Serial Masters of the Universe: Revelation

He-Man adalah salah satu tokoh film yang saya ingat. Perawakannya yang seperti barbarian berotot masih ada di ingatan saya. Tapi semua hanya sebatas itu saja. Saya terlalu kecil ketika He-Man ditayangkan di TVRI. Paham ceritanya saja tidak, yah pokoknya nonton film kartun yang jagoannya pakai pedang hehehe.

Saya menonton He-Man di TVRI pada tahun 90-an. Padahal sebenarnya film seri animasi ini sudah populer sejak tahun 80-an. Kemudian judulnya bukan He-Man saja, melainkan He-Man and the Masters of Universe. Pada awalnya He-Man adalah action figure produksi Mattel. Desainnya diilhami oleh Conan the Barbarian karangan Robert E. Howard. Kemudian berbagai mahluk di sekitar He-Man diambil dari Trilogi Star Wars.

Penerbitan komik dan film seri animasi He-Man and the Masters of Universe pada dasarnya dipergunakan untuk menunjang penjualan mainannya. Yaaah mirip seperti Barbie. Kepopuleran film animasinya membuahkan sebuah film layar lebar yang dibintangi Dolph Lundgren, yaitu Masters of the Universe (1987). Wah saya ingat sekali, saya pernah menonton film ini di rumah saudara saya. Maklum saya tidak pernah memiliki mesin pemutar video di rumah.

Tak hanya film latar lebar, He-Man and the Masters of Universe bahkan berhasil menelurkan spinoff seperti She-Ra: Princess of Power pada era tahun 80-an. Bertahun-tahun kemudian, saya justru menonton reboot dari She-Ra: Princess of Power yang hadir pada 2018, yaitu She-Ra and the Princess of Power. Hadir dengan grafik kekinian yang penuh warna, serial ini terbilang menarik untuk ditonton.

Agak berbeda dengan She-Ra, kisah He-Man justru hadir kembali pada He-Man and the Masters of Universe pada 2002 dan 2021. Keduanya belum saya tonton karena sepertinya akan mengisahkan perseteruan He-Man dan Skeletor saja. Agak bosan ya, tidak ada hal yang baru.

Serial Masters of the Universe: Revelation menjanjikan sesuatu yang berbeda. Dari judulnya saja tidak ada kata-kata He-Man. Latar belakang film seri ini memang sama persis dengan film-film sebelumnya. Pangeran Adam dari negeri Etheria dapat berubah menjadi He-Man (Chris Wood) untuk melawan Skeletor (Mark Hamill). He-Man dan kawan-kawan berusaha mempertahankan Kastil Greyskull dari serangan Skeletor. Siapa yang menguasai Kastil tersebut, mampu menguasai alam semesta. Konon seluruh alam semesta berpusat di dalam Kastil Greyskull. Perseteruan abadi inilah yang menjadi plot utama mayoritas film-film He-Man. Nah Masters of the Universe: Revelation mengisahkan kematian He-Man dan Skeletor pada episode pertamanya. Beda sekali bukan? Hohohoho.

Beberapa fans fanatik He-Man akan membenci film seri ini. Bisa jadi alasannya karena konflik He-Man dan Skeletor tidak lagi menjadi menu utama. Jangan salah. He-Man dan Skeletor tetap menjadi bagian penting pada Masters of the Universe: Revelation. Hanya saja kali ini keduanya harus berbagi spotlight dengan karakter-karakter lainnya. Karakter wanita seperti Teela (Sarah Michelle Gellar) dan Evil-Lyn (Lena Headley), kali ini memiliki peranan yang relatif lebih banyak dibandingan ketika keduanya ada di He-Man and the Masters of Universe.

Rahasia-rahasia yang sebenarnya sudah disampaikan pada film seri versi tahun 80-an kembali disampaikan dengan dengan cara yang sedikit berbeda. Walaupun He-Man praktis tidak dominan pada film seri ini, saya tetap suka dengan jalan ceritanya. Semua diberbeda sehingga masih ada rasa penasaran ketika menonton Masters of the Universe: Revelation.

Dari segi gambar, Masters of the Universe: Revelation mengambil jalan yang jauh berbeda dibandingkan serial terbaru She-Ra. Masters of the Universe: Revelation justru tampil dengan gaya kartun klasik. Namun, serial ini tetap menampilkan kualitas yang jauh lebih baik dibandingkan kartun-kartun lawas. Terutama adegan perkelahiannya. Didukung pula oleh lagu dan suara yang keren, adegan perkelahian serial ini terbilang seru.

Sejauh ini Masters of the Universe: Revelation berhasil membuat saya untuk terus mengikuti ceritanya. Semoga akhir dari serial ini tidak menggantung seperti film seri tahun 80-annya. Saya rasa Masters of the Universe: Revelation layak untuk memperoleh nilai 4 dari skala maksimum 5 yang artinya “Bagus”.

Sumber: creations.mattel.com/pages/masters-of-the-universe

Ready Player One (2018)

Awalnya, Ready Player One (2018) sepertinya bukan termasuk film yang menarik untuk ditonton. Sambutan meriah dari beberapa rekan saya mendorong saya untuk akhirnya ikut menonton film tersebut. Film ini ternyata merupakan karya Steven Spielberg yang diambil dari novel karya Ernest Cline dengan judul yang sama. Kisahnya mengenai perebutan kekuasaan sebuah dunia virtual.

Latar belakang film ini adalah dunia masa depan dimana kemajuan teknologi tidak diiringi oleh kesejahteraan penduduknya. Muak dengan kehidupan nyata, banyak penduduk Bumi mencari pelepas penat di sebuah dunia lain, dunia dimana mereka dapat menjadi apa saja, dan dapat berbuat macam-macam. Dengan menggunakan perangkat Virtual Reality, mereka dapat masuk ke Oasis (Ontologically Anthropocentric Sensory Immersive Simulation), sebuah dunia virtual yang sangat populer dan penuh kebebasan.

Pada dasarnya Oasis merupakan permainan MMOSG (massively multiplayer online simulation game) dimana di dalamnya para pemain seolah memiliki kehidupan baru yang lepas bebas dari kehidupan nyata. Di sana mereka dapat bermain balapan, bertempur, berkelahi, berjudi, berdansa, bersosialisasi, berteman, berpartisipasi dalam berbagai event unik dan lain-lain. Semua terasa amat nyata karena pemain Oasis menggunakan kacamata Virtual Reality dan sensor-sensor di berbagai bagian tubuh mereka. Wah, kalau yang namanya Oasis memang benar-benar ada, saya juga mau ikutan :D.

Oasis diperkenalkan oleh James Donovan Halliday (Mark Rylance) dan Ogden Morrow (Simon Pegg) pada tahun 2025. Beberapa tahun kemudian Morrow memutuskan untuk meninggalkan proyek Oasis. Di tangan Halliday seorang diri, Oasis tetap kokoh dan tidak kehilangan reputasinya sebagai dunia virtual terpopuler di dunia. Oasis tetap menjadi nomor satu bahkan sampai setelah Halliday wafat pada 7 Januari 2040.

Ketika Halliday wafat, seluruh dunia menerima unggahan video yang menyatakan bahwa Halliday telah menanamkan sebuah event super unik di dalam Oasis, sebuah event yang akan mulai ketika Halliday wafat. Whah event apa yah? Para pemain harus mencari 3 buah kunci dengan memecahkan berbagai teka-teki yang terselubung di dalam dunia Oasis. Barangsiapa yang berhasil memperoleh ketiga kunci tersebut, maka ia akan memperoleh 100% kontrol akan Oasis. Sebuah event yang hadiahnya kepemilikan sebuah dunia virtual terpopuler di dunia, aaahh jelas semua orang terpacu untuk memperolehnya.

5 tahun setelah event dimulai, tak ada satupun yang berhasil menemukan kunci pertama. Mengetahui lokasi dan apa teka-teki yang harus dipecahkan saja susahnya bukan main. Semua seakan mustahil sampai seorang pemain bernama Parzival berhasil memperoleh kunci pertama.

Di dunia nyata, Parzival adalah anak yatim piatu bernama Wade Watts (Tye Sheridan) yang hidup pas-pasan bersama bibi dan paman tirinya. Dengan berhasilnya Wade atau Parzival memperoleh kunci pertama, seketika itu pulalah ia menjadi sorotan sekaligus buruan IOI (Innovative Online Industries) yang dipimpin oleh Nolan Sorreto (Ben Mendelsohn). IOI merupakan perusahan IT terbesar kedua di dunia setelah perusahaan milik mendiang Halliday. perusahaan ini ingin menguasai Oasis dan perusahaan milik Halliday dengan memperoleh ketiga kunci Halliday di dalam Oasis. Sorreto dan kawan-kawan rela membayar ratusan pegawai untuk berkelana di dalam Oasis dan memecahkan teka-teki Halliday.

Parzival tidak sendirian di dalam Oasis. Ia memperoleh dukungan dari pemain Oasis dengan nama Aech, Art3mis, Sho dan Daito. Mereka berteman di dunia maya dan belum pernah bertemu di dunia nyata. Namun mereka saling tolong menolong dalam persaingan memperebutkan ketiga kunci Halliday melawan ratusan tentara IOI dan pemain Oasis lainnya, baik di dunia virtual maupun di dunia nyata.

Film ini cukup menarik karena secara teknologi, Oasis bisa saja benar-benar ada dalam beberapa tahun ke depan. Selain itu, budaya pop sangat kental terlihat pada Ready Player One (2018). Tidak hanya teka-teki Halliday saja yang kental akan budaya pop, tapi atribut, musik, pengambilan gambar sampai gerakan karakter dibuat berdasarkan video game atau film yang pernah populer di era 80-an, 90-an dan awal abad 21. Pada Ready Player One (2018) saya dapat melihat bagian dari Back to the Future, The Shining, Jaws, The Irom Giants, The Terminator, Mad Max, Akira, Chucky, Buckaroo Banzai, Mortal Kombat, Alien, Ghostbusters, Godzilla, Speedracer, Batman, The Flash, Thundercats, He-Man, Firefly, Gundam, Kura-Kura Ninja, Tomb Rider, Street Fighter, Halo, Donkey Kong, Pitfall, Centipede dan lain-lain, semuanya tersebar dimana-mana. Ini bagaikan nostalgia karena mengingatkan saya akan video game yang dulu pernah saya mainkan, dan film yang pernah saya tonton ketika masih kecil. Syukurlah Ready Player One (2018) termasuk adil untuk hal ini karena budaya pop yang ditampilkan bukan hanya budaya pop tahun 80-an. Selama ini saya sering melihat budaya pop 80-an yang terus diagung-agungkan, bosan saya :’D. Bagi pecinta budaya pop 80-an garis keras, Ready Player One (2018) mungkin akan nampak hampa dan kurang memiliki unsur nostalgia hehehehehe.

Akantetapi, kalaupun Oasis benar-benar ada, kemungkinan saya hanya akan memainkannya selama sebulan pertama saja. Oasis memang nampak luas dan bebas, tapi dunia virtual pada Ready Player One (2018) ini memiliki 1 peraturan yang tak lazin ditemukan pada video game pada umumnya. Peraturan tersebut adalag, apabila si pemain tewas, maka ia akan kehilangan nilai, koin, avatar, senjata dan semua yang ia miliki. Si pemain akan lahir kembali dengan keadaan seperti awal mula ia baru bermain. Koin nyawa ekstra memang ada sih, tapi amat sangat jarang sekali, hal ini jelas terlihat pada salah satu adegan di Ready Player One (2018).

Adegan-adegan pada film ini berhasil menampilkan sebuah dunia virtual yang berdampingan dengan dunia nyata dengan sangat baik. Adegan aksinya pun terbilang bagus dan memukau. Ditambah dengan jalan cerita yang menarik dan penuh nostalgia bagi banyak orang, Ready Player One (2018) layak untuk memperoleh nilai 4 dari skala maksimum 5 yang artinya “Bagus” ;).

Sumber: readyplayeronemovie.com