Missing (2023)

Berusaha mengulang kesuksesan Searching (2018), Sony Pictures merilis Missing (2023) pada awal tahun ini. Film ini berada di dunia yang sama dengan Searching (2018) namun ceritanya berdiri sendiri dan tidak berhibungan langsung dengan Searching (2018). Dengan sutradara yang berbeda, apakah Missing (2023) akan sebaik Searching (2018)?

Mirip dengan Searching (2018), Missing (2023) kembali mengangkat kisah yang menggali hubungan antara seorang orang tua tunggal dengan anak semata wayangnya ketika mereka terpisah jauh. Terpisah bukan karena disengaja, terpisah karena hilang tepatnya. Sejak kecil June Allen (Storm Reid) diasuh oleh ibunya Grace Allen (Nia Long) seorang diri. Maka dunia June seakan runtuh ketika Grace menghilang setelah sebelumnya pamit untuk berlibur ke Kolombia. Dengan berbekal semua yang June miliki, ia berusaha mencaritahu dimana ibunya berada. Sebagian besar usaha tersebut June lakukan dengan komputer yang ia miliki.

Penonton pun mengikuti likaliku pencarian ini melalui layar komputer dan jam tangan digital June. Tentunya, penyelidikan June dilalukan dengan menggunakan berbagai aplikasi yang kurang lebih mirip ada di Indonesia. Hanya saja komputer June adalah Machintost dan aplikasi-aplikasi yang ia gunakan bukanlah aplikasi yang lazim digunakan di Indonesia. Jadi sopasti ada sedikit perbedaan. Semua itu bukan masalah besar, sebab Missing (2023) cukup komunikatif dalam hal ini. Penonton yang kurang melek teknologi pun tidak akan kesulitan untuk mengerti. Film ini berhasil mengisahkan sebuah kisah dengan cara yang unik namun tetap informatif.

Sejak awal, jalan cerita Missing (2023) cukup menjanjikan. Saya senang dengan bagaimana June memproses informasi yang ia miliki. Dengan segala keterbatasan yang ada, June berhasil mengembangkan beberapa informasi yang ia miliki.

Missing (2023) memang berberapa kali berusaha berbelok ke kanan san ke kiri. Namun perlahan, kok jadi mudah ditebak. Misteri mengenai masa orang-orang di sekitar June agak klise dan sudah terlihat kemana arahnya sejak pertengahan film. Kemudian chemistri ibu dan anaknya tidak terlalu nampak.

Film ini memiliki cara penyampaian yang unik dan mudah dipahami. Sayang jalam ceritanya mulai kurang menarik dipertengahan film. Saya ikhlas untuk memberikan Missing (2023) nilai 3 dari skala maksimum 5 yang artinya “Lumayan”. Saya rasa Missing (2023) masih belum mampu mengungguli film pendahulunya, Searching (2018).

Sumber: http://www.sonypictures.com

Serial Flower of Evil

Kisah pada serial Flower of Evil atau 악의, diawali dengan sebuah keluarga yang nampak bahagia. Keluarga tersebut terdiri dari Baek Hee-sung (Lee Joon-gi), Cha Ji-won (Moon Chae-won), dan anak mereka yaitu Baek Eun-ha (Jung Seo-yeon). Hubungan mereka dengan orang tua Baek Hee-sung memang kurang baik. Namun hal seperti ini kadang terjadi pula pada keluarga-keluarga lain pada umumnya. Tidak ada yang nampak janggal di sini.

Dibalik keluarga yang sepertinya normal ini, ternyata terdapat rahasia yang cukup kelam. Belasan tahun silam, Baek Hee-sung ternyata terlahir dengan menggunakan nama Do Hyun-soo. Sebuah nama yang pernah terkenal karena berhubungan dengan kematian seorang kepala desa dan kasus pembunuhan berantai.

Belasan tahun silam, mendiang ayah Do Hyun-soo terbukti telah menyiksa dan membunuh beberapa wanita dengan ciri khas yang unik. Ia pun memperoleh julukan sebagai pembunuh berantai Yeonju. Reputasu yang seburuk itu tentunya mempengaruhi kehidupan anak-anaknya. Terlebih Do Hyun-soo yang memang memiliki kelainan. Do Hyun-soo memiliki kesulitan dalam mengenali, merasakan dan mengekspresikan perasaannya. Berbagai gosip-pun berhembus di sekitar kediaman keluarga Hyun-soo. Mulai dari suka membunuh hewan sampai kerasukan roh halus. Semua dituduhkan kepada Do Hyun-soo, hanya karena ia berbeda. Tidak heran, ketika sang kepala desa ditemukan tewas di kediaman keluarga Hyun-soo, Do Hyun-soo langsung dijadikan tersangka utama.

Di masa kini, Do Hyun-soo sudah mengubur masa lalunya. Ia berhasil melarikan diri dan memulai hidupnya dari awal sebagai Baek Hee-sung. Dengan identitas baru ini, ia berhasil menjaga semua rahasia masa lalunya dari istri, anak, mertua dan orang-orang sekitarnya. Sebenarnya semua ini sangat berisiko tinggi karena istri Do Hyun-soo adalah seorang detektif yang handal.

Dunia sempurna milik Do Hyun-soo seketika terancam hancur. Cha Ji-won, istri Do Hyun-soo, harus menangani beberapa kasus pembunuhan yang ciri-cirinya sangat mirip dengan kasus pembunuhan berantai Yeonju. Detektif Cha dan timnya pun harus membongkar kembali kasus Yeonju yang memang masih menyisakan banyak pertanyaan. Pertanyaan yang erat hubungannya dengan Baek Hee-sung atau Do Hyun-soo. Bagaimanapun juga, mendiang ayah kandung Do Hyun-soo adalah si pembunuh berantai Yeonsu yang terkenal.

Selama menjalin hubungan dengan detektif Cha Ji-won, Baek Hee-sung atau Do Hyun-soo berhasil menyembunyikan jati dirinya rapat-rapat. Ia berhasil tampil sebagai suami dan ayah yang penyayang dan baik hati. Dengan kemampuan manipulasi yang sangat baik, semua berhasil ditutupi dengan sempurna. Di sini akting aktor-aktor yang memerankan Do Hyun-soo dan atau Baek Hee-sung memang sangat baik. Mereka dapat menunjukan perubahan karakter dengan sangat meyakinkan. Saya berhasil dibuat percaya bahwa Do Hyun-soo memang memiliki kemampuan untuk menyembunyikan semua ini dari pengamatan dan insting detektif Cha Ji-won yang yang handal. Mungkinkah semua terjadi akibat rasa cinta Cha yang sangat besar? Padahal selama ini, Do Hyun-soo sendiri tidak terlalu yakin mengenai perasaannya terhadap Cha Ji-won. Apakah ini cinta?

Ternyata, pertanyaan mengenai cinta-cintaan inilah yang menjadi topik utama Flower of Evil. Do Hyun-soo terlahir dengan ciri-ciri yang menyerupai ciri-ciri calon psikopat. Apalagi, ayah kandungnya sendiri terbukti melakukan berbagai tindakan keji. Kalau di film-film kriminal lain sih, karakter Do Hyun-soo sopasti menjadi si pembunuh berantai. Namun pada Flower of Evil, ada sesuatu yang membuat Do Hyun-soo bisa saja berbelok atau berubah. Perasaan dan hubungan Do Hyun-soo dan Cha Ji-won seolah diuji dengan terpaan badai yang sangat dahsyat.

Terdapat berbagai adegan saling menutupi terkait kasus yang Cha Ji-won tangani. Diam-diam, Do Hyun-soo pun harus mencaritahu, siapakah pelaku pembunuhan yang baru saja terjadi. Semua ternyata bermuara pada kasus-kasus lama yang melibatkan mendiang ayah Do Hyun-soo. Kasus-kasus penuh misteri yang dapat terurai dengan tidak terlalu sulit. Serial ini memang memiliki banyak misteri dan adegan thriller. Namun tidak ada yang spektakuler di sana. Beberapa memang tidak dapat diduga, namun semua selesai dengan cepat. Lalu hadirlah misteri baru yang kemudian dapat mudah terurai juga. Karakter antagonis pada serial ini memang miaterius, tapi tidak nampak sebagai seseorang yang kuat. Sakit jiwa sih iya, tapi memiliki kekuatan untuk melawan? Sayang jawabnya adalah tidak. Perlawan sang antagonis hanya ada sedikit, itupun di akhir dan cepat melempem seperti kerupuk di kotak terbuka yang lupa ditutup.

Bagian misteri dan thriller lumayan menghibur, tapi cukup sampai kata menghibur saja. Bagian drama romantis memang menjadi hidangan utama Flower of Evil. Sayangnya beberapa bagian drama romantisnya terasa draging dan membosankan. Di sana tak ada komedi atau lucu-lucuan yang imut ya. Jadi memang pure drama romantis cinta-cintaan yang diselimuti kabut misteri dan thriller pada beberapa bagiannya.

Saya sendiri cukup menikmati berbagai episode dari Flower of Evil. Patut diakui, ada beberapa misteri dan plot twist yang menyenangkan di sana. Namun sisi drama romantisnya memang sedikit membosankan bagi saya pribadi. Mungkin, ketika memutuskan untuk menonton serial ini, saya mengharapkan sebuah tontonan yang menegangkan dan penuh misteri, bukan drama romantis hehehe. Bagaimanapun juga, yang harus saya akui adalah kenyataan bahwa akting para aktor utamanya terbilang menonjol dan layak untuk ditonton loooh. Dengan demikian, Flower of Evil layak untuk memperoleh nilai 3 dari skala maksimum 5 yang artinya “Lumayan”.

Sumber: http://www.studiodragon.net

Serial The Glory

The Glory (더 글로리) merupakan serial asal Korea Selatan yang berbicara mengenai balas dendam dan perundungan. Di Korea Selatan sendiri, kasus perundungan atau bullying menjadi sesuatu yang memalukan. Sudah ada artis dan atlet yang karirnya hancur akibat bullying. Bukan karena peran mereka sebagai korban, melainkan sebagai pelaku. Sentimen negatif masyarakat bagi para pelaku bullying terbukti membuat karir seseorang hancur lebur. Ini bukanlah hal yang diduga akan terjadi bagi pelaku bully di tahun-tahun 2000-an awal. Sehingga, saat ini, ada beberapa tokoh ternama yang hancur dikecam masyarakat setelah diketahui bahwa ia merupakan pelaku bullying ketika masih sekolah dulu. Kurang lebih hal inilah yang menjadi latar belakang The Glory.

Pada tahun 2000-an awal, Moon Dong Eun (Song Hye-kyo) menjadi korban bully yang sangat parah dari sekelompok teman sekolahnya. Tidak hanya di sekolah, kelompok pelajar laknat ini melanjutkan perilaku norak mereka di rumah Dong Eun. Hal ini diperparah oleh perilaku kurang terpuji guru dan orang tua Dong Eun. Semua bukti bullying yang dikumpulkan oleh perawat sekolah seakan hanya menjadi angin lalu. Mental dan fisik Dong Eun hancur akibat bullying berkepanjangan ini. Semua terjadi hingga pada akhirnya Dong Eun keluar dari sekolah dan mengubur mimpinya untuk menjadi seorang arsitek.

Hidup memang seolah tak adil bagi Dong Eun. Para pelajar yang dulu mem-bully-nya sekarang hidup bahagia dan sukses. Beberapa diantaranya bahkan terkenal dan masuk TV. Oknum guru yang berperan dalam kasus bullying Dong Eun pun, bahkan berhasil memperoleh penghangaan dan pemerintah dan menikmati hidup damai sebagai pensiunan guru. Dong Eun memantau pergerakan orang tua nya sama seperti ia memantau pergerakan para pem-bully. Entah apa yang akan Dong Eun lakukan pada orang tuanya sendiri.

Di sini The Glory dengan cerdas membuat aksi bullying terlihat berada ambang dibatas antara mustahil dan mungkin. Sangat berbeda dengan film-film Indonesia dan India yang sering kali berlebihan untuk adegan-adegan seperti ini. Peristiwa bullying pada Glory ternyata memang diambil dari kasus-kasus bullying yang memang nyata pernah terjadi di Korea Selatan.

Potongan aksi bullying ini sering kali muncul pada The Glory. Penonton pun membuat semakin memihak Dong, Eun, meski apa yang ia lakukan tidak 100% benar. Si tokoh utama memang masih mengalami trauma sampai bertahun-tahun setelah peritiwa buruk tersebut terjadi. Dong Eung pun selama ini mendedikasikan seluruh hidupnya untuk membalas dendam bagi semua pihak yang bertanggung jawab terhadap aksi bullying yang menimpanya.

Perlahan tapi pasti, selama bertahun-tahun Dong Eun menyiapkan rencana balas dendam. Ia tidak ingin semuanya langsung mati terbunuh begitu saja. Dong Eun ingin pula menghancurkan hidup para pelaku. Balas dendam ini harus perlahan agar lebih terasa :’D.

Sebenarnya, dalam perjalanannya, Dong Eun menemukan persahabatan dan cinta. Semua itu berusaha ia buang jauh-jauh agar dapat tetap fokus menjalankan rencanya. Sebenarnya ia memiliki pilihan untuk melupakan semua aksi bullying dan memaafkan semuanya. Kemudian menjalankan hidup normal bebas dari semua kebencian. Pilihan lainnya adalah menyiksa semua pihak yang terlibat, sampai habis. Secara moral, pilihan memaafkan memang yang paling baik. Tapi terus terang pilihan ini agak klise dan sangat membosankan. Melihat Dong Eun membalas dendam memang sangat memuaskan. Terlebih lagi, adegan aksi bullying di masa lampau selalu muncul pada setiap episodenya hehehehe. Gemes saya melihatnya.

Sementara ini The Glory berhasil menjadi serial balas dendam favorit saya. Balas dendam tidak hanya langsung pukul atau tembak sampai mati saja, hehehe. Serial ini sudah selayaknya untuk memperoleh nilai 4 dari skala maksimum 5 yang artinya “Bagus”.

Sumber: http://www.studiodragon.net

Serial Revenge of Others

Serial Revenge of Others (3인칭 복수) merupakan serial asal Korea Selatan yang bercerita mengenai misteri pembunuhan di sebuah sekolah. Ok Chan Mi (Shin Ye-eun) rela pindah sekolah dari Busan ke Seoul demi menyelidiki kematian saudara kembarnya. Kepolisian Seoul menyatakan bahwa ini adalah kasus bunuh diri. Semua orang percaya dan menerima hal itu kecuali Ok Chan Mi.

Sekilas, lingkungan sekolah saudara kembar Ok Chan Mi, seperti lingkungan sekolah biasa. Lama kelamaan Chan Mi menemukan berbagai masalah di dalam lingkungan tersebut. Mulai dari bullying, pelecehan, sampai cinta terlarang. Semua dibungkus dibalik budaya ketimuran yang tidak sevulgar budaya barat.

Serial ini memiliki beberapa misteri yang terus menerus muncul secara bergantian. Misterinya tidak mengadung teka-teki yang rumit sehingga semua terbilang mudah dipahami. Sayangnya, terkadang yah misterinya terlalu mudah ditebak. Semua serba ringan karena Revenge of Others berbicara pula mengenai permasalahan remaja.

Kisah percintaan dan bullying ternyata cukup dominan juga pada serial ini. Bagian paling memuaskan pada serial ini justru pada beberapa adegan yang membahas bullying. Bukan ketika misterinya terungkap. Lucunya, bullying dan misteri pembunuhannya, bukanlah bagian yang menjadi sebab akibat langsung. Entah serial ini mau bercerita mengenai misteri pembunuhan atau permasalahan remaja.

Karena latar belakangnya adalah sekolahan, jadi masuk akal kalau permasalahan remaja ikut hadir disana. Walaupun memang agak overdosis. Selain itu terdapat beberapa bagian yang lumauan menegangkan dan menbuat saya penasaran. Bagaimanapun juga, Revenge of Others tetap menarik untuk diikuti. Serial ini mampu menjadi hiburan ringan di saat penat. Saya rasa Revenge of Others layak untuk memperoleh nilai 3 dari skala maksinum 5 yang artinya “Lumayan”.

Sumber: http://www.sbsmedia.co.kr

Serial Big Mouth

Sejak melihat trailernya, saya sudah tertarik untuk menonton serial Big Mouth. Serial asal Korea Selatan yang menggunakan judul빅마우스 di negara asalnya. 빅마우스 sendiri sebenarnya berarti Big Mouse, bukan Big Mouth. Judul Big Mouse sebenarnya lebih cocok ya dijadikan sebagai judul. Film ini memang banyak mengisahkan misteri yang mengelilingi Big Mouse. Ia adalah karakter misterius yang sangat berkuasa di dunia kriminal. Dengan jaringan yang luas di mana-mana, siapapun bisa jadi merupakan mata-mata Big Mouse. Apakah Big Mouse jahat? Kalau menurut saya Big Mouse itu seperti antihero. Tokoh kriminal yang berseteru dengan tokoh-tokoh lain yang lebih jahat dan kejam darinya. Terdapat pejabat dan pengusaha yang diam-diam lebih jahat dari Big Mouse.

Di tengah-tengah perselisihan antara Big Mouse dengan berbagai pihak, muncul Park Chang-ho (Lee Jong-suk). Ia adalah pengacara sederhana yang banyak hutangnya dan jarang memenangkan kasus hukum. Hal ini diperburuk ketika Chang-ho tiba-tiba harus mendekam di penjara akibat kecelakaan mobil yang penuh rekayasa. Seketika itupulalah Chang-ho harus menjalani hidup yang berbeda. Di penjara, terjadi banyak hal yang menunjukkan bahwa Chang-ho merupakan Big Mouse. Masalahnya apakah ia benar-benar Big Mouse atau bukan?

Di sini terdapat banyak sekali misteri yang menyenangkan untuk disaksikan. Mulai dari kenapa Chang-ho dijebak, siapa Big Mouse, sampai rahasia besar sekelompok penguasa yang sudah ditutupi lebih dari puluhan tahun. Berbagai karakter dan berbagai pihak bisa saling membantu dan berhianat dalam hitungan detik. Adu strategi dan keberuntungan terlihat jelas di sana. Saya pun agak ragu menebak siapa yang paling jahat dari yang jahat.

Mayortitas ceritanya dilihat dari sudut pandang Chang-ho. Pembawaan karakter Chang-ho yang mendadak menjadi Big Mouse pun sangat menarik untuk disaksikan. Ia nampak berhasil menyelesaikan berbagai masalah yang datang dengan sangat cerdas. Bagian menyebalkan dimana karakter utama tersiksa, tidak terlalu banyak.

Di luar penjara, ada istri Chang-ho yang sangat setia, yaitu Ko Mi-ho (Im Yoon-ah). Romansa Mi-ho dan Chang-ho menjadi bagian yang mengharukan untuk ditonton. Mi-ho tidak hanya diam menunggu, ia pun melakukan penyelidikan mandiri bersama rekan-rekan Park lainnya.

Misteri ada, romansa ada, naaah komedi juga ada loh. Porsi komedi pada Big Mouth terbilang cukuplah porsinya. Masih ok sebagai selingan. Jadi serial ini tidak terus menerus membahas hal-hal yang serius.

Serial Big Mouth terbilang komplet. Ada tawa, haru dan ketegangan di sana. Unsur misteri dan tokoh utamanya berhasil membuat serial ini semakin greget. Saya rasa Big Mouth sudah sepantasnya untuk memperoleh nilai 4 dari skala maksimum 5 yang artinya “Bagus”. Serial ini mengambil latar belakang sebuah negara yang dipenuhi oleh korupsi dan pelanggaran hukum. Sesuatu yang agak fiksi yaaa. Karena selama saya di Korea dulu, yaah Korea itu sangat tertib dan taat hukum. Jadi, setelah menonton Big Mouth, jangan beranggapan bahwa di Korea Selatan seperti itu keadaannya :’D.

Sumber: astory.co.kr

The Black Phone (2021)

The Black Phone (2021) merupakan film yang diadaptasi dari sebuah cerita pendek karya Joe Hill. Saya beberapa kali melihat kegagalan dari film yang diambil dari cerita pendek. Materi yang tidak terlalu banyak, harus disajikan dengan durasi yang agak panjang. Bagaimana dengan The Black Phone (2021)?

Melihat trailernya saya langsung tertarik untuk menonton. Kisahnya berhubungan dengan kasus penculikan oleh The Grabber (Ethan Hawke). Nama The Grabber adalah julukan dari masyarakat bagi seseorang yang melakukan penculikan anak-anak di pinggiran kota Denver pada tahun 80-an. Anak-anak dari berbagai kalangan, diculik di jalanan yang sepi. Anak-anak tersebut belum ada yang berhasil ditemukan. Telefon meminta tebusan pun tak ada. Semua menduga bahwa anak-anak tersebut sudah tewas, kemungkinan disiksa dulu sebelumnya ….

Ok, saya fikir The Black Phone (2021) adalah kasus kriminal biasa. Lalu dimana telefon hitamnya? :’D. The Grabber berhasil melakukan aksinya dengan sangat lancar. Semua berubah ketika ia melakukan kesalahan dengan menculik salah satu anak dari keluarga Blake. Keluarga Blake memiliki masa lalu yang kelam terkait dunia supranatural. Disinilah unsur horor dari film ini. Keluarga Blake hanya terdiri dari si bapak dan 2 anaknya. Si ibu meninggal bunuh diri setelah mendengar berbagai bisikan dan mengalami mimpi-mimpi aneh. Si bapak mengalami depresi dan sering mabuk-mabukan. Finney Blake (Mason Thames) adalah anak sulung dari keluarga Blake. Sementara itu Gwen Blake (Madeleine McGraw) adalah adik Finney yang sudah mulai mengalami mimpi-mimpi aneh seperti mendiang ibu mereka. Siapa yang The Grabber culik? Finney, si sulung yang sementara itu belum memiliki kemampuan supranatural apa-apa.

Finney disekap di ruang bawah tanah yang cukup luas. Di sana hanya terdapat kasur dan sebuah telefon rusak. Melalui telefon ini, Finney dapat memulai komunikasi dengan para korban The Grabber. Masing-masing korban memberikan petunjuk dan saran agar Finney dapat menyelamatkan diri. Inilah bagian yang paling seru dari The Black Phone (2021). Perlahan tapi pasti, Finney menguak berbagai misteri yang ada.

Dengan lokasi yang hanya itu-itu saja, The Black Phone (2021) berhasil membuat saya menyimak tanpa mengantuk, jauhlah dari kata bosan. Kisahnya, misterinya semua disajikan dengan menarik.

Kemudian, The Black Phone (2021) tidak banjir jump scare. Penggunaan jump scare pada film ini terbilang sangat pas. Saya paling benci kalau menonton film horor yang menggunalan jump scare di mana-mana sampai di bagian yang tidak perlu.

Secara keseluruhan, The Black Phone (2021) layak untuk memperoleh nilai 4 dari skala maksimum 5 yang artinya “Bagus”. Ternyata ada juga film hasil adaptasi cerita pendek yang sebagus ini.

Sumber: http://www.theblackphonemovie.com

Death on the Nile (2022)

Death on the Nile adalah salah satu novelnya Agatha Christie yang pernah saya baca. Hercule Poirot sang detektif ternama dari Belgia kembali hadir dengan beberapa kasus pembunuhan di Mesir. Poirot adalah karakter favorit saya dari beberapa karakter karangan Agatha Christie. Saya pun sempat menonton Death on the Nile (1976), tapi itu dulu sekali. Sebenarnya kisahnya tidak terlalu berkesan, jadi saya sudah agak lupa hehehe.

Setelah Murder at the Oriont Express (2017), Hercule Poirot (Kenneth Branagh) kembali berhadapan dengan sebuah misteri kasus pembunuhan. Sebenarnya keadaan yang Poirot hadapi agak mirip dengan yang ia hadapi pada Murder at the Oriont Express (2017). Dikisahkan bahwa Poirot sedang menikmati liburannya di Mesir. Ia bertemu seorang sahabat dan di sana ia memutuskan untuk bergabung pada sebuah paket perjalanan liburan. Poirot mengikuti paket wisata mengarungi Sungai Nil. Ia bersama beberapa tamu lainnya, berwisata menggunakan sebuah kapal mewah yang cantik. Tak lupa mereka pun mampir melihat Kuil Abu Simbel yang terkenal. Di tengah-tengah kegembiraan tersebut, bahaya diam-diam datang mengancam.

Semua tamu-tamu pada perjalanan ini ternyata saling mengenal. Pusat perhatian pada perjalanan tersebut adalah pada Linnet Ridgeway-Doyle (Gal Gadot). Ia merupakan wanita kaya raya yang sedang merayakan bulan madu. Semua tamu yang ada pada perjalanan tersebut memiliki hubungan dengan Linnet. Di mana ada uang, di sanalah semut-semut berdatangan.

Ketika terjadi beberapa pembunuhan di dalam kapal, Poirot harus menuntaskan semua prahara ini. Pembunuhan terjadi ketika kapal sedang berlayar di tengah sungai. Maka tersangka pembunuhannya sudah pasti diantara awak kapal dan penumpang yang ada. Saya suka dengan bagaimana Poirot menginterogasi dan menggali motif dari setiap penumpang. Terbukti bahwa semuanya memang memiliki motif untuk melakukan semua tindak kejahatan ini. Poirot pun terpaksa mengumumkan sebuah rahasia yang ia simpan ketika memutuskan untuk bergabung dengan rombongan wisata ini.

Saya suka dengan cerita-cerita penyelidikan seperti ini sebagai hiburan. Hanya saja kasus Poirot yang satu ini pada dasarnya memang tidak terlalu “Wah”. Death on the Nile (2022) sudah melakukan yang terbaik untuk menampilkan kasus ini. Mulai dari latar belakang Mesir yang cantik lengkap dengan kapal lawas yang mewah. Saya rasa Death on the Nile (2022) masih pantas untuk memperoleh nilai 3 dari skala maksimum 5 yang artinya “Lumayan”.

Sumber: http://www.20thcenturystudios.com

The Hunt (2020)

The Hunt (2020) mengisahkan perburuan manusia oleh sekelompok orang kaya. Entah apa alasannya, terjadu penculikan terhadap sekelompok orang yang tidak saling kenal. Mereka kemudian dilepaskan di sebuah area misterius untuk diburu.

Para memburu menggunakan berbagai taktik. Mulai dari yang langsung tembak menggunakan senjata api, granat dan panah. Sampai ada yang melakukan penyamaran sebelum membunuh demi kesenangan semata.

Perlahan, siapa dan kenapa semua ini terjadi dapat terkuak. Para pemburu yang pada awalnya seolah mengetahui segalanya, ternyata melakukan kesalahan fatal. Kesalahan fatal yang tidak disadari sejak awal. Sesuatu yang membuat acara perburuan mereka kacau balau.

Bagaimana para pemburu melakukan perburuan ada yang menarik, tapi ada pula yang klise dan membosankan. Tapi saya suka bagaimana para karakter antagonis termakan permainan mereka sendiri. Pada akhirnya, The Hunt (2020) memang berhasil memberikan akhir yang memuaskan.

Sayang unsur misteri pada film ini seilah menguap dan kurang menarik pada pertengahan film. Saya sendiri menjadi kurang peduli mengenai alasan di balik perburuan tersebut.

Maka, saya rasa The Hunt (2020) layak untuk memperoleh nilai 3 dari skala maksimum 5 yang artinya “Lumayan”. Not bad laaaah, dapat dijadikan selingan setelah WFH ;).

Sumber: http://www.uphe.com

Serial Squid Game

Serial Ojing-eo Geim atau Squid Game mengisahkan kompetisi maut dengan hadiah yang sangat besar. Pemenang kompetisi ini akan kaya mendadak. Sedangkan sisanya akan menemui ajal. Permainan yang dimainkan pada kompetisi tersebut adalah permainan klasik anak-anak Korea. Ada beberapa permainan yang saya sendiri tidak kenal. Squid game sendiri merupakan permainan yang dimainkan pada akhir konpetisi. Sekilas permainannya seperti galaksin atau gobak sodor. Selain itu terdapat pula permainan anak-anak lain seperti kelereng, tarik tambang dan lain-lain.

Kisah mengenai bagaimana sekelompok orang saling bunuh demi meraih kemenangan, sudah banyak diangkat menjadi cerita film. Yang spesifik mengangkat tema permainan anak pun sudah pernah hadir melalui As the Gods Will (2014). Tapi ada sesuatu yang berbeda dari Serial Squid Game. Film seri ini sangat berbeda dengan As the Gods Will (2014) dan film-film bertemakan survival lainnya.

Dari segi visual saja, Squid Game tampil unik dengan penampilan peserta dan penyelenggara yang unik. Latar belakang pulau tempat permainan berlangsung pun berhasil menambah kesan misterius tanpa harus terus menerus menggunakan warna-warna gelap.

Dari segi cerita, permainan anak-anak hanyalah bagian dari sebuah intrik besar yang Squid Game sajikan. Bagaimana permainan berlangsung, mulai dari pemilihan tim sampai urutan bermain berhasil menghasilkan konflik diantara peserta. Di sela-sela permainan pun terjadi berbagai drama yang menarik untuk diikuti. Setiap karakter pada film seri ini bisa saja saling tikam setelah sebelumnya saling tolong. Siapapun bisa saja mendadak menjadi malaikat, dan siapapun bisa pula mendadak berubah menjadi iblis. Wah keren deh pokoknya, saya salut dengan bagaimana konflik pada serial ini selalu tampil segar dan memikat.

Merujuk berbagai hal di atas, sopasti saya ikhlas untuk memberikan serial ini nilai 4 dari skala maksimum 5 yang artinya “Bagus”. Serial Squid Game sudah jelas berhasil menjadi kisah permainan maut favorit saya.

Sumber: squidgameofficial.com

The Hunt for Red October (1990)

Saya mengenal nama Tom Clancy dari beberapa video game besutan Ubisoft yang belum pernah saya mainkan, tidak punya console-nya, hehee. Yang pasti temanya pastilah soal militer. Video-video game tersebut tentunya dibuat berdasarkan novel karangan Tom Clancy. Tidak hanya video game, novel Opa Clancy juga sudah lama merambah dunia film layar lebar. Saya sendiri pernah membahas Jack Ryan: Shadow Recruit (2014), salah satu film yang dibuat berdasarkan novel Tom Clancy. Tapi Jack Ryan: Shadow Recruit (2014) bukanlah yang pertama. The Hunt for Red October (1990) merupakan film pertama yang dibuat berdasarkan novel Tom Clancy dengan judul yang sama. Film ini menampilkan 2 nama besar pada era tahun 90-an yaitu Sean Connery & Alec Baldwin.

Sean Connery berperan sebagai Marko Ramius, seorang Kapten kapal selam Uni Soviet yang sangat terkenal di dunia militer. Ia sangat dihormati dan berhasil melatih kapten-kapten kapal selam handal bagi Uni Soviet. Dengan reputasinya yang gemilang, Ramius diberi kepercayaan untuk memimpin para awak dari kapal selam terbaru Uni Soviet, yaitu Red October.

Sementara itu Jack Ryan (Alec Baldwin) merupakan analis intelejen CIA yang cerdas. Ia melihat bahwa terdapat kemungkinan bahwa Ramius bermaksud untuk membelot dari Uni Soviet. Menurut Ryan, Red October hendak Ramius berikan kepada pihak Amerika Serikat yang pada saat itu menjadi rival terberat Uni Soviet.

Latar belakang film ini adalah era perang dingin antara Amerika Serikat dengan Uni Soviet sebelum era kepemimpinan Mikhail Gorbachev. Kedua negara bersaing keras dalam berbagai bidang, tapi tidak secara langsung berperang saling baku hantam. Unsur politis ini pun berhasil diolah menjadi sesuatu yang menarik pada The Hunt for Red October (1990). Politisi dari kedua belah pihak saling berargumen mengenai hal-hal yang sebenarnya terjadi di Samudra Atlantik. Kesalahan berbicara sedikit saja dapat memicu perang dunia ketiga.

Apa yang sebenarnya terjadi di Samudra Atlantik? Ramius melakukan beberapa aksi di luar perintah atasannya. Akibatnya Uni Soviet Mengirim hampir semua kapal selamnya untuk mengejar Red October yang dipimpin Ramius. Pihak Amerika sendiri kebingungan. Apakah Ramius nekat hendak melakukan aksi agresi militer ke dalam wilayah Amerika Serikat? Apakah Ramius datang dengan damai dan hendak bergabung dengan Amerika Serikat?

Selain itu, aksi Ramius tentunya berpotensi menimbulkan pemberontakan di antara para awak Red October. Belum lagi terdapat agen KGB di dalam Red October. Penghianatan di dalam dan luar Red October memang menghantui film ini

Berbagai konflik yang ada berhasil ditampilkan dengan seru dan mudah dimengerti. Walaupun terbilang minim adegan perang, The Hunt for Red October (1990) berhasil memberikan atmosfer ketegangan yang menarik disepanjang film.

Saya pribadi ikhlas untuk memberikan The Hunt for Red October (1990) nilai 4 dari skala maksimum 5 yang artinya “Bagus”. Pantas saja setelah The Hunt for Red October (1990), novel Tom Clancy terus dibuat versi layar lebarnya.

Sumber: http://www.paramount.com