Kali ini saya akan menceritakan pengalaman saya ketika terpapar Covid-19 pada Juni 2021. Entah terkena varian virus yang mana, yang pasti, sedang terjadi lonjakan jumlah pasien Covid-19 di Indonesia. Well, sebenarmya, sejak Covid-19 merebak pada 2019 lalu, saya sekeluarga termasuk mahluk yang rajin semprot-semprot disinfektans dan antiseptik. Masker pun tidak pernah lepas. Kemanapun kami pergi, protokol kesehatan kami terapkan dengan ketat.
Saya sendiri Work From Home (WFH), hanya sesekali ke kantor, mungkin hanya 2 kali dalam sebulan. Istri dan ibu saya tergolong tenaga kesehatan (Nakes). Tapi keduanya sangat disiplin dalam protokol kesehatan. Status Nakes mereka pulalah yang membuat mereka sudah lebih dahulu mendapatkan suntik vaksin Covid-19. Alhamdulillah kami sekeluarga tetap bebas dari Covid-19.
Pada sekitar bulan Mei akhir, saya mendadak demam, sakit perut dan nyeri otot yang amat sangat. O’ow, gawat nih, apakah ini Covid-19? Setelah dilakukan pemeriksaan, ternyata saya terkena Demam Berdarah. Sekitar 7 tahun yang lalu, saya terkena demam berdarah dan gejalanya ringan sekali. Sayang oh sayang sekali, kali ini semua berbeda. Saya terkena jenis Demam Berdarah yang lebih ganas sehingga saya harus di rawat di rumah sakit. Nyeri otot dan mualnya benar-benar parah. Nafsu makan terjun bebas, padahal hobi saya kulineran. Beruntung saya tidak sampai mengalami kejang. Hari berlalu dan akhirnya saya sembuh dari Demam Berdarah dan memulai masa penyembuhan di rumah.
Baru sembuh dari Demam Berdarah, saya mendadak merasa demam lagi, mual lagi. Wahdu apa lagi ini? Saya bawa tidur, demam tidak kunjung turun, badan justru menjadi lemas. Tak lama saya mendapatkan kabar buruk. Hasil antigen periodik istri saya positif. Maka seketika itu pulalah, kami 1 rumah langsung berangkat untuk PCR. Bak disambar petir siang bolong, kami semua positif Covid-19 kecuali ibu saya. Alhamdulillah beliau lolos.
Anak-anak saya tetap ceria dan tidak menunjukkam gejala apapun. Begitu pula ibu dan istri saya yang bisa tetap bergerak lincah seperti tidak ada apa-apa. Asisten rumah tangga kami pun hanya pilek ringan. Pengasuh anak-anak sempat demam tapi sudah ok, paling hanya batuk sesekali. Sementara saya …. panas tinggi, pegal-pegal, mual dan ahhh …. sial. Daya tahan tubuh dari Demam Berdarah belum pulih, sudah kena yang lain lagi nih.
Penyekatan untuk isolasi mandiri pun kami lakukan di rumah. Karena kondisi badan saya yang tak kunjung membaik, akhirnya saya berobat ke Rumah Sakit. Kondisi Rumah Sakit sudah mulai penuh. Saya harus bolak-balik Rumah Sakit baru bisa masuk ruang perawatan. Tidak bisa sekali jalan langsung dapat tempat. Beberapa pasien bahkan ada juga yang beberapa hari menunggu di IGD (Instalasi Gawat Darurat). IGD Rumah Sakit nampak diperlebar dan diberikan tempat tidur tambahan untuk menampung pasien. Tapi karena jumlah pasiennya banyak, ya tetap harus mengantri diawali dari menggunakan kursi roda atau tempat duduk. Beruntung pada saat itu antrian pasien belum sampai selasar.
Saya akhirnya memperoleh tempat di ruang perawatan lantai 3. Satu ruangan diisi oleh 4 orang termasuk saya. Sayangnya, diantara keempat penghuni, saya termasuk yang paling lemas dan paling tidak nafsu makan, meskipun saya termasuk yang tidak kehilangan penciuman. Kalau dilihat, makanan Rumah Sakit untuk pasien Covid-19 ini tergolong mevahlah. Sayang mual dan nyeri perut membuat setiap sesi makan menjadi sesi perjuangan. Saya harus memaksakan makan atau ini akan bertambah buruk.
Obat infus dan suntik Rumah Sakit memang lebih joss khasiatnya. Kondisi saya membaik dan hanya sesekali saja mengalami demam. Maka, setelah beberapa hari di Rumah Sakit, sayapun dipersilahkam untuk pulang untuk isolasi mandiri di rumah. Walaupun, sebenarnya menjelang pulang, saturasi oksigen saya turun ke sekitar angka 94, 95, 96.
Setelah melalui proses administrasi dan lain-lain akhirnya kami bisa meninggalkan Rumah Sakit di malam hari. Seluruh biaya 100% ditanggung Kementrian Kesehatan RI, kami tidak mengeluarkan uang sepeserpun.
Tiba di rumah, sudah ada beberapa tabung Oksigen yang istri saya siapkan. Malam itupun saya bersiap untuk tidur bersama tabung-tabung tersebut. Namun, Saturasi oksigen bukanlah kekhawatiran utama kami malam itu. Demam saya yang terus menerus muncul lagi yang menjadi masalah. Obat minum seolah tidak berdaya. Saya terus demam dan tanpa kami sadari sepertinya saturasi Oksigen saya terus menurun. Sesak? Tidak ada rasa sesak saat itu, nafas terasa normal-normal saja.
Malam itu merupakan malam yang terlupakan bagi saya. Tapi tidak bagi keluarga saya. Saya tidur setelah meminum obat. Lalu saya tidak ingat apa-apa. Sekilas terdapat ingatan saya diikat, ada pesawat Star Treek, ada lomba menggambar, … ingatan yang aneh.
Baiklah, dari cerita istri saya sepertinya malam itu saturasi oksigen saya drop mungkin sampai ke angka 80-an atau 70-an entah selama berapa jam karena saya tidur sendiri di kamar bawah. Ketika istri saya masuk ke kamar saya, ia menemukan selang Oksigen terlepas dari hidung saya dan entah bagaimana regulator tabung Oksigen saya jatuh dan rusak.
Di pagi hari pun saya langsung diangkut ke Rumah Sakit dengan mencharter Angkot yang lewat. Sampai Rumah Sakit, saya harus mengantri di IGD. Mulai yang hanya duduk, kemudian akhirnya dapat kasur di IGD. Kondisi IGD Rumah Sakit sudah lebih penuh ketimbang saya terakhir ke sana.
Konon saturasi Oksigen saya pun langsung naik ke 97 begitu mendapatkan Oksigen Rumah Sakit. Namun karena cukup lama mengalami saturasi yang kecil, maka saya kehilangan kesadaran dan …. sedikit kewarasan.
Ada berapa tindakan aneh yang tanpa sadar saya lakukan selama terdampar di IGD. Yang pasti, di sana, saya satu-satunya pasien yang diikat. Sementara yang lain ngos-ngosan tapi pikirannya benar. Saya tidak ngos-ngosan tapi melakukan tindakan-tindakan aneh yang tidak saya sadari. Saya benar-benar tidak ingat selama itu berbuat apa saja. Ada kemungkinan ini disebut hipoksia, organ saya kekurangan Oksigen. Beruntung saya memiliki istri yang selama masa-masa gila itu, menemani saya terdampar di IGD.
Saya mulai sedikit sadar ketika tiba-tiba saya sudah berada di dalam ICU (Intensive Care Unit). Di sana saya bertemu banyak orang. Ada yang mengajak mengobrol, ada yang bisik-bisik dan lain-lain. Sebenarnya ini agak aneh, tapi saya tetap berbicara dengan mereka. Semua berlangsung sampai pada suatu titik dimana saya menyadari mereka semua hanya bagian dari halusinasi saya. Bahkan ketika saya sadar bahwa saya berhalusinasi, mereka tetap datang. Yaaah tak apalah, supaya ramai. Toh mereka datang mengajak bincang-bincang santai. Tidak ada yang kasar atau agresif :’D.
Kehilangan kesadaran dan halusinasi kemungkinan karena hipoksi. Ada apa ini sebenarnya? Konon beberapa pembuluh darah saya yang ke arah paru-paru dan jantung tersumbat. Waduh untung masih bisa selamat yaa. Saya paling ingat masa-masa di ICU karena disanalah saya perlahan mulai waras.
Di ICU kita tidak boleh memegang gadget, padahal kondisi di sana sangat membosankan, panas dan berisik. Rata-rata pasien yang masuk ICU sudah dalam kondisi berat sehingga mereka bisa jadi dibantu oleh 1 sampai 3 alat bantu penyokong hidup. 1 alat saja suaranya sudah nyaring. Bayangkan ruang ICU yang terdapat lebih dari 8 pasien. 1 ruang ICU memang besar dan dipergunakan bersama-sama. Saya hitung jumlah pasiennya ICU yah sekitar 8 atau 9. Yah mungkin nanti bisa jadi teman ngobrol sungguhan, bukan teman halusinasi. Hanya saja, kalau saya hitung kok jumlah pasiennya berubah-ubah terus ya. Aaahhh mungkin karena pikiran saya yang belum 100% waras.
Kebetulan saya di tempatkan di bagian pojok ICU. Jadi hanya ada teman di depan dan samping saja. Itupun ternyata mereka dalam keadaan berat semua. Selama beberapa hari di ruangan inilah saya melihat pasien yang berguguran. Kematian di ICU ternyata bisa terjadi dalam hitungan detik. Entah sekeras apa mental para Nakes ruang ICU. Dalam satu hari saja saya pernah mengalami pergantian tetangga selama 3 kali. Jadi pasien di sebelah saya 3 kali tidak terselamatkan. Belum lagi yang diseberang. Waduh, dalam 1 hari saya bisa melihat beberapa kematian.
Saya melihat perjuangan para Nakes di sana. Habis pasang alat ini itu, membujuk pasien supaya mau makan, tiba-tiba lari CPR ke pasien lain. Belum selesai 1, alat penyokong hidup ada yang membunyikan tanda bahaya. sungguh luar biasa. Apalagi kalau saya lihat kok Nakesnya itu-ituuuu saja. Mereka seperti tidak pernah pulang. Yang paling saya tidak tega adalah ketika pasien ICU adalah orang tua dari si Nakes sendiri. Sudah dipasang macam-macam alat bantu dan tetap tidak selamat. Salah satu Nakes yang membantu saya makan dan infus harus menangis di dalam ruangan….
Mayoritas yang tidak selamat memang sudah datang dalam keadaan berat dan sesak nafas. Sayapun sebenarnya datang dalam keadaraan hilang kesadaran, hanya saya saya tidak ingat. Begitu banyak keharuan di dalam ruangan ICU. Saya tidak menyangka sebigini kerasnya perjuangan para Nakes.
Semua kejadian di ICU terasa jelas karena kondisi badan saya terus membaik ketika sedang di dalam ICU. Badan terasa segar meski belum bisa kemana-mana. Tangan kanan dan kiri diinfus, belum lagi kena dikateter. Obat minum yang saya konsumsi lumayan banyak, bisa 7 sampai 8 butir sekali telan di pagi hari. Nanti siang yaa 7 sampai 8 butir lagi. Malam yaaaa begitu lagi :”D. Kalau menjelang tengah malam biasanya saya memperoleh suntikan pengencer darah di perut. Kemudian suntikan obat lambung, vitamin C dan beberapa suntikan lain melalui selang infus. Yang pasti yang nyeri adalah suntik Vitamin C, yang lainnya tidak terasa apa-apa. Wah banyak sekali obatnya, tapi tak apalah, semua demi kesembuhan.
Selama saya di ICU, ternyata istri dan keluarga saya berkelana mencari obat tambahan yang dianjurkan oleh tim dokter yang merawat saya. Setiap malam istri saya muncul sesaat di jendela pojok ICU, ternyata selain menengok, ia memberikan obat yang disarankan kepada perawat ruangan.
Sebenarnya, Kementrian Kesehatan menanggung 100% biaya pasien Covid termasuk obat-obatnya. Obat-obatan yang ditanggung pun bukan obat murahan. Saya sendiri mendapatkan infusan 2 jenis antibiotik yang harganya lumayan mahal kalau bayar sendiri. Belum obat-obat yang lainnya, banyak sekali. Namun, memang terkadang ada obat-obat dari dokter yang tidak termasuk ke dalam paket bantuan Kementrian. Biasanya itu adalah obat yang agak langka dan tidak tersedia di Rumah Sakit. Olehkarena itulah keluarga saya harus berkelana mencari obat tambahan.
Ternyata, perjalanan mencari obat tambahan bagi saya, tidaklah mudah. Jadi, tim dokter yang merawat pasien ICU melakukan rapat setiap sore. Setelah rapat itulah pihak keluarga terkadang dikabari mengenai kondisi pasien, rencana tindakan dan daftar obat tambahan yang disarankan. Sejak awal, keluarga saya disarankan untuk mencari Remdesivir yang tidak tersedia di Rumah Sakit tempat saya dirawat. Istri saya langsung berkelana se-Jabodetabek untuk memperoleh stok Remdesivir. Sepertinya ini berlangsung beberapa hari karena dalam sehari saya membutuhkan lebih dari 1 kantong Remdesivir. Alhamdulilllah istri saya selalu berhasil memperoleh Remdesivir tepat waktu sehingga saya cepat siuman. Obat infus yang satu ini berfungsi melemahkan dan mematikan virus Covid-19 dengan lebih cepat.
Namun virus bisa saja melemah tapi ia akan terus mengeluarkan racun yang merusak. Kerusakan terparah yang biasa Covid-19 lakukan adalah badai sitokin. Indikasi akan terjadinya badai sitokin antara lain dapat dilihat dari nilai interleukin dari cek darah. Nah, pada suatu siang, ibu saya mendadak ditelefon langsung oleh tim dokter agar sesegera mungkin menyediakan obat tambahan Actemra dan Ivermectin. Ada apa ini? Jadi nilai interleukin saya ternyata amat sangat tinggi sekali sehingga entah dalam hitungan berapa jam lagi akan ada badai sitokin besar yang akan menghantam tubuh saya. Ada kemungkinan apabila badai sitokin ini benar-benar terjadi, saya tidak akan selamat. Mungkin hal inilah yang terjadi pada pasien-pasien ICU yang saya lihat mendadak tidak terselamatkan.
Untuk Ivermectin kebetulan tidak sulit untuk diperoleh pada saat itu. Kami mendapatkan Ivermectin dari tetangga kami yang baik hati. Namun Actemra adalah obat yang sulit untuk diperoleh. Kalau memesan ke perusahaannya langsung, harus menunggu selama 3 hari, terlalu lama. Keluarga saya sampai menefon semua keluarga yang ada, sampai keluarga yang di luar kota. Dari sana diperoleh info bahwa masih ada sedikit stok Actemra di daerah Pasar Minggu dan Pondok Indah. Maka istri saya berburu ke Pasar Minggu dan tante saya berburu ke Pondok Indah. Di Pondok Indah tante saya berhasil memperoleh 70mg Actemra, padahal kebutuhan saya total adalah 400mg, waduh 😦
Di Pasar Minggu, istri saya bertemu dengan anak almarhum seorang dokter. Dokter tersebut terkena Covid-19 dan memiliki nilai interleukin yang tinggi seperti saya. Kebetulan ia berhasil mendapatkan 2 kantung 400mg Actemra. Sayang, setelah pemberian kantung yang pertama, respon tubuh beliau terhadap Actemra kurang baik sehingga akhirnya beliau meninggal. Actemra memang memiliki efek samping ke jantung bagi beberapa orang. Beruntung masih ada 1 kantung 400mg Actemra yang disimpan di lemari es. Keluarga almarhum bersedia menjual 400mg Actemra kepada istri saya dengan harga lama, kalau harga baru sopasti sudah membumbung tinggi. Malam itu juga istri saya langsung mengantarkan 400mg Actemra tersebut ke Rumah Sakit tempat saya dirawat. Aksi cepatnya tidak terlambat dan sepertinya berhasil mencegah badai sitoksin besar terjadi. Wah makin cinta deh sama istri :D.
Karena kondisi semakin membaik dan stabil, maka akhirnya saya dipindahkan ke HCU (High Care Unit), horeeeee. Pasien ICU yang kondisinya membaik, biasanya dikirim ke HCU untuk observasi lagi. Kondisi pasien HCU tetap dimonitor alat macam-macam seperti di ICU. Hanya saja di Rumah Sakit tempat saya dirawat ini, modelnya 1 ruangan terdiri dari 2 pasien. Ada kamar mandi dan boleh memegang gadget. Kateter boleh dilepas asalkan kuat berjalan. Saya optimis untuk lepas kateter, mau mandi sendiri, mau ke toilet sendiri. Namun ternyata semua tak mudah. Ternyata, tanpa bantuan oksigen, nafas saya ngos-ngosan saat berusaha mandi atau melakukan aktifitas fisik lainnya. Saya bahkan sempat gagal mandi dan hanya berhasil cuci muka saja.
Sementara itu teman 1 ruangan saya di HCU mengalami sesak nafas yang lumayan, tapi tidak nampak separah pasien-pasien ICU. Beliau pun tidak ikut kompetisi mencoba mandi seperti saya, masih berjuang mengatur nafas yang tersengal-sengal. Baru sekitar 5 atau 6 jam bersama-sama di HCU, saya kaget ketika Nakes HCU tiba-tiba berlari untuk melakukan CPR kepada tetangga sebelah saya tersebut. Hasilnya terbilang sedih. Beliau akhirnya tidak terselamatkan dan ternyata beliau adalah orang tua dari 2 Nakes yang bertugas.
Beruntung pengalaman di atas akan menjadi kematian terakhir yang saya saksikan. Rekan sekamar HCU saya yang baru, mengalami sesak nafas yang sama seperti rekan sekamar saya sebelumnya. Hanya saja, ia masih muda dan masih bisa diajak berkomunikasi. Kami berdua ngobrol sambil ngos-ngosan @_@. Jadi, rekan sekamar saya yang satu ini kolaps setelah suntuk pertama vaksin. Ternyata kondisi badannya memang tidak terlalu fit ketika akan vaksin. Bisa jadi dia sudah positif Covid-19 sebelum vaksin. Wah-wah harus waspada juga ya ketika hendak disuntik vaksin.
Karena saturasi Oksigen saya tetap stabil meskipun selang oksigen saya sudah diperkecil, saya akhirnya sudah bisa pindah ke ruang perawatan biasa. Di sana tim rehab medik mulai melakukan edukasi mengenai latihan pernafasan. Saya pun pelan-pelan belajar untuk tidak 24 jam menggunakan selang Oksigen lagi. Selang 2 hari di kamar perawatan, saya diijinkan pulang ke rumah. Namun kali ini dengan kondisi yang jauh lebih prima. Tidak ada mual, tidak ada demam, nafsu makan sudah ok. Hanya saja nafas memang masih bermasalah.
Saya kembali pulang ke rumah, tidur di kamar isolasi saya yang dilengkapi beberapa tabung Oksigen. Sampai saat ini saya masih positif, begitu pula kedua anak saya beserta pengasuhnya. Beruntung anak-anak dan pengasuhnya tanpa gejala. Sementara gejala dominan yang masih saya rasakan adalah batuk & nafas yang ngos-ngosan. Untuk mandi saja saya harus membagi ke dalam 3 tahap. Sikat gigi dulu lalu istirahat. Lanjut cuci muka, tangan dan kaki lalu istirahat lagi x__x. Terakhir, barulah sabunan badan. Kalau 1 kali jalan siy saya masih belum kuat.
Saturasi oksigen, tensi dan nadi saya masih dimonitor di rumah. Kemudian setelah 1 minggu lewat, saya harus kontrol ke dokte paru-paru, cek darah, & cek jantung. Semua untuk melihat apakah kerusakan yang Covid-19 tinggalkan sudah mereda. Ini demi keselamatan jangka panjang.
Baru beberapa hari isolasi mandiri di rumah, saya menerima kabar mengejutkan dari lingkungan perumahan. Jadi ada tetangga saya yang seumuran dengan saya. Dia diduga terpapar Covid-19 beberapa hari setelah saya. Gejalanya mirip & masuk ICU karena alasan yang kurang lebih sama dengan saya. Hanya saja halusinasi yang ia alami sepertinya lebih tak terkendali. Istrinya terpaksa setiap hari masuk ke ICU menggunakan full APD Covid-19 untuk menenangkan. Mirip seperti saya, ia juga memperoleh obat tambahan. Keluarga kami bahkan berbagi stok obat karena obat tambahannya memang mirip. Dia pun cepat membaik dan dipindahkan dari ICU ke HCU. Di HCU dia memperoleh hasil PCR yang menunjukkan bahwa ia sudah negatif. Hebatnya Covid-19 adalah ia dapat membunuh dan merusak meskipun sudah mati di dalam tubuh. Itulah yang terjadi pada tetangga saya. Tak lama terdapat pengumuman bahwa ia mendadak meninggal. Kemungkinan karena mengalami badai sitokin atau serangan jantung akibat kerusakan yang sudah Covid-19 berikan. Wuuuaaahhhh, kok seram begini ya? Saya yang pada hari itu mulai bandel mau coba-coba membuka VPN untuk WFH (Work From Home), langsung mendadak insyaf. Saya langsung berjemur di luar sambil senam pernafasan, kemudian kembali merebahkan badan di kasur x__x.
Mengingat semua yang baru saya alami, terutama ketika di dalam ruang ICU & HCU, hidup terasa sangat berharga. Terlebih lagi orang-orang yang berusaha mempertahankan hidup orang lain. Mereka sangatlah berharga. Pengorbanan dan dedikasi Nakes sangat terlihat disana. Padahal mereka harus berhadapan dengan kematin setiap hari, bahkan ketika pasien mereka sudah memperoleh nilai PCR negatif. Pokoknya bravo untuk Nakes Indonesia di manapun kalian berada. Tak lupa saya juga sangat berterimakasih kepada berbagai pihak yang sudah ikhlas membantu saya memperoleh obat dan dukungan moral. Ternyata masih banyak masyarakat yang bersedia untuk saling menolong. Semoga kesehatan selalu menyertai kalian dan keluarga. Aamiin.