Serial Alchemy of Souls

Alchemy of Souls atau 환혼 merupakan serial asal Korea Selatan yang memiliki kerajaan bercorak Korea sebagai latar belakangnya. Namun tempat dan kisahnya sendiri adalah 100% fantasi. Jadi pada Alchemy of Souls tidak akan ada Joseon, Goryeo, Goguryeo, Silla ataupun Baekje. Yang ada adalah Kerjaan Daeho yang terletak di sekitar Danau Gyeongcheondaeho.

Raja Daeho memerintah dengan didukung oleh para penyihir hebat. Keluarga Seo, Park, Jin dan Jang merupakan 4 keluarga penyihir yang sangat dominan dan ternama. Mereka berperan besar dalam pemerintahan. Beberapa jabatan penting bahkan dapat diwariskan kepada anggota keluarga dari keempat keluarga penyihir tersebut.

Sayangnya hal ini tidak berlaku bagi Jang Uk (Lee Jae-wook), anak satu-satunya dari Mahapatih Jang Gang (Joo Sang-wook). Ketika Jang Uk masih bayi, Jang Gang mengunci energi Jang Uk hingga Jang Uk tidak dapat menguasai ilmu sihir apapun. Jang Uk pun dianggap terlalu lemah untuk memegang jabatan penting. Sebagai penyihir terbaik di Daeho, Jang Gang khawatir dengan apa yang akan terjadi pada dunia ketika seluruh potensi Jang Uk dapat sepenuhnya keluar. Selain itu, besar kemungkinan Jang Uk merupakan hasil dari alchemy of soul.

Dari semua ilmu sihir yang ada, alchemy of soul merupakan ilmu yang terlarang. Dengan ilmu ini, seseorang dapat bertukar tubuh. Jiwa si penyihir dapat berpindah ke tubuh orang lain. Dalam beberapa kasus perpindahan ini memiliki efek samping yang buruk. Kekacauan tidak akan dapat dibendung apabila penggunaan alchemy of soul tidak terkendali.

Selama bertahun-tahun lamanya, Jang Uk berusaha mencari jalan untuk membuka kunci yang dipasang oleh Jang Gang. Harapan muncul ketika Jang Uk bertemu dengan Nak-su (Goo Yoon Sung) yang terperangkap di dalam tubuh Mu Deok-i (Jung So-min). Nak-su merupakan buronan yang menguasai ilmu sihir tingkat tinggi. Ketika terdesak, ia menggunakan alchemy of soul untuk bertukar tubuh. Namun entah mengapa ia justru masuk ke dalam tubuh Mu Deok-i yang lemah.

Melalui sebuah perjanjian rahasia, Nak-su bersedia membantu Jang Uk meraih potensinya. Di sini terdapat kisah from zero to hero. Nak-su dengan cerdiknya berhasil membantu mengelurkan potensi yang terpendam di dalam diri Jang Uk. Ia ternyata memang bukan orang biasa. Ketakutan Jang Gang memang sangat beralasan.

Perlahan tapi pasti, Jang Uk dan Nak-su saling jatuh cinta. Bagaimanapun juga semua pencapaian Jang Uk memang merupakan hasil jerih payah Nak-su. Di balik pria hebat, terdapat wanita hebat. Peribahasa itu sangat tepat sekali memggambangkan keadaan Jang Uk dan Nak-su.

Kisah cinta Jang Uk dengan Nak-su atau Mu Deok-i sangat menarik untuk diikuti. Begitu pula kisah cinta beberapa karakter lainnya. Di sana memang terdapat beberapa kisah cinta. Bahkan ada cinta segitiga sampai segiempat di sana. Biasanya saya paling malas menonton cinta segitiga, apalagi berlarut-larut datang dan pergi pada beberapa episode seperti ini. Hal seperti ini pernah membuat saya berhenti menonton Serial Dawson’s Creek. Tapi cinta segitiganya Alchemy of Soul berbeda dengan Dawson’s Creek. Walaupun sebenarnya lebih rumit, namun kisah cinta pada Alchemy of Soul nampak sederhana, ringan dan tidak membosankan. Terdapat kelucuan dan keharun pula di sana. Pengembangan karakternya terlihat sangat baik. Saya berhasil dibuat percaya bahwa beberapa pasangan cinta ini saling mencintai. Saya pun menjadi lebih peduli dengan nasib mereka.

Beruntung serial ini tidak berlama-lama membuat karakter protagonisnya menderita. Selalu ada konflik baru dan masalah baru yang diangkat. Serial ini tudak berlama-lama membakar satu konflik terlalu lama. Semua dikemas dengan sangat mudah dimengerti.

Padahal seingat saya, banyak sekali flashback pada serial ini. Suatu bagian cerita dihilangkan, untuk kemudin dimunculkan kembali sesaat kemudian. Semua dilakukan berulang-ulang pada beberapa bagian cerita yang pendek. Bagian yang pendek tapi dapat memberikan makna ketika dimunculkan pada saat yang tepat. Beberapa kejutan pada serial ini sering kali dimunculkan dengan cara flashback. Saya kurang suka ketika hal seperti ini dilakukan berulang-ulang pada Ocean Eleven (2001) dan sekuelnya. Namun, Alchemy of Soul nampaknya berhasil melakukan flashback yang sangat baik. Anehnya saya suka dengan teknik flashback yang Alchemy of Soul lakukan.

Planting pada serial inipun terbilang baik. Semua nampak terancana. Beberapa hal yang sudah ditanamkan, dapat memiliki makna yang penting walaupun terpisah dalam jeda yang cukup lama.

Bagaimana dengan adegan aksinya? Saya sadar betul Alchemy of Soul ini berbicara mengenai para penyihir di sebuah kerajaan. Tak jarang intrik-intrik perebutan kekuasaan berujung pada perkelahian. Kombinasi antara ilmu beladiri dan ilmu sihir terlihat jelas di sana. Sayangnya special effect yang digunakan, terkadang terlihat out of date untuk sebuh tontonan yang dirilis pada tahun 2022. Yaah memang tidak seburik serial silatnya Indosiar yaaa, tapi yaa terbilang kurang ok pada beberapa bagian. Namun serial ini memang tidak bertumpu pada adegan aksi saja. Terdapat beberapa unsur lain yang memiliki andil dalam menutup kelemahan ini. Porsi adegan aksinya memang tidak terlalu banyak. Tapi masih terasa seimbang dengan romansa, komedi dan unsur-unsur lain yang ada.

Serial Alchemy of Soul berhasil menyajikan kisah yang menawan. Karakter-karakter yang ada terbilang menarik. Selama menonton serial ini, saya ausaj sibuat beberapa kali tertawa, bukan hanya senyum yaaa, ini tertawa :D. Konflik yang disajikan pun sangat menarik dan penuh kejutan. Selalu ada misteri yang membuat saya terus terhipnotis untuk menonton dari satu episode ke episode berikutnya. Kekurangan dalam hal special effect hampir tidak terasa. Semua berhasil tertutup rapat oleh berbahai kelebihan lain yang dimiliki Alchemy of Soul. Untuknya semua dilakukan dengan menggunakan beberapa hal yang biasanya tidak saya sukai. Dengan demikian, saya ikhlas untuk memberikan Alchemy of Soul nilai 5 dari skala maksimum 5 yang artinya “Bagus Sekali”.

Sumber: http://www.studiodragon.net

Serial Kingdom

Mengambil latar belakang era kekuasaan Dinasti Joseon di Korea, Serial Kingdom (킹덤) berbicara mengenai perebutan kekuasaan. Pertikaian memperebutkan kekuasaan memang sudah sering menjadi topik yang diangkat pada berbagai film lainnya. Agak berbeda dengan yang lain, Kingdom menambahkan unsur misteri dan horor ke dalam perebutan kekuasaan tersebut.

Diawali oleh kegagalan invasi Jepang ke wilayah Korea pada Perang Imjin. Korea berhasil bertahan namun dengan cara yang tidak lazim. Cara ini pun dipergunakan oleh petinggi kerajaan demi memperoleh kekuasaan. Cara yang tidak lazim ini melahirkan sebuah penyakit yang ganas dan sulit untuk dibendung.

Penderita penyakit misterius ini akan berperilaku seperti layaknya mayat hidup atau zombie. Penyakit ini sangat mudah menular karena dapat menyebar melalui gigitan. Apalagi para zombie pada Kingdom, dapat berlari dengan sangat agresif. Hal ini menambah ketegangan ketika menonton serial tersebut.

Dari banyak karakter licik dan kejam yang ada, paling tidak terdapat 1 tokoh mulia pada serial ini. Sang Putra Mahkota Lee Chang (Ju-Ji-hoon) memiliki ambisi untuk membangun pemerintahan yang adil dan memihak rakyat. Namun, cepat lambat ia tidak akan memiliki rakyat apabila para zombie masih berkeliaran menularkan penyakit.

Dengan dibantu oleh beberapa pihak tidak semuanya 100% setia, Chang harus memusnahkan para zombie dan mengamankan tahta kerajaan dari para pejabat kotor. Perlahan misteri mengenai penyakit zombie mulai terkuak. Sebuah misteri yang tidak terlalu misterius. Namun jalan yang ditempuh untuk memecahkan misterinyalah yang menyenangkan untuk ditonton.

Perebutan kekuasaannya pun menggunakan beberapa fitnah dan taktik licik lainnya. Semuanya dalam takaran yang pas sehingga saya tidak bosan ketika melihat Chang tertimpa kemalangan. Si tokoh utama tidak dizalimi terlalu lama. Kisah Kingdom tidak bertele-tele seperti sinetron. Selalu ada saja sesuatu yang baru. Jadi saya menemukan beberapa bagian yang menyenangkan ketika menonton Kingdom.

Saya pribadi ikhlas untuk memberikan Kingdom nilai 4 dari skala maksimum 5 yang artinya “Bagus”. Perebutan tahta kerajaan di tengah-tengah serangan zombie, ternyata mampu menjadi hiburan yang menarik.

Sumber: astory.co.kr

The Admiral: Roaring Current (2014)

The Admiral: Roaring Current (2014) merupakan film Korea yang mengisahkan pertempuran Myeongnyang antara Kekaisaran Jepang dengan dinasti Joseon dari Korea. Kekaisaran Jepang secara khusus mengirim Kurushima Michifusa (Ryu Seung-ryong), si raja bajak laut. Sementara itu armada Korea dipimpin oleh Laksamana Yi Sun-sin (Choi Min-sik). Sejarah mencatat Yi Sun-sin (명량) sebagai Laksamana terbaik yang dinasti Joseon miliki. Kesuksesan Yi beberapa kali membuat banyak orang iri dan membuat Yi kehilangan jabatan dan dibuang. Politik di dalam dinasti Joseon yang pada saat itu memang agak kotor. Bahkan Laksamana secakap Yi beberapa kali mendapatkan hukuman atas kesalahan yang tidak ia perbuat. Namun karena reputasi dan kemampuan militernya, Yi selalu mendapatkan kembali jabatannya.

Jasa terbesar Yi bagi Korea adalah kemampuannya menghadapi invasi Jepang yang digaungkan Toyotomi Hideyoshi. Yi diangkat sebagai pemimpin tertinggi angkatan laut dinasti Joseon. Sementara Yi terus mememangkan pertempuran di laut, tentara Korea terus mengalami kekalahan di darat. Karena sikapnya yang keras dan lagi-lagi politik, Yi difitnah dan disingkirkan dari angkatan laut. Padahal pada saat itu Jepang berjaya di darat dan sukses membuat pemerintah Korea melarikan diri dari ibukota. Korea hanya menang di laut.

Di bawah komando laksamana lain, angkatan laut Korea hancur lebur dan selalu kalah. Apa yang kemudian para pemimpin Korea lakukan? Kembali memanggil Yi untuk memimpin angkatan laut lagi :’D. Hanya saja, saat Yi kembali menjabat, Korea hanya memiliki 12 kapal perang saja, ditambah 1 kapal perang spesial yang Yi desain.

Melalui sebuah aksi desersi, Yi kehilangan kapal perang spesial terakhirnya. Kondisi Korea semakin berat. Kali ini Yi bahkan tidak dapat menggunakan kapal perang andalannya, geobukseon atau kapal perang kura-kura. Dahulu, Yi berhasil memenangkan berbagai pertempuran laut dengan menggunakan kapal tipe ini. Bentuknya unik karena bagian atas kapal bentuknya tertutup seperti rumah kura-kura.

Sekarang, Yi mau tak mau harus memanfaatkan 12 kapal perang terakhir yang ia miliki untuk menahan laju invasi Jepang. Pihak Jepang sendiri membawa 133 kapal perang yang dipimpin oleh Kurushima dan 2 laksamana Jepang lainnya. Jadi pertempuran kali ini adalah 12 melawan 133, sangat tidak berimbang yaa. Pemimpin Korea kala itu, sampai hendak membubarkan saja angkatan lautnya. Bisa apa dengan 12 kapal saja?

Dengan cerdiknya, Yi memilih wilayah Myeongnyang sebagai lokasi pertempuran. Arus laut di sana memiliki karakteristik unik yang pihak Jepang tidak ketahui. Inilah kunci kesuksesan Yi agar 12 kapal perangnya dapat mengatasi 133 kapal perang Jepang.

Durasi The Admiral: Roaring Current (2014) lumayan panjang, 2 jam loh. Pada sekitar 1 jam pertama, tempo film ini berjalan lambat. Dikisahkan bahwa terdapat keraguan di dalam anak buah Yi sendiri. Kemudian setelah beberapa kali dibuang, kenapa Yi masih tetap sudi membela dinasti Joseon. Agak drama sih. Sampai-sampai saya ragu ini film ada perangnya atau tidak ya. Jangan-jangan isinya hanya politik dan persiapan perang saja @_@.

Ternyata saya salah besar, sekitar 1 jam terakhir pertempuran Myeongnyang benar-benar dikisahkan dengan cara yang sangat bagus. Adu taktik perangnya benar-benar seru. Jarang-jarang ada film kerajaan yang mengisahkan taktik perang laut sebaik ini loh. Saya sangat suka dengan bagian ini, keeren.

Apalagi kostum-kostum pada film ini terbilang bagus, terutama yang dipergunakan pihak Jepang. Para pejabat kekaisaran tampil dengan aneka kostum tradisional Jepang yang berwarna-warni. Memang agak kontras dengan kostum perang tentara Korea yang hanya itu-itu saja.

Kemudian yang perlu digarisbawahi juga adalah akting Choi Min-sik sangat bagus disana. Ia berhasil memerankan sosok Laksamana Yi yang keras dan pantang menyerah disaat Yi sudah menua dan sakit sekalipun. Beberapa tindakan Yi memang ekstrim tapi di sana ditunjukkan pula bagaimana ia merasa bersalah akan keputusan yang ia buat. Mulai dari mimik sampai intonasi, semuanya benar-benar bagus sekali.

The Admiral: Roaring Current (2014) sudah sepantasnya memperoleh nilai 4 dari skala maksimum 5 yang artinya “Bagus”. 2 jempol deh untuk film ini, kereen.

Sumber: m.cjem.net

Hari Kedelapan & Kesembilan Wisata Korea – Everland & Incheon

Setelah kemarin berkeliling di pusat kota pada Hari Ketujuh Wisata Korea – Gwangjang & Cheonggyecheon, di hari kedelapan ini kami akan pergi agak jauh keluar Seoul. Hari itu kami akan mengunjungi salah satu taman hiburan terbesar di Korea, Everland. Dalam 1 perjalanan wisata panjang, kami memang memberikan jatah minimal 1 objek wisata bagi anak kami. Kali ini, Everland-lah yang kami pilih walaupun lokasinya agak jauh dari tempat kami menginap. Hari itu kami berangkat agak pagi dengan membawa bekal seperti biasanya. Untuk mencapai Everland, kami harus naik kereta dan bus.

Kami berangkat dari Stasiun terdekat, yaitu Stasiun Dongdaemun History & Culture Park untuk naik Kereta Seoul Metro jalur 2 (hijau) arah Sindang dan turun di Stasiun Wangsimni. Dari Stasiun Wangsimni, kami naik Kereta Korail jalur Bundang (kuning) arah Stasiun Gangnam-Gu Office untuk turun di Stasiun Giheung. Sebuah perjalanan naik kereta yang cukup panjang. Sepanjang jalan kami melihat banyak manula Korea membawa sepeda untuk berolahraga di pinggir kota. Saya salut dengan semangat olahraga warga lokal.

Dari Stasiun Giheung kami masih harus naik Kereta Yongin Everline jalur Everline (hijau daun). Kereta ini nampak lebih kecil dan saya dapat berjalan ke ujung untuk melihat pemandangan dari bagian depan dan belakang kereta. Wah, sebuah pengalaman yang menyenangkan. Loh kemana masinisnya? Tidak ada :’D. Entah masinisnya di mana, sepertinya kereta yang beroperasi di jalur ini sudah beroperasi otomatis. Stasiun-Stasiun di Seoul pun memang sedikit sekali petugasnya. Semua sudah berjalan dengan otomatis dan dibantu mesin. Lha wong saya menyewa unit aparteme di daerah Dongdaemun saja, sudah 8 hari tapi belum pernah bertemu langsung dengan pemiliknya. Serah terima akses unit dilakukan dengan pemberian passport, mereka sudah tidak menggunakan kunci seperti di Indonesia :’D.

Kami akhirnya turun di Stasiun paling ujung yaitu Stasiun Jeondae-Everland. Nah dari Stasiun ini, kami keluar dan pergi ke halte bus untuk naik Bus gratisan yang akan mengantarkan kami menuju Everland. Pilihan transportasi seperti ini adalah pilihan yang paling ekonomis dan tidak terlalu repot. Mudah kok, tanda jalan dan petunjuk arahnya jelas. Hampir tidak mungkin kita salah halte bus atau naik bus yang salah ;). Kami naik bus tersebut sampai depan Everland persis.

Everland (에버랜드) merupakan taman hiburan outdoor yang dimiliki oleh Samsung. Kenapa kami memilih Everland dibandingkan Lotte World? Keduanya sama-sama besar dan dimiliko oleh konglomerat Korea Sekalan. Tapi Everland memiliki kebun binatang juga di dalamnya. Negatifnya adalah, Everland itu mayoritas atraksinya berada di luar ruangan. Nah kalau Lotte World itu atraksinya banyak juga yang di dalam ruangan jadi aman kalau kita datang di musim hujan. Kami sendiri sudah memperkirakan untuk datang ke Everland di saat cuaca sedang cerah, tidak ada hujan. Mirip seperti di Jepang, ramalan cuaca di Korea sana relatif akurat dan dapat dipercaya. Saya sendiri kurang tahu apa bedanya dengan yang di Indonesia, kok kadang saya kurang percaya. Masyarakat Korea akan siap keluar rumah membawa payung apabila lembaga ramalan cuaca mereka mengatakan bahkan hujan akan turun. Dan ajaibnya, yah hujan memang turun :’D.

Kami tiba di Everland di saat cuaca sedang sejuk tapi tak ada hujan. Suasana Everland yang asri dan kostum petugasnya yang unik, membuat tempat ini terasa spesial. Kami masuk dan melihat berbagai atraksi dari kelima zona yang ada. Pada dasarnya Everland dibagi ke dalam 5 zona yaitu Magic Land, European Adventure, American Adventure, ZooTopia dan Global Fair. Kelimanya memiliki tema dasar yang masing-masing berbeda. Kemudian tema dasar tersebut di tambahkan tema tambahan berdasarkan event yang selalu berubah. Kami datang ke sana ketika masih ada event Hallowen dan Red Flower. Jadi karnaval dan dekorasinya sebagian agak bernuansa zombie dan sebagian lagi bernuansa bunga-bunga merah. Wow, zombie? Beruntung dekorasinya tidak berlebihan sehingga anak kami tidak ketakutan di sana. Kami sendiri melihat karnaval Hallowen yang tidak nampak menyeramkan karena penuh nyanyian dan tari-tarian yang ramah anak.

Dari kelima zona yang ada, anak kami tentunya paling senang dengan ZooTopia. Zona ini pada dasarnya merupakan kebun binatang. Di sana, kami dapat melihat monyet, jerapah, gajah, burung, panda dan lain-lain. Kami dapat merasakan naik mobil amphibi yang dapat mengantarkan kami berkeliling untuk melihat binatang-binatang. Kemudian kami pun berkeliling melihat berbagai pertunjukan binatang yang ada. Pada dasarnya, ZooTopia memang berhasil memberikan beberapa hal yang tidak ada di Indonesia. Tapi kalau boleh jujur, Taman Safari Indonesia Cisarua tetap merupakan kebun binatang terbaik yang pernah saya kunjungi. Taman Safari itu lebih luas dan koleksi binatangnya lebih beraneka ragam.

Zona-zona lainnya seperti Magic Land, European Adventure, American Adventure dan Global Fair berisi berbagai atraksi permainan yang mayoritas memacu adrenalin. Wahana unggulan Everland adalah T-Express yang terdapat di Eropean Adventure. Kami sendiri hanya naik wahana yang dapat diikuti oleh anak kami yang berusia 1,8 tahun saat itu. Untunglah Everland memiliki banyak wahana yang masih dapat diikuti oleh anak kecil di bawah 2 tahun. Ini sangat berbeda dengan pengalaman kami di Universal Studio Singapore pada Wisata Singapura Hari Kedua. Wah wahana di Universal Studio Singapore sana, hampir tidak ada yang dapat dinaiki oleh anak berusia di bawah 2 tahun.

Entah mengapa, Everland hari itu nampak ramai, tapi antrian untuk masuk ke dalam wahana atau atraksi tidak terlalu lama. Jauh lebih lama kalau kami ke DuFan atau Universal Studio Singapore. Pihak Everland nampaknya berhasil membuat pengunjungnya untuk menikmati berbagai atraksi dengan waktu yang efisien. Tapi karena besarnya taman hiburan ini, kami tidak sempat menaiki semua wahana yang ada. Yahhh mungkin kapan-kapan kalau ada rejeki kami dapat berkunjung kembali ke sana.

Tak teraaa hari sudah malam dan kami pun mulai berjalan ke halte bus untuk naik bus menuju Stasiun Jeondae-Everland. Selanjutnya kami kembali berpindah-pindah jalur kereta di Stasiun Giheung dan Stasiun Wangsimni, sampai akhirnya kami turun di Stasiun Dongdaemun History & Culture Park. Kami langsung pulang ke penginapan untuk membereskan koper. Esok hari kami sudah harus pulang ke Indonesia :(.

Keeseokan harinya, kami membereskan berbagai perlengkapan yang kami gunakan di unit apartemen. Kami kemudian berpamitan dengan si pemilik via Whatsapp. Tidak perlu ada serah terima kunci fisik di sana karena akses unit apartemen tersebut menggunakan mesin ber-password. Lalu, kami menunggu Bus 6001 di Halte Bus Uljiro Co Op Residence yang berada tepat di depan apartemen.

Bus 6001 yang kami naiki, mengantarkan kami sampai ke Bandara Incheon. Sesampainya di sana, kami langsung check-in dan duduk santai sambil menunggu koper-koper kami diperiksa. Jadi, semua koper yang akan dimasukkan ke dalam bagasi, harus diperiksa dan kami harus siap menunggu di ruang tunggu sampai koper-koper kami dinyatakan lolos. Setelah koper-koper kami dinyatakan lolos, kami masuk ke dalam ruang pemeriksaan imigrasi untuk selanjutnya, masuk ke dalam area boarding walaupun waktu keberangkatan masih lama. Aaahhh di dalam sana kan banyak mainan anak san toko-toko, kami dapat bersantai di sana. Tak disangka, seketika, semua berubah menjadi keadaan yang menegangkan dan menyedihkan.

Smartphone istri saya hilang entah kemana :(. Saya sedih dan istri saya mulai berair matanya. Kok begitu? Harga smartphone tersebut bukan masalah, tapi kenangan yang ada di dalamnya yang kami sayangkan. Saat itu, otomatis kami hanya memiliki foto dan video perjalanan kami yang tersimpan di smartphone saya. Padahal mayoritas foto dan video kami selama 9 hari di Korea, tersimpan di dalam smartphone istri saya. Kami memang menyimpan kenangan-kenangan tersebut di smartphone saja, bukan untuk di-upload ke social media ya. Kami tidak berniat untuk meng-upload foto-foto wisata Korea kami di social media karena kami sudah bosan dengan social media, sudah bukan jamannya lagi, hehehehe. Semua foto wisata akan kami simpan dan sebagian akan kami cetak sebagai koleksi pribadi.

Karena kami baru menyadari hilangnya smartphone tersebut sesaat setelah lolos pemeriksaan imigrasi, maka kami yakin pasti smartphone tersebut pasti hilangnya di sekitar area check in atau ruang tunggu pemeriksaan koper atau ruang pemeriksaan imigrasi. Petugas imigrasi benar-benar kaku dan tidak mengizinkan kami untuk kembali keluar dari area boarding. Kami akhirnya diminta untuk melaporkan hal ini kepada pihak Asiana Airlines, sebagai maskapai yang akan membawa kami kembali ke Jakarta.

Berdasarkan ciri-ciri yang kami berikan, pihak Asiana memperoleh konfirmasi bahwa terdapat smartphone dengan ciri-ciri seperti itu di Loket Lost & Found yang terdapat di luar area boarding. Untuk memastikan dan mengambil barang temuan di Lost & Found, tidak dapat diwakilkan, harus si pemilik langsung. Dengan didampingi oleh petugas Asiana, istri saya bernegosiasi agar dapat keluar sebentar untuk memastikan apakah smartphone miliknya benar-benar ada di Lost & Found atau tidak. Proses yang sangat lama tersebut akhirnya usai dan istri saya dapat keluar menuju Lost & Found, dengan kawalan beberapa petugas tentunya. Ternyata, smartphone istri saya memang benar-benar ada di sana. Hore! 😀

Jadi, ada penumpang lain yang menemukan smartphone tersebut di ruang tunggu pemeriksaan koper. Beruntung penumpang tersebut jujur dan memberikannya kepada petugas bandara. Beruntung juga, petugas bandaranya jujur dan melaporkan hal ini kepada Lost & Found. Beruntung pangkat tiga, pihak Asiana sangat membantu kami dalam menghadapi semua proses ini. Sudah pesawatnya bagus, pelayanannya ok, sangat support terhadap masalah penumpangnya pula, Asiana benar-benar recommended lah pokoknya. Tak habis-habisnya kami berterima kasih kepada petugas Asiana Air yang hari itu membantu kami :D.

Kalau hal ini kejadian di Indonesia, wah tak tahulah bagaimana jadinya. Apalagi smartphone istri saya termasuk smartphone yang relatif baru dirilis kala itu. Awalnya saya agak pesimis karena saya masih ingat pengalaman buruk saya ketika kehilangan blackberry di Tembok Cina. Dimanapun berada, kita memang tetap harus waspada dan konsentrasi terhadap barang-barang bawaan kita. Keberadaan batita di dalam rombongan keluarga kecil kami memang memberikan tantangan lebih dan membutuhkan konsentrasi ekstra. Tapi kepergian kami tentunya tidak akan lengkap tanpa kehadiran bayi mungil kami. Tantangan kami untuk bepergian wisata seperti ini nampaknya akan meningkat karena setelah kami mendarat di Jakarta, istri saya ternyata mual-mual. Apakah ia sakit? Pada Hari Keempat Wisata Korea – Gunung Seorak & Naksansa, diakhir perjalanan kami menduga bahwa naik Gunung Seorak membuat ia kelelahan dan periode menstruasinya bergeser. Ahhhh ternyata kami salah, ia memang kelelahan dan itu menyebabkan muncul flek. Flek karena ternyata selama perjalanan ini, istri saya sudah 1,5 bulan mengandung anak kedua kami. Wwwuuuuuihhhhh, sebuah kejutan yang menyenangkan. Mungkin beberapa tahun ke depan, kami akan bepetualang lagi dengan tambahan 1 lagi bayi di dalam rombongan kami. Sampai jumpa di lain kesempatan hohohoohooho.

Baca juga:
Persiapan Wisata Korea 2017
Ringkasan Objek Wisata Korea Selatan
Hari Pertama Wisata Korea – Incheon, Namsan Tower & K Star Road
Hari Kedua Wisata Korea – Naminara Republic, Petite France & The Garden of Morning Calm
Hari Ketiga Wisata Korea – Ihwa, Ewha, Itaewon & Banpo
Hari Keempat Wisata Korea – Gunung Seorak & Naksansa
Hari Kelima Wisata Korea – One Mount Snow Park, The War Memorial of Korea & Myeong-dong
Hari Keenam Wisata Korea – Gyeongbokgung, Bukchon & Changdeokgung
Hari Ketujuh Wisata Korea – Gwangjang & Cheonggyecheon

Hari Ketujuh Wisata Korea – Gwangjang & Cheonggyecheon

Setelah kemarin pergi ke era kekuasaan dinasti Joseon pada Hari Keenam Wisata Korea – Gyeongbokgung, Bukchon & Changdeokgung, di hari ketujuh ini objek wisata tujuan kami agak longgar dan bebas. Tujuan utama kami hanya 2 yaitu Pasar Tradisional Gwangjang dan Cheonggyecheon Stream. Kami pun dapat bangun agak siang. Istri saya menyetrika beberapa baju dan membuat sarapan plus bekal. Kemudian kami berangkat menuju Stasiun Dongdaemun History & Culture Park. Dari sana kami naik Kereta Seoul Metro jalur 5 (ungu) arah Stasiun Euljiro 4(sa)ga untuk turun di Stasiun Euljiro 4(sa)ga. Kami kemudian keluar melalui Exit 4 dan berjalan sedikit menuju Pasar Gwangjang.

Pasar Gwangjang (광장시장) merupakan salah satu pasar tradisional terbesar dan tertua di Korea. Pasar ini dibangun sebagai reaksi warga lokal atas dikuasainya Pasar Namdaemun oleh Jepang pada masa penjajahan. Pasar Namdaemun sendiri merupakan pasar tradisional tertua di Korea yang didirikan di era Raja Gojong dari dinasti Joseon. Tapi lokasinya di sekitar Sungnyemun, dekat Seoul Station. Karena kami menginap di daerah Dongdaemun, tentunya Pasar Gwangjang akan sangat dekat bagi kami. Pasar Gwangjang ini dahulu kala sempat diberinama Pasar Dongdaemun dan merupakan pasar pertama di Korea yang memikiki bangunan permanen.

Berbeda dengan mall atau pertokoan modern Korea, Pasar Gwangjang memiliki bentuk yang lebih tradisional, namun tetap bersih dan tidak bau. Pasar tersebut menjual aneka ragam makanan ringan khas Korea, bahan makanan segar, obat tradisional Korea, souvenir, tekstil dan lain-lain. Selain bentuk pasarnya, yang nampak beda di sana adalah keberadaan kaki lima yang menjual bindaetteok dan mayak gimbap. Saya kurang tahu kehalalan makanan tersebut, yang pasti sekilas bahan-bahan yang dipergunakan adalah sayuran.

Kami sendiri tidak makan apa-apa di sana. Kami membeli aneka makanan ringan khas Korea dan hampir membeli hanbok anak-anak di sana. Di Pasar Gwangjang terdapat aneka hanbok yang bagus. Barang-barang yang sifatnya tradisional memang bagus-bagus di sana. Tapi harganya belum tentu bagus juga yaaa hehehehe. Berbeda dengan Cina dan Indonesia, tawar menawar tidak terlalu disukai oleh pedagang lokal. Pedagang lokal Korea memang tidak seketat Jepang yang menganut fixed price, kami biasanya hanya dapat menawar sedikit di sana. Hal ini berlaku kecuali di Itaewon. Harga bukaan di sana saja sudah miring, bisa ditawar lagi pula hehehe. Itulah mengapa, kami memutuskan untuk kembali berkunjung ke Itaewon setelah kami selesai berwisata di Gwangjang. Toh kami hanya kurang membeli souvenir saja kok, hal itu banyaknya memang di Itaewon. Kami batal ke Pertokoan Insadong siang itu. Perjalanan kami kali ini agak melenceng dari itenari yang saya susun pada Persiapan Wisata Korea 2017.

Dari Pasar Gwangjang, kami kembali berjalan menuju Stasiun Euljiro 3(sam)ga untuk naik Kereta Seoul Metro jalur 3 (oranye) arah Stasiun Chungmoro untuk turun di Stasiun Yaksu. Dari Stasiun Yaksu, kami naik Kereta Seoul Metro jalur 6 (coklat) arah Stasiun Samgaki untuk turun di Stasiun Itaewon.

Kami keluar dari Stasiun dan langsung bertemu dengan pertokoan Itaewon yang dipadati turis-turis asing. Di sana, kami membeli souvenir yang bagus-bagus dengan harga yang relatif miring ;D. Di sana pulalah kami dapat dengan lebih leluasa makan siang dan jajan karena mayoritas makanan di Itaewon, halal. Perjalanan jajan dan belanja kami di Itaewon berlangsung cepat karena kami sudah pernah ke sana pula pada Hari Ketiga Wisata Korea – Ihwa, Ewha, Itaewon & Banpo. Waktu masih banyak nih, matahari masih bersinar dengan terangnya. Masa langsung ke Cheonggyecheon Stream sih? Cheonggyecheon Stream nampak bagus di sore atau malam hari.

Dari Itaewon, kami akhirnya memutuskan ke Myeong-dong untuk kembali membeli oleh-oleh pernak-pernik K-Pop. Barang-barang di pertokoam Itaewon memang relatif murah, tapi tidak semuamuanya ada di Itaewon. Ada hal-hal tertentu yang dapat lebih mudah diperoleh di Myeong-dong atau Dongdaemun atau Gwangjang. Kami kemudian kembali berjalan menuju Stasiun Itaewon untuk naik Kereta Seoul Metro jalur 6 (coklat) arah Stasiun Samgaki untuk turun di Stasiun Samgaki. Dari Stasiun Samgaki, kami naik Kereta Seoul Metro jalur 4 (biru muda) arah Seoul Station untuk turun di Stasiun Myeong-dong.

Kami berputar-putar sejenak melihat dan membeli hal-hal yang kurang saya pahami hehehehe :’D. Kebanyakan barang-barang keperluan perempuan dan pernak-pernik K-Pop. Kami tidak terlalu lama di Myeong-dong karena istri saya sepeetinya sudah memiliki target mau belanja di mana saja.

Keluar dari pertokoan Myeong-dong, hari sudah mulai sore. Inilah waktu yang tepat untuk pergi menuju Cheonggyecheon Stream. Kami berjalan menuju Stasiun Myeong-dong untuk naik Kereta Seoul Metro jalur 2 (hijau) ke arah Stasiun Chungmoro untuk turun di Stasiun Chungmoro. Dari Stasiun Chungmoro, kami naik Kereta Seoul Metro jalur 3 arah Stasiun Euljiro 3(sam)ga (biru muda) untuk turun di Stasiun Euljiro 3(sam)ga. Perjalanannya terkesan pendek-pendek, tapi kalau dilakikan dengan jalan kaki ya pasti kami tidak kuat. Naik taksi? Aaahhh sayang uangnya, lebih baik uangnya untuk yang lain hehehe.

Dari Exit 4 Stasiun Euljiro 3(sam)ga, kami kemudian berjalan sedikit ke utara sampai bertemu dengan bagian tengah dari Cheonggyecheon Stream.
Awalnya, Cheonggyecheon Stream (청계천) merupakan drainase yang dibangun di era dinasti Joseon. Kemudian, seiring dengan berjalannya waktu, drainase ini terlupakan sampai tertutup oleh jalan raya bertingkat. Pada tahun 2005, Pemerintah Kota Seoul melakukan restorasi dengan membongkar jalan raya bertingkat yang menutup drainase tersebut. Gile bener, jalan raya bisa-bisanya dibongkar demi sebuah sungai, jalan raya tingkat 2 pula O_O. Pemerintah tidak hanya merestorasi, mereka pun mempercantik drainase tersebut dengan bentuk bersusun yang unik. Sebuah bentuk aliran air yang sekarang sudah ditiru di dekat Balai Kota Jakarta.

Aliran air sepanjang 8,4 km ini tak mungkin kami jelajahi semua pada sore itu. Karena bagian ujung barat sungai tersebut lebih populer dan memiliki pemandangan yang khas, maka kami memilih untuk menyusuri Cheonggyecheon Stream ke arah barat. Sepanjang sungai kami melihat artis jalanan yang kreatif dan menghibur. Jalanan nampak sedikit remang-remang dan aman karena banyak juga orang lalu-lalang di sana. Suasananya cukup romantis dan tak heran kalau lokasi ini digunakan oleh muda-mudi Korea untuk berjalan-jalan santai.

Semakin dekat ke bagian ujungnya, semakin banyak lampu hias dan dekorasi di bagian atas sungai. Dekorasi-dekorasi ini berubah-rubah seiring dengan berjalannya waktu. Ketika rekan kami ke sana, dekorasinya berupa kertas-kertas beetuliskan sesuatu dalam tulisan hangul. Ketika kami ke sana, dekorasinya sudah berubah menjadi deretan payung-payung cantik. Pada bagian paling ujung, terdapat air terjun dan wishing well yang unik. Di sana, kami iseng-iseng melempar koin agar masuk ke dalam wiahing well :D. Setelah beberapa percobaan yang berhasil, kami naik ke atas, ke jalan raya dan berjalan menuju Exit 5 Stasiun Gwanghwamun.

Dari Stasiun Gwanghwamun, kami naik Kereta Seoul Metro jalur 5 (warna ungu) arah Stasiun Jongno 3(sam)ga untuk turun di Stasiun Dongdemun History & Culture Park. Kami langsung berjalan pulang menuju penginapan kami yang terletak tak jauh dari Stasiun. Esok hari akan menjadi hari yang panjang. Kami akan berkelana sedikit keluar kota pada Hari Kedelapan & Kesembilan Wisata Korea – Everland & Incheon, sebuah tujuan yang tentunya akan membuat putri kami senang :).

Baca juga:
Persiapan Wisata Korea 2017
Ringkasan Objek Wisata Korea Selatan
Hari Pertama Wisata Korea – Incheon, Namsan Tower & K Star Road
Hari Kedua Wisata Korea – Naminara Republic, Petite France & The Garden of Morning Calm
Hari Ketiga Wisata Korea – Ihwa, Ewha, Itaewon & Banpo
Hari Keempat Wisata Korea – Gunung Seorak & Naksansa
Hari Kelima Wisata Korea – One Mount Snow Park, The War Memorial of Korea & Myeong-dong
Hari Keenam Wisata Korea – Gyeongbokgung, Bukchon & Changdeokgung
Hari Kedelapan & Kesembilan Wisata Korea – Everland & Incheon

Hari Keenam Wisata Korea – Gyeongbokgung, Bukchon & Changdeokgung

Setelah pada Hari Kelima Wisata Korea – One Mount Snow Park, The War Memorial of Korea & Myeong-dong kami mengunjungi jejak Perang Korea, pada hari keenam petualangan kami ini, kami mengunjungi beberapa jejak peninggalan Korea di era feodal. Jauh sebelum Korea terpecah 2 akibat perang ideologi, Korea dikuasai oleh satu atau beberapa kerajaan. Hari itu kami akan mengunjungi Istana Gyeongbokgung, Kampung Hanok Bukchon dan Istana Changdeokgung.

Kami memulai hari itu pagi-pagi sekali. Setelah sarapan, kami pergi keluar penginapan menuju Stasiun Dongdaemun History & Culture Park. Dari sana, kami naik Kereta Seoul Metro jalur 5 (ungu) ke arah Stasiun Euljiro 4(sa)ga untuk turun di Stasiun Gwanghwamun. Kami kemudian berjalan cukup panjang untuk keluar di Exit 9. Kenapa kok Exit 9 yang agak jauh? Keluar dari Exit 9, kami langsung berada di tengah-tengah area Gwanghwamun Square, tak pakai acara menyeberang, langsung di tengah ;).

Gwanghwamun Square (광화문광장) merupakan area hijau di seberang Istana Gyeongbokgung. Di sana terdapat patung raksasa dari Laksamana Yi Sun-Shin (이순신) dan Raja Sejong (세종대왕). Nama Raja Sejong sudah sangat terkenal. Tapi, siapa pula Yi Sun-Shin itu? Sekilas ia seperti salah satu panglima perang Tiongkok pada film Red Cliff :’D. Ternyata, Yi Sun-Shin merupakan pahlawan nasional Korea yang memimpin peperangan di laut pada era Perang Imjin atau Perang 7 Tahun melawan Jepang. Ketika Korea menolak untuk memberikan jalan bagi Jepang untuk menginvasi Cina, Jepang melakukan serangan darat dan laut ke dalam wilayah Korea. Mayoritas wilayah darat Korea dapat dengan mudah dikuasai. Berkat kepemimpinan Laksamana Yi Sun-Shin, wilayah laut Korea sulit untuk dikalahkan. Armada Jepang bahkan akhirnya mundur dan dinyatakan kalah. Kisah kepahlawanan Yi Sun-Shin ini ternyata sudah beberapa kali di angkat ke layar kaca, sayanya saja yang kurang gaul nih hohoho.

Lantas, apakah Raja Sejong ada hubungannya juga dengan Perang 7 Tahun? Raja Sejong merupakan raja keempat dari Dinasti Joseon yang bertahta jauh sebelum Jepang menginvasi Korea. Ia merupakan raja yang sangat terkenal karena kemajuan ilmu pengetahuan Korea di era pemerintahaanya. Aksara Korea yang di sebut hangeul merupakan hasil karyanya yang termashur. Itulah mengapa di depan patung Raja Sejong yang terletak di Gwanghwamun Square, terdapat patung yang menggambarkan alfabet hangeul, bola dunia selestial, alat pengukur hujan dan jam bayangan matahari. Keempatnya merupakan simbol kemajuan Korea di era Raja Sejong.

Kami mengamati patung-patung tersebut disela-sela tenda putih yang sedang dipasang. Pagi itu, terdapat bazar atau eksebisi yang baru saja buka di Gwanghwamun Square. Karena semua dalam tulisan dalam tulisan hangeul, kami kurang paham itu acara apa. Di sana, mereka menjual aneka makanan kecil dan minuman ringan. Kemudian terdapat pula video games virtual reality di pasang di sana. Entah apa maksudnya, kami memilih untuk berjalan ke arah Istana Gyeongbokgung.

Kami tidak langsung masuk ke dalam Gyeongbokgung karena kami ingin mencari tempat penyewaan hanbok. Whoaaw, apa itu hanbok? Baju hanbok merupakan baju tradisioanal Korea yang dapat disaksikan pada beberapa drama Korea berlatar belakang dinasti Joseon. Tentunya akan menjadi sebuah pengalaman yang seru kalau kami dapat berkeliling Istana menggunakan baju tradisional tersebut. Sebenarnya, kami bisa saja mem-booking hanbok sejak di Indonesia, tapi lokasi penyewaan dan perhitungan waktu membuat kami batal melakukan booking. Kami memilih untuk mencari penyewaan hanbok yang lokasinya dekat dengan pintu gerbang Gyeongbokgung di hari kedatangan saja ;). Saya sadar, resikonya adalah kami gagal menyewa hanbok yang keren ;). Di dalam kompleks Istana Gyeongbokgung, terdapat menyewaan hanbok gratis. Tapi yaaaaa, ada harga, ada rupa, bentuk hanboknya kurang bagus :’D.

Kami terus berjalan ke arah barat Gyeongbokgung dan menemukan jejeran gerai penyewaan habok, tepatnya di sekitar Jahamun-ro 2-gil. Aaaahhh, ternyata banyak penyewaan habok di sana, tak perlu pakai acara booking lewat online. Di sana, kami dapat mendapatkan banyak pilihan hanbok yang siap untuk disewa. Ada tipe hanbok klasik dan tipe modern, semuanya bagus-bagus loh, tinggal pilih sesuai selera ;).

Di dalam penyewaan hanbok, kita hanya dapat mencoba 2 hanbok saja. Kemudian, pada 1 paket biasanya kita memperoleh juga pelayanan make-up dan hair stylist. Sepatu, tas dan aksesoris tambahan lainnya, biasanya tidak termasuk ke dalam paket. Kita harus membayar biaya tambahan bila ingin menambahkan aksesoris. Saya pribadi menggunakan sepatu Wakai yang sudah saya bawa dari rumah. Bentul dan modelnya masih cocoklah kalau bertemu dengan hanbok. Oh yaaa, hanbok itu bukan hanya milik wanita loh, kaum Adam juga ada versi hanboknya. Kalau canggung menggunakan hanbok, terdapat pula kostum pejabat negara atau kaisar di sana. Namun saya pribadi pernah menyewa kostum pejabat negara atau kaisar ketika berkunjung ke Tembok Cina beberapa tahun yang lalu. Aaahh, bentuknya mirip, tak jauh berbeda. Itulah mengapa saya memilih mengenakan hanbok laki-laki ketimbang baju kaisar atau pejabat kerjaan ;).

Penyewaan hanbok biasanya dihitung per-jam dan kita biasanya diharuskan membayar 2 jam pertama di muka plus uang deposit. Kami pun memperoleh loker untuk menitipkan barang bawaan kami. Tidak seru juga kan kalau menggunakan hanbok sambil menggendong tas-tas ransel. Selain berat, hambok juga bisa kusut atau rusak. Kerusakan akibat penggunaan bisa dipotong dari uang deposit yang kita bayar di muka loh.

Kami bertiga berjalan keluar menuju Istana tanpa rasa malu karena menggunakan hanbok bukanlah hal aneh di sana. Kami berjalan menyusuri penyewaan hanbok yang berada di sekitar dinding barat Gyeongbokgung. Semakin siang, semakin banyak yang terlihat buka. Menjamurnya bisnis penyewaan hanbok di sekitar Istana Gyeongbokgung, Kampung Hanok Bukchon dan Istana Changdeokgung sebenarnya tak lepas dari usaha Pemerintah untuk melestarikan budayanya. Siapa saja yang datang dengan menggunakan hanbok, diperbolehkan gratis masuk ke dalam beberapa Istana yang tersebar di dalam Kota Seoul. Program pemerintah Korea Selatan ini dapat dibilang berhasil karena selain memberikan bisnis baru bagi masyarakat lokal, kaum muda Korea pun ada yang ikut menggunakan hanbok di sekitar area Istana. Kapan yah Indonesia bisa seperti ini? 😀

Kami tiba di Gerbang Gwanghwamun, gerbang utama Istana Gyeongbokgung, pada sekitar pukul 10 siang. Pada sekitar jam inilah biasanya terdapat atraksi pergantian penjaga ;). Pergantian penjaga ini diawali dengan bunyi gong yang besar. Kami melihat sekumpulan penjaga, lengkap dengan atributnya berbaris dan melakukan serangkaian atraksi dengan senjata mereka :D.

Setelah pergantian penjaga berakhir, kami dapat berfoto dengan komandan penjaga yang membawa rantai dan golok hohohoho. Di sana, kami pun menjadi objek foto bersama, oleh backpaker-backpaker asal Indonesia yang tidak tahu perihal sewa menyewa hanbok :’D. Setelah menginformasikan tempat menyewaan hanbok, kami berpisah dengan mereka, dan kami berjalan ke dalam area Kompleks Istana Gyeongbokgung yang luas ;).

Istana Gyeongbokgung (경복궁) adalah istana terbesar dari 5 istana yang pernah dibangun pada era Dinasti Joseon. Istana megah ini dibangun pada tahun 1935 dan sempat hancur pada era Perang Imjin, invasi Jepang di tahun 1500-an. Istana ini kemudian direstorasi lagi oleh Raja Gojong hingga sebagian bentuknya masih dapat kami saksikan saat itu. Setelah era Raja Gojong, terdapat beberapa perubahan karena Jepang melakukan perombakan terhadap Gyeongbokgung ketika mereka berhasil menjajah Korea pada tahun 1900-an.

Bentuk istana di Seoul ini agak berbeda dengan istana-istana di Jepang yang bentuknya vertikal ke atas. Saya rasa bentuk istana milik Korea lebih mirip dengan istana milik Cina yang melebar dengan banyak pintu di mana-mana. Korea di era feodal memang banyak dipengaruhi oleh dinasti Ming dan Qing dari Cina.

Kami berputar-putar kompleks istana mengagumi keindahan arsitektur khas Korea yang ada di depan mata. Istana ini luas sekali sehingga pengunjung tidak perlu berdesak-desakan seperti pada Hari Ketiga Membawa Bayi Ketika Wisata Bangkok & Pattaya di Bangkok dulu :’D. Di sana banyak sekali ruangan dan pintu-pintu unik yang indah. Pada bagian tengah, terdapat ruangan tempat raja bertahta. Ruangan tersebut tidak terlalu besar, tapi nampak beda dan keren, seperti di film-film kerajaan.

Ketika kami berjalan-jalan di sana, Istana Gyeongbokgung dikunjungi pula oleh satu atau dua rombongan dharmawisata sekolahan. Bisa dibilang ini adalah record kami melihat gerombolan anak-anak selama di Korea. Negeri tersebut angka kelahirannya memang sangat kecil sehingga jumlah anak-anak di sana dikabarkan terus menurun. Anak kami sendiri, dengan riangnya berlari-lari dengan hanboknya, di dalam kompleks istana :). Dengan banyaknya pengunjung yang berpakaian hanbok ke sana, kami seperti sedang benar-benar berkunjung ke Istana Gyeongbokgung di masa lampau.

Setelah selesai berputar-putar di bagian depan dan tengah kompleks, kami menemukan National Folktale Museun pada halaman belakang Istana. Di sana, terdapat berbagai alat-alat yang masyarakat Korea pernah gunakan di masa lampau. Kami tidak terlalu lama di sana karena keterbatasan waktu, masih banyak objek wisata yang hendak kami kunjungi.

Kalau ke arah belakang istana lagi, wilayah di seberang tembok belakang istana tepatnya, terdapat Cheong Wa Dae atau Blue House. Rumah tradisional Korea bergenting biru ini merupakan kediaman resmi presiden Korea Selatan. Namun karena kepergian kami ke Seoul memang agak singat waktu persiapannya, kami tidak meneruskan untuk berkunjung ke Blue House. Untuk masuk ke dalam Blue House, kita diharuskan mengisi form di situs resmi kepresidenan paling tidak 3 minggu sebelum rencanan kedatangan. Wah, rumit, sudahlah, kapan-kapan saja kalau ada kesempatan ;).

Dari Istana Gyeongbokgung, kami kembali ke tempat penyewaan hanbok untuk berganti pakaian dan mengambil barang bawaan kami. Demi efisiensi waktu dan biaya, kami memilih untuk menggunakan baju biasa saja pada kunjungan kami ke Kampung Hanok Bukchon dan Istana Changdeokgung ;). Dari tempat penyewaan, kami berjalan ke arah timur, menyusuri Yukgok-ro, arah tempat Kampung Hanok Bukchon dan Istana Changdeokgung berada. Di tengah-tengah perjalanan, kami berhenti di sebuah halte bus untuk menyantap bekal dan mengganti popok anak kami hehehehe. Setelah itu, kami kembali berjalan menyusuri trotoar Kota Seoul yang ramah pejalan kaki. Dengan bantuan GPS, kami akhirnya tiba di Istana Changdeokgung. Loh? Bukankah Kampung Hanok Bukchon berada diantara Istana Gyeongbokgung dan Istana Changdeokgung? Betul, tapi lokasi Kampung Hanok Bukchon agak berbelok ke utara, sedangkan untuk menuju Istana Changdeokgung kami dapat dengan mudahnya berjalan lurus mengikuti Yukgong-ro saja. Selain itu, Istana Changdeokgung ada jam tutupnya, sedangkan Kampung Hanok Bukchon tak ada jam tutupnya. Kami masih dapat mengunjungi Kampung Hanok Bukchon di sore hari.

Kami tiba di Istana Changdeokgung sekitar pukul 1 siang. Istana ini relatif lebih sepi dibandingkan Gyeongbokgung. Ketika kami tiba di sana, sebagian besar pengunjung pun tidak menggunakan hanbok, sedikit berbeda dengan kondisi di Gyeongbokgung. Kami sendiri memasuki Istana Changdeokgung dengan membayar tiket karena kami sudah tidak menggunakan hanbok lagi di sana.

Istana Changdeokgung (창덕궁) merupakan salah satu istana yang paling disukai oleh keluarga kerajaan. Istana ini memang bukan pusat pemerintahan, tapi keadaannya yang lebih menyatu dengan alam, membuat para putri raja betah untuk tinggal di sana. Raja Sujong, raja terakhir dinasti Joseon, hidup di dalam istana ini sampai ajal menjemputnya. Bahkan sampai saat ini, anak dan keturunan Raja Sujong masih tinggal di dalam salah satu bagian dari istana ini. Apa istimewanya Istana Changdeokgung? Arsitektur dan dekorasi dari istana ini sangat mirip dengan Istana Gyeongbokgung. Bangunan istana utamanya sendiri sebenarnya tidak terlalu luas, tapi kompleks istana tersebut jadi nampak luaaaas karena menjadi satu dengan Kuil Jongmyo dan Huwon.

Kuil Jongmyo (종묘) merupakan salah satu kuil Konfusius tertua di dunia. Sebagai penguasa yang berkepercayaan Konfusianisne, raja dan ratu dinasti Joseon menyimpan tablet-tablet memorial mereka di dalam ruangan-ruangan yang terdapat di dalam kuil tersebut. Praktis semua upacara keagaaman yang berhubungan dengan nenek moyang keluarga kerjaan dipusatkan di kuil ini. Kami melihat banyak sekali ruangan-ruangan kecil tempat menyimpan tablet, di dalam area kuil tersebut. Konon, dahulu ruangannya lebih panjang dan banyak. Tapi sebagian sudah dihancurkan Jepang untuk membangun jalan. Kemudian, di sana terdapat pula rumah-rumah hanok yang dulu dijadikan tempat tinggal para pemuka agama. Rumah-rumah hanok tersebut agak memanjang dengan banyak kamar dengan halaman atau taman kecil di tengah, lebih mirip seperti penginapan dibandingkan rumah.

Huwon adalah sebuah taman di belakang istana yang terdiri dari pepohonan, kolam dan pendopo-pendopo khas dinasti Joseon. Di sanalah keluarga kerjaan biasa berkumpul, belajar, bermeditasi dan mengadakan perjamuan makan malam. Ada suatu masa di mana hanya raja yang boleh memasuki taman ini, sehingga taman ini disebut juga Biwon atau Taman Rahasia. Untuk memasuki Huwon, kita harus didampingi oleh pemandu wisata resmi sesuai jadwal yang ada. Karena kami tiba di sana di waktu yang kurang tepat, maka kami memutuskan untuk tidak masuk ke dalam Huwon. Kami tiba di saat sebuah rombongan baru memasuki Huwon. Kami harus menunggu rombongan berikutnya untuk masuk, wahh pasti lama ini. Kalau dari luar sih, terlihat bahwa dedaunan di dalam sana masih hijau, belum berubah warna. Andaikan kami tiba di tengah-tengah musim semi, kami akan menunggu dan mengantri untuk masuk ke dalam Huwon.

Kalau saya lihat, keberadaan Huwon dan Kuil Jongmyo jelas membuat keluarga raja senang tinggal di Istana Changdeokgung. Itulah mengapa, pihak kerajaan terus menerus merestorasi istana ini walaupun istana tersebut pernah hancur pada invasi Jepang, penyerangan Manchu dan insiden internal Korea. Keberadaan tablet nenek moyang membuat keluarga merasa lebih dekat dengan keluarga yang telah wafat. Keberadaan taman dan lingkungan yang asri, membuat istana terasa lebih teduh.

Setelah selesai berwisata di di Istana Changdeokgung, kami berjalan ke arah barat laut menuju Kampung Hanok Bukchon. Kalau di peta sih, masuknya ke daerah Bukchon-ro 11-gil. Tempatnya memang agak masuk ke dalam jalan yang sempit. Kami sempat beberapa kali memperoleh petunjuk jalan yang salah dari warga lokal. Bagi teman-teman yang hendak berkunjung ke Kampung Hanok Bukchon, sebaiknya percaya saja kepada GPS dalam hal ini. Banyak warga lokal yang kurang paham bahasa Inggris :’D.

Kampung Hanok Bukchon (북촌한옥마을) sudah ada sejak 600 tahun yang lalu. Daerah ini dulunya merupakan tempat tinggal pejabat dan bangsawan dari dinasti Joseon. Lebar jalan yang kecil memang menggambarkan keadaan perkampungan Korea di era feodal. Tapi rumah-rumah yang agak kecil sebenarnya merupakan hasil dari penjajahan Jepang pada tahun 1900-an. Untuk memecah dan merusak martabat dinasti Joseon, Jepang membagi-bagi rumah yang pada awalnya besar, menjadi kecil-kecil. Yaaah, pada dasarnya, Jepang-lah yang mengakhiri kekuasaan dinasti Joseon di Korea Selatan. Setelah dinasti tersebut runtuh, praktis runtuh pulalah era feodal di Korea Selatan.

Kami tiba di Kampung Hanok Bukchon sekitar pukul setengah empat sore. Sinar matahari sudah tidak terlalu terasa panas dan angin musim semi bertiup cukup kencang saat itu. Kampung Hanok Bukchon pun tidak terlalu padat :D. Kami mengelilingi area yang penuh dengan rumah tradisional Korea tersebut dengan tetap menjaga ketertiban dan kebersihan karena rumah-rumah yang ada di sana bukan rumah-rumahan. Rumah-rumah tersebut masih dijadikan tempat tinggal oleh warga Korea. Beberapa rumah ada yang dijadikan penginapan dan restoran, tapi bentuk aslinya tetap tidak diubah sehingga bentuknya yaa tetap seperti rumah, tidak seperti toko modern. Karena keasliannya, area ini berhasil memberikan atmosfer perkampungan di era dinasti Joseon. Apalagi ketika terdapat pengunjung berpakaian hanbok lalu lalang di sana.

Sebenarnya, terdapat 2 kampung hanok di Seoul, yaitu Kampung Hanok Bucheon dan Kampung Hanok Namsagol. Keduanya sama-sama terdiri dari rumah-rumah tradisional Korea yang disebut hanok. Hanya saja, Kampung Hanok Namsagol bukanlah tempat tinggal seperti yang Kampung Hanok Bucheon miliki. Hanok-hanok yang Kampung Hanok Namsagol miliki, khusus dibangun pada tahun 1998 untuk memperlihatkan budaya Korea di masa lampau. Kampung Hanok Namsagol tentunya lebih luas dan lebih lenggang dibandingkan dengan Kampung Hanok Bucheon, tapi lokasi yang kurang pas dengan itenari kami dan kekurang-original-an, membuat kami memilih untuk berkunjung ke Kampung Hanok Bucheon saja. Toh lokasi diantara 2 istana yang menjadi tujuan kami di hari tersebut. Pilihan ini tentunya lebih efisien dari segi waktu.

Dari Kampung Hanok Bucheon, kami kembali berjalan ke arah Stasiun Anguk dengan bantuan GPS. Dari sana, kami naik Kereta Seoul Metro jalur 3 (oranye) arah Stasiun Jongno 3(sam)ga untuk turun di Stasiun Jongno 3(sam)ga. Kemudian kami naik Kereta Seoul Metro jalur 5 (ungu) arah Stasiun Euljiro 4(sa)ga untuk turun di Stasiun Dongdaemun History & Culture Park.

Karena hari belum terlalu malam, maka kami kembali berjalan-jalan di pertokoan dan pusat perbelanjaan yang ada di daerah Dongdaemun. Yaaahh inilah keuntungan dari menginap di dekat pusat perbelanjaan ;). Kami pun kembali mampir di pedagang kaki lima sushi yang hampir setiap malam kami kunjungi hehehehe. Setelah makan malam, kami bermaksud mencari baju anak dan menemukan baju-baju berbentuk aneh. Sebenarnya kami sudah melihat ini selama di Seoul tapi baru kali ini kami melihat dengan jelas bahwa baju tersebut adalah baju anjing :’D. Selama di Seoul kami memang sering melihat anjing-anjing lucu yang berjalan menggunakan baju dan aksesoris layaknya manusia. Pemilik anjing-anjing tersebut adalah kaum muda Korea. Melihat menurunnya jumlah bayi dan angka kelahiran di sana, apakah kaum muda Korea beralih ke anjing? Apakah mereka lebih memilih memiliki anjing sebagai pengganti bayi yang sulit mereka miliki? Berdasarkan obrolan saya dengan salah satu warga lokal, ia menganggap bahwa menikah dan memiliki anak itu mahal. Siapa sih yang tak ingin punya anak. Sayang biaya hidup di Korea itu tak murah. Akhirnya, kaum muda sana lebih memilih memundurkan usia menikah mereka. Setahu saya, semakin tua usia kita, semakin sulit memiliki anak. Wah jadi ingat film The Boss Baby (2017). Sekejap, film tak masuk akal tersebut, menjadi sangat masuk akal.

Setelah lelah dan mengantuk, kami berjalan pulang ke penginapan dan langsung beristirahat. Esok hari akan menjadi hari yang lebih santai karena tujuan wisatanya jauh lebih sedikit pada Hari Ketujuh Wisata Korea – Gwangjang & Cheonggyecheon. Hal ini memang disengaja karena kami membawa anak di bawah 2 tahun. Tidak mungkin kalau setiap hari kami berangkat pukul 7 pagi.

Baca juga:
Persiapan Wisata Korea 2017
Ringkasan Objek Wisata Korea Selatan
Hari Pertama Wisata Korea – Incheon, Namsan Tower & K Star Road
Hari Kedua Wisata Korea – Naminara Republic, Petite France & The Garden of Morning Calm
Hari Ketiga Wisata Korea – Ihwa, Ewha, Itaewon & Banpo
Hari Keempat Wisata Korea – Gunung Seorak & Naksansa
Hari Kelima Wisata Korea – One Mount Snow Park, The War Memorial of Korea & Myeong-dong
Hari Ketujuh Wisata Korea – Gwangjang & Cheonggyecheon
Hari Kedelapan & Kesembilan Wisata Korea – Everland & Incheon

Hari Kelima Wisata Korea – One Mount Snow Park, The War Memorial of Korea & Myeong-dong

Setelah lelah hiking di Gunung Seorak pada Hari Keempat Wisata Korea – Gunung Seorak & Naksansa kemarin, maka pada hari kelima ini kami berangkat agak santai. Perjalanan wisata pada hari keempat kemarin ternyata memang melelahkan sekali. Periode menstruasi istri saya saja sampai kacau setelah pulang dari sana. Maklum, hiking dengan menggedong anak yang hampir berumur 2 tahun tentunya cukup menguras stamina. Faktor kelelahan memang dapat menjadi faktor kacaunya periode mens. Tapi untuk kasus ini, ada hal tak terduga yang harus kami terima dan baru kami ketahui di akhir perjalanan kami, yaitu pada hari kesembilan.

Pagi itu kami mulai kehabisan pakaian hehehehe. Maka, istri saya menyetrika beberapa pakaian yang kemungkinan akan digunakan keluar apartemen. Sisanya cukup dilipat saja, toh tidak kelihatan orang hohohoho ;). Seperti hari-hari sebelumnya, kami menyiapkan bekal sarapan di sana. Setelah siap, kami kembali berjalan menuju Stasiun :D.

Tujuan utama kami hari itu hanya 2 yaitu One Mount Snow Park dan The War Memorial of Korea. One Moung Snow Park yang lebih jauh agak keluar kota, menjadi tujuan pertama kami. Perjalanan di mulai dari Stasiun Dongdaemun History & Culture Park. Dari sana, kami naik Kereta Seoul Metro jalur 4 (biru muda) arah Stasiun Chungmoro untuk turun di Stasiun Chungmoro. Dari Stasiun Chungmoro, kami naik Kereta Seoul Metro jalur 3 (oranye) arah Stasiun Euljiro3(sam)-ga untuk turun di Stasiun Juyeop yang letaknya cukup jauuuuuuh :D. Kami melewati banyak Stasiun sebelum tiba di sana.

Keluar dari Stasiun Juyeop, kami sudah tidak lagi merasakan suasana Seoul yang metropolis. Stasiun ini memang terletak di Gyeonggi-do, sebuah propinsi terpadat dan terbesar di Korea Selatan yang mengelilingi ibukota Seoul. Di sana, kami melihat taman dan deretan rumah susun. Kami tiba di tengah-tengah jam kerja, dan keadaan di sekitar Stasiun nampak sepi. Sesekali kami melihat manula dan anak-anak lalulalang di sana.

Dari Stasiun, kami berjalan kaki menuju One Mount Snow Park dengan bantuan GPS. Untuk pertama kalinya kami melihat sekolahan SD di Korea, pantas saja sepanjang jalan mulai terlihat anak-anak, meskipun tetap sedikit hitungannya. Di taman yang kami lewati, kami pun bertemu dengan seorang ibu yang sedang mendorong stroller. Sepertinya, daerah pinggir kota seperti inilah yang menjadi tempat tinggal bagi keluarga-keluarga muda.

Udara yang segar dan taman yang hijau, membuat perjalanan kami tidak terasa melelahkan. Kami akhirnya tiba di Hallyuworld. Tempat ini besar dan seperti baru selesai dibuat. Keadaannya sepi sekali, 1 mall seolah jadi milik kami bertiga. Di dalam Hallyuworld inilah terdapat One Mount Snow Park, One Mount Water Park dan aneka pertokoan. Konon pemerintah Korea Selatan ingin menjadikan tempat tersebut sebagai pusat lokasi konser K-Pop. Tempat yang luas ini mungkin nampak sepi karena kami datang di tengah-tengah jam kerja.

Kami naik ke lantai 2 dan masuk ke dalam One Mount Snow Park dengan menggunakan tiket yang sudah saya beli di Aplikasi Klook sejak masih di Indonesia, biasaaaaa, mumpung ada diskonan ;). Di sana, kami memasukkan tas dan stroller lipat kami ke dalam loker. Barang-barang yang besar dan makanan memang tidak diperbolehkan masuk ke dalam. Hanya ada pengeculian khusus bagi makanan bayi. Barang-barang yang kecil dan bisa masuk ke kantong ya tetap saya bawa. Tongsis saja masih bisa lolos masuk ke dalam kok ;).

Kemudian, kami menggunakan perlengkapan musim dingin lengkap dari jaket bertudung sampai sepatu. Kalau tidak bawa, kita diperbolehkan menyewa atau membelinya di sana. Kalau tidak mau beli atau sewa juga tak apa, asal kuat dengan suhu minus di dalam sana :’D. Suhu minus? Tempat apa ini? One Mount Snow Park (원마운트 스노우파크) merupakan taman hiburan dengan tema musim dingin. Berbeda dengan area ice skating atau area salju-saljuan yang ada di Indonesia, One Mount Snow Park terdiri dari hamparan es yang luas dengan tata cahaya yang cantik.

Di atas hamparan es tersebut, terdapat mainan anak dan berbagai jenis kereta luncur yang lucu dan unik. Setelah menemani anak kami bermain dengan mainan anak yang ada, kami mencoba kereta luncurnya. Kami dapat meluncur menggunakan kereta luncur tersebut dengan menggunakan sepatu kets biasa. Arena ini memang bukan khusus area ice skating sehingga kita bebas mau masuk pakai jenis sepatu apa saja, tidak harus sepatu khusus ice skating.

Kami melunjur mengelilingi area es dengan mudah. Kereta-kereta luncur tersebut mudah sekali dikendalikan. Setelah bosan meluncur berputar-putar di tengah, kami pun mencoba meluncur melewati terowongan-terowongan panjang yang berada di pinggir arena. Terowongan tersebut sungguh cantik dan menyenangkan untuk dilewati dengan kereta luncur. Kami berputar di sana beberapa kali sampai bosan. Sebuah pengalaman yang menyenangkan, apalagi pengunjung One Mount Snow Park sedang sepi-sepinya, arena es seluas ini seakan jadi milik kami bertiga hehehehe ;).

Awalnya, kami berniat untuk menyewa kereta luncur yang ditarik oleh segerombolan anjing-anjing sejenis siberian huskies. Tapi setelah dipikir-pikir, kami khawatir anak kami jadi ketakutan dan moodnya rusak padahal perjalanan masih panjang.

Kami akhirnya memutuskan untuk naik ke lantai 2 One Mount Snow Park untuk melihat rumah-rumahan dan melihat arena ea dari atas. Anak kami yang sedang belajar jalan, senang berputar di sana. Saya sendiri sudah kelelahan mendorong kereta luncur tadi hehehe.

Setelah itu, kami pergi ke area Outdoor Rainbow Slope yang terdapat di atap gedung. Arena ini merupakan seluncur raksasa yang menggunakan ban pelampung. Mirip dengan seluncur yang ada di kolam renang Water Bom atau Atlantis Ancol, hanya saja yang One Mount Snow Park miliki ini kering dan berada di atas gedung ;D. Meluncur di sana tidak terlalu menakutkan, hanya saja untuk naiknya lumayan melelahkan karena tangganya landai dan tinggi sehingga perjalanan naiknya terasa jauh. Saya rasa, landainya tangga tersebut dimaksudkan agar anak-anak dapat dengan mudah melewatinya.

Di sepanjang tangga tersebut pun terdapat taman-taman cantik penuh karakter kartun yang anak kami sukai. Setelah melewati taman-taman tersebut, anak kami pun dengan senangnya ikut meluncur dari atas ;). Karena kami datang di musim semi, seluncur tersebut terlihat berwarna-warni. Keadaannya mungkin berbeda ketika musim dingin tiba. One Mount Snow Park memang buka di semua musim termasuk musim dingin sekalipun.

Sekitar pukul 1 siang kami keluar dari One Mount Snow Park dan berjalan turun ke lantai 1 Hallyuworld. Kami menyantap bekal kami di dalam pendopo-pendopo yang terletak berjajar di tengah Hallyuworld yang luas tapi sedang sepi-sepinya. Setelah kenyang, kami mengganti popok anak kami, lalu kami langsung kembali berjalan menuju Stasiun Juyeop. Kami tidak terlalu menaruh minat untuk belanja di Hallyuworld hehehehe.

Dari Stasiun Juyeop, kami kembali naik Kereta Seoul Metro jalur 3 (oranye) arah Stasiun Daegok untuk turun di Stasiun Chungmoro. Dari Stasiun Chungmoro, kami naik Kereta Seoul Metro jalur 4 (biru muda) arah Stasiun Seoul Station untuk turun di Stasiun Samgaki.

Dari Stasiun Samgaki, kami berjalan selama kurang lebih 10 menit menuju The War Memorial of Korea (전쟁기념관). Objek wisata ini merupakan markas besar tentara Korea Selatan di era Perang Korea (1950-1953). Perang tersebut dimulai ketika tentara Korea Utara menerobos masuk ke dalam wilayah Korea Selatan. Pada perkembangannya, perang ini ikut pula menyeret beberapa negara sehingga ikut berperang. Korea Utara di dukung oleh mayoritas negara-negara komunis dan sosialis seperti Uni Soviet, Republik Rakyat Cina, Jerman Timur, Polandia dan lain-lain. Sementara itu, Korea Selatan didukung oleh Amerika Serikat, NATO dan negara-negara lain yang mayoritas cenderung menganut ideologi liberal. Perang saudara beda ideologi ini menumpahkan banyak korban di kedua belah pihak. Semua terhenti ketika ditandatangi perjanjian damai pada tahun 1953. Korea pun terbelah dua dengan Zona Demiliterisasi sebagai pemisahnya.

Kedua Korea masih sama-sama waspada satu sama lain sampai sekarang. Warga Korea Selatan sendiri diwajibkan untuk mengikuti wajib militer. Melihat anak muda Korea berpakaian militer bukanlah pemandangan yang ganjil. Kami sendiri sering melihat pemuda-pemuda berumur 20 tahun-an menggunakan seragam militer di dalam kereta.

Kami sendiri datang pada hari dimana Korea Utara melakukan uji coba nuklir. Jadi, masalah konflik antara 2 Korea tersebut sedang menjadi topik hangat di hari tersebut. Tapi tidak ada nuansa ketegangan di sana. Warga lokal seakan sudah biasa membicarakan hal ini tanpa rasa khawatir. Kondisi Seoul sendiri tetap ramai seakan tidak ada apa-apa :).

Harapan akan penyatuan dan perdamaian masih tetap ada di sana. Hal ini terlihat dari patung Saudara yang terletak di dekat salah satu gerbang masuk menuju The War Memorial of Korea. Patung setinggi 18 meter ini menunjukkan seorang tentara Korea Utara berpelukan dengan tentara Korea Selatan di atas Bumi yang retak terbelah 2. Di bagian bawah patung tersebut, kami menemukan berbagai gambar terkait Perang Korea termasuk pasukan PBB yang dulu ikut membantu Korea Selatan.

Di sisi gerbang masuk lainnya terdapat patung Defending the Fatherland yang menunjukkan 2 deret patung yang menunjukkan bagaimana seluruh rakyat Korea Selatan dan Korea Utara dari berbagai kalangan ikut mempertahankan tanah air mereka masing-masing. Kami dapat melihat bagaimana kedua pihak nampak berjuang untuk menang. Sebuah hal yang sampai saat ini belum dapat dicapai oleh kedua belah pihak.

Selain patung-patung yang mencolok tersebut, terdapat berbagai monumen lain yang dikelilingi oleh taman yang indah. Pada salah satu bagian dari taman tersebut, terdapat kolam yang dihuni oleh ikan-ikan yang besar. Pada area sekitar kolam, terdapat banyak burung yang hinggap dan berkumpul. Kami beristirahat dan menyantap bekal kami di kursi-kursi yang terletak di pinggir kolam. Setelah kenyang, anak kami masih asik bermain dengan burung dan ikan. Apalagi ada yang menjual makanan binatang di sana, semakin betahlah anak kami bermain sambil memberi makan ikan dan burung. Yah, sah sudah, area menjadi lokasi favorit anak saya di hari tersebut :’D.

Akhirnya, istri dan anak kami bermain di area taman, sedangkan saja berjalan terus ke dalam. Dari area taman, sudah terlihat bangunan utama The War Memorial of Korea yang dipenuhi oleh bendera-bendera dari berbagai negara yang terlibat Perang Korea. Bangunan tersebut merupakan ruangan eksibisi yang berisikan informasi dan benda-benda bersejarah terkait perang-perang yang pernah bangsa Korea hadapi. Mulai dari zaman prasejarah, invasi Jepang, sampai Perang Korea. Di dalam sama terdapat pula informasi mengenai tokoh-tokoh militer dan pahlawan yang Korea Selatan miliki selama Perang Korea berlangsung. Andaikata hari belum mulai sore, saya pasti berminat untuk melihat semua ruangan eksibisi di sana. Tapi sayang, saya tiba di saat The War Memorial of Korea hampir tutup. Saya langsung berjalan bagian eksebisi luar yang terletak di samping bangunan utama The War Memorial of Korea. Di sanalah terdapat jip, tank, kapal laut, helikopter, pesawat temput, rudal dan peralatan militer besar lain yang pernah terlibat di dalam Perang Korea. Saya dapat masuk ke dalam beberapa kendaraan tempur ada di sana. Sebuah ruang eksibisi yang kereeeeen :D. Yaaah, ruang eksibisi ini memang “laki-laki banged”. Sebagian besar pengunjung yang berlama-lama di sana adalah kaum Adam. Saya sendiri berputar dan berfoto di sana, sampai The War Memorial of Korea dinyatakan tutup, hehehehehe.

Hari sudah menjelang sore tapi matahari belum sepenuhnya terbenam. Kami belum memutuskan hendak berkunjung ke mana. Yang pasti acara berikutnya adalah acara bebas. Kalau dilihat dari posisi, The War Memorial of Korea sebenarnya dekat dengan Itaewon. Tapi berhubung kami sudah berkeliling di sana pada Hari Ketiga Wisata Korea – Ihwa, Ewha, Itaewon & Banpo, akhirnya kami memutuskan untuk pergi menuju Myeong-dong.

Dari Stasiun Samgaki, kami naik Kereta Seoul Metro jalur 4 ( biru muda) arah Stasiun Seoul untuk turun di Stasiun Myeong-dong. Sebenarnya, ini adalah kedua kalinya kami mampir di Stasiun Myeong-dong. Pada Hari Pertama Wisata Korea – Incheon, Namsan Tower & K Star Road, kami tidak berjalan ke arah pusat pertokoan, melainkan langsung menuju Namsan. Nah, kali ini kami berjalan ke arah pusat pertokoan yang dipenuhi oleh barang-barang kaum Hawa :’D. Di sana, mayoritas pedagangnya adalah pedagang kosmetik dan atribut wanita.

Di Seoul sendiri, banyak brand kosmetik dan perawatan tubuh yang memiliki cabang di mana-mana. Tapi, antara 1 cabang dengan cabang yang lain ternyata memberikan promosi yang berbeda-beda. Di Myeong-dong sendiri, promosinya bukanlah yang paling murah di segala tipe brand. Tapi di sanalah semua toko memiliki cabang yang berdekatan dan sangat royal dalam memberikan sample gratian hehehehe. Selama kami berputar-putar di sana saja, tas kecil saya sudah lumayan penuh dengan barang sample ;’D.

Di antara toko-toko tersebut, terdapat toko musik yang menjual album K-Pop. Kami pun membelikan album-album K-Kop keponakan saya. Sejak dari Indonesia, kami sudah dinfokan tentang lokasi toko yang menjual dan album yang dititipi, lengkap dengan fotonya. Kalau tidak ada info seperti itu, yah wassalam, mungkin tidak ketemu :’D. Kami membeli pernak pernik K-Pop di dekat Exit 7 Stasiun Myeong-dong, dekat area toko kaus kaki.

Hari sudah malam dan kami mulai berjalan menuju Stasiun Myeong-dong untuk naik Kereta Seoul Metro jalur 4 (biru muda) arah Stasiun Chungmoro untuk turun di Stasiun Dongdaemun History & Culture Park. Sebelum pulang ke penginapan dan beristirahat, kami singgah terlebih dahulu di kedai sushi kaki 5 untuk makan malam. Ini menjadi kedai kaki 5 halal yang biasa kami datangi karena lokasinya yang tak jauh dari Stasiun Dongdaemun History & Culture Park. Setelah makan malam, kami pulang, mandi, sholat dan tidur. Esok hari pada Hari Keenam Wisata Korea – Gyeongbokgung, Bukchon & Changdeokgung akan menjadi hari yang lebih padat dan melelahkan ;).

Baca juga:
Persiapan Wisata Korea 2017
Ringkasan Objek Wisata Korea Selatan
Hari Pertama Wisata Korea – Incheon, Namsan Tower & K Star Road
Hari Kedua Wisata Korea – Naminara Republic, Petite France & The Garden of Morning Calm
Hari Ketiga Wisata Korea – Ihwa, Ewha, Itaewon & Banpo
Hari Keempat Wisata Korea – Gunung Seorak & Naksansa
Hari Keenam Wisata Korea – Gyeongbokgung, Bukchon & Changdeokgung
Hari Ketujuh Wisata Korea – Gwangjang & Cheonggyecheon
Hari Kedelapan & Kesembilan Wisata Korea – Everland & Incheon

Hari Keempat Wisata Korea – Gunung Seorak & Naksansa

Setelah kemarin berjalan-jalan di dalam kota Seoul pada Hari Ketiga Wisata Korea – Ihwa, Ewha, Itaewon & Banpo, hari ini kami akan pergi agak jauh di timur laut dari Seoul. Kami bermaksud untuk berkelana ke Gunung Seorak. Untuk mencapai Gunung Seorak, sebenarnya kami bisa saja naik kereta sampai Stasiun Express Bus Terminal yang kemarin kami lewati. Dari sana, kami bisa naik bis nomor 7 atau 7-11 jurusan Sakcho dan turun di pemberhentian terakhir yaitu Halte Bus Mount Seorak. Mengingat kami membawa bayi yang belum genap berumur 2 tahun, agak riskan kalau kami nekad pulang pergi naik bis umum ke sana.

Kami akhirnya memutuskan untuk membeli paket land tour melalui aplikasi Klook yang pada saat itu sedang promo hehehehe. Konsekuensinya adalah kami harus datang tepat waktu dan tidak bisa sesuka hati berlama-lama atau cepat-cepat di dalam sebuah area. Semua sudah ada itenarinya sendiri yang sudah diatur oleh rekanan Klook di sana yaitu Ktourstory.

Kami sudah membeli paket ini beberapa hari sebelum kami berangkat ke Korea. Berdasarakan petunjuk pada aplikasi, kami diharuskan berkumpul di depan Exit 10 Stasiun Dongdaemun History & Culture Park pada pukul 08:10. Setelah sarapan dan bersiap-siap, kami tiba sekitar 20 menit sebelum 08:10 di Exit 10 Stasiun Dongdaemun History & Culture Park. Di sana, kami bertemu dengan orang-orang Indonesia yang membeli land tour melalui Klook juga. Wah ternyata banyak juga yang seperti kami yaaah :).

Tak lama waktu berselang, Ktourstory datang dengan sebuah bis dan mini SUV. Dari sekian banyak orang yang menunggu di Exit 10, ternyata semuanya ikut rombongan menuju Pulau Nami :’D. Semua naik bis kecuali kami dan seorang warga Amerika Serikat bernama Dan. Kami kemudian naik mini SUV dari Ktourstory dan memuai perjalanan kami menuju Taman Nasional Seorak :D.

Rute kami cukup sederhana tapi lumayan jauh. Kami akan berwisata di Gunung Seorak dan Kuil Naksansa yang membutuhkan kurang lebih 3 jam perjalanan dari Seoul. Kali ini kami dapat melihat pemandangan luar kota Seoul yang indah. Jalanan yang kami tempuh, beberapa kali melewati bagian tengah bukit. Jadi, ada beberapa bukit yang dilubangi untuk jalan raya sehingga dapat menghemat waktu tempuh.

Di tengah-tengah perjalanan, kami berhenti sejenak di rest area. Di sanalah saya melihat banyak sekali warga lokal yang menggunakan jaket anti angin. Hiking ternyata memang menjadi hobi bagi mayoritas masyarakat Korea. Banyak orang-orang tua yang gemar hiking terutama di musim semi. Mereka datang lengkap dengan atribut jaket anti angin, sepatu hiking dan tongkat hiking. Identitas kami sebagai turis asing terlihat jelas karena kami hanya menggunakan jaket dan sepatu alakadarnya :’D.

Semakin lama di Korea, semakin kami sadari bahwa kami jarang sekali melihat anak kecil di sana, lebih banyak orang tuanya. Selama kami berjalan-jalan di dalam kota Seoul, kami hampir tidak melihat 1 anak kecil pun. Pantas saja anak kami sering menjadi pusat perhatian. Dalam 1 hari, paling tidak ada 1 atau 2 warga lokal yang meminta ijin saya untuk memberikan sesuatu kepada anak kami. Baik di kereta atau di jalan, anak kami kadang mendapatkan coklat, permen, makanan ringan atau mainan kecil. Semua nampak tulus diberikan kepada anak kami.

Dari obrolan sepanjang perjalanan menuju Taman Nasional Seorak, saya mendengar bahwa banyak kaum muda Korea Selatan memilih untuk menunda kehamilan karena membesarkan anak di sana itu mahal. Dampak dari keadaan ini adalah menurun drastisnya angka kelahiran di sana. Ternyata, angka kelahiran dan pertumbuhan penduduk Korea Selatan, adalah salah satu yang paling rendah di dunia. Jumlah penduduk usia muda semakin menurun dan jumlah penduduk usia tua terus naik. Saya salut dengan penduduk tua di sana. Mereka senang sekali hiking dan naik sepeda. Terkadang saya melihat mereka membawa sepeda ke dalam Stasiun untuk bersepeda di luar kota. Tangga-tangga Stasiun kereta yang curam dan panjang saja, sering digunakan oleh kakek-kakek dan nenek-nenek. Dengan gaya hidup sehat dan gemar berolahraga, penduduk usia tua memiliki usia yang semakin panjang. Hal ini sangat mirip dengan yang saya temui di Jepang beberapa tahun yang lalu. Kurang lebih, Jepang juga sedang menghadapi keadaan yang mirip seperti ini.

Tak terasa kami sudah masuk ke dalam area Taman Sogongwon yang merupakan bagian dari Taman Nasional Seorak. Gunung Seorak atau Seoraksan merupakan bagian dari Pegunungan Taebaek yang terletak di dalam area Taman Nasional Seorak. Sampai sana, kami memiliki beberapa opsi rute hiking, yaitu Jalur Benteng Gwongeumseong, Jalur Biseondae Rock, Jalur Heundeulbawi Rock, Jalur Ulsanbawi Rock, dan Jalur Biryong Waterfall & Towangseong Falls Oservatory.

Karena kami membawa bayi, Jalur Benteng Gwongeumseong tentunya menjadi jalur yang pertama kami pilih. Jalur ini adalah jalur yang paling mudah karena ada pilihan untuk menggunakan bantuan kereta gantung pada sebagian besar perjalanannya. Sesuai namanya, jalur ini merupakan jalur menuju reruntuhan Benteng Gwongeumseong di salah satu puncak Gunung Seorak. Benteng Gwongeumseong (설악산 권금성) atau Istana Gunung Onggeumsan atau Istana Toto konon berdiri pada pemerintahan Raja ke-23 Kerajaan Goryeo untuk menghadang invasi bangsa Mongol.

Untuk menuju Benteng Gwongeumseong, kami memutuskan untuk menggunakan Kereta Gantung meskipun dikenai biaya tambahan. Yaaaah kapan lagi, jarang-jarang naik yang seperti ini heheheheh. Dari Taman Sogongwon, kami berjalan menuju Stasiun Kereta Gantung Seorak-dong. Dari sana, kami menaiki sebuah Kereta Gantung yang dapat menampung sampai 50 orang sekali jalan. Kereta buatan Doppelmayr Ropeways of Switzerland ini nyaman untuk melihat pemandangan sekitar. Dari Kereta Gantung tersebut, kami dapat melihat Taman Sogongwon, Kota Sokcho, Jeohangnyeong, Laut Jepang, Ulsanbawi Rock dan Gwongeumseong dari ketinggian. Sayang, kami datang di awal musim semi, sehingga dedaunan di sana masih berwarna hijau. Konon, pemandangan dari Kereta Gantung ini akan sangat indah di saat dedaunan sudah berubah warna pada musim semi.

Perjalanan selama kurang lebih 10 menit yang menyenangkan, tak terasa sudah berakhir. Kami turun di Stasiun Kereta Gantung Gwongeumseong. Dari Stasiun tersebut, kami berjalan meniti jalan menanjak selama sekitar 20 menit. Beberapa bagian dari rute ini sudah dilengkapi dengan jalan bebatuan, tangga bebatuan dan pengaman yang rapi. Tapi, semakin ke atas, semuanya semakin terjal dan jalanan yang rapi perlahan berubah menjadi bebatuan yang tidak beraturan. Karena medan yang kurang bersahabat dan kencangnya angin, istri dan anak saya berhenti pada titik di mana puncak dari Benteng Gwongeumseong dapat terlihat. Saya meneruskan perjalanan ke atas sendirian hingga akhirnya tiba di puncak. Pada perjalanan hiking ini, saya membawa tas punggung dan depan berisi baju anak, perbekalan dan lain-lain. sementara itu istri saya menggendong anak kami dengan gendongan bayi. Memang sebaiknya istri dan anak saya tidak ikut ke atas karena jalan bebatuannya terlalu curam.

Ada apa di sana? Pada dasarnya area ini adalah reruntuhan dari Benteng tersebut. Kami tidak melihat bangunan di sana. Hanya bebatuan yang berwarna coklat keputihan. Warna bebatuan seperti inilah yang menjadi asal mula nama Gunung Seorak yang berarti gunung salju. Dari kejauhan, bebatuan yang membentuk gunung ini, nampak sepertu salju abadi yang terus ada sepanjang tahun. Pemandangan di atas sana benar-benar berbeda dengan gunung di Indonesia. Semakin ke atas, pepohonan semakin berkurang. Pemandangan berganti dengan semakin banyaknya formasi batu di sana. Laut Jepang dan Kota Sokcho kembali dapat dilihat dari Benteng Gwongeumseong. Pemandangan alam yang layak untuk dikunjungi.

Selesai dari puncak Benteng Gwongeumseong, kami kembali turun menuju Stasiun Gwongeumseong, lalu naik Kereta Kabel menuju Taman Sogongwon. Nah, dari sini kami harus memilih apakah mau hiking lagi atau bersantai di taman saja. Karena stamina kami masih ok dan putri kami tidak rewel, maka kami memutuskan untuk memilih salah satu dari 4 jalur hiking lain yang belum kami lalui. Mendatangi keempatnya dalam 1 hari merupakan hal yang hampir mustahil bagi kami. Mana ya yang akan kami pilih?

Jalur Biseondae Rock dan Jalur Heundeulbawi Rock adalah jalur yang pendek dan ringan. Pada kedua jalur ini kita sama-sama melewati Kuil Sinheungsa, Patung Jwabul Buddha pada awal perjalanannya. Kemudian, dari area Kuil Sinheungsa, kita harus memilih apakah hendak meneruskan menuju Jalur Biseondae Rock atau Jalur Heundeulbawi Rock. Jarak keduanya kurang lebih mirip, tapi tingkat kesulitan Jalur Heundeulbawi Rock relatif diatas tingkat kesulitan Jalur Biseondae Rock.

Pada bagian akhir Jalur Biseondae Rock kita akan menemui Biseondae Rock, formasi bebatuan pipih dengan ukiran puisi di atasnya. Nama Biseondae sendiri berasal dari dongeng mengenai peri-peri yang setiap malam turun dari surga untuk bernyanyi di tempat tersebut. Mereka datang karena mengagumi keindahan deretan batu pipih di dekat perairan yang jernih. Para seniman kemudian mengukir berbagai puisi pada batu-batu tersebut. Konon, sampai sekarang, keaslian dan keindahan lokasi tersebut masih terjaga dengan baik. Kalau mau tantangan lebih, dari ujung Jalur Biseondae Rock, kita dapat meneruskan perjalanan ke atas untuk mengunjungi Gua Geumgagul yang seingat saya tidak ada di dalam peta penunjuk jalan di Taman Seugongwon.

Bagaimana dengan Jalur Heundeulbawi Rock? Pada akhir perjalanannya, kita tentukan akan menemukan Heundeulbawi Rock, sebuah batu besar yang bentuknya agak bulat tapi tidak dapat didorong sampai menggelinding ke tempat lain. Konon, para pengunjung hanya dapat menggoyangkan batu tersebut saja walaupun sudah beramai-ramai mendorongnya.

Kalau masih memiliki waktu dan stamina, kita dapat melanjutkan menuju Jalur Ulsanbawi Rock. Dari Heundeulbawi Rock, terdapat jalur menanjak ke atas menuju Ulsanbawi Rock. Jalur ini secara keseluruhan merupakan jalur yang paling menantang dan paling tinggi puncaknya. Ulsanbawi Rock terdiri dari dereran 6 batu granit yang sangat panjang. Dari sana, konon kita dapat melihat Reservoir Haksapyeong, Laut Jepang dan Puncak Dalma dari kejauhan.

Terakhir, Jalur Biryong Waterfall & Towangseong Falls Oservatory merupakan jalur yang memiliki 3 air terjun yaitu Biryong, Yukdam dan Towangseong. Biryong sendiri merupakan air terjun yang paling terkenal karena bentuknya yang mirip dengan naga terbang. Itulah kenapa air terjun tersebut diberinama Biryong yang artinya naga terbang.

Hhhhmmmm, mana yang akan kami pilih? Maunya sih kami coba semua hehehehe. Karena kali ini kami ikut rombongan tour, maka mau tak mau kami harus disiplin mengikuti jadwal yang ada. Karena jarak dan waktu tempuh yang panjang, Jalur Ulsanbawi sudah pasti tidak kami pilih. Jalur Biseondae Rock dan Jalur Heundeulbawi Rock memang cukup menggoda karena melewati Kuil Sinheungsa dan Patung Jwabul Buddha, selain formasi bebatuan pada masing-masing puncaknya. Tapi karena toh setelah dari Taman Nasional Gunung Seorak, kami hendak mengunjungi Kuil Nakansa, kedua jalur ini tidak kami pilih. Cukup 1 kuil saja dalam sehari, tidak perlu 2. Air terjun pada Jalur Biryong Waterfall & Towangseong Falls Oservatory nampaknya lebih menggoda. Air terjun bukan buatan manusia, lebih alami dan kami sudah lama tidak melihat air terjun ;).

Kami memulai perjalanan sejauh 2 km dari Taman Sogongwon sampai Air Terjun Yukdam dengan jalur yang tidak terlalu sulit. Di awal-awal perjalanan, kami melalui daerah yang masih hijau dan jalan setapak yang landai. Semakin lama, terdapat sungai-sungai dari yang kering sampai yang penuh. Jalanan pun semakin curam tapi masih terdapat tangga pengaman di sana. Jalanan yang curam tersebut, dibentuk oleh bebatuan yang sudah disusun sehingga mirip dengan tangga sehingga tidak terlalu berbahaya. Semakin mendekati Yukdam, tangga pengaman kadang mulai hilang dan susunan bebatuan yang harus kami lalui semakin curam. Tapi memandangan semakin indah karena mulai terdapat sungai yang sangat jernih dengan latar belakang pegunungan yang asri. Kami beberapa kali berhenti untuk beristirahat meminum air yang kami bawa. Air Terjun Yukdam sendiri ternyata hanya air terjun kecil yang tidak terlalu istimewa.

Perjalanan sekitar 0,4 km berikutnya, dari Air Terjun Yukdam sampai Air Terjun Biryong, cukup menantang. Kami melawati banyak jembatan yang pajang dan kokoh. Di luar area jembatan, tangga pengaman sudah semakin sering tak ada dan jalanan curam yang kami lalui tidak dalam bentuk bebatuan yang seperti tangga lagi. Tapi hal tersebut sepadan karena Air Terjun Biryong memang nampak lebih panjang dan berkelok. Kami dapat menyaksikan separuh dari air terjun tersebut dari sebuah jembatan. Kemudian separuh sisanya dari bagian paling bawah dari deretan jembatan yang kami lalui. Air terjun ini memang tidak terlalu lebar, tapi agak panjang dan landai bentuknya.

Kami kemudian beristirahat dan menyantap bekal kami di bagian bawah Air Terjun Biryong. Anak dan istri saya memilih untuk tidak melanjutkan sampai ke Air Terjun Towangseong karena jalur yang nampak lebih ajaib. Saya melanjutkan perjalanan ini sendirian dan ternyata ini lebih melelahkan dari perjalanan sebelumnya karena jalur sejauh 0,4 km ini berisikan tangga semua. Jalur menuju air tersebut berupa tangga dari bebatuan yang tidak terlalu curam, lengkap dengan pengaman untuk berpegangan. Tapi jalur ini hampir tak ada landainya, semuamua tanggaaaaaaaa saja, gile benerrr ×_÷. Jalur yang saya lalui ini bukanlah jalur yang langsung menuju air terjunnya, melainkan menuju titik terbaik untuk melihat Air Terjun Towangseong secara keseluruhan dari atas sampai bawah. Air terjun ini adalah air terjun terpanjang di Korea Selatan loh. Semakin ke atas, pemandangan memang semakin indah dan unik. Sayang saya kehabisan waktu sehingga saya harus balik badan sebelum sampai ke puncak :(. Yaaaah inilah resiko ikut paket tour, ada batasan waktu.

Kami tergopoh-gopoh berjalan kembali menuju Taman Sogongwon. Beruntung kami datang pada hari kerja sehingga Taman Nasional Gunung Seorak tidak terlalu ramai. Andaikan kami datang di saat akhir pekan, jalan cepat atau berlari di jalanan yang kami lalui, hampir mustahil. Warga Korea nampaknya sudah biasa melakukan hiking sebagai arena rekreasi yang sehat dan menyenangkan. Saya pribadi tidak heran karena Gunung Seorak memang sangat rapi, bersih dan teratur. Hampir tidak ada sampah di sana. Saya kagum dengan bagaimana mereka dapat menjaga alam yang mereka miliki dengan sangat baik. Sebuah hal yang seharusnya dapat Indonesia contoh.

Sayangnya, kami sendiri memberikan nama yang kurang baik bagi Indonesia karena kami tiba di Taman Sogongwon sekitar 30 menit lebih lambat dibandingkan waktu yang sudah ditentukan. Turis Amerika sudah datang tepat waktu dan menunggu kami di sana, maaap ya mister hehehehe :’D. Andaika ingin puas di Gunung Seorak, kita memang sebaiknya mengambil paket tour di Klook yang tujuannya hanya Gunung Seorak saja, buka Gunung Seorak plus Kuil Naksansa.

Apa itu Kuil Naksansa? Kuil Naksansa (낙산사) merupakan kuil Buddha yang terletak di antara Kota Sokcho dan Wilayah Yangyang. Sebenarnya, kuil ini sudah berdiri sejak masa pemerintahan Raja Munmu dari Kerajaan Silla, sekitar 1300 tahun yang lalu. Pada perjalannya, sebagian kuil ini sudah sempat terbakar pada masa invasi bangsa Mongol, perang Korea dan kebakaran hutan. Kuil ini terus diperbaiki dan dibangun ulang karena konon di tempat inilah Avalokitesvara Bodhisattva dahulu sempat hidup, sesuatu hal yang penting bagi umat Buddha Korea.

Kini, Kuil tersebut nampak bersih dan luas walaupun sudah beberapa kali terbakar. Dari sana, kami dapat melihat Laut Jepang dari jarak dekat, di sela-sela bebatuan karang dengan latar belakang paviliun-paviliun dari Kuil Naksansa, sebuah pemandangan yang indah.

Tak jauh dari salah satu bagian kuil yang dekat dengan Laut Jepang, terdapat patung granit raksasa dari Haesugwaneumsang setinggi 15 meter. Patung ini berdiri tegak memandang ke arah Laut Jepang. Patung ini merupakan salah satu patung tertinggi untuk jenisnya. Pemandangan dari patung tersebut nampak indah. Anak kami sempat jajan es krim di area tersebut. Kamipun istirahat sejenak melepas lelah di sana.

Sebelum pulang, kami memutari seluruh kompleks kuil. Satu lagi bangunan yang unik dan penting di sana adalah Naksansa Chilcheung Seoktap, bangunan pagoda tingkat 7 yang didirikan pada masa pemerintahan Raja Sejo dari dinasti Joseon. Sekilas, pagida tersebut nampak sederhana dan tidak terlalu besar, namun ternyata bangunan tersebut dianggap penting bagi umat Buddha Korea karena mereka percaya bahwa di dalamnya terdapat rosario Buddha dan manik-manik ajaib.

Kami pulang menjelang sore dan diantarkan kembali sampai Exit 10 Stasiun Dongdaemun History & Culture Park oleh mobil SUV Ktourstory. Pada perjalanan pulang inilah untuk pertama kalinya kami merasakan apa yang orang Korea sebut “macet”. Jalanannya memang agak tersendat, tapi ini tidak ada apa-apanya dibandingkan macetnya Jakarta pada jam pulang kantor :’D.

Apakah dari Stasiun kami langsung pulang ke penginapan? Oh tentu tidak :D. Kami mengelilingi apM Place, hello apM, Migliore, Doota dan pertokoan sekitarnya. Daerah tersebut memang seperti Tanah Abangnya Seoul. Banyak warga lokal yang membeli baju dan kain dalam jumlah banyaaaaak sekali. Hilir mudik membawa troli bukanlah hal yang aneh di sana.

Setelah belanja, kami sempat singgah di kedai kaki lima yang menjual sushi. Di sana serba instant dan tidak ada tempat duduk. Tapi sushinya enak dan harganya bersahabat ;). Setelah itu, barulah kami pulang ke apartemen untuk kembali berpetualang dikeesokan hari pada Hari Kelima Wisata Korea – One Mount Snow Park, The War Memorial of Korea & Myeong-dong.

Baca juga:
Persiapan Wisata Korea 2017
Ringkasan Objek Wisata Korea Selatan
Hari Pertama Wisata Korea – Incheon, Namsan Tower & K Star Road
Hari Kedua Wisata Korea – Naminara Republic, Petite France & The Garden of Morning Calm
Hari Ketiga Wisata Korea – Ihwa, Ewha, Itaewon & Banpo
Hari Kelima Wisata Korea – One Mount Snow Park, The War Memorial of Korea & Myeong-dong
Hari Keenam Wisata Korea – Gyeongbokgung, Bukchon & Changdeokgung
Hari Ketujuh Wisata Korea – Gwangjang & Cheonggyecheon
Hari Kedelapan & Kesembilan Wisata Korea – Everland & Incheon

Hari Ketiga Wisata Korea – Ihwa, Ewha, Itaewon & Banpo

Setelah kemarin kami berkelana ke Pulau Nami, Petite France dan The Garden of Morning Calm pada Hari Kedua Wisata Korea – Naminara Republic, Petite France & The Garden of Morning Calm, di hari ketiga ini kami bangun sedikit siang. Hari ini kami akan berkeliling di tengah kota Seoul saja, tidak jauh-jauh. Kami akan mengunjungi Ihwa Mural Village, Itaewon dan Jembatan Banpo.

Mirip seperti hari-hari sebelumnya, kami sarapan menyantap hidangan yang istri saya masak di dalam Apartemen. Tak lupa ia memasak untuk bekal nanti, siapa tahu kami tidak menemukan makanan halal di jalan ;). Selain itu, pakaian yang semalam kami masukkan ke mesin cuci kemarin, sudah dapat kami gantungkan di dalam apartemen untuk selanjutnya disetrika apabila ada waktu ;).

Tujuan pertama kami pagi itu adalah Ihwa Mural Village. Dari Stasiun Dongdaemun History & Culture Park, yang terletak tak jauh dari tempat kami menginap, kami naik kereta Seoul Metro jalur 4 (biru muda) arah Stasiun Dongdaemun untuk turun di Stasiun Hyehwa. Kami keluar melalui Exit 2 dan berjalan kaki sekitar 500 meter ke arah Ihwa Mural Village, sesuai arahan GPS kami.

Ihwa Mural Village yang terletak di daerah Jungno ini memiliki kontur yang berbukit-bukit. Banyak sekali tangga yang tinggi dan curam di sana. Kami bahkan dapat menyaksikan Taman Namsan dari ketinggian di sana. Ini memang menarik untuk dilihat, tapi mana muralnya???? Namanya Ihwa Mural Village, tapi kok muralnya sedikit sekali ya? Mural ikan koi dan bunga raksasa yang menjadi icon tempat ini nampak lenyap ditelan Bumi.

Pada tahun 2006, Pemerintah Korea Selatan mengundang seniman lokal dan mahasiswa untuk membuat mural di sekitar Desa Jongno. Mural-mural yang unik berhasil menyulap desa kumuh, menjadi lingkungan yang lebih hidup secara ekonomi dan menjadi salah satu landmark kota Seoul. Semakin banyaknya turis yang datang ke sana, ternyata membuat kaum tua merasa berisik. Mereka akhirnya melakukan vandalisme dengan menghapus beberapa mural yang ikonik di sana. Sekarang, turis yang datang semakin sepi, tidak ada suara berisik lagi, tapi omset toko-toko di sana turun drastis. Saya pribadi tidak terlalu menyarankan untuk datang ke Ihwa Mural Village yaaa. Kalau mau lihat mural, datang saja ke Penang, di sana juga banyak kok ;).

Kami kemudian kembali berjalan menuju Stasiun Hyehwa untuk selanjutnya berkelana menuju Ehwa Women University. Di tengah-tengah perjalanan, kami singgah di 7-Eleven untuk membeli kartu T-Money yang dapat dilakukan untuk naik kereta, bis dan taksi di sana. Selama ini, kami selalu membeli tiket single trip untuk naik kereta. Setelah kami melihat dan merasakan, perjalanan menggunakan kereta ternyata cukup efisien dan tidak terlalu berat. Kalaupun ternyata kurang ok, toh T-Money dapat dipergunakan untuk membayar bis dan taksi juga ;). Yang paling menggoda kami untuk membeli T-Money adalah potongan harganya hehehehehe. Jadi, kalau naik kereta menggunakan T-Money, kita tinggal melakukan tapping saja, tidak perlu menukarkan deposit setiap keluar dari peron, dan mendapat potongan harga ;). Semua dapat dilakukan selama pulsa T-Money masih mencukupi. Kalau kurang, yaaa tinggal beli di loket atau di Ticket Vending and Card Reaload Device saja, beressss :D.

Kartu T-Money yang kami beli adalah T-Money edisi K-Pop, lengkap dengam gambar artis K’Pop yang sama sekali tidak saya kenal hehehe :’D. kenapa kok K-Pop? Kartu jenis ini dapat dijadikan sebagai oleh-oleh loh, saya saja sudah ada yang menitip. Pantas saja, kok di pertokoan dekat penginapan, saya sering melihat pedagang kaki lima menawarkan kami 1 pak kartu T-Money edisi K-Pop. Awalnya saya heran, buat apa turis seperti kami membeli kartu T-Money sebanyak itu :’D.

Keluar dari 7-Eleven, kami kembali berjalan menuju Stasiun Hyehwa untuk menggunakan kartu T-Money baru kami :D. Dari Stasiun Hyehwa, kami kembali naik kereta Seoul Metro jalur 4 (biru muda) arah Stasiun Dongdaemun untuk turun di Stasiun Dongdaemun History & Culture Park. Dari Stasiun Dongdaemun History & Culture Park, kami naik kereta Seoul Metro jalur 2 (hijau) arah Stasiun Euljiro 4(sa)-ga untuk turun di Stasiun Ewha Women University. Penjalanan keluar dari Stasiun ini dilengkapi dengan tangga berjalan yang panjaaaaaaang sekali.

Ewha Women University (이화여자대학교) berdiri sejak 1886 pada masa pemerintahan Kaisar Gojong dari dinasti Joseon. Universitas swasta ini merupakan salah satu Universitas favorit dan mayoritas muridnya adalah wanita. Institusi ini pada awalnya memang dimaksudkan untuk memberdayakan kaum hawa sehingga hanya menerima wanita saja. Namun saat ini, Ewha sudah menerima murid pria meskipun jumlahnya tak banyak.

Ada apa di Ewha? Di sana terdapat jalan masuk ke area bawah tanah yang unik. Bentuk seperti bukit yang dibelah. Inilah yang menjadi landmark dari Ewha Women University. Selain itu terdapat pula taman-taman dan bangunan-bangunan yang bentuknya dipengaruhi oleh Eropa di sana. Area Kampus ini dijadikan oleh turis untuk berwisata dan melepas lelah sejenak. Saya sendiri sibuk mengejak-ngejar putri kami yang berlarian di sana. Karena kampus ini sangat besar dan berbukit-bukit, kami hanya menjelajahi bagian depannya saja.

Satu lagi yang terkenal dari Ewha adalah deretan pertokoan di bagian depannya. Lokasi ini dipenuhi oleh toko oleh-oleh, kosmetik, pakaian dan kebutuhan wanita. Untuk menarik pemgunjung, beberapa toko memasang boneka atau pernak-pernik yang unik. Pada waktu itu, yang sedang populer adalah boneka Line Brown raksasa. Orang-orang mengantri hanya untuk melihat atau berfoto dengan boneka raksasa tersebut. Yang banyak orang kurang sadari adalah, sebenarnya ada 2 toko yang memasang boneka tersebut. Kami memilih mampir ke Elcube Store yang relatif lebih sepi, lokasinya di kanan jalan sebelum gerbang Ewha Women University ;).

Setelah selesai belanja, kami melanjutkan perjalanan menuju daerah Ittaewon yang terkenal sebagai daerah muslim di Seoul. Kami kembali berjalan menuju Stasiun Ewha Women University. Dari sana, kami kembali naik kereta Seoul Metro jalur 2 (hijau) arah Stasiun Chungjeongno untuk turun di Stasiun Chungjeongno. Dari Stasiun Chungjeongno kami naik kereta S.M.R.T. jalur 6 (ungu) arah Stasiun Gongdeok untuk turun di Stasiun Gongdeok. Dari Stasiun Gongdeok, kami naik kereta S.M.R.T. jalur 6 (coklat) arah Stasiun Samgaki untuk turun di Stasiun Ittaewon.

Keluar dari Stasiun Ittaewon, kami melihat sebuah daerah yang berbeda dengan daerah lain di Seoul yang pernah kami kunjungi. Bentuk jalan dan toko-tokonya agak berbeda. Orang-orang yang hilir mudik pun didominasi oleh orang asing, tidak didominasi oleh warga lokal seperti di daerah tempat kami menginap. Sayang menurut saya pribadi, Ittaewon sedikit kurang bersih untuk ukuran Seoul. Kalau dibandingkan dengan Jakarta sih ya Ittaewon hitungannya tetap bersih dan rapi.

Berjalan di Itaewon serasa berjalan di tempat yang paling beda di Seoul. Di sana, sangat mudah menemukan makanan halal. Tentunya, kami berani jajan dan makan siang dengan lebih leluasa di sana. Bahan makanan dari Indonesia pun banyak dijual pada beberapa toko yang kami kunjungi. Setelah kenyang jajan, kami berjalan menuju Seoul Central Mosque, masjid terbesar di Seoul yang sudah berdiri sejak 1976. Letak Masjid tersebut ternyata agak jauh dari Stasiun Ittaewon, dan jalanannya naik-turun seperti perbukitan. Di sana, kami sholat dan istirahat sejenak melepas penat.

Setelah segar, kami kembali berkeliling Ittaewon dan menemukan kenyataan bahwa barang-barang di sana itu murah-murah. Saya sarankan, bagi teman-teman yang sedang ke Seoul dan sempat ke Ittaewon, sebaiknya beli souvenir atau oleh-oleh di sana saja, bisa ditawar dan murah. Tapi jangan harap untuk menemukan deretan toko kosmetik, toko perawatan tubuh, toko pernak-pernik K-Pop di sana yaaaaa. Sepengetahuan saya, itu susah di cari di Ittaewon.

Tak terasa hari sudah sore, maka kami mulai berjalan kembali ke Stasiun Ittaewon. Tujuan kami selanjutnya adalah Banpo Bridge atau Jembatan Banpo. Dari Stasiun Ittaewon, kami naik naik kereta S.M.R.T. jalur 6 (coklat) arah Stasiun Yaksu untuk turun di Stasiun Yaksu. Dari Stasiun Yaksu, kami naik kereta Seoul Metro jaur 3 (oranye) arah Stasiun Oksu untuk turun di Stasiun Express Bus Terminal. Stasiun Express Bus Terminal ini luas sekali dan terletak di tengah-tengah GoTo Mall. Kami pun berjalan-jalan sejenak melihat toko-toko di sana.

Setelah selesai jalan-jalan, kami berusahan berjalan menuju Jembatan Banpo dengan bantuan GPS. Kali ini, perjalanan kami agak sulit karena area Stasiun Express Bus Terminal bergabung dengan pertokan dan Terminal Bis juga, jadi banyak pintu keluar dan sinyal GPS terkadang kurang akurat. Anak kami yang nampaknya kelelahan, mulai menangis dan marajuk, gaswat daaahhh x_x.

Berjalan kaki dari Stasiun Express Bus Terminal sampai Jembatan Banpo ternyata cukup jauh dan melelahkan. Kami sempat berhenti untuk jajan di GS25 dan 7-Eleven yang kami lewati. Beruntung anak kami mulai tenang setelah mendapat es krim, dan udara di luar ternyata cukup sejuk. Kami melewati deretan perkantoran yang lama-kelamaan berganti menjadi deretan rumah susun. Lalu, sesuai dengan petunjuk jalan, kami masuk melewati terowongan bersama rombongan turis lain, sampai di Taman Banpo Hangang yang terletak di pinggir Sungai Han, bagian bawah Jembatan Banpo. Ahhhhh, akhirnya sampai juga :D.

Jembatan Banpo atau lengkapnya Jembatan Banpodaegyo adalah jembatan yang menghubungkan Distrik Seocho dan Distrik Yongsan yang dipisahkan oleh Sungai Han. Pada malam hari, kedua sisi jembatan ini memberikan pertunjukkan yang disebut Moonlight Rainbow Fountain (달빛무지개 분수). Pertunjukkan ini dimulai sekitar pukul 8 malam dan berlangsung selama 20 menit.

Karena kami tiba lebih awal, maka kami duduk dulu sambil menyantap bekal yang sudah istri saya siapkan. Kami dapat makan sambil memasukkan kaki kami ke dalam Sungai Han. Taman Banpo Hangang memang benar-benar terletak di tepi Sungai Han. Kami menyaksikan matahari terbenam di sana. Pemandangan sore itu sungguh indah.

Tak lama kemudian, pertunjukan Moonlight Rainbow Fountain. Air mancur keluar dari samping Jembatan Banpo diiringi dengan musik dan lampu warna-warni. Bentuk air berubah-ubah seperti seolah-olah sedang menari. Kami menonton pertunjukkan sambil berjalan menyusuri Taman Banpo Hangang terus menyeberang ke pusat perbelanjaan yang terletak di pulau kecil dekat Taman tersebut. Tidak ada hal yang terlalu spesial dari pusat perbelanjaan tersebut, selain pemandangan Sungai Han dan Jembatan Banpo yang indah apabila dilihat dari bagian luar pusat perbelanjaan tersebut.

Setelah puas berjalan-jalan di sekitar Jembatan Banpo, kami kembali berjalan menuju Stasiun Express Bus Terminal. Dari sana, kami naik kereta Seoul Metro jaur 3 (oranye) arah Stasiun Oksu untuk turun di Stasiun Dongdaemun History & Culture Park. Kami kemudian langsung berjalan menuju penginapan untuk beristirahat. Kami belum ada waktu untuk menyetrika dan pakaian bersih kami masih banyak. Maka kami, hanya memasukkan pakaian kotor ke mesin cuci, menyalakannya dan langsung tidur. Esok akan menjadi hari yang panjang pada Hari Keempat Wisata Korea – Gunung Seorak & Naksansa.

Baca juga:
Persiapan Wisata Korea 2017
Ringkasan Objek Wisata Korea Selatan
Hari Pertama Wisata Korea – Incheon, Namsan Tower & K Star Road
Hari Kedua Wisata Korea – Naminara Republic, Petite France & The Garden of Morning Calm
Hari Keempat Wisata Korea – Gunung Seorak & Naksansa
Hari Kelima Wisata Korea – One Mount Snow Park, The War Memorial of Korea & Myeong-dong
Hari Keenam Wisata Korea – Gyeongbokgung, Bukchon & Changdeokgung
Hari Ketujuh Wisata Korea – Gwangjang & Cheonggyecheon
Hari Kedelapan & Kesembilan Wisata Korea – Everland & Incheon

Hari Kedua Wisata Korea – Naminara Republic, Petite France & The Garden of Morning Calm

Setelah kemarin berpetualang di tengah kota Seoul pada Hari Pertama Wisata Korea – Incheon, Namsan Tower & K Star Road, kali ini kami akan pergi sedikit jauh ke Timur Laut dari Seoul, yaitu Naminara Republic, Petite France dan The Garden of Morning Calm. Jadwal wisata hari ini agak ketat, maka sejak pagi kami sudah mandi, menyiapkan bekal dan makan sarapan. Baik bekal maupun sarapan, dimasak oleh istri saya di dalam Apartemen mungil yang kami sewa ;). Setelah semua siap, untuk berangkat ke daerah Gapyeong.

Loh kenapa Gapyeong? Karena ketiga objek wisata tujuan kami dapat diraih dengan praktis dan ekonomis dengan menggunakan Gapyeong City Tour Bus ;). Seperti kemarin, kami masuk ke Stasiun Dongdaemun History & Culture Park untuk naik kereta Seoul Metro jalur 2 (hijau) arah Stasiun Sindang untuk turun di Stasiun Wangsinmi. Lalu dari Stasiun Wangsinmi kami naik kereta Korail jalur Gyeongui–Jungang (hijau tosca) arah Stasiun Cheongnyangni untuk turun di Stasiun Sangbong. Dari Stasiun Sangbong, kami naik kereta Korail jalur Gyuongchun (hijau pinus) arah Stasiun Mangu untuk turun di Stasiun Gapyeong. Ahhhhhh, mungkin perjalanan naik kereta ini terlihat rumit yaaa. Pada kenyataannya, semua terasa mudah karena banyak petunjuk jalan dan untuk berpindah jalur, kami tak perlu keluar Stasiun, semua sudah terintegrasi walaupun pemilik jalur keretanya berbeda.

Begitu keluar dari Stasiun Gapyeong, kami pergi ke kantor dan halte Gapyeong City Tour Bus yang terletak di seberang Stasiun untuk mengambil jadwal berhenti bis terbaru Ini sangat penting karena hari itu kami akan berkeliling menggunakan Gapyeong City Tour Bus. Jalur bis ini melewati gerbang feri Naminara Republic (Pulau Nami), Petite France dan The Garden of Morning Calm pada jam-jam tertentu. Dengan sekali membeli tiket Gapyeong City Tour Bus, kami dapat menggunakan layanan bis tersebut selama seharian ;).

Di dalam Gapyeong City Tour Bus, terdapat pemandu wisata yang menjelaskan mengenai tempat pemberhentian bis yang sedang dituju, dalam bahasa Inggris. Bis ini nyaman dan memang efisien bagi wisatawan yang hedak keliling daerah Gapyeong selama sehari. Tak terasa kami sudah tiba di gerbang Gapyeong Wharf. Di sana, terdapat 2 pilihan untuk menyeberang ke Pulau Nami, yaitu apakah akan naik kapal feri atau flying fox hohohoho. Sebenarnya seru juga sih kalau naik flying fox, tapi karena barang bawaan kami banyak dan akan sulit kalau kami terpisah, maka kami lebih memilih untuk naik kapal feri. Kami pun bergegas menuju antrian loket feri penyeberangan Pulau Nami di sana. Setelah membeli tiket, kami kemudian naik kapal feri yang bentuknya unik, untuk menyeberang ke Pulau Nami yang terletak di tengah-tengah Sungai Han. Perjalanan ini cukup menyenangkan karena kami melihat banyak hal unik di sana :D.

Hhhhmmmm, sebenarnya apa sih Pulau Nami itu? Naminara Republic (나미나라공화국) atau Namiseom atau Pulau Nami sebenarnya merupakan pulau yang terbentuk dari genangan air Sungai Han. Hal ini terjadi ketika Pemerintah membangun Bendungan Cheongpyeong pada tahun 1944. Nama Nami sendiri diambil dari nama Jendral Nami yang tewas akibat dituduh berhianat pada masa pemerintahan Raja Sejo dari Dinasti Joseon. Tuduhan tersebut tidak terbukti benar dan konon kuburan Jendral Nami berada di salah satu area yang saat ini menjadi bagian dari Pulau Nami.

Pada tahun 1960-an, Pulau Nami dibeli oleh seorang pengembang dan membangun taman wisata untuk menarik turis. Nama Pulau Nami sendiri konon mulai populer ketika Winter Sonata hadir di layar kaca pada 2002 lalu. Pulau Nami menjadi lokasi syuting serial drama Korea yang konon cukup populer di eranya. Sebenarnya, saya sendiri kurang tahu apa itu Winter Sonata, saya bukan pengikut serial drakor (drama Korea) hehehehe.

Pulau yang indah ini nampak bersih dan teratur. Di sana kita dapat melihat deretan pohon chestnut dan mulberry yang menjadi icon Pulau Nami. Di sela-sela pepohonan tersebut, terdapat pula taman kecil dan binatang-binatang seperti tupai, bebek, angsa, kelinci, kalkun dan lain-lain. Mayoritas binatang-binatang di sana, dibiarkan bebas berkeliaran. Anak kami paling senang dengan tupai-tupai yang berlarian di tengah-tengah pepohonan :).

Pulau ini kami jelajahi dengan berjalan kaki. Sebenarnya ada penyewaan sepeda, story tour bus dan kereta amal UNICEF. Tapi jadwalnya kurang pas dan kami merasa bahwa Pulau Nami tidak terlalu besar. Justru lebih enak berjalan kaki sambil sesekali mengejar tupai yang datang menghampir. Penunjuk jalannya banyak dan sangat komunikatif, tidak akan tersesatlah pokoknya.

Kalau saya lihat dari papan penunjuk jalan dan pernak-pernik dekorasi, sepertinya Pulau Nami banyak dikunjungi oleh turis asal Asia Tenggara, terutama Indonesia. Sangat berbeda dengan kondisi di luar Pulau Nami, begitu kami masuk ke sana, banyak sekali papan penunjuk dalam bahasa Indonesia. Mushola dan makanan halal saja dapat dengan mudah kita temui di dalam sana. Pulau Nami seolah menjadi sebuah negara sendiri di tengah-tengah Sungai Han. Konsep taman hiburan yang satu ini memang membuat seolah-olah para wisatawan berkunjung ke sebuah negara fantasi yang bernama Naminara Republic. Naminara Republic memiliki bendera, lagu kebangsaan, perangko dan mata uang sendiri loh :D. Semuanya dapat dibeli sebagai souvenir. Tapi kami sendiri lebih memilih lukisan karikatur sebagai souvenir. Di sana terdapat banyak pelukis karikatur yang dapat langsung melukis dengan cepat, hasil langsung jadi dan dapat dibawa pulang ;).

Tak terasa, waktu hampir menunjukkan pukul 12 siang dan kami belum makan siang. Kali ini bekal yang telah kami siapkan, tidak kami makan. Kami justru mampir ke Asian Family Restaurant Dongmoon di sana. Restoran ini menyajikan aneka hidangan halal. Kami pun lebih memilih untuk memesan hidangan khas Korea yang aneh-aneh di sana hehehehe. Rasanya lumayan enaaak, agak mirip Mujigae siy. Setelah mengganti popok anak kami dan sholat di mushola lantai 2 Asian Family Restaurant Dongmoon, kami bergegas berjalan menuju Dermaga untuk menyeberang kembali ke arah Halte Gapyeong City Tour Bus. Kami kembali naik Gapyeong City Tour Bus dan turun di pemberhentian Petite France yang terletak di sebelah barat daya dari Pulau Nami.

Petite France (쁘띠프랑스) merupakan sebuah taman hiburan dengan tema Prancis tempo dulu. Di sana terdapat lebih dari 15 bagunan yang menggabarkan budaya Perancis. Di dalam setiap bangunan tersebut, terdapat berbagai macam terkait Prancis. Ada benda-benda antik khas Prancis, orgel dan kerajinan-kerajinan seni khas Prancis lainnya. Tidak ada unsur Korea-Korea-an di sana. Hal yang berhubungan dengan Korea pada taman ini adalah fakta bahwa taman ini pernah menjadi tempat syuting serial drama Korea Secret Garden, Beethoven Virus dan My Love from the Star. Hhhmmmm 3 film seri yang saya baru ketahui namanya ketika mengunjungi Petite France hehehehehe.

Petite France sebenarnya menghadirkan pertunjukan boneka dan tarian. Tapi karena kami datang terlalu siang, kami tidak dapat menyaksikan pertunjukan tersebut. Saya pribadi tidak menyesal karena memang lebih baik berlama-lama di Pulau Nami dibandingkan Petite France. Objek yang dapat kami nikmati di Petite France memang tidak sebanyak dan sebaik Pulau Nami. Tapi Petite France memang tetap layak untuk dikunjungi karena di sana kami yang belum pernah ke Prancis ini, dapat menyaksikan berbagai hal yang unik juga.

Hari menjelang sore dan kami langsung bergegas keluar dari Petite France, menuju Halte Gapyeong City Tour Bus. Kami kembali naik Gapyeong City menuju The Garden of Morning Calm yang ternyata terletak agak jauh dari Petite France. Akhirnya kami tiba di The Garden of Morning Calm, kurang lebih 1,5 jam sebelum taman tersebut tutup :’D. Kalau kita ikut paket travel, memang biasanya dalam 1 hari hanya mengunjungi Pulau Nami dan Petite Prance saja, atau Pulau Nami dan The Garden of Morning Calm saja. Jarang yang bisa langsung 3 dalam 1 hari. Kenapa kok kami mau saja mendatangi 3 tempat tersebut dalam 1 hari? Pertimbangan kami sangat sederhana, Petite France dan The Garden of Morning Calm sepertinya tidak semenarik Pulau Nami. Jadi kami memang hanya akan singgah sesaat saja Petite France dan The Garden of Morning Calm, cukup 1 sampai 2 jam saja. Toh semuanya berada di sekitar daerah Gapyeong dan dapat diraih dengan menggunakan Gapyeong City Tour Bus. Kapan lagi kami mau ke arah Gapyeong? ;).

Sesuai prediksi, The Garden of Morning Calm (아침고요수목원) berisi aneka tumbuhan khas Korea. Kami dapat mengelilingi taman sambil ditemani oleh musik yang lembut dan cocok untuk bersantai. Wah, ibu saya pasti senang sekali kalau di ajak ke sana :D. Pecinta tanaman wajib datang ke sana deh. Karena kami datang di awal musim semi, beberapa tanaman sudah mengeluarkan warna yang bagus dan tidak dapat kami temukan di indonesia. Andaikan kami datang sebulan lagi, taman ini pasti akan nampak lebih cantik. Saya menyarankan untuk mampir ke The Garden of Morning Calm pada musim semi dan dingin. Loh kok musim dingin? Banyak tanaman akan ditutupi salju, tapi menjelang sore, akan ada festival lampu yang indah di sana ;).

Ketika kami keluar dari The Garden of Morning Calm, langit sudah gelap dan kami naik bis terakhir Gapyeong City Tour Bus. Tujuan kami berikutnya adalah pulang ke apartemen tempat kami menginap. Bis terakhir ini tidak melewati Stasiun Gapyeong, tapi melewati Stasiun Cheongpyeong. Yaah tak apalah, toh semua jalur kereta di sana sudah terintegrasi, pada saat itu, saya yakin bahwa tidak akan ada masalah.

Dari Stasiun Stasiun Cheongpyeong, kami naik kereta Korail jalur Gyuongchun (hijau pinus) arah Stasiun Mangu untuk turun di Stasiun Sangbong. Dari Stasiun Sangbong, kami naik kereta Korail jalur Gyeongui–Jungang (hijau tosca) arah Stasiun Hoegi untuk turun di Stasiun Wangsimi. Dari Stasiun Wangsimi, kami naik kereta Seoul Metro jalur 2 (hijau) arah Stasiun Sindang untuk turun di Stasiun Dongdaemun History & Culture Park. Nah, saat itulah kami baru menyadari bahwa pintu Exit 11 dari Stasiun Dongdaemun History & Culture Park, langsung mengarah ke Lotte Hi-Mart yang terletak di sebelah Apartemen tempat kami menginap, woooowww. Exit 11 ini nyaman sekali karena dilengkapi oleh tangga berjalan dan AC. Sayang Exit 11 ini memiliki jam buka tutup yang mengikuti jam buka tutup Lotte Hi-Mart atau Lotte FITIN. Jadi, kalau kami berangkat terlalu pagi, Exit 11 tentunya masih tertutup.

Malam itu kami memilih untuk tidak jajan di luar. Kami menyantap makan malam buatan istri saja ;). Setelah makan, kami mencuci pakaian kotor kami dengan mesin cuci yang terdapat di dalam unit apartemen. Praktis, tinggal dipencet dan ditinggal tidur, esok pagi pasti sudah bersih dan kering, tak usah ditunggu hehehehe. Hari kedua ini sudah menjadi hari yang melelahkan. Maka hari ketiga esok akan menjadi hari yang relatif lebih longgar. Esok kami akan berangkat lebih siang pada Hari Ketiga Wisata Korea – Ihwa, Ewha, Itaewon & Banpo.

Baca juga:
Persiapan Wisata Korea 2017
Ringkasan Objek Wisata Korea Selatan
Hari Pertama Wisata Korea – Incheon, Namsan Tower & K Star Road
Hari Ketiga Wisata Korea – Ihwa, Ewha, Itaewon & Banpo
Hari Keempat Wisata Korea – Gunung Seorak & Naksansa
Hari Kelima Wisata Korea – One Mount Snow Park, The War Memorial of Korea & Myeong-dong
Hari Keenam Wisata Korea – Gyeongbokgung, Bukchon & Changdeokgung
Hari Ketujuh Wisata Korea – Gwangjang & Cheonggyecheon
Hari Kedelapan & Kesembilan Wisata Korea – Everland & Incheon