Serial Kingdom

Mengambil latar belakang era kekuasaan Dinasti Joseon di Korea, Serial Kingdom (킹덤) berbicara mengenai perebutan kekuasaan. Pertikaian memperebutkan kekuasaan memang sudah sering menjadi topik yang diangkat pada berbagai film lainnya. Agak berbeda dengan yang lain, Kingdom menambahkan unsur misteri dan horor ke dalam perebutan kekuasaan tersebut.

Diawali oleh kegagalan invasi Jepang ke wilayah Korea pada Perang Imjin. Korea berhasil bertahan namun dengan cara yang tidak lazim. Cara ini pun dipergunakan oleh petinggi kerajaan demi memperoleh kekuasaan. Cara yang tidak lazim ini melahirkan sebuah penyakit yang ganas dan sulit untuk dibendung.

Penderita penyakit misterius ini akan berperilaku seperti layaknya mayat hidup atau zombie. Penyakit ini sangat mudah menular karena dapat menyebar melalui gigitan. Apalagi para zombie pada Kingdom, dapat berlari dengan sangat agresif. Hal ini menambah ketegangan ketika menonton serial tersebut.

Dari banyak karakter licik dan kejam yang ada, paling tidak terdapat 1 tokoh mulia pada serial ini. Sang Putra Mahkota Lee Chang (Ju-Ji-hoon) memiliki ambisi untuk membangun pemerintahan yang adil dan memihak rakyat. Namun, cepat lambat ia tidak akan memiliki rakyat apabila para zombie masih berkeliaran menularkan penyakit.

Dengan dibantu oleh beberapa pihak tidak semuanya 100% setia, Chang harus memusnahkan para zombie dan mengamankan tahta kerajaan dari para pejabat kotor. Perlahan misteri mengenai penyakit zombie mulai terkuak. Sebuah misteri yang tidak terlalu misterius. Namun jalan yang ditempuh untuk memecahkan misterinyalah yang menyenangkan untuk ditonton.

Perebutan kekuasaannya pun menggunakan beberapa fitnah dan taktik licik lainnya. Semuanya dalam takaran yang pas sehingga saya tidak bosan ketika melihat Chang tertimpa kemalangan. Si tokoh utama tidak dizalimi terlalu lama. Kisah Kingdom tidak bertele-tele seperti sinetron. Selalu ada saja sesuatu yang baru. Jadi saya menemukan beberapa bagian yang menyenangkan ketika menonton Kingdom.

Saya pribadi ikhlas untuk memberikan Kingdom nilai 4 dari skala maksimum 5 yang artinya “Bagus”. Perebutan tahta kerajaan di tengah-tengah serangan zombie, ternyata mampu menjadi hiburan yang menarik.

Sumber: astory.co.kr

Top Gun: Maverick (2022)

Top Gun (1986) adalah film yang memperkenalkan nama Tom Cruise kepada saya. Itulah film Cruise pertama yang saya tonton di RCTI ketika masih kecil dulu. Yaaah, tahum 1986 saya masih berbentuk apaaaa, sopasti saya belum bisa ke bioskop hehehehe. Top Gun (1986) cukup berkesan karena film tersebut adalah film pertempuran pesawat tempur terbaik yang pernah saya tonton. Gelar itupun masih melekat sampai sekarang. Otomatis Top Gun: Maverick (2022) menjadi salah satu film yang ingin saya tonton. Wah dari 1986 sampai 2022 itu 36 tahun loh, cukup lama juga yaa.

Top Gun sendiri merupakan sekolah pilot khusus bagi para pilot terbaik di Amerika Serikat. Jadi, yang sekolah di sana sudah pasti menjadi pilot yang terbaik dari yang terbaik. Pada Top Gun (1986), Pete “Maverick” Mitchell (Tom Cruise), Tom “Iceman” Kazansky (Val Kilmer), dan Nick “Goose” Bradshaw (Anthony Edwards) sama-sama belajar di Top Gun. Iceman dan Maverick bersaing ketat untuk menjadi lulusan terbaik Top Gun. Dalam prosesnya, Goose gugur ketika sedang menjadi pendamping Maverick dalam sebuah kompetisi melawan Iceman. Hasil investigasi menunjukkan hal ini adalah sebuah kecelakaan, bukan human error. Maverick terguncang dan masih memendam kesedihan dan rasa bersalah bahkan sampai bertahun-tahun kemudian.

Pada Top Gun: Maverick (2022), dikisahkan bahwa Maverick sudah menjadi legenda. Ia berhasil menjadi lulusan Top Gun yang paling berprestasi. Ketika Amerika harus melakukan misi yang hampir mustahil, Maverick pun dipanggil untuk kembali ke Top Gun. Bukan untuk menjadi pilot, melainkan untuk melatih. Pilot-pilot muda terbaik yang sudah lulus dari Top Gun dipanggil kembali untuk dilatih oleh Maverick. Pilot-pilot muda inilah yang harus melaksanakan misi berbahaya tersebut. Diantara pilot-pilot muda tersebut hadir Bradley “Rooster” Bradshaw (Miles Teller), anak dari mendiang Goose.

Tentunya di sana akan terlihat konflik yang menarik antara Rooster dengan Maverick. Tak lupa terdapat pula konflik klasik ala Top Gun antara Rooster dengan Jake “Hangman” Seresin (Glen Powell). Sayang konflik cinta-cintaan Maverick dengan sang mantan agak basi :’D. Tak bisa dipungkiri lagi bahwa konflik-konflik di atas menyatakan bahwa Top Gun: Maverick (2022) bukan hanya film perang saja. Ada cerita dibalik segala pertempuran pesawat tempur di angkasa.

Bagian terbaik dari film ini tetaplah pada bagian perangnya. Yaaah namanya juga film perang hehehehe. Pertempuran pesawat tempur pada Top Gun: Maverick (2022) terbilang seru dan bagus sekali. Bagian inilah yang paling saya suka dari Top Gun: Maverick (2022). Bagi saya pribadi, saat ini, film inilah film dengan adegan peperangan pesawat tempur terbaik, menggeser Top Gun (1986).

Dengan adegan peperangan yang keren, ditambah cerita yang lumayan ok. Tentunya Top Gun Maverick (2022) sudah sepantasnya untuk memperoleh nilai 4 dari skala maksimum 5 yang artinya “Bagus”. Semoga saya tidak perlu menunggu 36 tahun untuk menonton film ketiga Tom Gun hehee.

Sumber: http://www.topgunmovie.com

The Hunt for Red October (1990)

Saya mengenal nama Tom Clancy dari beberapa video game besutan Ubisoft yang belum pernah saya mainkan, tidak punya console-nya, hehee. Yang pasti temanya pastilah soal militer. Video-video game tersebut tentunya dibuat berdasarkan novel karangan Tom Clancy. Tidak hanya video game, novel Opa Clancy juga sudah lama merambah dunia film layar lebar. Saya sendiri pernah membahas Jack Ryan: Shadow Recruit (2014), salah satu film yang dibuat berdasarkan novel Tom Clancy. Tapi Jack Ryan: Shadow Recruit (2014) bukanlah yang pertama. The Hunt for Red October (1990) merupakan film pertama yang dibuat berdasarkan novel Tom Clancy dengan judul yang sama. Film ini menampilkan 2 nama besar pada era tahun 90-an yaitu Sean Connery & Alec Baldwin.

Sean Connery berperan sebagai Marko Ramius, seorang Kapten kapal selam Uni Soviet yang sangat terkenal di dunia militer. Ia sangat dihormati dan berhasil melatih kapten-kapten kapal selam handal bagi Uni Soviet. Dengan reputasinya yang gemilang, Ramius diberi kepercayaan untuk memimpin para awak dari kapal selam terbaru Uni Soviet, yaitu Red October.

Sementara itu Jack Ryan (Alec Baldwin) merupakan analis intelejen CIA yang cerdas. Ia melihat bahwa terdapat kemungkinan bahwa Ramius bermaksud untuk membelot dari Uni Soviet. Menurut Ryan, Red October hendak Ramius berikan kepada pihak Amerika Serikat yang pada saat itu menjadi rival terberat Uni Soviet.

Latar belakang film ini adalah era perang dingin antara Amerika Serikat dengan Uni Soviet sebelum era kepemimpinan Mikhail Gorbachev. Kedua negara bersaing keras dalam berbagai bidang, tapi tidak secara langsung berperang saling baku hantam. Unsur politis ini pun berhasil diolah menjadi sesuatu yang menarik pada The Hunt for Red October (1990). Politisi dari kedua belah pihak saling berargumen mengenai hal-hal yang sebenarnya terjadi di Samudra Atlantik. Kesalahan berbicara sedikit saja dapat memicu perang dunia ketiga.

Apa yang sebenarnya terjadi di Samudra Atlantik? Ramius melakukan beberapa aksi di luar perintah atasannya. Akibatnya Uni Soviet Mengirim hampir semua kapal selamnya untuk mengejar Red October yang dipimpin Ramius. Pihak Amerika sendiri kebingungan. Apakah Ramius nekat hendak melakukan aksi agresi militer ke dalam wilayah Amerika Serikat? Apakah Ramius datang dengan damai dan hendak bergabung dengan Amerika Serikat?

Selain itu, aksi Ramius tentunya berpotensi menimbulkan pemberontakan di antara para awak Red October. Belum lagi terdapat agen KGB di dalam Red October. Penghianatan di dalam dan luar Red October memang menghantui film ini

Berbagai konflik yang ada berhasil ditampilkan dengan seru dan mudah dimengerti. Walaupun terbilang minim adegan perang, The Hunt for Red October (1990) berhasil memberikan atmosfer ketegangan yang menarik disepanjang film.

Saya pribadi ikhlas untuk memberikan The Hunt for Red October (1990) nilai 4 dari skala maksimum 5 yang artinya “Bagus”. Pantas saja setelah The Hunt for Red October (1990), novel Tom Clancy terus dibuat versi layar lebarnya.

Sumber: http://www.paramount.com

The Admiral: Roaring Current (2014)

The Admiral: Roaring Current (2014) merupakan film Korea yang mengisahkan pertempuran Myeongnyang antara Kekaisaran Jepang dengan dinasti Joseon dari Korea. Kekaisaran Jepang secara khusus mengirim Kurushima Michifusa (Ryu Seung-ryong), si raja bajak laut. Sementara itu armada Korea dipimpin oleh Laksamana Yi Sun-sin (Choi Min-sik). Sejarah mencatat Yi Sun-sin (명량) sebagai Laksamana terbaik yang dinasti Joseon miliki. Kesuksesan Yi beberapa kali membuat banyak orang iri dan membuat Yi kehilangan jabatan dan dibuang. Politik di dalam dinasti Joseon yang pada saat itu memang agak kotor. Bahkan Laksamana secakap Yi beberapa kali mendapatkan hukuman atas kesalahan yang tidak ia perbuat. Namun karena reputasi dan kemampuan militernya, Yi selalu mendapatkan kembali jabatannya.

Jasa terbesar Yi bagi Korea adalah kemampuannya menghadapi invasi Jepang yang digaungkan Toyotomi Hideyoshi. Yi diangkat sebagai pemimpin tertinggi angkatan laut dinasti Joseon. Sementara Yi terus mememangkan pertempuran di laut, tentara Korea terus mengalami kekalahan di darat. Karena sikapnya yang keras dan lagi-lagi politik, Yi difitnah dan disingkirkan dari angkatan laut. Padahal pada saat itu Jepang berjaya di darat dan sukses membuat pemerintah Korea melarikan diri dari ibukota. Korea hanya menang di laut.

Di bawah komando laksamana lain, angkatan laut Korea hancur lebur dan selalu kalah. Apa yang kemudian para pemimpin Korea lakukan? Kembali memanggil Yi untuk memimpin angkatan laut lagi :’D. Hanya saja, saat Yi kembali menjabat, Korea hanya memiliki 12 kapal perang saja, ditambah 1 kapal perang spesial yang Yi desain.

Melalui sebuah aksi desersi, Yi kehilangan kapal perang spesial terakhirnya. Kondisi Korea semakin berat. Kali ini Yi bahkan tidak dapat menggunakan kapal perang andalannya, geobukseon atau kapal perang kura-kura. Dahulu, Yi berhasil memenangkan berbagai pertempuran laut dengan menggunakan kapal tipe ini. Bentuknya unik karena bagian atas kapal bentuknya tertutup seperti rumah kura-kura.

Sekarang, Yi mau tak mau harus memanfaatkan 12 kapal perang terakhir yang ia miliki untuk menahan laju invasi Jepang. Pihak Jepang sendiri membawa 133 kapal perang yang dipimpin oleh Kurushima dan 2 laksamana Jepang lainnya. Jadi pertempuran kali ini adalah 12 melawan 133, sangat tidak berimbang yaa. Pemimpin Korea kala itu, sampai hendak membubarkan saja angkatan lautnya. Bisa apa dengan 12 kapal saja?

Dengan cerdiknya, Yi memilih wilayah Myeongnyang sebagai lokasi pertempuran. Arus laut di sana memiliki karakteristik unik yang pihak Jepang tidak ketahui. Inilah kunci kesuksesan Yi agar 12 kapal perangnya dapat mengatasi 133 kapal perang Jepang.

Durasi The Admiral: Roaring Current (2014) lumayan panjang, 2 jam loh. Pada sekitar 1 jam pertama, tempo film ini berjalan lambat. Dikisahkan bahwa terdapat keraguan di dalam anak buah Yi sendiri. Kemudian setelah beberapa kali dibuang, kenapa Yi masih tetap sudi membela dinasti Joseon. Agak drama sih. Sampai-sampai saya ragu ini film ada perangnya atau tidak ya. Jangan-jangan isinya hanya politik dan persiapan perang saja @_@.

Ternyata saya salah besar, sekitar 1 jam terakhir pertempuran Myeongnyang benar-benar dikisahkan dengan cara yang sangat bagus. Adu taktik perangnya benar-benar seru. Jarang-jarang ada film kerajaan yang mengisahkan taktik perang laut sebaik ini loh. Saya sangat suka dengan bagian ini, keeren.

Apalagi kostum-kostum pada film ini terbilang bagus, terutama yang dipergunakan pihak Jepang. Para pejabat kekaisaran tampil dengan aneka kostum tradisional Jepang yang berwarna-warni. Memang agak kontras dengan kostum perang tentara Korea yang hanya itu-itu saja.

Kemudian yang perlu digarisbawahi juga adalah akting Choi Min-sik sangat bagus disana. Ia berhasil memerankan sosok Laksamana Yi yang keras dan pantang menyerah disaat Yi sudah menua dan sakit sekalipun. Beberapa tindakan Yi memang ekstrim tapi di sana ditunjukkan pula bagaimana ia merasa bersalah akan keputusan yang ia buat. Mulai dari mimik sampai intonasi, semuanya benar-benar bagus sekali.

The Admiral: Roaring Current (2014) sudah sepantasnya memperoleh nilai 4 dari skala maksimum 5 yang artinya “Bagus”. 2 jempol deh untuk film ini, kereen.

Sumber: m.cjem.net

Serial Rise of Empires: Ottoman

Kisah kejayaan Kesultanan Ottoman Turki tentunya sudah melegenda dan diceritakan dalam berbagai bentuk. Salah satunya pernah saya bahas pada Fetih 1453 (2012). Sebuah film Turki yang mengisahkan penaklukan Konstantinopel oleh Kesultanan Ottoman dibawah kendali Sultan Mehmed II. Bertahun-tahun kemudian, saya kembali menonton kisah penaklukan tersebut namun dalam bentuk film seri Rise of Empires: Ottoman. Mana yang lebih bagus ya?

Karena hadir berbentuk mini seri maka Rise of Empires: Ottoman akan memiliki lebih banyak durasi untuk menampilkan detail-detail kejayaan Ottoman tersebut. Kesultanan Ottoman memamg sempat menguasai banyak wilayah. Namun lambang kejayaan Ottoman memang terlihat ketika mereka mampu menaklukkan Kota Konstantinopel yang pada saat itu dikuasai oleh Kerajaan Romawi Timur atau Bizantium. Kota tersebut dikenal sebagai kota dengan berbagai lapisan pertahanan yang sulit ditembus.

Detail mengenai strategi perang antara Bizzantium dan Ottoman dibahas dengan detail pada serial ini. Taktik jenius Sultan Mehmed II (Cem Yiğit Üzümoğlu) yang memindahkan armada laut lewat jalan darat, dibahas dengan jelas disana. Menonton Rise of Empires: Ottoman, tak ubahnya seperti menonton pelajaran sejarah dengan cara yang menyenangkan.

Penggunaan narasi dari berbagai ahli sejarah, semakin memperkuat unsur dokumenter dari Rise of Empires: Ottoman. Jangan kaget kalau pada beberapa bagian film, terdapat beberapa ahli sejarah yang memberikan komentar sekaligus tambahan detail akan apa yang sedang terjadi. Sungguh menarik, sebab ada beberapa hal yang saya baru ketahui. Melalui film ini, saya memperoleh gambaran yang lebih luas mengenai berbagai alasan kenapa Konstantinopel dapat dikuasi Ottoman.

Saya rasa tidak ada pihak yang digambarkan sebagai penjahat pada Rise of Empires: Ottoman. Kaisar Konstantin XI (Tommaso Basili) tampil sebagai kaisar terakhir Kerajaan Bizantium yang berusaha bertahan. Ia tidak digambarkan sebagai seorang pemimpin yang kejam atau jahat. Sultan Mehmed II pun hadir dengan sangat manusiawi dengan berbagai kelebihan dan kekurangannya sebagai manusia biasa. Film ini tentunya banyak sekali membahas gejolak yang harus Mehmed II hadapi ketika memimpin.

Sayangnya, pembahasan mengenai konflik internal antara Mehmed II dan penasihat utamanya, ditampilkan terlalu banyak. Sejak masih bergelar putra mahkota, Mehmed II memang sudah berambisi untuk menaklukkan Konstantinopel. Hal ini ditentang oleh penasihat utama kerajaan. Selain itu terdapat berbagai hal yang menyebabkan keduanya memiliki banyak perbedaan, tapi tetap saling membutuhkan. Kemudian diperlihatkan pula mengenai keberadaan mata-mata dan pejabat kerajaan yang saling main mata. Hal-hal yang rasanya tidak terlalu penting dan kurang menarik. Bagian ini membuat saya agak mengantuk hehehehe. Rasanya akan lebih menarik bila konflik antara Bizantium dengan Paus dibahas dengan lebih detail. Krisis ekonomi dan perbedaan faham dengan kerajaan-kerajaan Eropa yang tunduk kepada Paus, rasanya hanya memperoleh porsi yang relatif kecil.

Porsi penampilan Kaisar Konstantin XI pun tidak sebanyak tokoh Giovanni Giustiniani (Birkan Sokullu). Namun hal ini masih masuk akal sebab Giustiniani merupakan pemimpin pertahanan Konstantinopel. Jadi, kalau dalam pengaturan strategi peperangan, Giustiniani-lah tokoh yang berhadapan langsung dengan Sultan Mehmed II.

Saya sadar bahwasanya akan selalu ada perdebatan dalam berbagai hal, termasuk sejarah. Detail-detail kecil pada Rise of Empires: Ottoman memang menunjukkan ketidaksempurnaan Sultan Mehmed II Sang Al-Fatih. Pada serial yang satu ini, Sultan Mehmed II memang tidak tampil sebagai mahluk sempurna. Namun itu tidak menghapus kegigihan dan kejeniusan beliau dalam menaklukan Konstantinopel. Julukan Al-Fatih memang pantas untuk diberikan kepadanya.

Saya rasa, Rise of Empires: Ottoman dapat dijadikan tontonan yang menghibur sekaligus mendidik bagi penonton dewasa. Terdapat beberapa bagian yang kurang pas untuk ditonton oleh anak-anak tapi tidak separah Fetih 1453 (2012). Film seri Turki yang satu ini masib setingkat lebih baik daripada Fetih 1453 (2012). Serial Rise of Empires: Ottoman masih layak untuk memperoleh nilai 3 dari skala maksimum 5 yang artinya “Lumayan”.

Sumber: http://www.netflix.com/id-en/title/80990771

Shadow (2018)

Shadow (2018) atau 影 bukanlah film yang saya nanti-nantikan untuk saya tonton. Keberadaan film inipun baru saya ketahui beberapa minggu yang lalu, hohohohoho. Secara tidak terduga, film Tiongkok yang satu ini ternyata memberikan visual yang cantik sekali. Nuansa yang didominasi oleh warna hitam putih, ternyata mempu memberikan perasaan yang senada dengan tema cerita Shadow (2018).

Konon pada zaman dahulu kala, wilayah Cina terbagi ke dalam berbagai kerajaan. Kerajaan Pei dan Kerajaan Yang merupakan 2 kerjaan yang sempat memperebutkan Kota Jingzhou. Entah apa alasannya, kota yang satu ini seolah-olah menjadi sebuah lambang kejayaan bagi Kerajaan yang menguasainya. Pada awal cerita, dikisahkan bahwa Kerajaan Yang berhasil menguasai Kota Jingzhou. Sementara itu, raja dari Kerajaan Pei berusaha sekuat tenaga agar perdamaian antara Kerajaan Yang dengan Kerajaan Pei dapat tetap terjaga, dengan mengikhlaskan Kota Jingzhou. Tidak semua pihak setuju dengan kebijakan raja Kerajaan Pei yang terlihat lemah. Panglima besar Kerajaan Pei bahkan berani menentang titah rajanya dengan menantang raja Kerajaan Yang untuk melakukan duel 1 lawan 1.

Lalu, dimana Shadow-nya?? Wkwkwkwkwk. Nah, konon para pejabat pemerintahan menggunakan orang lain untuk menyamar sebagai diri mereka. Hal ini dilakukan untuk mencapai berbagai tujuan tertentu. Diantara pejabat pemerintahaan Kerajaan Pei, terdapat seorang shadow atau bayangan yang sedang menyamar. Hal ini membuat 15 menit pertama Shadow (2018) nampak membingungkan. Lama kelamaan nampak betapa rumitnya politik dan intrik yang Shadow (2018) suguhkan. Hal inilah yang menjadi daya tarik Shadow (2018). Saya sangat menikmati bagaimana cerita pada Shadow (2018) berjalan.

Film ini disutradarai oleh Zhang Yimou yang sukses membesut House of Flying Dagger (2004) dan Hero (2002). Dua film yang banyak menuai pujian tapi kurang saya sukai hehehehe. Kali ini, saya senang dengan film garapab Opa Zhang. Shadow (2018) penuh intik dan kejutan, disertai oleh visual yang sangat cantik. Adegan aksi ala kung-fu-nya pun terbilang lumayan keren. Saya rasa Shadow (2018) sudah sepantasnya memperoleh nilai 4 dari skala maksimum 5 yang artinya “Bagus”. Ini merupakan salah satu film Tiongkok terbaik yang pernah saya tonton.

Sumber: http://www.le.com

Da 5 Bloods (2020)

Beberapa minggu yang lalu, terjadi peristiwa berdarah berbau rasial nun jauh di Amerika sana. Mungkin teman-teman sudah pernah membaca bagaimana kematian George Floyd membuahkan demonstrasi di penjuru Amerika. Kasus tersebut di nilai berbau diskriminasi kepada orang-orang berkulit hitam dan berhasil semakin mempopulerkan gerakan “Black Lives Matters”. Gerakan ini merupakan buah dari diskriminasi rasial warga Amerika berkulit hitam atau Afro-Amerika, yang terjadi sudah sejak lama sekali.

Kehadiran Da 5 Blood (2020) terasa relevan dengan kondisi saat ini. Film karya Spike Lee ini berbicara lantang mengenai diskriminasi yang dialami oleh warga Amerika berkulit hitam di era Perang Vietnam. Spike Lee yang juga merupakan sutradara Amerika berkulit hitam seolah ingin membeberkan berbagai kenyataan pahit yang terjadi pada saat perang Vietnam berlangsung.

Mirip seperti beberapa film Spike sebelumnya, Da 5 Blood (2020) memberikan sedikit cuplikan dan foto terkait kejadian yang benar-benar terjadi. Saya rasa hanya satu atau dua saja yang terlihat sadis, tapi hal itu cukup untuk membuat saya teringat bahwa Da 5 Blood (2020) bukanlah film keluarga.

Aw kenapa film keluarga? Bagian awal Da 5 Blood (2020) membuat saya mengira bahwa film ini hanya akan mengisahkan nostalgia dan kekeluargaan diantara veteran perang Vietnam berkulit hitam. Dikisahkan bahwa terdapat 4 veteran perang Vietnam yang datang kembali ke Vietnam untuk mengambil jasad kawan mereka. Itulah mengapa judul film ini Da 5 Blood. Yang dimaksud dengan 5 Blood ada 5 prajurit Amerika berkulit hitam yang berpuluh-puluh tahun lalu bertempur bersama di Vietnam. Sayang pimpinan mereka gugur, dan keempat prajurit yang tersisa hanya dapat mundur dan menyelamatkan diri.

Belakangan keempat veteran tersebut ternyata memiliki motif lain, yaitu mencari emas batang yang dahulu mereka simpan di tengah hutan. Yaaah, mengambil jasad sekaligus mengambil emas :).

Di sana terlihat bahwa masing-masing individu memiliki masalah masing-masing yang dapat memicu konflik internal. Emas dan harta memang dapat mempengaruhi seseorang. Belum lagi terdapat karakter-karakter lain yang baru berdatangan di pertengahan cerita. Seketika Da 5 Blood (2020) seakan berubah menjadi film petualangan perburuan harta karun yang menguji persahabatan di antara tokoh-tokoh utama.

Diskriminasi dan konflik internal yang mereka alami memang menjadi topik utama Da 5 Blood (2020). Namun saya lihat ada 1 pesan lagi yang film ini coba angkat. Keberadaan ladang ranjau di wilayah bekas perang, masih terus memakan korban. Banyak korban kehilangan organ tubuhnya akibat ranjau. Yang lebih memilukan lagi adalah apabila korbannya merupakam anak-anak kecil yang tak berdosa.

 

Da 5 Blood (2020) berhasil menyampaikan berbagai pesan dengan baik, rapi dan tidak membosankan. Film ini berhasil membuat saya tertarik untuk mengikuti ceritanya sampai habis. Saya rasa pesan yang Spike Lee coba sampaikan, cukup mengena. Banyak hal-hal yang mengenai perang Vietnam yang baru saya ketahui, terutama terkait peranan tentara Amerika berkulit hitam di sana. Film ini layak untuk memperoleh nilai 4 dari skala maksimum 5 yang artinya “Bagus”.

Sumber: http://www.netflix.com/id-en/title/81045635

Baahubali: The Beginning (2015) & Baahubali 2: The Conclusion (2017)

Kali ini saya akan membahas salah satu film India dengan biaya termahal sepanjang sejarah India yaitu Baahubali: The Beginning (2015) & Baahubali 2: The Conclusion (2017). Konon kedua film ini menggunakan special effect dan kostum yang terbaik pada masanya.

Kedua film Baahubali karya sutradara S. S. Rajamouli ini mengisahkan bagaimana 2 Baahubali menghadapi persaingan dan perebutan tahta Kerajaan Mahespati. Di dunia nyata, Kerajaan Mahespati memang benar-benara ada, namun lokasi dan sejarah konkretnya masih agak kabur. Nah kedua film ini mengisahkan versi imajinatif dari Mahespati. Maka otomatis semua kisah di dalamnya merupakan fantasi belaka. Di sana terdapat Mahendra Baahubali dan Amarendra Baahubali yang sama-sama diperankan oleh Prabhas. Inilah tokoh utama dari film garapan S. S. Rajamouli tersebut.

Sebagai salah satu calon pewaris tahta Kerajaan Mahespati, Amarendra Baahubali harus menghadapi berbagai taktik licik yang dilancarkan oleh sepupunya sendiri, Bhallaladeva (Rana Daggubati). Tahta sebuah kerajaan bukan hanya singgasana dan gelar saja. Baahubali berhasil menjadi raja di hati sebagian besar rakyat Mahespati, walaupun ia belum diangkat menjadi raja.

Amarendra tewas melalui sebuah penghianatan dari orang terdekatnya. Hal inilah yang seolah dijadikan sebuah misteri. Siapa dan kenapa? Bukankah Amarendra Baahubali sudah berbuat baik kepada semua orang?

Anak dari Amarendra Baahubali, yaitu Mahendra Baahubali berhasil lolos dari rencana pembunuhan. Ia kemudian dibesarkan di sebuah desa kecil tak jauh dari ibukota Mahespati. Ketika sudah beranjak dewasa, takdir membawa Mahendra Baahubali menuju ibukota Mahespati untuk membalas dendam dan merebut tahta dari keluarga Bhallaladeva yang sudah puluhan tahun menawan ibu dari Mahendra Baahubali di istana.

Aaahhh, sebuah kisah zero to hero yang sudah berkali-kali dikisahkan di film lain. Hanya saja yaaa film ini menggunakan latar belakang keraajan India dan kisahnya dilakukan secara flashback. Apakah cara penceritaan flashback ini merupakan sebuah masalah? Tidak. Tapi hal ini bukan pula merupakan kelebihan.

Terlalu banyak titik lemah pada cerita di kedua film ini. Sejak awal cerita, penonton tentunya sudah mengetahui bahwa Amarendra Baahubali telah gugur. Bagaimana ia gugur digunakan sebagai cara untuk memikat penonton agar terus menonton cerita Baahubalu yang sangat panjang sampai-sampai dipecah menjadi 2 film. Sayang alasan dan bagaimana Amarendar gugur, terasa kurang kuat dan yaaah hanya begitu saja, tidak spesial atau fenomenal.

Kemudian alasan kenapa kok ibunda Mahendra Baahubali sampai dirantai puluhan tahun di pelataran istana, terlalu dibuat-buat. Saya tidak melihat alasan yang kuat bagi Bhallaladeva sampai menyiksa seorang wanita seperti itu. Toh wanita tersebut pernah Bhallaladeva jadikan sebagai alat untuk mencurangi Amarendra Baahubali.

Taktik licik yang Bhallaladeva dan keluarganya lancarkan kok ya mengingatkan saya akan taktik licik ala opera sabun yah. Saya teringat akan kelicikan-kelicikan tokoh antagonis pada beberapa sinetron dan telenovela yang pernah saya tonton ketika saya masih kecil :’D.

Kemudian cara Mahendra membalas dendam pun sangat dapat ditebak. Taktik perang yang dijalankan terbilang absurd dan jauh dari akal sehat. Kalaupun saya menganggap bahwa Baahubali di sini adalah manusia super sakti, yaah taktik pada bagian akhir tersebut tetap saja terasa aneh.

Syukur adegan perang besar antara Kerajaan Mahesapati melawan Kerajaan Kalakeya terbilang sangat menghibur. Adegan tersebut menampilkan sebuah perang kolosal dengan special effect yang baik. Sayang penggunaan special effect pada beberapa bagian perkelahian lainnya, terasa kurang pas dan terlalu mengada-ada. Sementara penggunaan special effect untuk memvisualisasikan Mahespati, sudah nampak halus dan bagus.

Kedua film inipun memiliki lagu dan adegan joget-joget ala India. Bagian inilah yang selalu saya lewatkan ketika sedang menonton film India hehehehe, bukan hanya ketika menonton film ini. Yaaah, adegan musikalnya terbilang biasa saja, jadi yaaa saya skip :’D. Kalau joget dan nyanyiannya seperti The Greatest Showman (2017) sih sopasti saya tonton dan tidak akan saya skip atau lewati.

Baahubali: The Beginning (2015) & Baahubali 2: The Conclusion (2017) berada di bawah ekspektasi saya. Saya yang sebenarnya suka dengan film-film kerajaan dengan tema zero to hero, kali ini hanya dapat memberikan kedua film Baahubali tesebut 2 dari skala maksimum 5 yang artinya “Kurang Bagus”.

Sumber: baahubali.com

1917 (2019)

Perang Dunia I yang terjadi antara 1914 sampai 1918 merupakan peristiwa besar yang sudah beberapa kali diangkat ke layar lebar. Setelah beberapa kali membesut film James Bond, Sam Mendes kali ini berusaha mengakat sejarah kelam tersebut dalam 1917 (2019). Film ini mengambil latar belakang peperangan di wilayah Prancis pada bulan April 1917. Pada saat itu wilayah Utara Prancis sudah diduduki oleh pasukan Jerman. Pasukan Inggris datang ke dalam wilayah tersebut untuk membantu Prancis memukul mundul Jerman.

Pada suatu pagi yang cerah, Kopral William “Will” Schofield (George MacKay) & Kopral Thomas “Tom” Blake (Dean-Charles Chapman) dari Angkatan Darat Inggris, mendapat perintah penting dari Jendral mereka. Tom dan Will ditugaskan untuk menyampaikan sebuah pesan penting kepada 1 Batalion Inggris yang sedang memukul mundur pasukan Jerman masuk terus ke dalam wilayah Utara Prancis.

Berdasarkan pengamatan dari udara, pasukan Jerman sudah menyiapkan jebakan bagi Batalion Inggris tersebut. Pesan berupa perintah untuk mundur, harus cepat Will dan Tom sampaikan agar korban jiwa di pihak Inggris dapat dihindarkan.

Perjalanan Tom dan Will tidaklah mudah karena mereka harus menyusup ke dalam medan perang hanya berdua saja. Tidak ada pasukan lain yang ditugaskan mengawal mereka. Di sana, Tom dan Will dihadapkan kepada realita kejamnya perang. Betapa banyaknya kehidupan yang dirusak oleh perang yang mereka hadapi. Perjalanan mereka pun menunjukkan bahwa tentara itu hanya manusia biasa yang punya rasa takut dan belas kasihan.

Sebenarnya hal di atas cukup klise dan sudah ditampilkan oleh berbagai film perang. Jalan ceritanya pun sebenarnya sangat sederhana. 2 prajurit pergi menembus medan perang untuk mengantarkan sebuah pesan. Tidak ada plot twist dan tidak ada pula tokoh antagonis utama pada 1917 (2019). Lalu apa yang membuat film ini berbeda?

1917 (2019) memiliki visual yang sangat indah karena ditampilkan dengan menggunakan 2 long continuous shot. Jadi penonton dibuat seolah terus mengikuti pergerakan tokoh utama tanpa terpotong. Melihat 1917 (2019) terkadang seperti melihat video game tipe FPS (First-Person Shooter) dengan gambar yang sangat nyata :D. Visual memang menjadi nilai plus film perang yang satu ini. Tapi bagaimana dengan ceritanya?

Terlepas dari visualnya yang keren, ada beberapa bagian dari 1917 (2019) yang terbilang menegangkan. Tapi ada pula bagian yang temponya terlampau lambat dan sedikit membosankan. Akibat penggunaan long continuous shot, maka kadang saya merasa bosan melihat film ini dari 1 sudut pandang saja. Bagi saya pribadi, jalan ceritanya tidak terlalu berhasil memikat penontonnya. Adegan aksinya pun terbilang biasa saja.

Maka, saya rasa 1917 (2020) layak untuk memperoleh nilai 3 dari skala maksimum 5 yang artinya “Lumayan”. 1917 (2020) lebih menyenangkan bila ditonton di layar lebar dengan cahaya yang gelap. Sebaiknya jangan menonton film ini di smartphone yang berlayar kecil.

Sumber: http://www.universalpictures.com/movies/1917

Serial The Witcher

Saya belum pernah membaca novel The Witcher, apalagi main video game The Witcher. Walaupun untuk video game saja sudah ada sejak 2007 dan novelnya sudah ada sejak 1993, Wuaaah sudah lama juga yaaa. Selama itupulalah saya tidak pernah mengetahui keberadaan The Witcher. Netflix adalah yang memperkenalkan The Witcher kepada saya. Sejak 2019, Netflix menayangkan film seri The Witcher di aplikasinya.

Seperti apa sih The Witcher itu? Serial ini mengambil latar belakang yang mirip dengan abad pertengahan di Eropa, eranya kerajaan Eropa berjaya. Kerajaan-kerajaan manusia berdiri di atas sebuah benua yang konon dahulu kala dikuasai oleh monster dan mahluk-mahluk dongeng seperti peri dan kurcaci.

Di sana, Geralt of Rivia (Henry Cavill) berkelana untuk melawan monster-monster yang mengganggu manusia. Kemampuan Geralt sebagai seorang Witcher memungkinkannya untuk melakukan berbagai sihir yang tidak dapat dilakukan oleh manusia biasa. Kalau saya lihat, Witcher itu berbeda dengan penyihir. Witcher memadukan kemampuan sihir dengan kemampuan berkelahi karena tubuh Witcher lebih kebal terhadap sihir tertentu dan relatif lebih kuat dari manusia pada umumnya.

Teorinya, seorang Witcher akan memperoleh imbalan dari setiap monster yang ia bunuh. Masalahnya, bagi Geralt, pengertian monster itu bukan hanya terpatri pada mahluk buas yang menyeramkan. Bukankah manusia sendiri dapat berperilaku seperti monster?

Melihat The Witcher, saya jadi teringat pula pada Game of Thrones. Kondisi yang diperlihatkan sangat mirip. Sebuah benua dengan berbagai pihak yang licik dan saling bunuh. Di sana terdapat pula berbagai adegan sadis dan dewasa lengkap dengan masalah-masalah yang gelap dan tabu.

Beruntung Serial The Witcher memiliki tokoh utama yang dijadikan patokan moral pada film ini. Sebagai tokoh utama, Geralt bukanlah orang suci, ia banyak pula melakulan berbagai hal yang dianggap dosa kalau dilihat dari sudut pandang agama. Namun jauh di lubuk hatinya, Geralt memiliki moral yang baik. Saya rasa hal inilah yang membuat Geralt berbeda. Ia dapat melakukan hal yang benar du tengah-tengah dunia yang penuh kenistaan. Sikapnya yang dingin dan cuek berhasil diperankan dengan sempurna oleh Hendry Cavill. Saya sama sekali tidak melihat Superman pada serial ini. Cavill benar-venar sudah menjadi seorang Witcher handal bernama Geralt. Jelas sudah karakter inilah bintang dari Serial The Witcher :).

 

Sebenarnya terdapat 2 karakter utama lain selain Geralt. Yennefer of Vengerberg (Anya Chalotra) dan Putri Cirilla (Freya Allan). Yennefer adalah penyihir dengan keteguhan hati yang kuat. Sementara itu Cirilla merupakan pewaris tahta kerajaan yang memiliki sebuah bakat khusus.

Saya kagum dengan bagaimana cara Serial The Witcher mengisahkan Geralt bersama dengan Cirilla dan Yennefer. Setiap episode tidak selalu dibuat dengan alur maju. Terdapar alur maju mundur terkait karakter-karakter di dalamnya. Semuanya dapat ditampilkan dengan sangat menarik dan jauh dari kata membingungkan hehehehe.

Sayang adegan perkelahian pada serial ini seperti belum didukung oleh dana yang mumpuni. Pertarungan antara Gerald dan monster-monster tidak terlalu spektakuler. Padahal bukankah profesi Gerald itu adalah pemburu monster? Terkadang monster-monster yang ada ditunjukkan dalam wujud yang masih menyerupai fisik manusia. Memiliki 2 kaki, 2 tangan, tapi wajahnya dibuat agak berbeda. Tidak ada bentuk monster yang ekstrim di sana. Beruntung adegan perkelahian antara Gerald dengan sesama manusia justru nampak keren, walaupun agak sadis.

 

Salah satu pesan moral dari The Witcher memang terkait wujud monster yang patut diwaspadai. Seburuk apapun wujudmu, kamu tidak dapat dianggap sebagai monster apabila masih ada kebaikan di dalam hatimu :). Saya sudah tidak sabar menanti episode terbaru dari The Witcher. Serial ini sopasti pantas untuk memperoleh nilai 4 dari skala maksimum 5 yang artinya “Bagus”

Sumber: http://www.netflix.com