
Cerita mengenai dewa Zeus, Hera, Hercules dan segala sesuatu terkait mitologi Yunani sudah sering sekali hadir dalam bentuk film. Kali ini Holywood mencoba peruntungan dengan mengangkat mitologi Mesir sebagai tema cerita melalui Gods of Egypt (2016). Kisah atau film mengenai Mesir selalu dikaitkan dengan Mumi dan Piramid, jarang sekali dewa-dewi Mesir diangkat ke layar lebar. Hal inilah yang membuat saya tertarik untuk menonton Gods of Egypt (2016).
Dikisahkan bahwa Mesir mengalami masa-masa penuh kedamaian di bawah kekuasaan Dewa Osiris (Bryan Brown), anak dari Dewa Ra (Geoffrey Rush). Sebagai pencipta manusia, Ra memilih untuk melindungi umat manusia dari angkasa. Sementara ini penguasaan atas Bumi diatur oleh anak-anak Ra yang hidup berdampingan dengan manusia.



Anak Ra memang bukan hanya Osiris seorang. Osiris memang memimpin Mesir dan para Dewa di Bumi, tapi ada dewa lain yang iri dan melakukan kudeta. Pada suatu kesempatan, Dewa Set (Gerard Butler) berhasil membunuh dan memutilasi Osiris. Tidak hanya itu, Set pun mengambil mata Dewa Horus (Nikolaj Coster-Waldau), anak Osiris.



Hidup buta dan terasing di padang pasir, Horus akhirnya memperoleh secercah harapan ketika Bek (Brenton Thwaites) berhasil membawakan salah satu mata Horus. Di sini, bagian tubuh dewa itu seolah seperti onderdil mobil yang dengan mudah dapat di bongkar pasan, Horus dapat langsung memasang dan menggunakan mata yang Bek bawa.
Dimanakah mata Horus yang satunya lagi? Bek bersedia membantu Horus untuk mencuri mata tersebut sekaligus merebut Mesir kembali, asalkan Horus bersedia menghidupkan kembali kekasih Bek, Zaya (Courtney Eaton). Horus menyetujui sesuatu yang belum tentu dapat ia penuhi. Terbutakan dengan api dendam, Horus melakukan apapun demi membunuh Set dan merebut kembali Mesir. Padahal esensi dari menjadi penguasa Mesir adalah peduli terhadap rakyat kecil dan melakukan perbuatan yang benar. Akankah Horus belajar?





Setahu saya, kisah pertikaian Horus dan Set tidak seperti ini yaaa. Agak melenceng dari sejarah aslinya, yaaaahh anggap saja Gods of Egypt (2016) sebagai kisah fantasi yang menggunakan mitologi Mesir sebagai temanya. Mirip yang sudah sering kali Hollywood lakukan pada mitologi Yunani.
Pada film-film mitologi Yunani, tokoh utama dan dewa-dewinya sering diperangkan oleh aktor/aktris kulit putih, itu masih ok-lah, Yunani kan bangsa yang mayoritas penduduknya orang kulit putih. Lha kalau Mesir? Saya pernah ke Mesir dan logat beserta fisik mereka jauh dari orang kulit putih. Bukannya sara yaaa, tapi agak aneh saja kok dalam Gods of Egypt (2016) tidak ada satupun dewa atau pemeran utama yang memiliki fisik bangsa Mesir. Padahal pemeran tentara, budak dan rakyatnya banyak diisi oleh aktor Mesir sepertinya :’D.
Semua rakyat pada film ini mirip orang Mesir kecuali Bek dan Zaya yang notabene menjadi tokoh utama pada film ini, aneeeehhh :P. Tokoh Bek dan Zaya pun rasanya kok mirip Aladin dan Yasmin yaaa? Hohohoho. Selain itu tokoh Set yang Gerard Butler perankanpun rasanya mirip dengan tokoh Raja Leonidas pada film 300 (2006) yaaa.

Beruntung Gods of Egypt (2016) masih memiliki cerita yang lumayan menarik meski agak klise dan mudah ditebak :). Saya tidak merasakan kantuk ketika menonton film ini, terlebih lagi ketika saya melihat beberapa special effect CGI (Computer-generated imagery) pada film ini. Sebagian memang keren, ambisi pembuatan film ini dapat saya lihat. Namun sebagian lagi. . . . . membuat saya tertawa, terutama terkait kostum para dewa Mesir yang super mengkilat, tak lupa darah emas yang keluar dari tubuh ketika terluka. Yaaa ampuun, kualitasnya terbilang buruk untuk film keluaran tahun 2016 yaaa. Ini dananya yang terbatas atau dananya dikorupsi yah kok bisa begini :’D.




Aaahhhh, dengan berat hati saya hanya mampu memberikan Gods of Egypt (2016) nilai 2 dari skala maksimum 5 yang artinya “Kurang Bagus”. Untunglah saya tidak menontonnya di Bioskop hehee.
Sumber: http://www.lionsgate.com/movies/godsofegypt/
Menyukai ini:
Suka Memuat...