Serial Flower of Evil

Kisah pada serial Flower of Evil atau 악의, diawali dengan sebuah keluarga yang nampak bahagia. Keluarga tersebut terdiri dari Baek Hee-sung (Lee Joon-gi), Cha Ji-won (Moon Chae-won), dan anak mereka yaitu Baek Eun-ha (Jung Seo-yeon). Hubungan mereka dengan orang tua Baek Hee-sung memang kurang baik. Namun hal seperti ini kadang terjadi pula pada keluarga-keluarga lain pada umumnya. Tidak ada yang nampak janggal di sini.

Dibalik keluarga yang sepertinya normal ini, ternyata terdapat rahasia yang cukup kelam. Belasan tahun silam, Baek Hee-sung ternyata terlahir dengan menggunakan nama Do Hyun-soo. Sebuah nama yang pernah terkenal karena berhubungan dengan kematian seorang kepala desa dan kasus pembunuhan berantai.

Belasan tahun silam, mendiang ayah Do Hyun-soo terbukti telah menyiksa dan membunuh beberapa wanita dengan ciri khas yang unik. Ia pun memperoleh julukan sebagai pembunuh berantai Yeonju. Reputasu yang seburuk itu tentunya mempengaruhi kehidupan anak-anaknya. Terlebih Do Hyun-soo yang memang memiliki kelainan. Do Hyun-soo memiliki kesulitan dalam mengenali, merasakan dan mengekspresikan perasaannya. Berbagai gosip-pun berhembus di sekitar kediaman keluarga Hyun-soo. Mulai dari suka membunuh hewan sampai kerasukan roh halus. Semua dituduhkan kepada Do Hyun-soo, hanya karena ia berbeda. Tidak heran, ketika sang kepala desa ditemukan tewas di kediaman keluarga Hyun-soo, Do Hyun-soo langsung dijadikan tersangka utama.

Di masa kini, Do Hyun-soo sudah mengubur masa lalunya. Ia berhasil melarikan diri dan memulai hidupnya dari awal sebagai Baek Hee-sung. Dengan identitas baru ini, ia berhasil menjaga semua rahasia masa lalunya dari istri, anak, mertua dan orang-orang sekitarnya. Sebenarnya semua ini sangat berisiko tinggi karena istri Do Hyun-soo adalah seorang detektif yang handal.

Dunia sempurna milik Do Hyun-soo seketika terancam hancur. Cha Ji-won, istri Do Hyun-soo, harus menangani beberapa kasus pembunuhan yang ciri-cirinya sangat mirip dengan kasus pembunuhan berantai Yeonju. Detektif Cha dan timnya pun harus membongkar kembali kasus Yeonju yang memang masih menyisakan banyak pertanyaan. Pertanyaan yang erat hubungannya dengan Baek Hee-sung atau Do Hyun-soo. Bagaimanapun juga, mendiang ayah kandung Do Hyun-soo adalah si pembunuh berantai Yeonsu yang terkenal.

Selama menjalin hubungan dengan detektif Cha Ji-won, Baek Hee-sung atau Do Hyun-soo berhasil menyembunyikan jati dirinya rapat-rapat. Ia berhasil tampil sebagai suami dan ayah yang penyayang dan baik hati. Dengan kemampuan manipulasi yang sangat baik, semua berhasil ditutupi dengan sempurna. Di sini akting aktor-aktor yang memerankan Do Hyun-soo dan atau Baek Hee-sung memang sangat baik. Mereka dapat menunjukan perubahan karakter dengan sangat meyakinkan. Saya berhasil dibuat percaya bahwa Do Hyun-soo memang memiliki kemampuan untuk menyembunyikan semua ini dari pengamatan dan insting detektif Cha Ji-won yang yang handal. Mungkinkah semua terjadi akibat rasa cinta Cha yang sangat besar? Padahal selama ini, Do Hyun-soo sendiri tidak terlalu yakin mengenai perasaannya terhadap Cha Ji-won. Apakah ini cinta?

Ternyata, pertanyaan mengenai cinta-cintaan inilah yang menjadi topik utama Flower of Evil. Do Hyun-soo terlahir dengan ciri-ciri yang menyerupai ciri-ciri calon psikopat. Apalagi, ayah kandungnya sendiri terbukti melakukan berbagai tindakan keji. Kalau di film-film kriminal lain sih, karakter Do Hyun-soo sopasti menjadi si pembunuh berantai. Namun pada Flower of Evil, ada sesuatu yang membuat Do Hyun-soo bisa saja berbelok atau berubah. Perasaan dan hubungan Do Hyun-soo dan Cha Ji-won seolah diuji dengan terpaan badai yang sangat dahsyat.

Terdapat berbagai adegan saling menutupi terkait kasus yang Cha Ji-won tangani. Diam-diam, Do Hyun-soo pun harus mencaritahu, siapakah pelaku pembunuhan yang baru saja terjadi. Semua ternyata bermuara pada kasus-kasus lama yang melibatkan mendiang ayah Do Hyun-soo. Kasus-kasus penuh misteri yang dapat terurai dengan tidak terlalu sulit. Serial ini memang memiliki banyak misteri dan adegan thriller. Namun tidak ada yang spektakuler di sana. Beberapa memang tidak dapat diduga, namun semua selesai dengan cepat. Lalu hadirlah misteri baru yang kemudian dapat mudah terurai juga. Karakter antagonis pada serial ini memang miaterius, tapi tidak nampak sebagai seseorang yang kuat. Sakit jiwa sih iya, tapi memiliki kekuatan untuk melawan? Sayang jawabnya adalah tidak. Perlawan sang antagonis hanya ada sedikit, itupun di akhir dan cepat melempem seperti kerupuk di kotak terbuka yang lupa ditutup.

Bagian misteri dan thriller lumayan menghibur, tapi cukup sampai kata menghibur saja. Bagian drama romantis memang menjadi hidangan utama Flower of Evil. Sayangnya beberapa bagian drama romantisnya terasa draging dan membosankan. Di sana tak ada komedi atau lucu-lucuan yang imut ya. Jadi memang pure drama romantis cinta-cintaan yang diselimuti kabut misteri dan thriller pada beberapa bagiannya.

Saya sendiri cukup menikmati berbagai episode dari Flower of Evil. Patut diakui, ada beberapa misteri dan plot twist yang menyenangkan di sana. Namun sisi drama romantisnya memang sedikit membosankan bagi saya pribadi. Mungkin, ketika memutuskan untuk menonton serial ini, saya mengharapkan sebuah tontonan yang menegangkan dan penuh misteri, bukan drama romantis hehehe. Bagaimanapun juga, yang harus saya akui adalah kenyataan bahwa akting para aktor utamanya terbilang menonjol dan layak untuk ditonton loooh. Dengan demikian, Flower of Evil layak untuk memperoleh nilai 3 dari skala maksimum 5 yang artinya “Lumayan”.

Sumber: http://www.studiodragon.net

Serial Alchemy of Souls

Alchemy of Souls atau 환혼 merupakan serial asal Korea Selatan yang memiliki kerajaan bercorak Korea sebagai latar belakangnya. Namun tempat dan kisahnya sendiri adalah 100% fantasi. Jadi pada Alchemy of Souls tidak akan ada Joseon, Goryeo, Goguryeo, Silla ataupun Baekje. Yang ada adalah Kerjaan Daeho yang terletak di sekitar Danau Gyeongcheondaeho.

Raja Daeho memerintah dengan didukung oleh para penyihir hebat. Keluarga Seo, Park, Jin dan Jang merupakan 4 keluarga penyihir yang sangat dominan dan ternama. Mereka berperan besar dalam pemerintahan. Beberapa jabatan penting bahkan dapat diwariskan kepada anggota keluarga dari keempat keluarga penyihir tersebut.

Sayangnya hal ini tidak berlaku bagi Jang Uk (Lee Jae-wook), anak satu-satunya dari Mahapatih Jang Gang (Joo Sang-wook). Ketika Jang Uk masih bayi, Jang Gang mengunci energi Jang Uk hingga Jang Uk tidak dapat menguasai ilmu sihir apapun. Jang Uk pun dianggap terlalu lemah untuk memegang jabatan penting. Sebagai penyihir terbaik di Daeho, Jang Gang khawatir dengan apa yang akan terjadi pada dunia ketika seluruh potensi Jang Uk dapat sepenuhnya keluar. Selain itu, besar kemungkinan Jang Uk merupakan hasil dari alchemy of soul.

Dari semua ilmu sihir yang ada, alchemy of soul merupakan ilmu yang terlarang. Dengan ilmu ini, seseorang dapat bertukar tubuh. Jiwa si penyihir dapat berpindah ke tubuh orang lain. Dalam beberapa kasus perpindahan ini memiliki efek samping yang buruk. Kekacauan tidak akan dapat dibendung apabila penggunaan alchemy of soul tidak terkendali.

Selama bertahun-tahun lamanya, Jang Uk berusaha mencari jalan untuk membuka kunci yang dipasang oleh Jang Gang. Harapan muncul ketika Jang Uk bertemu dengan Nak-su (Goo Yoon Sung) yang terperangkap di dalam tubuh Mu Deok-i (Jung So-min). Nak-su merupakan buronan yang menguasai ilmu sihir tingkat tinggi. Ketika terdesak, ia menggunakan alchemy of soul untuk bertukar tubuh. Namun entah mengapa ia justru masuk ke dalam tubuh Mu Deok-i yang lemah.

Melalui sebuah perjanjian rahasia, Nak-su bersedia membantu Jang Uk meraih potensinya. Di sini terdapat kisah from zero to hero. Nak-su dengan cerdiknya berhasil membantu mengelurkan potensi yang terpendam di dalam diri Jang Uk. Ia ternyata memang bukan orang biasa. Ketakutan Jang Gang memang sangat beralasan.

Perlahan tapi pasti, Jang Uk dan Nak-su saling jatuh cinta. Bagaimanapun juga semua pencapaian Jang Uk memang merupakan hasil jerih payah Nak-su. Di balik pria hebat, terdapat wanita hebat. Peribahasa itu sangat tepat sekali memggambangkan keadaan Jang Uk dan Nak-su.

Kisah cinta Jang Uk dengan Nak-su atau Mu Deok-i sangat menarik untuk diikuti. Begitu pula kisah cinta beberapa karakter lainnya. Di sana memang terdapat beberapa kisah cinta. Bahkan ada cinta segitiga sampai segiempat di sana. Biasanya saya paling malas menonton cinta segitiga, apalagi berlarut-larut datang dan pergi pada beberapa episode seperti ini. Hal seperti ini pernah membuat saya berhenti menonton Serial Dawson’s Creek. Tapi cinta segitiganya Alchemy of Soul berbeda dengan Dawson’s Creek. Walaupun sebenarnya lebih rumit, namun kisah cinta pada Alchemy of Soul nampak sederhana, ringan dan tidak membosankan. Terdapat kelucuan dan keharun pula di sana. Pengembangan karakternya terlihat sangat baik. Saya berhasil dibuat percaya bahwa beberapa pasangan cinta ini saling mencintai. Saya pun menjadi lebih peduli dengan nasib mereka.

Beruntung serial ini tidak berlama-lama membuat karakter protagonisnya menderita. Selalu ada konflik baru dan masalah baru yang diangkat. Serial ini tudak berlama-lama membakar satu konflik terlalu lama. Semua dikemas dengan sangat mudah dimengerti.

Padahal seingat saya, banyak sekali flashback pada serial ini. Suatu bagian cerita dihilangkan, untuk kemudin dimunculkan kembali sesaat kemudian. Semua dilakukan berulang-ulang pada beberapa bagian cerita yang pendek. Bagian yang pendek tapi dapat memberikan makna ketika dimunculkan pada saat yang tepat. Beberapa kejutan pada serial ini sering kali dimunculkan dengan cara flashback. Saya kurang suka ketika hal seperti ini dilakukan berulang-ulang pada Ocean Eleven (2001) dan sekuelnya. Namun, Alchemy of Soul nampaknya berhasil melakukan flashback yang sangat baik. Anehnya saya suka dengan teknik flashback yang Alchemy of Soul lakukan.

Planting pada serial inipun terbilang baik. Semua nampak terancana. Beberapa hal yang sudah ditanamkan, dapat memiliki makna yang penting walaupun terpisah dalam jeda yang cukup lama.

Bagaimana dengan adegan aksinya? Saya sadar betul Alchemy of Soul ini berbicara mengenai para penyihir di sebuah kerajaan. Tak jarang intrik-intrik perebutan kekuasaan berujung pada perkelahian. Kombinasi antara ilmu beladiri dan ilmu sihir terlihat jelas di sana. Sayangnya special effect yang digunakan, terkadang terlihat out of date untuk sebuh tontonan yang dirilis pada tahun 2022. Yaah memang tidak seburik serial silatnya Indosiar yaaa, tapi yaa terbilang kurang ok pada beberapa bagian. Namun serial ini memang tidak bertumpu pada adegan aksi saja. Terdapat beberapa unsur lain yang memiliki andil dalam menutup kelemahan ini. Porsi adegan aksinya memang tidak terlalu banyak. Tapi masih terasa seimbang dengan romansa, komedi dan unsur-unsur lain yang ada.

Serial Alchemy of Soul berhasil menyajikan kisah yang menawan. Karakter-karakter yang ada terbilang menarik. Selama menonton serial ini, saya ausaj sibuat beberapa kali tertawa, bukan hanya senyum yaaa, ini tertawa :D. Konflik yang disajikan pun sangat menarik dan penuh kejutan. Selalu ada misteri yang membuat saya terus terhipnotis untuk menonton dari satu episode ke episode berikutnya. Kekurangan dalam hal special effect hampir tidak terasa. Semua berhasil tertutup rapat oleh berbahai kelebihan lain yang dimiliki Alchemy of Soul. Untuknya semua dilakukan dengan menggunakan beberapa hal yang biasanya tidak saya sukai. Dengan demikian, saya ikhlas untuk memberikan Alchemy of Soul nilai 5 dari skala maksimum 5 yang artinya “Bagus Sekali”.

Sumber: http://www.studiodragon.net

Focus (2015)

Focus (2015) adalah film yang sama sekali tidak saya lirik ketika film tersebut baru dirilis. Melihat posternya, seperti melihat poster iklan kacamata hitam. Memang sih ada gambar Will Smith di sana, tapi saya bukanlah fans Om yang satu itu. Yang ada di kepala saya hanya … oooo itu iklan kacamata hitamnya Will Smith :P.

Baru pada pertengahan 2020 inilah saya menontom Focus (2020), itupun secara tidak sengaja. Saya terlanjur salah menekan tombol hehehehe. Baiklah, sudah terlanjur, lanjuuuut. Sesuai judulnya, fokus merupakan sesuatu hal yang sangat penting. Pada awal film saja, kata fokus, fokus, fokus, sering sekali diulang-ulang. Iyah, iya saya sadar film ini judulnya fokus x_x. Fokus untuk apa sih?? Ternyata fokus untuk mencopet dan menipu.

Whah, ternyata Focus (2020) tidak bercerita mengenai hal-hal yang berbau kacamata hitam sama sekali. Film tersebut ternyata mengisahkan dunia penipu yang penuh intrik. Kisahnya berkisar pada bagaimana Nicky Spurgeon (Will Smith) menjalankan aksinya. Sebagai seorang penipu ulung, ia melakukan berbagi trik yang cukup menghibur untuk ditonton.

Tak hanya tipu menipu saja, terdapat unsur drama romantis pula di sana. Sepanjang film, saya bertanya-tanya mengenai hubungan asmara yang Nicky hadapi. Apakah ia sungguh-sungguh, atau ini hanyalah bagian dari aksi tipu-tipu saja.

Sayangnya, saya tidak menemukan sesuatu yang istimewa di sana. Intrik-intrik yang disajikan tidak terlalu mengejutkan. Drama romantisnya agak tanggung. Namun, bagaimanapun juga, Focus (2015) berhasil memberikan hiburan segar yang mudah dipahami. Penonton tidak diajak berfikir terlalu dalam untuk mengetahui apa yang terjadi. Maka, dengan demikian, film ini layak untuk memperoleh nilai 3 dari skala maksimum 5 yang artinya “Lumayan”.

Sumber: http://www.warnerbros.com/movies/focus

Aladdin (2019)

Bersama dengan Sinbad dan Ali Baba, Aladdin merupakan tokoh populer dari Hikayat 1001 Malam, sebuah kumpulan dari berbagai kisah-kisah petualangan yang menakjubkan. Konon Hikayat 1001 Malam berasal dari Baghdad di era pemerintahan Khalifah Abbasiyah. Baghdad pada saat itu melakukan banyak perdagangan dengan bangsa India dan Cina. Jadi tidak heran kalau salah satu kisahnya mengambil Cina sebagai latar belakangnya. Loh Cina? Ya, kisah Aladdin yang sesungguhnya menggunakan wilayah Cina sebagai latar belakangnya, bukan Arab atau India. Tapi karena nama dan asal kisahnya, Disney menggunakan wilayah Timur Tengah sebagai latar belakang Aladdin (1992). Film animasi inipun melakukan sedikit perubahan di sana dan di sini. Tapi saya tetap suka sekali dengan Aladdin (1992), bahkan saya lebih suka dengan versi Disney ini ketimbang versi aslinya hehehehe.

Bertahun-tahun setelah kehadiran Aladdin (1992), Disney kembali merilis Aladdin versi live action. Hal yang sama pernah Disney lakukan pula pada Cinderella (2015) dan Beauty and the Beast (2017). Nampaknya Disney akan terus membuat versi live action dari film-film animasi yang pernah mereka produksi :).

Sangat mirip dengan Aladdin (1992), pada Aladdin (2019) dikisahkan hiduplah seorang pemuda miskin bernama Aladdin (Mena Massoud). Bersama dengan monyetnya, ia berprofesi sebagai pencuri untuk bertahan hidup. Walaupun profesinya tidak halal, sebenarnya Aladdin memiliki hati yang baik. Ia rela menolong siapapun yang membutuhkan, tak terkecuali Putri Yasmin (Naomi Scott) yang sedang menyamar sebagai penduduk biasa. Pertemuan pertama yang dipenuhi oleh adegan kejar-kejaran dengan Penjaga, diam-diam membuat Yasmin dan Aladdin tertarik satu sama lain.

Yasmin sendiri merupakan putri tunggal penguasa Negeri Agrabah. Sudah ada banyak pangeran datang melamar, namun semuanya Yasmin tolak mentah-mentah. Diam-diam Penasehat Raja, Jafar (Marwan Kenzari), berniat untuk mempersunting Yasmin dan menjadi penguasa Agrabah yang baru. Untuk memperlancar usahanya, Jafar mencari sebuah Jin yang sangat kuat, yang sudah ratusan tahun terkurung di dalam sebuah gua. Sayang tidak semua orang dapat masuk ke sana. Berdasarkan petunjuk yang Jafar dapatkan, kemungkinan seseorang yang bersifat seperti Aladdin-lah yang dapat masuk ke dalam gua tersebut.

Kemudian Jafar mengelabui Aladdin sehingga Aladdin bersedia masuk ke dalam sebuah gua misterius di tengah padang pasir. Di dalam gua inilah awal pertemuan Aladdin dengan karpet ajaib dan Jin (Will Smith). Aladdin memiliki jatah 3 permintaan yang dapat Jin kabulkan. Yaaah sudah pasti Aladdin menggunakan kekuatan Jin untuk meminang hati Yasmin. Jin tidak memiliki ilmu pelet ya, jadi yang dapat Jin lakukan paling tidak adalah membuat status sosial Aladdin naik drastis agar bisa 1 strata dengan Yasmin. Selanjutnya, semua tergantung Aladdin sendiri.

Awalnya, Aladdin yang lugu, menjanjikan kebebasan Jin sebagai permintaan ketiganya. Ia sudah menganggap Jin sebagai sahabatnya. Namun lama kelamaan, Aladdin semakin kecanduan dengan berbagai bantuan dari Jin. Apakah Aladdin akan memenuhi janjinya?

Kisah Aladdin (2019) mirip dengan Aladdin (1992) hanya saja ada beberapa bagian termasuk lagu yang diubah dan ditambahkan agar sesuai dengan selera penonton saat ini. Seperti Aladdin (1992), terdapar banyak tarian dan nyanyian pada Aladdin (2019). Hanya saja, karena ini versi live action, maka Aladdin (2019) nampak lebih megah dan kolosal. Saya kagum dengan kostum dan make-up yang digunakan pada Aladdin (2019).

Sayang, entah kenapa, kok Aladdin (2019) tidak semagis Aladdin (1992). Chemistry antara Yasmin dan Aladdin tidak terlalu kuat. Kemudian tokoh Jin pada Aladdin (2019) tidak selucu Jin pada Aladdin (1992). Ahhh sayang sekali, padahal saya sudah berharap banyak pada Aladdin (2019), terlebih lagi, Aladdin (1992) merupakan salah satu film kartun Disney yang saya sukai.

Melihat berbagai aspek di atas, saya rasa Aladdin (2019) berhak untuk mendapatkan nilai 3 dari skala maksimum 5 yang artinya “Lumayan”. Mau bagaimana juga, secara visual, film ini termasuk nyaman di lihat mata loh ;).

Sumber: movies.disney.id/aladdin

The Darkest Minds (2018)

Melihat trailer The Darkest Minds (2018), saya kira film ini akan bercerita mengenai mutant, yaaaah paling sejenis X-Men laaah. Ahhh ternyata saya salah besar. The Darkest Minds (2018) ternyata mirip dengan film-film bertemakan remaja berbakat di masa depan yang suram seperti Divergent (2014), The Maze Runner (2014) dan kawan-kawan. Wow, bukankah era film-film seperti ini sudah lewat?

Pada Darkest Minds (2018), dikisahkan bahwa 90% anak di dunia, tewas oleh sebuah penyakit misterius. Sisanya yang selamat, tiba-tiba memiliki kemampuan khusus. Pihak pemerintah yang ketakutan, memasukkan anak-anak yang selamat ke dalam kamp-kamp. Di sana, mereka dibagi ke dalam beberapa golongan sesuai dengan kemampuannya.

Golongan hijau memiliki kejeniusan di atas rata-rata. Golongan biru memiliki kemampuan telekinesis, memanipulasi objek dari jarak jauh.Golongan kuning memiliki kemampuan memanipulasi listrik. Golongan merah memiliki kemampuan memanipulasi api. Golongan oranye memiliki kemampuan memanipulasi pikiran orang lain. Nah, pemerintah memutuskan untuk membunuh semua golongan merah dan oranye karena dianggap terlalu berbahaya.

Ruby Daly (Amandla Stenberg) merupakan golongam oranye yang melarikan diri dari pihak-pihak yang ingin membunuhnya atau memanfaatkan kekuatannya. Dalam pelariannya, Ruby bergabung dengan beberapa anak lain dari golongan yang berbeda. Di sana ada Liam Steward (Harris Dickinson) si golongan biru, Zu (Miya Cech) si golongan kuning dan Chubs (Skylan Brooks) si golongan hijau. Keempat anak dengan kemampuan beragam tersebut, bahu-membahu menghadapi berbagai rintangan.

Saya menikmati setengah awal dari Darkest Minds (2018). Terdapat berbagai masalah dan konflik yang dibangun dengan cara yang menarik. Sayang, pada pertengahan film, semuanya mulai hambar dan membosankan. Terdapat sub-plot tak bermakna di sana. Terdapat pula romansa ABG yang garing di sana. Darkest Minds (2018) pun tak ubahnya seperti duplikat dari Divergent (2014), The Maze Runner (2014) dan kawan-kawan. Hal ini agak mengecewakan, karena Darkest Minds (2018) seharusnya dapat memberikan sesuatu yang lebih segar. Tapi sepertinya saya tidak bisa berharap banyak juga karena belakangan saya baru mengetahui bahwa Darkest Minds (2018) ternyata dibuat berdasarkan sebuah novel remaja dengan judul yang sama. Nampaknya Darkest Minds (2018) melakukan kesalahan tahun rilis, seharusnya film seperti ini dirilis sekitar tahun 2014, dimana film-film dengan tema sejenis sedang meraih popularitas.

Dengan demikian, Darkest Minds (2018) layak untuk memperoleh nilai 3 dari skala maksimum 5 yang artinya “Lumayan”. Jangan kaget kalau akhir dari film ini tidak 100% tuntas karena film-film seperti ini memang diplot untuk memiliki 3 atau 5 film, bukan 1 film.

Sumber: http://www.foxmovies.com/movies/the-darkest-minds

The Perks of Being a Wallflower (2012)

Pada tahun 2012 dulu saya sudah beberapa kali melihat poster The Perks of Being a Wallflower (2012) beberapa kali. Saya bahkan sudah melihat trailer-nya dan saya sama sekali tidak tertarik. Ini sepertinya hanya film drama remaja biasa dengan jalan cerita dan tujuan yang itu-itu saja. Yaaah paling isinya mengenai masalah remaja di Amerika sana. Sudah begitu judulnya aneh pula, apa itu wallflower? bunganya tembok? :’D

Pada suatu minggu pagi, saya tidak bisa tidur setelah sholat subuh. Entah kesurupan apa, saya iseng-iseng menonton The Perks of Being a Wallflower (2013), yaaah paling nanti juga kebosanan, mengantuk, lalu tidur ronde 2 heheheheh. Jauh diluar dugaan, bukannya mengantuk, saya justru semakin tertarik dengan film ini. Bukannya tidur ronde 2, saya justru semakin melek dan menikmati apa yang saya tonton.

Ternyata judul dari film ini menunjuk kepada Charlie Kelmeckis (Logan Lerman) yang pemalu dan enggan untuk berpartisipasi dalam kegiatan sosial. Ia memang bagai bunga cantik yang terus menempel di tembok tanpa ada orang yang peduli atau memperhatikan. Dikisahkan bahwa Charlie baru saja masuk SMA setelah ia lulus SMP. Sebagai junior, Charlie selalu menyendiri dan tidak membuat teman baru. Ia hanya dapat berbicara sedikit akrab dengan guru bahasa Inggrisnya, Pak Anderson (Paul Rudd), agak menyedihkan bukan? :,D

The Perks of Being a Wallflower

Semua berubah ketika Charlie berkenalan dengan Patrick (Ezra Miller) dan Sam (Emma Watson), kakak kelas Charlie yang merupakan kakak-adik tiri. Melalui Patrick dan Sam, Charlie belajar untuk membuka diri dan menunjukkan kepada dunia siapa dirinya. Belakangan ketiganya menghadapi berbagai masalah remaja yang mungkin dialami oleh remaja jaman sekarang. Beberapa diantaranya tidak sesuai dengan budaya timur. Walaupun tidak ada adegan mesum pada The Perks of Being a Wallflower (2012), film ini kurang pas kalau ditonton oleh penonton yang belum dewasa.

The Perks of Being a Wallflower

The Perks of Being a Wallflower

The Perks of Being a Wallflower

The Perks of Being a Wallflower

Perjalanan Charlie menuju kedewasaan memang penuh rintangan. Apalagi belakangan diketahui bahwa sebelum masuk SMA , Charlie mengalami beberapa kejadian yang membuatnya depresi dan kadang berhalusinasi. Karena sehari sebelum menonton The Perks of Being a Wallflower (2012), saya menonton Shutter Island (2010), sepanjang film berjalan saya terus bertanya-tanya apakah film ini bercerita tentang gangguan jiwa?

The Perks of Being a Wallflower

The Perks of Being a Wallflower

The Perks of Being a Wallflower

The Perks of Being a Wallflower

The Perks of Being a Wallflower

Film ini beberapa kali berhasil menipu saya dengan cara yang cantik. Jalan cerita dan dialog film ini sungguh menarik dan masuk akal. Masalah yang muncul memang agak ekstrim, tapi semua nampak logis. Apalagi pemeran Charlie, Patrick dan Sam tampil dengan kuat dan meyakinkan. Ezra Miller tampil mengesankan sebagai Patrick, tapi maaf, sampai saat ini saya masih merasa Ezra tetap kurang pantas memerankan The Flash pada Justice League (2017) hehehehehe. Sumpah dulu saya kebingungan kok ya bisa ini aktor tak dikenal tiba-tiba memerankan The Flash. Melihat kemampuan aktingnya pada The Perks of Being a Wallflower (2012), memang masuk akal kalau Ezra patut diperhitungkan. Tapi yaaa seperti yang baru saya sebutkan, …. Ezra tetap kurang pas memerankan The Flash hohohoho.

Ok, kembali ke laptop. The Perks of Being a Wallflower (2012) merupakan film remaja dewasa yang menyenangkan untuk ditonton lebih dari sekali. Saya rasa film ini merupakan salah satu film terbaik yang dirilis tahun 2012 dan hampir saya lewatkan begitu saja. Nilai saya bagi The Perks of Being a Wallflower (2012) adalah 4 dari skala maksimum 5 yang artinya “Bagus”. Film ini layak untuk ditonton, asalkan tidak bersama anak kecil ;).

Sumber: lionsgateathome.com/perks-of-being-a-wallflower

Pride and Prejudice and Zombies (2016)

Pride and Prejudice and Zombies (2016) merupakan modifikasi dari sebuah novel romatis karya Jane Austen. Dikisahkan bahwa pada abad ke-19, Inggris berhasil menguasai banyak negara dan memperoleh harta yang melimpah. Banyak dari kalangan bangsawan Inggris pada saat itu, mengambil dan mempelajari seni, budaya dan ilmu beladiri Asia untuk memperkaya ilmu pengetahuan mereka.

Ditengah-tengah kejayaannya, hadir sebuah wabah misterius yang membuat manusia menjadi zombie. Penyakit ini menular melalui gigitan dan luka. Manusia yang tertular akan menjadi agresif dan memiliki naluri untuk menyantap otak manusia. Akibat wabah ini, Inggris membangun parit dan tembok besar di sekitar ibukota London. Tentara Inggris terus mendesak dan memburu para zombie hingga seakan-akan zombie akan kalah.

Melihat situasi yang semakin aman dan menguntungkan, para bangsawan keluar dari London untuk kembali menjalankan roda pemerintahan di wilayah-wilayah Inggris. Masa dan kondisi seperti inilah yang menjadi latar belakang Pride and Prejudice and Zombies (2016). Di tengah-tengah kewaspadaan akan bangkitnya para zombie, hadir drama romantis dengan Elizabeth Bennet (Lily James) sebagai tokoh sentralnya.

Elizabeth adalah anak dari salah bangsawan di wilayah Inggris. Hukum dan tradisi Inggris saat itu mengatur agar harta keluarga hanya akan jatuh ke tangan laki-laki. Sayangnya, semua adik-adik Elizabeth adalah perempuan, sehingga apabila ayah mereka tiada, seluruh harta keluarga mereka akan jatuh ke tangan sepupu laki-laki tertua mereka. Sang ibu kemudian melakukan berbagai usaha agar anak-anaknya dapat dipersunting oleh laki-laki dari keluarga kaya. Ooohhh lalu apakah Elizabeth justru akan jatuh cinta dengan laki-laki miskin seperti cerita-cerita sinetron Indonesia?

Ooo syukurlah tidak. Elizabeth justru berhasil menarik perhatian Fitzwilliam Darcy (Sam Riley), salah satu anggota keluarga terkaya di Inggris. Walaupun Elizabeth sebenarnya tertarik juga dengan Darcy, semakin hari citra Darcy di mata Elizabeth semakin memburuk. Darcy dikabarkan sebagai aktor dibalik berpisahnya Charles Bingley (Douglas Booth) dan Jane Bennet (Bella Heathcote). Jane adalah adik Elizabeth, sedangkan Bingley adalah pria kaya raya yang sudah lama bersahabat dengan Darcy. Selain itu, Darcy dikabarkan telah melakukan tindakan kurang terpuji kepada Letnan George Wickham (Jack Huston) dimasa lalu.

Semua drama di atas, dibalut dengan perang besar antara manusia dengan zombie. Tak lupa terdapat beberapa adegan perkelahian dengan pistol dan senjata tajam karena para bangsawan dikisahkan telah menguasai ilmu beladiri dari Cina dan Jepang. Tapi lucunya, di sana dikisahkan bahwa terdapat perbedaan kasta antara bangsawan yang belajar di Jepang dengan di Cina. Padahal ketika mereka semua berkelahi, tidak ada pembeda yang jelas antara lulusan Jepang dengan Cina. Beberapa adegan perkelahiannya diambil dengan jarak yang terlalu dekat, sempit dan gelap. Saya sendiri terkadang tidak tahu gerakan apa yang mereka lakukan :’D. Walaupun begitu, melihat Elizabeth dan adik-adiknya membawa pisau dan siap tempur, terbilang cukup bagus untuk dilihat. Metode yang Darcy pakai untuk melawan zombie pun nampak cerdas dan pantas untuk disaksikan.

Sayang kehadiran para zombie beserta teror yang mereka bawa tidak terlalu terasa, padahal ini merupakan perbedaan utama antara Pride and Prejudice and Zombies (2016) dengan Pride and Prejudice versi aslinya. Jalan cerita yang ditampilkan terkadang seperti terpisah dan agak dipaksakan terutama pada bagian akhir film, pada bagian setelah kebenaran akan semua yang menimpa Darcy. Sedikit kejutan memang muncul pada Pride and Prejudice and Zombies (2016), sebuah kejutan bagi saya yang belum pernah mengetahui cerita Pride and Prejudice sama sekali ;).

Mungkin zombie memang kurang dapat menyatu dengan baik dengan kisah romantisnya Pride and Prujudice. Tapi terus terang saya sepertinya akan tertidur pulas kalau saya harus menunton unsur Pride dan Prejudice saja, tanpa adanya zombie dan Elizabeth yang ahli Kungfu. Dengan demikian, saya memberikan Pride and Prejudice and Zombies (2016) nilai 3 dari skala maksimum 5 yang artinya “Lumayan”.

Sumber: sites.sonypictures.com/prideandprejudiceandzombies/discanddigital/

Passengers (2016)

Passengers (2016) dapat dikatakan sebagai termasuk film dengan trailer paling menggoda. Disana sekilas terlihat bahwa Jim Preston (Cris Pratt) dan Aurora (Jennifer Lawrence) terdampar di sebuat pesawat luar angkasa. Semua penumpang tersebut masih tidur manis di dalam kapsul tidur masing-masing. Saya pikir Passengers (2016) akan mengisahkan misteri kenapa kok hanya mereka berdua saja yang terbangun? Ada konspirasi atau mahluk luar angkasakah di sana?

Ow ow ow, saya salah besar. Passegers (2016) ternyata bukan film thriller atau misteri. Saya rasa film ini termasuk film drama romantis dengan balutan fiksi ilmiah lengkap dengan visual yang apik. Drama yang dihasilkan terbilang biasa-biasa saja, saya tidak melihat sesuatu yang wow di sana. Alasan kenapa Jim dan Aurora terbangun dari kapsul tidur mereka bukanlah misteri besar karena semua sudah diceritakan dengan runut, otomatis tidak ada kejutan di sana.

Rasanya Passegers (2016) masih layak untuk memperoleh nilai 3 dari skala maksimum 5 yang artinya “Lumayan”. Bagi pecinta drama romantis, silahkan tonton Passengers (2016), jangan salah sangka seperti saya yaaa, trailer-nya sesat nih hehehehh.

Sumber: http://www.passengersmovie.com

Can’t Hardly Wait (1998)

Can't Hardly Wait 1

Ada yang bilang bahwa masa-masa SMA adalah masa-masa indah yang tak tergantikan. Sebagian orang setuju, dan sebagian lagi kurang setuju, saya termasuk yang kurang setuju sih karena masa-masa kuliah saya jauh lebih menyenangkan dibandingkan masa-masa SMA saya hehehe :P. Setuju tak setuju, diakhir masa SMA biasa diadakan perayaan atau pesta. Nah Can’t Hardly Wait (1998) bercerita mengenai kejadian-kejadian yang berlangsung pada malam pesta perpisahan sebuah SMA di pinggiran kota Philadelphia. Para siswa SMA tersebut berpesta di rumah salah satu siswa yang kaya raya sebelum mereka mungkin harus berpisah demi mengejar mimpi masing-masing.

Pesta ini merupakan kesempatan terakhir Preston Meyers (Ethan Embry) untuk menyatakan perasaannya kepada Amanda Beckett (Jennifer Love Hewitt) sebelum Preston harus pergi ke kota lain untuk kuliah. Preston datang ke pesta ditemani oleh sahabatnya yang agak skeptis terhadap pesta perpisahan, Denise Fleming (Lauren Ambrose). Denise yang awalnya tidak sudi datang ke pesta perpisahan justru bertemu dengan orang yang bisa jadi akan Denise paling benci atau paling suka, Kenny Fisher (Seth Green). Kenny adalah anak konyol yang berniat untuk memperoleh pacar di pesta perpisahan tersebut. Namun Kenny malah terjebak di dalam toilet bersama Denise yang awalnya benci dengan Kenny. Denise pun tidak dapat membantu Preston menemukan Amanda padahal Preston telah membuat surat khusus bagi Amanda, . . . aaahhh ABG jaman lawas nih, masih maen surat-suratan, maklum inikan film tahun 1998 :P.

Can't Hardly Wait 15

Can't Hardly Wait 8

Can't Hardly Wait 14

Amanda sendiri sedang gundah dan tak tahu mau ke mana setelah ia dicampakkan oleh Mike Dexter (Peter Facinelli), siswa kurang cerdas yang berhasil mendapat beasiswa atas prestasinya di bidang olah raga. Tingkah Mike selama SMA terbilang kurang baik terutama terhadap sekelompok kutu buku. Diam-diam para kutu buku merencanakan aksi balas dendam pada pesta perpisahan yang akan Mike datangi.
Rencana hanyalah rencana, karena pada saat pesta berlangsung, semua rencana yang masing-masing karakter di atas rencanakan menjadi berantakan.

Can't Hardly Wait 9

Can't Hardly Wait 12

Can't Hardly Wait 13

Can't Hardly Wait 10

Can't Hardly Wait 11

Saya melihat banyak lelucon yang lucu pada Can’t Hardly Wait (1998), sayang beberapa diantaranya terbilang lelucon dewasa. Walaupun Can’t Hardly Wait (1998) mengangkat kisah pesta perpisahan anak-anak SMA, tapi banyak hal-hal yang tidak sesuai dengan budaya Indonesia sehingga Can’t Hardly Wait (1998) bukanlah film untuk anak sekolahan, ini film dewasa.

Can't Hardly Wait 3

Can't Hardly Wait 2

Can't Hardly Wait 4

Can't Hardly Wait 7

Can't Hardly Wait 5

Tapi bagaimanapun juga, Can’t Hardly Wait (1998) berhasil menyuguhkan tontonan yang menghibur walaupun film ini memang bukanlah film komedi remaja terbaik yang pernah saya tonton. Bagi saya pribadi film ini pantas untuk memperoleh nilai 4 dari skala maksimum yang artinya “Bagus”.

As Good As It Gets (1997)

As Good As It Gets 1

As Good As It Takes (1997) sebenarnya sudah hadir sejak saya masih duduk di bangku SMP dulu. Tapi terus terang dulu saya kurang berminat menonton As Good As It Takes (1997) karena pemeran utamanya adalah Jack Nicholson. Saya memang kurang suka dengan beberapa karakter yang Opa Jack perankan di film-film lainnya :(. Selama lebih dari 15 tahun setelah As Good As It Takes (1997) dirilis, baru minggu lalu saya menonton film yang telah memenangkan beberapa penghargaan pada tahun 1997.

Film ini ternyata adalah film komedi romantis yang mengisahkan perjalanan cinta Melvin Undall (Jack Nicholson). Melvin adalah seorang penulis yang mengidap penyakit psikologis, obsesif kompulsif. Akibat penyakit tersebut, Melvin berprilaku tidak seperti orang-orang pada umumnya. Ia selalu memiliki jadwal hidup yang sama persis setiap hari, mulai dari tempat ia duduk di restoran, garpu yang ia pergunakan, pelayan yang melayaninya dan lain-lain. Sikap Melvin yang kasar semakin menambah deretan orang-orang yang kesal dengannya. Melvin merasa bahwa hidupnya sempurna walaupun ia dikucilkan dan memiliki sedikit teman.

Pola hidup Melvin berantakan ketika ia terpaksa harus merawat anjing mungil milik Simon Bishop (Greg Kinnear). Siapa Simon? Simon adalah tetangga Melvin yang baru saja dianiaya dan dirampok. Setelah Simon sembuh, ia meminta kembali anjingnya dari pelukan Melvin padahal Melvin terlanjur memiliki ikatan emosional dengan anjing tersebut. Melvin rela merubah kebiasaan-kebiasaan anehnya demi anjing tersebut.

As Good As It Gets 7

As Good As It Gets 4

Setelah Melvin ditinggalkan oleh anjing tersebut, Melvin berusaha kembali ke pola hidupnya yang lama. Namun ada 1 masalah, apa masalahnya? Pelayan restoran yang bertahun-tahun melayani Melvin, Carol Connelly (Helen Hunt), tiba-tiba sudah tidak bisa melayani Melvin lagi. Karena Carol adalah seorang orang tua tunggal, maka Carol harus mengurus anaknya yang sering sakit seorang diri. Didorong oleh penyakit psikologisnya, Melvin akhirnya berusaha membantu Carol agar Carol dapat bekerja kembali di restoran tempat Melvin biasa makan. Setelah pola kebiasaannya sempat berantakan, Melvin sangat membutuhkan pola kebiasaannya yang lama.

Usaha Melvin ini membuatnya semakin mengenal siapa Carol itu. Seorang wanita yang setiap hari mengantarkan makanan ke meja Melvin, perlahan mampu menarik hati Melvin. Saya melihat banyak peristiwa lucu ketika Melvin dan Carol sedang berinteraksi. Carol beberapa kali dibuat kebingungan oleh tingkah Melvin yang agak “beda”.

As Good As It Gets 5

As Good As It Gets 3

As Good As It Gets 8

As Good As It Gets 2

Daya tarik lain dari As Good As It Gets (1997) bagi saya adalah anjingnya Simon yang Melvin pelihara. Saya rasa anjing ini layak untuk mendapatkan Oscar untuk kategori aktor pembantu terbaik hehehehe. Sebenarnya hal yang pada awalnya membuat saya rela menonton filmnya Jack Nicholson adalah tingkah anjing tersebut :D. Lama kelamaan, ternyata As Good As It Gets (1997) lucu dan bagus juga. Akting Jack Nicholson dan Helen Hunt terlihat solid, saya setuju dengan keputusan juri Academy Awards yang memberika keduanya penghargaan pada ajang Academy Awards 1997 lalu. Selain itu, As Good As It Gets (1997) juga telah memenangkan penghargaan lain di ajang Golden Globe Awards dan Satellite Awards.

As Good As It Gets 6

Saya puas dengan suguhan komedi romantis yang As Good As It Gets (1997). Walaupun bagian akhirnya tergolong klise bin standard, film ini masih pantas untuk memperoleh nilai 4 dari skala maksimum 5 yang artinya “Bagus”. Akhirnya ada juga filmnya Opa Jack yang saya suka :).

Sumber: www.sonypictures.com/movies/asgoodasitgets/