pendek. Materi yang tidak terlalu banyak, harus disajikan dengan durasi yang agak panjang. Bagaimana dengan The Black Phone (2021)?

Melihat trailernya saya langsung tertarik untuk menonton. Kisahnya berhubungan dengan kasus penculikan oleh The Grabber (Ethan Hawke). Nama The Grabber adalah julukan dari masyarakat bagi seseorang yang melakukan penculikan anak-anak di pinggiran kota Denver pada tahun 80-an. Anak-anak dari berbagai kalangan, diculik di jalanan yang sepi. Anak-anak tersebut belum ada yang berhasil ditemukan. Telefon meminta tebusan pun tak ada. Semua menduga bahwa anak-anak tersebut sudah tewas, kemungkinan disiksa dulu sebelumnya ….

Ok, saya fikir The Black Phone (2021) adalah kasus kriminal biasa. Lalu dimana telefon hitamnya? :’D. The Grabber berhasil melakukan aksinya dengan sangat lancar. Semua berubah ketika ia melakukan kesalahan dengan menculik salah satu anak dari keluarga Blake. Keluarga Blake memiliki masa lalu yang kelam terkait dunia supranatural. Disinilah unsur horor dari film ini. Keluarga Blake hanya terdiri dari si bapak dan 2 anaknya. Si ibu meninggal bunuh diri setelah mendengar berbagai bisikan dan mengalami mimpi-mimpi aneh. Si bapak mengalami depresi dan sering mabuk-mabukan. Finney Blake (Mason Thames) adalah anak sulung dari keluarga Blake. Sementara itu Gwen Blake (Madeleine McGraw) adalah adik Finney yang sudah mulai mengalami mimpi-mimpi aneh seperti mendiang ibu mereka. Siapa yang The Grabber culik? Finney, si sulung yang sementara itu belum memiliki kemampuan supranatural apa-apa.

Finney disekap di ruang bawah tanah yang cukup luas. Di sana hanya terdapat kasur dan sebuah telefon rusak. Melalui telefon ini, Finney dapat memulai komunikasi dengan para korban The Grabber. Masing-masing korban memberikan petunjuk dan saran agar Finney dapat menyelamatkan diri. Inilah bagian yang paling seru dari The Black Phone (2021). Perlahan tapi pasti, Finney menguak berbagai misteri yang ada.

Dengan lokasi yang hanya itu-itu saja, The Black Phone (2021) berhasil membuat saya menyimak tanpa mengantuk, jauhlah dari kata bosan. Kisahnya, misterinya semua disajikan dengan menarik.

Kemudian, The Black Phone (2021) tidak banjir jump scare. Penggunaan jump scare pada film ini terbilang sangat pas. Saya paling benci kalau menonton film horor yang menggunalan jump scare di mana-mana sampai di bagian yang tidak perlu.

Secara keseluruhan, The Black Phone (2021) layak untuk memperoleh nilai 4 dari skala maksimum 5 yang artinya “Bagus”. Ternyata ada juga film hasil adaptasi cerita pendek yang sebagus ini.

Sumber: http://www.theblackphonemovie.com

Doctor Strange in the Multiverse of Madness (2022)

Doctor Strange in the Multiverse of Madness (2022) merupakan bagian dari MCU (Marvel Cinematic Universe) dengan mengambil latar belakang setelah segala kejadian di Serial Wanda Vision dan Avengers: Endgame (2019). Seperti biasa, film-film MCU memang saling berhubungan tapi masing-masing film mampu berdiri sendiri. Tak terkecuali film Doctor Strange yang kedua inipun mampu berdiri sendiri. Tapi akan lebih seru kalau kita sudah menonton beberapa film MCU sebelumnya. Saya rasa keterkaitan inilah yang membuat MCU spesial.

Sebagai pengantar, Doctor Strange (Benedict Cumberbatch) sempat gugur ketika Thanos (Josh Brolin) datang menyerang. Ia pun sempat tewas selama 5 tahun, sebelum The Avangers yang tersisa mampu mengalahkan Thanos. Hampir semua mahluk hidup yanv Thanos bunuh, berhasil hidup kembali, meskipun mereka harus kehilangan 5 tahun kehidupan mereka.

Setelah 5 tahun, banyak yang berubah. Ketika Doctor Strange kembali, ia harus menerima kenyataan bahwa kekasihnya akan menikahi laki-laki lain. Selain itu, gelar Strange sebagai Sorcerer Supreme sudah digantikan oleh orang lain. Saya pikir ini akan menjadi topik utama film ini. Oh ternyata saya salah. Doctor Strange harus berbagi peranan dengan tokoh lain, Wanda Maximoff (Elizabeth Olsen).

Loh bukankah Wanda sudah memiliki film sendiri? Serial Wanda Vision ternyata kurang cukup bagi Wanda. Pada Serial Wanda Vision, Wanda atau Scarlet Witch berpapasan dengan buku Darkhold. Buku terkutuk ini menggoda Wanda untuk kembali melakukan kesalahan yang sama seperti yang Wanda lakukan pada Serial Wanda Vision. Ia menginginkan sebuah keluarga, lengkap dengan anak-anak yang mencintainya. Hanya saja, kali ini Wanda melakukannya dengan lebih ekstrim.

Pada Avengers Infinity War (2018) dan Avengers: Age of Ultron (2015), Wanda harus kehilangan kekasih dan saudara kembarnya. Ia sendirian dan kesepian. Melalui mimpi, Wanda sering kali memimpikan bahwa ia memiliki 2 anak laki-laki yang mencintainya. Pada dunia MCU, mimpi adalah jendela menuju dunia paralel. Melalui mimpi, kita dapat mengintip kehidupan kita di dunia paralel lainnya. Jadi terdapat banyak sekali Wanda di dunia paralel lain, yang hidup berkeluarga dan memiliki anak. Namun, bagaimana cara Wanda pergi ke dunia paralel lain demi mencari kebahagiaan? Menggunakan sihir kegelapan dari buku Darkhold?

Hal inilah yang memicu berbagai kekacauan di dalam berbagai dunia paralel. Strange harus melompat dari satu dunia paralel ke dunia paralel lainnya untuk menghentikan Wanda. Di sini saya tidak dapat menebak mau dibawa kemana arah film ini. Saya mengenal Wanda sebagai karakter yang baik. Sebagai penonton film-film MCU sebelumnya, agak sulit bagi saya untuk menempatkan Wanda sebagai karakter antagonis. Strange dan Wanda adalah bagian dari The Avengers yang berkali-kali menyelamatkan semesta. Segala sesuatu yang Wanda perbuat pun memiliki berbagai kesedihan di dalamnya.

Tidak ada karakter yang mutlak jahat pada Doctor Strange in the Multiverse of Madness (2022). Terdapat Wanda yang masih berpikiran jernih di dunia paralel lainnya. Terdapat pula Doctor Strange yang sesat pada dunia paralel lainnya, karena berbagai alasan yang baik. Doctor Strange memang memiliki kecenderungan untuk menabrak aturan dan melakukan pengorbanan. Sayangnya ia sering kali terlalu berani mengambil resiko. Bahkan terkadang ia berani mengorbankan orang lain demi sesuatu yang ia anggap lebih besar. Semua dapat terlihat dari berbagai versi Doctor Strange di dunia paralel lainnya.

Film inipun membuka jalur kesinambungan baru antara MCU dengan film-film superhero Marvel yang lahir sebelum Konsep MCU digaungkan pada 2011. Semakin banyak kemungkinan yang menarik untuk diikuti. Jadi, Doctor Strange in the Multiverse of Madness (2022) memang menyelam lebih dalam lagi dalam membahas berbagai dunia paralel.

Tak lupa, unsur horor berhasil disisipkan dengan halus pada film ini. Saya sangat suka dengan keberadaannya. Apalagi horornya tidak hadir dengan dentuman suara musik yang mengagetkan.

Meskipun karakter Doctor Strange harus berbagai spotlight dengan Wanda pada film ini, Doctor Strange in the Multiverse of Madness (2022) tetap layak untuk diacungi jempol. Film ini layak untuk memperoleh nilai 4 dari skala maksimum 5 yang artinya “Bagus”. Beberapa teman saya membandingkan film ini dengan Everything Everywhere at Once (2022). Sekilas memang sama-sama membahas mengenai dunia paralel atau multiverse. Sama-sama memiliki karakter antagonis yang tidak mutlak jahat. Namun konsepnya agak berbeda. Bagi saya pribadi, Everything Everywhere at Once (2022) bukanlah film untuk saya. Saya masih jauh menyukai Doctor Strange in the Multiverse of Madness (2022) dibandingkan Everything Everywhere at Once (2022).

Sumber: http://www.marvel.com

Scream (2022)

Pada tahun 2022 ini hadir film kelima Scream yaitu Scream (2022). Yah film ini resminya tidak menggunakan angka di judulnya. Bukan Scream 5, tapi cukup Scream saja. Sama dengan judul film pertamanya, Scream (1996). Film tersebut disutradarai oleh Wesley Earl Craven dengan anggaran yang tidak terlalu besar. Diluar dugaan, Scream (1996) sukses besar dan meraup keuntungan besar. Genre slasher remaja bangkit dan menjamurlah film-film lain yang mirip dengan Scream (1996).

Sejak itulah, Wesley Early Craven kembali menghadirkan Scream 2 (1997), Scream 3 (2000), Scream 4 (2011). Lama kelamaan Scream pun menjadi franchise dan sebenarnya ada perencanaan mengenai Scream 5 dan Scream 6. Sayang Wesley Early Craven meninggal pada 2016. Proyek Scream 5 dan Scream 6 tak ada kabarnya.

Barulah 11 tahun setelah Scream 4 (2011) muncul, Scream 5 (2022) lahir tanpa kehadirab Wesley Earl Craven tentunya. Ceritanya berlatar belakang tepat setelah peristiwa pada Scream 4 (2011) terjadi. Pada keempat film Scream sebelumnya, Sidney Prescott (Neve Campbell) mengalami teror dari sosok misterius bertopeng hantu. Banyak teman dan rekan terdekat Sidney berguguran di sana. Paling tidak, Gale Weathers (Courteney Cox) dan Dewey Riley (David Arquette) ada 2 rekan dekat Sidney yang hadir di keempat film Scream dan masih selamat. Dewey, Gale dan Sidney sudah beberapa kali berhasil membuka kedok pembunuhan berantai oleh si topeng hantu. Setiap film Scream, memiliki tokoh antagonis yang berbeda. Mulai dari anak selingkuhan ibunya Sidney, istri selingkuhan ibunya Sidney, sepupu Sidney, sampai saudara kandung Sidney sendiri. Sidney, Sidney, Sidney, yaa semua berawal dan berputar pada masalah keluarga Sidney. Bagaimana dengan Scream (2022)?

Sudah saatnya peremajaan pada franchise ini. Mirip seperti yang franchise MCU dan Star Wars lakukan. Apalagi Scream banyak berbicara mengenai remaja. Jadi tokoh-tokoh utama lawas seperti Sidney dan kawan-kawan, sudah bukan menjadi pusat perhatian utama pada Scream (2022). Kehadiran Sidney seakan berfungsi sebagai pengantar kepada tokoh-tokoh baru yang masih muda. Perlahan, pusat segala masalah beralih kepada Sam Carpenter (Melissa Barrera).

Pada awalnya, Sam dan adiknya seolah menjadi target teror dari sang pembunuh bertopeng. Teman-teman dekat Sam pun menjadi target dan teror. Tak lupa karakter-karakter Scream lawas pun ada yang berguguran. Hanya saja, si tokoh antagonis pada Scream (2022) nampak lebih realistis ketika sedang beraksi. Tidak semua korban mereka langsung tewas. Beberapa diantaranya bahkan berhasil selamat walaupun dengan luka parah. Ini adalah hal yang bagus. Mengenakan pakaian yang menyeramkan, tidak serta merta membuat seseorang menjadi sakti bukan?

Sayangnya, Scream (2022) melakukan banyak kebodohan dasar ala Hollywood. Karakter antagonis jelas saja kalah. Ketika si karakter antagonis memiliki kesempatan untuk membunuh. Ia justru berbicara panjang lebar mengenai motif pembunuhan dan sebagainya. Ini berlangsung berkali-kali, ya jelas saja kalah. Otomatis motif pembunuhannya pun tidak didapatkan melalui penyelidikan. Yang patut disayangkan lagi adalah motif si karakter antagonis yang kurang wow. Sebenarnya Scream 4 (2011) pun yaaa seperti ini. Sangat berbeda dengan Scream (1996), Scream 2 (1997), Scream 3 (2000). Motif pembunuhan pada ketiga film tersebut benar-benar wah dan wow ;).

Beruntung kekalahan si pembunuh berantai terbilang sangat memuaskan untuk ditonton. Kekalahan yang sangat memuaskan dibandingkan kekalahan pada film-film Scream sebelumnya. Saya sangat suka dengan yang satu ini.

Kemudian selain itu, Scream (2022) memiliki keunggulan lain ketika penonton diajak menduga-duga, siapa pembunuhnya. Mirip seperti film-film Scream sebelumnya, si pembunuh adalah satu atau dua dari tokoh-tokoh utama yang dihadirkan. Mereka saling menggoda dan bergurau mengenai identitas sang pembunuh.

Dengan demikian, tanpa Wesley Early Craven, Scream (2022) layak untuk memperoleh nilai 3 dari skala maksimum 5 yang artinya “Lumayan”. Sudah pasti saya akan menonton film Scream berikutnya, yaitu film Scream yang keenam.

Sumber: http://www.screammovie.com

The Conjuring: The Devil Made Me Do It (2021)

The Exorcist (1973) merupakan salah satu contoh film horor yang sangat populer di Amerika sana. Pada intinya sih itu film mengenai kesurupan ala Amerika. Kemudian ada ritual pengusiran setan atau roh halus dari tubuh korban yang kesurupan. Film horor-horor sejenis ini banyak bergentayangan dan cukup membosankan bagi saya pribadi. Kesurupannya Indonesia lebih seram dan masif daripada itu :’D.

Semua sedikit bergeser ketika James Wan menelurkan The Conjuring (2013) dan The Conjuring 2: The Enfield Polteegeist (2016). Tokoh utamanya diambil dari karakter nyata di dunia nyata. Edward “Ed” Warren Miney dan Lorraine Rita Warren. Keduanya merupakan pasangam suami istri yang konon telah menyelidiki sampai 10000 kasus paranormal . Mereka bahkan memiliki koleksi akan berbagai benda paranormal dari beberapa kasus yang telah mereka tangani. Saya pribadi tidak terlalu peduli mengenai apakah ini berdasarkan kisah nyata atau tidak. Kalau sudah masuk film, sopasti ada yang diubah agar menarik untuk ditonton.

Yang menjadi kelebihan dari 2 film besutan James Wan tersebut terletak pada kedua karakter Ed dan Lorraine yang diperankan oleh Patrick Wilson dan Vera Varmiga. Lorraine memiliki kemampuan cenayang, sedangkan Ed menjadi otot yang menjadi tumpuan Lorraine. Kerjasama keduanya terbilang enak untuk diikuti. Apalagi The Conjuring (2013) dan The Conjuring 2: The Enfield Polteegeist (2016) bukan hanya kerasukan dan kesurupan saja. Ada misteri dan jalan cerita yang beragam di sana.

Kesuksesan kedua film Conjuring menelurkan berbagai film spinoff yang menceritakan mengenai hal-hal terkait kasus Ed dan Lorraine Warren. Tapi keabsedan tokoh Ed dan Lorraine membuat spinoff-spinoff tersebut terasa hambar. Apalagi mereka menggunakan jump scare tak penting yang tidak pernah digunakan James Wann pada 2 film Conjuring.

Setelah 5 tahun menanti, akhirnya lahirlah film ketiga Conjuring yaitu The Conjuring: The Devil Made Me Do It (2021). Ini bukan spinoff yaaa, ini Conjuring original :P. Namun sangat disayangkan, Kokoh James Wan tidak akan mengisi posisi sutradara lagi. Ia terlibat sebagai produser dan penulis, cie cieee udah jadi pak bos euy. Lalu siapa sutradaranya? Michael Chaves, salah satu sutradara film spinoff dari Conjuring. Aaahhh, di sini saya agak ragu…..

Beruntung trailer The Conjuring: The Devil Made Me Do It (2021) terlihat keren jadi perlahan saya lupa siapa sutradara film ketiga Conjuring ini. The Devil Made Me Do It merupakan salah satu judul berita di koran tahun 80’an. Isinya mengenai kasus persidangan pembunuhan. Eeeeeiiit tapi ini bukan kasus pembunuhan biasa. Untuk pertama kalinya dalam sejarah Amerika, kesurupan dijadikan alasan sebuah pembunuhan. Arne Cheyenne Johnson menyatakan bahwa ia dipengaruhi dan dikendalikan oleh setan ketika melakukan pembunuhan. Ed dan Lorraine pun hadir sebagai saksi ahli yang berusaha membuktikan bahwa Arne benar. Ed dan Lorraine berjuang di pengadilan berusaha membuktikan mengenai kesurupan setan. Sesuatu yang kontoversial dan bukan hal yang mudah. Nahhh ini adalah kisah nyata dari kasus tersebut. Isinya pengadilan saja dooong, seperti menonton Serial Law & Order duuong x_x.

Ok, beruntung versi filmnya dibuat berbeda. Karena tidak semua yang asli kisah nyata itu menarik untuk ditonton. Pada The Conjuring: The Devil Made Me Do It (2021), dikisahkan bahwa Ed dan Lorraine sedang menangani kasus kesurupan anak bungsu keluarga Glatzel. Arne Cheyenne Johnson (Ruari O’Connor) hadir sebagai kekasih si kakak. Di sana Arne ditampilkan sebagai pemuda baik hati yang sudah seperti menjadi bagian keluarga Glatzel. Maka tidak mengherankan ketika pada sebuah insiden, Arne menawarkan tubuhnya untuk dijadikan inang baru si setan. Arne tidak tega melihat penderitaan adik kekasihnya yang masih kecil.

Tak disangka, setan tersebut benar-benar menjadikan Arne sebagai inang yang baru. Ini sebenarnya lebih berbahaya karena kini si setan memiliki kendali atas tubuh seorang remaja, bukan anak kecil. Masalahnya, benarkah semua ini adalah udah setan? Untuk pertama kalinya Ed dan Lorraine harus berhadapan dengan lawan yang tidak 100% setan. Jangan apa-apa disalahakan ke setan dong, kasian amet jadi setan ;P.

Bak detektif paranormal, Ed dan Lorraine menelusuri berbagai petunjuk yang ada. Investigasi merupakan bagian yang paling saya suka dari film ini. Belum lagi terdapat unsur thriller yang bagus di sana. Penggunaan jump scare memang relatif lebih banyak dibanding 2 film Conjuring sebelumnya, tapi masih dalam batas wajar kok.

Terus terang saya lebih suka dengan The Conjuring: The Devil Made Me Do It (2021) ketimbang 2 film pendahulunya. Unsur misteri dan thriller-nya terasa lebih kental. Memang hal ini mengorbankan unsur horornya sih. Tapi toh yang dikorbankam itu horor kesurupan, ah saya ikhlas sajalah. Saya tidak terlalu terkagum-kagum dengan ritual pengusiran setan. Bosen ahhh, sekali-kali Ed & Lorraine pakai cara yang lainlah untuk menyelesaikan kasusnya.

Dengan demikian The Conjuring: The Devil Made Me Do It (2021) sudah selayaknya memperoleh nilai 4 dari skala maksimum 5 yang artinya “Bagus”. Ternyata keraguan saya kepada Mas Sutradara Michael Chaves terbukti salah. Saya ternyata cocok dengan caranya mengolah kasus Ed dan Lorraine, mangap ya Mas Chaves :).

Sumber: http://www.theconjuringmovie.net

Franchise Insidious (2010 – 2018)

Berawal dari kesuksesan Insidious (2010), lahirlah Insidious: Chapter 2 (2013), Insidious: Chapter 3 (2015) dan Insidious: The Last Key (2018). Produser mana yang tidak senang dengan film beranggaran rendah dengan profit setinggi langit. Hal itulah yang terus terjadi pada film-film Insidious. Tak heran kalau akan terus bermunculan film-film Insidious berikutnya. Insidious pun menjelma menjadi sebuah franchise yang terdiri dari banyak film. Sampai saat saya menulis tulisan ini, sudah ada 4 film Insidious yang dirilis dan Insidious: The Last Key (2018) adalah yang terbaru. Jadi kali ini saya akan membahas keempat film Insidious yang sudah dirilis.

Kalau dilihat dari urutan perilisan, memang Insidious: The Last Key (2018) adalah yang paling akhir muncul. Namun, kalau dilihat dari urutan waktu pada jalan ceritanya, film tersebut bukanlah yang terakhir. Beginilah urutan film-film Insidious kalau dilihat dari waktu. Semua diawali oleh Insidious: Chapter 3 (2015), kemudian diikuti oleh Insidious: The Last Key (2018), Insidious (2010) dan diakhiri oleh Insidious: Chapter 2 (2013). Wah acak-acakan yah :’D.

Pada dasarnya, keempat film tersebut mengisahkan kasus supranatural yang dihadapi oleh Elise Rainier (Lin Shaye) dan rekan-rekan. Elise merupakan paranormal handal yang menggunakan kemampuannya untuk menolong. Semua kasus yang ia hadapi berhubungan dengan dunia roh yang pada film ini disebut The Furher. Hanya roh orang-orang tertentu saja yang dapat pergi menuju The Futher. Pintu menuju sangat banyak dan tidak mengenal batasan waktu. Hal inilah yang menjadi daya tarik Insidious.

Supaya sesuai dengan urutan waktunya, mari kita mulai dari Insidious: Chapter 3 (2015) :). Pada awal film, dikisahkan bahwa Elise berhenti dari kegiatan supranatural karena ketakutannya akan sosok yang diramalkan akan menjadi lawan terberatnya. Sebuah sosok yang akan Elise hadapi pada Insidious (2010) dan Insidious: Chapter 2 (2013). Kekhawatiran akan kegagalan dan kematian terus menghantui Elise sampai hatinya tergerak untuk menolong seorang gadis yang mengalami gangguan supranatural. Disinilah awal mula Elise bertemu dengan kedua anak muda yang menjadi rekan barunya. Melalui kasus ini pulalah, Elise memperoleh kepercayaan dirinya kembali untuk terus menggunakan kekuatannya untuk kebaikan.

Kemudian pada Insidious: The Last Key (2018), Elise dan kedua rekan barunya, pergi ke kampung halaman Elise untuk menyelesaikan sebuah kasus. Yang menarik di sini adalah, lokasi kejadiannya adalah rumah masa kecil Elise. Di sini, Elise harus berhadapan kembali dengan masa lalunya yang kelam. Mau tak mau, kasus yang kini ia hadapi, berhubungan erat dengan masalah keluarga Elise.

Uniknya, detail kecil pada akhir dari Insidious: The Last Key (2018) menunjukkan asal mula dari segala bencana yang muncul pada Insidious (2010). Hanya saja, saya sendiri harus mengulang bagian akhirnya untuk mengerti hal tersebut. Inilah salah satu kelebihan dari film-film Insidious. Film yang satu bisa berkaitan dengan cara yang tidak terduga dengan film lainnya.

Hal yang sama pun terjadi pada Insidious (2010) dan Insidious: Chapter 2 (2013). Insidious: Chapter 2 (2013) menjelaskan beberapa kejadian misterius pada Insidious (2010). Kedua film ini memang sangat erat hubungannya karena pada kedua film inilah Elise dan kawan-kawan berhadapan dengan kasus yang sangat berat.

Insidious (2010) dan Insidious: Chapter 2 (2013) mengambil latar belakang setelah kejadian pada Insidious: The Last Key (2018). Kali ini dikisahkan bahwa keluarga Lambert mengalami gangguan supranatural sejak mereka pindah rumah. Kalau mengikuti pola film horor pada umumnya, ya sopasti si korban terus saja ada di rumah tersebut dan menghadapi teror-teror yang ada. Nah, keluarga Lambert melakukan hal yang sangat logis. Mereka langsung pindah rumah. Sayang, teror terus mengikuti mereka dimanapun mereka berada.

Elise dan kawan-kawan pun dipanggil untuk menolong. Sumber dari semua masalah tersebut ternyata merupakan sesuatu yang sangat jahat dan kuat. Sekilas, memang semua nampak klise ya. Akhir dari Insidious (2010) pun seolah membuat film ini mengikuti pola film horor pada umumnya. Semua berubah 180 derajat ketika saya menonton Insidious: Chapter 2 (2013). Kedua film tersebut memang merupakan kesatuan yang saling melengkapi.

Insidious (2010) dan Insidious: Chapter 2 (2013) hadir dengan jump scare dan sound effect ala film horor lawas yang bernada tinggi. Namun semuanya tidal nampak murahan sebab penggunaannya memang untuk bagian-bagian yang penting saja. Sentuhan James Wan sebagai sang sutradara memberikan perbedaan yang sangat nyata. Kedua film yang ia sutradarai ini berhasil memberikan kengerian dengan alur cerita yang tidak membosankan. Rasa penasaran terus menghantui saya ketika menonton film-film tersebut.

Bagaimana dengan Insidious: Chapter 3 (2015) dan Insidious: The Last Key (2018)? Walaupun skrip keempat film Insidious ditulis oleh orang yang sama, keduanya tidak disutradarai oleh James Wan. Sebenarnya, jalan cerita kedua film tersebut memiliki potensi yang besar. Sayang kok eksekusinya terasa sedikit hambar. Misterinya memang masih ada, hanya saja alur ceritanya tidak terlalu ngeri dan ada beberapa bagian yang cukup membosankan. Terus terang kualitas Insidious: Chapter 3 (2015) dan Insidious: The Last Key (2018) berada di bawah Insidious (2010) dan Insidious: Chapter 2 (2013). Bisa jadi, semua karena perbedaan siapa sutradaranya.

Hal-hal diataslah yang membuat saya hanya dapat memberikan Insidious: Chapter 3 (2015) dan Insidious: The Last Key (2018), nilai 3 dari skala maksimum 5 yang artinya “Lumayan”. Sedangkan untuk Insidious (2010) dan Insidious: Chapter 2 (2013), saya ikhlas untuk memberikan nilai 4 dari skala maksimum 5 yang artinya “Bagus”. Kabarnya, film Insidious kelima akan hadir dengan judul Insidious: Death’s Lair. Melihat trend, semakin menurunnya kualitas film-film Insidious, saya ragu apakah film kelima tersebut dapat mengulang kesuksesan film pertama dan keduanya? Kita lihat saja nanti ;).

Sumber: http://www.sonypictures.com

 

The Wailing (2016)

The Wailing (2016) atau 곡성 merupakan film asal Korea Selatan dengan latar belakang pedesaan yang masih asri. Kedamaian desa tersebut terusik ketika beberapa penduduk ditemukan tewas dengan kondisi yang mengenaskan. Pembunuhan dilakukan oleh salah satu penghuni rumah, kepada penghuni rumah yang lain. Hal ini terus terjadi dari 1 rumah ke rumah lainnya. Dugaan sementara, hal ini terjadi karena keracunan jamur liar. Sekilas seperti film misteri pembunuhan bukan? Sampai di sini saya memandang The Wailing (2016) sebagai film detektif.

Semakin lama, penyelidikan kasus ini mengarah kepada ritual-ritual misterius yang dilakukan oleh seorang penghuni baru. Hadir pula cenayang lengkap dengan upacara-upacara perdukunan ala-ala Korea. Sesuatu yang belum pernah saya. Baiklah, seketika itu pulalah The Wailing (2016) berubah menjadi film horor. Ini bisa jadi merupakan berita buruk bagi saya pribadi.

Mayoritas film-film horor Jepang dan Korea memiliki akhir yang …… yah begitulah. Fokus utama mayoritas film-film tersebut bukanlah memberikan kengerian atau ketakutan, melainkan kesedihan dan keputusasaan. Sayangnya, The Wailing (2016) memang mengikuti pakem tersebut. Sesuatu yang kurang saya sukai dari sebuah film.

Padahal jalan cerita The Wailing (2016) terbilang memikat. Penonton beberapa kali dibuat menerka-nerka siapa dan apa yang terjadi di desa tersebut. Kebenaran yang diungkap pun, diluar dugaan saya. Meskipun untuk mengetahui kebenaran tersebut, saya harus menonton The Wailing (2016) dengan durasi sekitar 2 jam. Wow, lama juga ya hehehehe.

Ada beberapa bagian dari film ini yang membuat saya mengantuk. Mengantuk adalah sebuah kesalahan, sebab The Wailing (2016) memiliki detail yang menarik. Saya jadi harus mengulang menonton beberapa bagian agar faham betul akhir dari film ini. Bagian akhir film tidak dijelaskan secara gamblang. Hanya ada kesedihan dan keputusasaan di sana. Terlebih lagi The Wailing (2016) berhasil membuat saya peduli terhadap keluarga si tokoh utama. Aahhh sebuah akhir yang mudah ditebak bagi orang-orang yang sudah beberapa kali menonton film horor Jepang dan Korea.

Saya pribadi hanya dapat memberikan The Wailing (2016) nilai 4 dari skala maksimum 5 yang artinya “Bagus”. Saya tetap kurang suka dengan bagaimana The Wailing (2016) berakhir. Kelebihan film ini adalah pada misteri, jalan cerita dan karakternya.

Sumber: http://www.foxkorea.co.kr