It Chapter Two (2019)

Terpukau dengan It (2017), membuat sekuel film tersebut menjadi salah satu film yang saya tunggu-tunggu. Sesuai dengan novelnya, kisah para tokoh utama pada It (2017) memang belum berhenti sampai di sana saja. It Chapter Two (2019) mengisahkan kembali petualangan The Loosers Club 27 tahun setelah peristiwa pada It (2017) berakhir. Siapakah The Loosers Club itu? Mereka merupakan sekelompok remaja yang beranggotakan William “Bill” Denbrough (Jaeden Lieberher), Stanley “Stan” Uris (Wyatt Oleff), Benjamin “Ben” Hanscom (Jeremy Ray Taylor), Beverly “Bev” Marsh (Sophia Lillis), Richard “Richie” Tozier (Finn Wolfhard), Edward “Eddie” Kaspbrak (Jack Dylan Grazer), dan Michael “Mike” Hanlon (Chosen Jacobs). Untuk The Loosers Club dewasa, perannya dimainkan oleh aktor dan artis lain yaitu William “Bill” Denbrough (James McAvoy), Stanley “Stan” Uris (Andy Bean), Benjamin “Ben” Hansco (Jay Ryan), Beverly Marsh (Jessica Chastain), Richard “Richie” Tozier (Bill Harder), Edward “Eddie” Kaspbrak (James Ransone), dan Michael “Mike” Hanlon (Isaiah Mustafa).

Menurut legenda, It atau Badut Pennywise (Bill Skarsgard) akan bangkit setiap 27 tahun. 27 tahun berlalu dan kejadian buruk mulai terjadi kembali di kampung halaman The Loosers Club. Sesuai dengan sumpah yang pernah mereka ikrarkan semasa remaja dulu, The Loosers Club dipanggil kembali untuk menghadapi It. Dari sekian banyak anggota The Loosers Club, hanya 1 yang memilih bunuh diri daripada harus berhadapan kembali dengan It. Bagaimana dengan sisanya? Mereka kembali tapi dengan membawa masalah mereka masing-masing.

Kembali ke kampung halaman, membawa kenangan lama kembali. Masalah masa lalu pun datang menghinggapi. Trauma akan kekerasan yang Bev hadapi ketika masih remaja kembali datang. Eddie teringat kembali mengenai bagaimana mudahnya ia jatuh sakit sejak kecil dulu. Kematian adik Bill kembali datang menghantui Bill. Cinta segitiga antara Bev, Ben dan Bill kembali datang. Terakhir, Mike yang terus terobsesi akan kebangkitan It, memiliki ketakutan tersendiri ketika ia mengingat kematian keluarganya. Oh tunggu dulu, bagaimana dengan Stanley dan Richie? Stanley … memilih untuk tidak datang menghadapi It. Richie memiliki masalag ketakutan yang sangat absurd, tidak jelas. Belakangan tersirat baru diketahui bahwa orientasi seks Richie-lah yang menjadi masalah. Masalah Richie ini menjadi subplot tak jelas yang tak penting. Aneh sekali, kok ya ini tidak ditanamkan sejak It (2017). Masalah yang Richie hadapi seolah-olah seperti masalah yang dibuat-buat agar durasi It Chapter Two (2019) semakin panjang :P.

Durasi It Chapter Two (2019) lebih dari 2 jam dan mayoritas adegannya adalah teror dari It! Kenangan dan masalah masa lalu inilah yang diekspolitasi oleh It untuk meneror The Loosers Club. Kalau ada orang bilang bahwa lebih lama itu lebih baik, maka hal ini tidak berlaku pada It Chapter Two (2019). Teror demi teror terus muncul tanpa arah yang jelas. Semuanya pun lebih ke arah teror monster yang membosankan, bukan teror psikologis.

Sumpah, film ini terasa sangat membosankan. Terlebih lagi rencana yang Mike susun untuk menghadapi It terbilang aneh dan banyak sekali celahnya. Ya jelas sudah dapat ditebak pasti rencana Mike yang kacangan ini akan mengalami kegagalan.

Nilai positif yang saya lihat dari It Chapter Two (2019) hanyalah kostum dan efek yang jauh lebih bagus dari It (2017). Selain itu akting dari James McAvoy yang prima, tentunya menjadi poin plus lagi bagi It Chapter Two (2019). Sayang karakter-karakter The Loosers Club dewasa lainnya, kalah pamornya dengan The Loosers remaja. Karakter-karakter The Loosers Club pada It (2017) jauuuh lebih kuat dan sukses besar menghadirkan sarkasme dan lelucon yang menghibur. Sementara itu It Chapter Two (2019) justru dipenuhi oleh lelucon-lelucon yang kurang lucu.

Saya agak kecewa dengan sekuel film yang satu ini. Nilai dari saya pribadi adalah 2 dari 5 yang artinya “Kurang Bagus”. Untung saya tidak menonton film ini di bioskop :’D.

Sumber: http://www.it-movie.net

Glass (2019)

M. Night Shyamalan bukanlah sutradara favorit saya. Saya bahkan kurang suka dengan beberapa karyanya. Secara mengejutkan, Shyamalan menghasilkan Split (2017) yang memiliki banyak sekali kejutan di dalamnya, kejutan yang tidak saya duga sebelumnya. Saya pun tentunya tertarik untuk menonton kelanjutan dari Split (2017), yaitu Glass (2019). Apakah Glass (2019) akan lebih baik dari Split (2017)?

Pada bagian akhir Split (2017), dapat diketahui bahwa terdapat 2 orang yang memiliki kekuatan super di atas menusia biasa yaitu Kevin Wendell Crumb / The Horde (James McAvoy) dan David Dunn / The Observer (Bruce Willis). Nah pada Glass (2019), keduanya tertangkap dan dijebloskan ke dalam sebuah rumah sakit jiwa. Ok, kita sudah memiliki The Horde dan The Observer, lalu dimana Glass? Mr.Glass adalah julukan dari Elijah Price (Samuel L. Jackson). Ia pun dirawat di rumah sakit yang sama dengan Kevin dan David.

Berbeda dengan kedua rekannya, secara fisik, Elijah sangat rapuh seperti gelas. Tulang tubuhnya mudah sekali retak dan patah sebagai akibat dari penyakit osteogenesis imperfecta tipe 1 yang ia derita sejak kecil. Kelemahan fisiknya, ternyata diikuti oleh kecemerlangan otaknya. Sayang Elijah menggunakan kejeniusannya untuk melakukan pembunuhan masal. Uniknya, alasan Elijah membunuh adalah untuk mencari dan menciptakan orang-orang berkemampuan seperti superhero di buku komik. Itulah mengapa, Elijah, diterapi bersama-sama dengan David dan Kevin. Ketiganya sama-sama percaya akan keberadaan superhero di dunia nyata.

Di rumah sakit tersebut, semua bukti mengenai kekuatan super David dan Kevin, diperdebatkan oleh Dr. Ellie Staple (Sarah Paulson). Dr. Ellie mencoba meyakinkan bahwa semua itu hanya khayalan saja. Elijah sendiri hanya diam dan jarang merespons apa yang Dr. Ellie katakan. Tapi Glass (2019) memang berbicara mengenai Elijah atau Mr. Glass. Walau nampak lemah dan tak berdaya, Elijah ternyata menyimpan sebuah rencana yang …. pada akhirnya tidak terlalu menarik :P.

Bagian awal dan tengah yang menjanjikan dan sukses membuat saya penasaran, diakhiri dengan sesuatu yang mengecewakan. Memang sih, saya gagal menebak mau dibawa ke mana arah film ini, tapi kejutan yang dihadirkan nampak kurang ok. Padahal jalan ceritanya terbilang menarik loh.

Apalagi akting James McAvoy dan Samuel L. Jackson sebenarnya terbilang bagus pada Glass (2019). Karena akting prima keduanya, akting Bruce Willis sendiri jadi nampak kurang menonjol :’D. Sesuai judulnya, film ini memang panggung bagi Elijah atau Mr. Glass, jadi pusat perhatian bukan pada Bruce Willis atau David Dunn. Samual L. Jackson berhasil memerankan seorang jenius dan ahli taktik. Film ini memang benar-benar filmnya Mr. Glass. Sayang yah sekali lagi, twist di akhirnya yaaaah kurang ok :P.

Secara keseluruhan, kualitas Glass (2019) agak dibawah ekspektasi saya, namun film ini tetap layak untuk memperoleh nilai 3 dari skala maksimum 5 yang artinya “Lumayan”. Saya ragu akan ada film keempat setelah Glass (2019).

Sumber: http://www.universalpictures.com/movies/glass

Dark Phoenix (2019)

Phoenix bukanlah kata yang asing bagi penggemar X-Men diluar sana. Ia merupakan salah satu mahluk terkuat di jagat dunia per-superhero-an ala Marvel Comics. Kekuatan Phoenix sangat dahsyat sampai-sampai ia sering kali membunuh siapa saja yang ada di sekitarnya tanpa pandang bulu.

Baik di buku komik Marvel maupun film-film terdahulunya, kehadiran Phoenix menandakan bahwa akan ada tokoh dari franchise X-Men yang gugur. Hal ini pernah terbukti pada X-Men: The Last Stand (2006). Mayoritas karakter utama X-Men tewas akibat ulah Phoenix. Sayang eksekusi dari sang sutradara pada saat itu terbilang buruk sehingga X-Men: The Last Stand (2006) dapat dikatakan sebagai salah satu film terburuk yang pernah saya tonton. Saya tidak ada masalah dengan gugurnya beberapa superhero dalam sebuah film. Yang menjadi masalah adalah bagaimana mereka tewas dam kisah dibalik itu. Beberapa superhero beken dikisahkan gugur pada Avengers Infinity War (2018) dan Avengers: Endgame (2019), tapi hal tersebut tetap membuat keseluruhan film tetap bagus dan menarik. Franchise Avengers dan MCU justru semakin bersinar setelah kedua film tersebut hadir. Bagaimana dengan X-Men? Franchise X-Men sempat mati suri setelah X-Men: The Last Stand (2006), sampai akhirnya muncul X-Men: Days of Future Past (2014) yang mereboot franchise X-Men sekaligus membatalkan semua kisah yang pernah ada pada telah X-Men: The Last Stand (2006), horeeee :D. Masalahnya, apakah kesalahan yang sama akan berulang kembali?

Phoenix adalah salah satu tokoh terkuat di semesta X-Men. Pada dasarnya ia merupakan transformasi dari Jean Grey (Sophie Turner) yang selama ini memendam sebuah kekuatan yang sangat besar. Karena besarnya kekuatan tersebut, Jean beberapa kali gagal mengendalikan kekuatannya, terutama ketika ia mengetahui beberapa fakta akan masa lalunya yang Proffesor X atau Charles Xavier (James McAvoy) sembunyikan. Terlebih lagi ada pihak lain yang berusaha memanfaatkan kegalauan Jean untuk kepentingan pribadi.

Proffesor X, Mystique / Raven Darkholme (Jennifer Lawrence), Quicksilver / Peter Macimoff (Evan Peters), Beast /Hank McCoy (Nicholas Hoult), Storm / Ororo Munroe (Alexandra Shipp), Cyclops / Scott Summers (Tye Sheridan), Nightcrawler / Kurt Wagner (Kodi Smit-McPhee) dan Magneto /Erik Lehnsherr (Michael Fassbender), harus berjuang agar Jean dapat kembali normal, minimal tidak merusak perdamaian antara mutant dan manusia. Tokoh-tokoh terkenal di atas saja kesulitan bukan main ketika harus berhadapan dengan Jean yang sudah berubah menjadi Phoenix. Bahkan ada anggota X-Men yang gugur pada film ini.

Sayang oh sayang, gugurnya anggota X-Men ini tidak menyisakan emosi atau kesedihan bagi saya. Saya hanya dapat berkata, “Ohhh mati tho, ya udah …”. Tidak ada chemistry pada Dark Phoenix (2019), semua terasa datar. Walaupun saya akui ada beberapa adegan aksi yang keren pada film ini, yaitu pada adegan dimana semua anggota X-Men menggunakan kekuatannya untuk saling melengkapi dan memenangkan sebuah pertarungan. Sayang kok ya hal tersebut semakin menghilang ketika film mendekati bagian akhir. X-Men nampak tercerai berai dan lebih fokus untuk berlari mengejar Phoenix. Padahal, kalaupun sudah bertemu dengan Phoenix, mereka bisa apa? :P. Praktis hanya Proffesor X saja yang memiliki peran besar di sini. Sebagai pengganti sosok ayah bagi Jean, Proffesor X tentunya lebih memiliki peluang untuk menasehati Jean. Wah, bagaimana dengan kekasih Jean, yaitu Cyclops? Bahhh, Cyclops nampak lemah dan tidak berguna hehehehe :P.

Film ini sebenarnya memiliki peluang untul menjadi lebih baik lagi. Materi kisah Phoenix sebenarnya sangat menarik, tapi kok ya eksekusinya seperti ini. Menontom Dark Phoenix (2019) tidal terasa seperti menonton film superhero X-Men karena … mana seragamnya??? Setiap tokoh superhero pasti memiliki seragam atau kostum yang spesifik, nah inilah yang kurang sekali saya lihat pada Dark Phoenix (2019). Mereka lebih sering bertarung menggunakan celana jeans dan t-shirt ketimbang kostum superhero mereka. Selain itu, nama panggilan yang dipergunakan pada film ini, lebih banyak menggunakan nama panggilan manusianya, bukan julukan nama mutant-nya. Proffesor X selalu disebut Charles Xavier, Mystique selalu disebut Raven, Beast selalu disebut Hank, dan lain sebagainya. Aroma superhero kurang terasa kental pada Dark Phoenix (2019).

Yaaaah, mau bagaimanapun juga, saya akui bahwa Dark Phoenix (2019) tetap lebih bermutu ketimbang X-Men: The Last Stand (2006) heheheheh. Dengan demikian, Dark Phoenix (2019) masih layak untuk memperoleh nilai 3 dari skala maksimum 5 yang artinya “Lumayan”. Saya rasa franchise X-Men tidak akan tewas atau mati suri akibat Dark Phoenix (2019) ;).

Sumber: http://www.foxmovies.com/movies/dark-phoenix

Atomic Blonde (2017)

Mengambil era menjelang keruntuhan tembok Berlin di tahun 1989, Atomic Blonde (2017) mengisahkan perebutan sebuah daftar nama mata-mata yang aktif beroperasi di Berlin. Konon daftar tersebut mencantumkan pula detail mengenai Satchel, seorang mata-mata yang bekerja untuk KGB/Rusia dan MI6/Inggris. Identitas Satchel lah yang membuat KGB dan MI6 saling bunuh demi daftar tersebut.

MI6 mengirim Lorraine Broughton (Charlize Theron) untuk mengambil daftar tersebut. Di Berlin, Lorraine akan didukung oleh agen MI6 lainnya, David Percival (James McAvoy). Bukannya bekerja sama, Lorraine dan David justru saling adu licik. Keduanya ternyata memiliki agenda dan kepentingan sendiri. Padahal keduanya harus berhadapan dengan agen-agen KGB yang dipimpin oleh Aleksander Bremovych (Roland Møller).

Pada akhirnya, setiap agen bertindak demi kepentingannya masing-masing. Arah dan keberpihakan tokoh-tokoh utama pada Atomic Blonde (2017) dibuat blur demi memunculkan kejutan. Sayang kejutan-kejutan yang berusaha ditampilkan, terbilang mudah ditebak. Sejak awal film pun saya sudah dapat menebak siapa Satchel itu sebenarnya.

Walaupun ceritanya relatif dapat ditebak, Charlize Theron berhasil memerankan seorang agen wanita yang tangguh yang rela menghalalkan segala cara demi meraih keinginannya. Penampilannya cukup meyakinkan lengkap dengan gaya rambut tahun 80-an yang khas. James McAvoy tetap mampu menampilkan akting yang prima seperti yang pernah ia berikan pada film-film lainnya.

Dengan demikian, saya rasa Atomic Blonde (2017) masih layak untuk memperoleh nilai 3 dari skala maksimum 5 yang artinya “Lumayan”. Saran saya, film ini jangan ditonton bersama anak-anak sebab pada film ini ada beberapa hal yang jauh melenceng dari budaya Indonesia.

Sumber: http://www.iamatomic.com

Split (2017)

Kali ini saya akan membahas film psikopat karya sutradara keturunan India, M. Night Shyamalan. Tenaaang, mentang-mentang sutaradaranya keturunan India, bukan berarti Split (2017) termasuk film musikal yang ada joget-jogetnya :,D. Shyamalan selama ini terkenal akan film-film supranatural dan misteri dengan kejutan di bagian akhirnya

Split (2017) mengisahkan penculikan Casey Cooke (Anya Taylor-Joy), Claire Benoit (Haley Lu Richardson) dan Marcia (Jessica Sula) yang dilakukan oleh Kevin Wendell Crumb (James McAvoy). Kevin menderita DID (Dissociative Identity Disorder) sehingga ia memiliki 23 kepribadian di dalam tubuhnya. Di sana ada Barry, Dennis, Patricia, Hedwig dan lain-lain. Rasanya hanya 4 kepribadian itulah yang dominan dan sering muncul. Kemana yang lainnya ya? Mungkin durasi filmnya akan terlalu panjang ya kalau semuanya dimunculkan di Split (2017) :’).

Semua keperibadian di dalam tubuh Kevin sama-sama percaya akan kehadiran The Beast, sebuah sosok misterius yang ganas dan menyeramkan.Penculikan yang dilakukan pun dilakukan terkait kehadiran The Beast. Dr. Karen Fletcher (Betty Buckley), psikiater Kevin, tidak sepenuhnya yakin apakah Beast termasuk kepribadian ke-24 atau hanya khayalan belaka atau mahluk yang ada di sekitar Kevin. Karen percaya bahwa penderita DID seperti Kevin kemungkinan memiliki  kemampuan supranatural misterius yang tidak dimiliki manusia normal. Apakah Karen benar?

Aaahhh sosok Beast memamg menjadi misteri sampai bagian akhir film. Mirip seperti film-film Shyamalan lainnya, Split (2017) minim lagu atau suara latar, agak sunyi senyaplahhh. Ditambah latar belakang yang itu-itu saja, terkadang Split (2017) terasa sedikit membosankan. Tapi terus terang Split (2017) adalah film karya Shyamalan paling tidak membosankan. Saya bukan fans Shyamalan dan saya relatif kurang suka dengan film-filmnya, ketika menonton film-film tersebut, rasanya saya ingin menonton bagian akhirnya saja supaya dapt melihat ada kejutan apa di film ini. Bagaimana dengan Split (2017), saya tidak merasakan “kesenyapan” yang pekat pada film ini. Shyamalan patut berterima kasih kepada James McAvoy yang mampu memerankan berbagai karakter gilanya Kevin dengan baik :). Berkat James, rasa bosan yang hinggap sedikit sekali jumlahnya, saya dibuat penasaran sepanjang film tanpa tertidur. Sayangnya hanya rasa penasaran saja yang saya rasakan, tidak ada ketegangan yang berarti di sepanjang film.

Sebagai film Shyamalan terbaik yang pernah saya tonton, Split (2017) layak untuk memperoleh nilai 3 dari skala maksimum 5 yang artinya “Lumayan”. Oh yaaa, Split (2017) ternyata terjadi di dunia yang sama dengan salah satu film lawas Shyamalan lhooo, apakah ini akan menjadi franchise seperti X-Men atau Friday The 13th?

Sumber: http://www.uphe.com/movies/split

X-Men: Days of Future Past (2014)

X-Men Future Past 1

X-Men termasuk franchise komik superhero-nya Marvel yang sampai saat ini sudah beberapa kali diangkat ke layar lebar, yaitu X-Men (2000), X2 (2003), X-Men: The Last Stand (2006), X-Men: First Class (2011) dan X-Men: Days of Future Past (2014). Film X-Men (2000), X2 (2003) dan X-Men: The Last Stand (2006) masih bercerita dengan 1 runtutan alur cerita yang searah dengan bagian akhir yang kurang saya sukai, sebagian besar anggota X-Men tewas. Kemudian tiba-tiba muncul film X-Men: First Class (2011) yang tidak melanjutkan kisah pada  X-Men: The Last Stand (2006), tapi justru kembali ke masa lampau menceritakan asalmuasal Professor X dan Magneto sebelum kedua sahabat ini berseteru. Professor X nantinya akan menjadi pemimpin dari X-Men yang berusaha menjaga perdamaian antara mutant dan manusia. Sementara itu Magneto nantinya akan memimpin sekelompok mutant untuk membunuh umat manusia karena berbagai sikap diskriminatif yang dilakukan beberapa manusia kepada mutant. Kalau begitu, bagaimana dengan X-Men: Days of Future Past (2014)? X-Men: Days of Future Past (2014) merupakan kelanjutan dari X-Men: The Last Stand (2006) sekaligus X-Men: First Class (2011).

Pada film X-Men: Days of Future Past (2014), dikisahkan bahwa manusia menciptakan Sentinel, mesin pembunuh mutant yang mampu meniru & mereplikasi kemampuan unik berbagai mutant. Sentinel didesain khusus untuk memburu mutant, Sentinel dapat dimenemukan mutant, dimanapun mutant bersembunyi. Banyak mutant diburu dan dibunuh. Kisah ini terjadi setelah kisah pada X-Men: The Last Stand (2006) usai sehingga anggota X-Men senior yamg tersisa tinggal Professor X (Patrick Steward), Wolverine (Hugh Jackman), Storm (Halle Berry) & Rogue (Anna Paquin). Sisanya adalah mutant murid Professor X yang sudah mulai tumbuh dewasa plus Magneto (Ian McKellen), mantan musuh X-Men yang sudah tua dan sadar akan kesalahannya di masa lampau.

X-Men Future Past 10 X-Men Future Past 12 X-Men Future Past 14

Kelelahan dan kekurangan personel, posisi X-Men semakin terpojok. Kekalahan telak dari para Sentinel tinggal menunggu waktu saja. Akhirnya, seluruh anggota X-Men setuju untuk mengirim Wolverine kembali ke masa lampau, tahun 1973. Tahun setelah kisah pada film X-Men: First Class (2011) usai. Kenapa Wolverine yang dikirim? Karena Wolverine memiliki kemampuan untuk sembuh sendiri, hanya Wolverine-lah mutant yang cukup kuat untuk di kirim jauh ke masa lampau, 1973. Kenapa 1973? Karena pada tahun itulah Mistique (Jennifer Laurence) membunuh Bolivar Trask (Peter Dinklage), pencipta Sentinel generasi pertama. Trask memang tewas, namun riset pengembangan Sentinel tidak dihentikan, pembunuhan Trask justru memacu para pemimpin dunia untuk mendukung proyek Sentinel. Pada tahun 1973 jugalah Mistique berhasil ditangkap dan dijadikan bahan eksperimen, eksperimen yang akhirnya membuat Sentinel semakin kuat karena berhasil merekayasa kemampuan Mistique, replikasi.

X-Men Future Past 5 X-Men Future Past 15

Andaikan Mistique tidak tertangkap dan Trask “disingkirkan” dengan cara yang lebih “baik”, mungkin kehancuran yang terjadi di masa depan dapat dihentikan. Masalahnya apakah mungkin seseorang yang dikirim ke masa lalu dapat mengubah masa depan? Ada teori quantum yang menjelaskan bahwa mengubah masa depan dengan datang ke masa lalu adalah mustahil, seseorang yang datang ke masa lalu hanya akan menjalani lagi takdir yang memang akan terjadi di masa depan, hal ini pernah dijelaskan pada filmnya Opa Bruce Wilis, 12 Monkeys (1995). Masalahnya, Wolverine bukan seorang manusia biasa, ia adalah mutant yang akan dibantu oleh Professor X muda atau Charles Xavier (James McAvoy), Magneto muda atau Erik Lehnsherr (Michael Fassbender), Beast muda atau Hank McCoy (Nikholas Hoult) dan terakhir, Quicksilver muda atau Peter Maximoff (Evan Peters). Di tahun 1973, mereka memang belum memiliki nickname mutant yang keren atau kostum yang canggih, tapi sekelompok mutant ini akan bahu membahu menyelamatkan masa depan mereka dengan mengubah sejarah.

X-Men Future Past 17

X-Men Future Past 2 X-Men Future Past 4 X-Men Future Past 6 X-Men Future Past 8 X-Men Future Past 9 X-Men Future Past 11 DF-06049.JPG X-Men Future Past 13

X-Men Future Past 16

Cerita-cerita yang diambil dari komik Amerika memang sarat dengan dunia paralel dan mesin waktu, beda dengan komik Jepang. Jadi, saya tidak kaget kalau kisah X-Men direset melalui usaha merubah masa depan yang berat sebelah. Kisah-kisah X-Men relatif kompleks karena seolah tidak ada musuh abadi atau teman abadi, semua dapat berubah demi mencapai keseimbangan. Mutant & manusia dikisahkan sama-sama ada yang jahat & ada yang baik. Misi atau tujuan yang dituju pun dapat sama, namun cara untuk mencapai tujuannya dapat berbeda, hal ini sudah sering diperagakan oleh Professor X dan Magneto.

X-Men Future Past 7

Walaupun ada beberapa intrik dan sedikit kejutan pada X-Men: Days of Future Past (2014), rasanya film ini tetap standar-standar saja, kurang ada gregetnya. Sayang porsi kehadiran Quicksilver muda atau Peter tidak terlalu banyak padahal karakter tesebut cukup konyol dan membawa kesegaran baru bagi X-Men: Days of Future Past (2014). Special effect yang cukup banyak dan terlihat bagus pun tidak terlalu menolong penilaian saya terhadap film ini. Menurut saya, X-Men: Days of Future Past (2014) relatif lebih bagus daripada film Godzilla (2014) yang saya tonton minggu lalu. Kalau Godzilla (2014) hanya mendapat nilai 2, maka X-Men: Days of Future Past (2014) layak mendapat nilai 3 dari skala maksimal 5 yang artinya “Lumayan”.

Sumber: www.x-menmovies.com