Serial Kingdom

Mengambil latar belakang era kekuasaan Dinasti Joseon di Korea, Serial Kingdom (킹덤) berbicara mengenai perebutan kekuasaan. Pertikaian memperebutkan kekuasaan memang sudah sering menjadi topik yang diangkat pada berbagai film lainnya. Agak berbeda dengan yang lain, Kingdom menambahkan unsur misteri dan horor ke dalam perebutan kekuasaan tersebut.

Diawali oleh kegagalan invasi Jepang ke wilayah Korea pada Perang Imjin. Korea berhasil bertahan namun dengan cara yang tidak lazim. Cara ini pun dipergunakan oleh petinggi kerajaan demi memperoleh kekuasaan. Cara yang tidak lazim ini melahirkan sebuah penyakit yang ganas dan sulit untuk dibendung.

Penderita penyakit misterius ini akan berperilaku seperti layaknya mayat hidup atau zombie. Penyakit ini sangat mudah menular karena dapat menyebar melalui gigitan. Apalagi para zombie pada Kingdom, dapat berlari dengan sangat agresif. Hal ini menambah ketegangan ketika menonton serial tersebut.

Dari banyak karakter licik dan kejam yang ada, paling tidak terdapat 1 tokoh mulia pada serial ini. Sang Putra Mahkota Lee Chang (Ju-Ji-hoon) memiliki ambisi untuk membangun pemerintahan yang adil dan memihak rakyat. Namun, cepat lambat ia tidak akan memiliki rakyat apabila para zombie masih berkeliaran menularkan penyakit.

Dengan dibantu oleh beberapa pihak tidak semuanya 100% setia, Chang harus memusnahkan para zombie dan mengamankan tahta kerajaan dari para pejabat kotor. Perlahan misteri mengenai penyakit zombie mulai terkuak. Sebuah misteri yang tidak terlalu misterius. Namun jalan yang ditempuh untuk memecahkan misterinyalah yang menyenangkan untuk ditonton.

Perebutan kekuasaannya pun menggunakan beberapa fitnah dan taktik licik lainnya. Semuanya dalam takaran yang pas sehingga saya tidak bosan ketika melihat Chang tertimpa kemalangan. Si tokoh utama tidak dizalimi terlalu lama. Kisah Kingdom tidak bertele-tele seperti sinetron. Selalu ada saja sesuatu yang baru. Jadi saya menemukan beberapa bagian yang menyenangkan ketika menonton Kingdom.

Saya pribadi ikhlas untuk memberikan Kingdom nilai 4 dari skala maksimum 5 yang artinya “Bagus”. Perebutan tahta kerajaan di tengah-tengah serangan zombie, ternyata mampu menjadi hiburan yang menarik.

Sumber: astory.co.kr

Raya and the Last Dragon (2021)

Raya and the Last Dragon (2021) merupakan film animasi Disney terbaru yang hadir di bioskop dan media streaming eksklusif. Tokoh utamanya adalah Raya (Kelly Marie Tran) dan Sisu (Nora Lum). Raya adalah putri dari kepala suku Negeri Heart. Dahulu kala, Heart dan 4 negeri lainnya bersatu membentuk sebuah kesatuan yang disebut Kumandra. Semua berubah ketika sebuah mahluh misterius yang bernama Druun, datang dan mengubah banyak rakyat Kumandra menjadi batu. Para naga yang menjadi pelindung Kumandra tidak tinggal diam. Mereka pun rela gugur demi menghancurkan Druun. Akhirnya, kemenangan jatuh ke tangan para naga melalui sihir Sisu, naga terakhir Kumandra yang masih tersisa.

Setelah insiden tersebut, Kumandra mengalami perpecahan dan terbagi ke dalam 5 wilayah termasuk Heart, kampung halaman Raya. Beberapa tahun kemudian, perseteruan diantara 5 negeri tersebut membuat Druun hidup kembali dan menteror kelima negeri yang dahulu bersaudara. Dimanakah para naga Kumandra yang dahulu menolong mereka? Putri Raya memutuskan untuk berkelana demi mencari keberadaan Sisu, naga terakhir yang kabarnya masih hidup. Ia berharap Sisu masih memiliki kekuatan untuk kembali mengalahkan Druun.

Tanpa raya duga, kekuatan Sisu ternyata adalah kekuatan yang berasal dari persatuan, kepercayaan dan persaudaraan. Hal-hal yang saat ini sudah punah dari kelima negeri yang ada.

Raya sendiri mengalami masalah dengan yang namanya kepercayaan. Dahulu, ia pernah dihianati oleh putri negeri lain. Sehingga Raya sangat sulit percaya dengan orang yang baru ia temui. Sepanjang perjalanannya, Raya harus belajar untuk memberikan kepercayaan kepada orang lain. Bersama Sisu, ia pun banyak belajar mengenai pentingnya persatuan dan persaudaraan.

Sebuah petualang epik yang berhasil disajikan dengan sangat baik oleh Disney. Berbeda dengan mayoritas putri-putri Disney lainnya, Raya tidak menyanyi. Tidak ada adegan menyanyi sedikitpub pada pertengahan film ini. Hebatnya, Disney menggantinya dengan adegan pertarungan yang keren. Raya bukanlah putri yang memiliki kekuatan sihir seperti Elsa. Namun ia mampu berkelahi dengan sangat baik. Dengan kualitas animasi di atas rata-rata untuk film keluaran tahun 2021, film ini tampak menakjubkan. Adegan perkelahian bisa jadi merupakan bagian yang paling saya suka dari Raya and the Last Dragon (2021).

Apalagi, film putri Disney yang satu ini dapat dikatakan merupakan putri Disney pertama yang berasal dari Asia Tenggara. Pada film ini, saya melihat proses pembuatan batik, keris, pencak silat, wayang, gamelan, istana ala Thailand/Vietnam, rumah gadang, rice cake Vietnam, sawah terasering dan lain-lain. Wah, akhirnya ada juga perwakilan kita di sana.

Pengisi suara kedua karakter utamanya pun merupakan keturunan Asia. Nora Lum berhasil memberikan karakter suara yang membuat Sisu nampak hidup. Naga yang konyol dan murah senyum sungguh pas sekali dengan suara Nora. Sementara itu Marrie yang keturunan Vietnam, tidak terlalu nampak menonjol. Suara Raya yang diisi oleh Marrie terbilang okelah tapi tidak sekeren apa yang Nora lakukan kepada karakter Sisu.

Salah satu hal yang saya tidak terlalu suka dari film ini sebenarnya adalah akhir yang agak antiklimaks. Kemudian, alur ceritanya agak mudah ditebak. Tapi ini dapat dipahami karena bukankah ini merupakan film keluarga? Kalau terlalu kompleks, ya sopasti penonton cilik tidak akan betah.

Berbagai kelebihan dan kekurangan di atas membuat saya ikhlas untuk memberikan Raya and the Last Dragon (2021) nilai 4 dari skala maksimum 5 yang artinya “Bagus”. Ini adalah tontonan wajib di tahun 2021 ;).

Sumber: movies.disney.com/raya-and-the-last-dragon

Serial Mira, Royal Detective

Serial kartun anak yang mengambil latar belakang kerajaan, biasanya memiliki putri atau pangeran sebagai tokoh utamanya. Hal tersebut tidak berlaku pada Serial Mira, Royal Detective. Sang pangeran justru hadir sebagai tokoh pendukung. Mira (Leela Ladnier) merupakan anak dari punggawa Kerajaan Jalpur di abad ke-19. Dikisahkan bahwa Jalpur sendiri terletak di daerah India, Asia Tengah. Maka latar belakang serial anak yang satu ini adalah kerajaan ala ala Bollywood-laaah.

Apa istimewanya Mira? Ia memiliki kecerdasan dan berbagai nilai kebaikan lain yang patut untuk dicontoh. Pihak istana pun mengangkat Mira sebagai detektif kerajaan. Mira berhasil mengajak penonton ciliknya untuk memecahkan berbagai kasus yang ia hadapi.

Dengan menonton Mira, Royal Detective, anak-anak diajak untuk berfikir dengan teratur dan mengikuti petunjuk yang ada. Semuanya cukup mudah untuk diikuti oleh anak-anak. Kasusnya Mira memang bukan kasus kompleks yang rumit seperti benang kusut.

Mira, Royal Detective layak untuk memperoleh nilai 4 dari skala maksimal 5 yang artinya “Bagus”. Meskipun topiknya terkadang terkait tindak kriminal, serial ini tidak mengandung kekerasan dan hal-hal negatif lainnya kok. Aman untuk ditonton oleh anak-anak.

Sumber: disneynow.com/shows/mira-royal-detective

Shadow (2018)

Shadow (2018) atau 影 bukanlah film yang saya nanti-nantikan untuk saya tonton. Keberadaan film inipun baru saya ketahui beberapa minggu yang lalu, hohohohoho. Secara tidak terduga, film Tiongkok yang satu ini ternyata memberikan visual yang cantik sekali. Nuansa yang didominasi oleh warna hitam putih, ternyata mempu memberikan perasaan yang senada dengan tema cerita Shadow (2018).

Konon pada zaman dahulu kala, wilayah Cina terbagi ke dalam berbagai kerajaan. Kerajaan Pei dan Kerajaan Yang merupakan 2 kerjaan yang sempat memperebutkan Kota Jingzhou. Entah apa alasannya, kota yang satu ini seolah-olah menjadi sebuah lambang kejayaan bagi Kerajaan yang menguasainya. Pada awal cerita, dikisahkan bahwa Kerajaan Yang berhasil menguasai Kota Jingzhou. Sementara itu, raja dari Kerajaan Pei berusaha sekuat tenaga agar perdamaian antara Kerajaan Yang dengan Kerajaan Pei dapat tetap terjaga, dengan mengikhlaskan Kota Jingzhou. Tidak semua pihak setuju dengan kebijakan raja Kerajaan Pei yang terlihat lemah. Panglima besar Kerajaan Pei bahkan berani menentang titah rajanya dengan menantang raja Kerajaan Yang untuk melakukan duel 1 lawan 1.

Lalu, dimana Shadow-nya?? Wkwkwkwkwk. Nah, konon para pejabat pemerintahan menggunakan orang lain untuk menyamar sebagai diri mereka. Hal ini dilakukan untuk mencapai berbagai tujuan tertentu. Diantara pejabat pemerintahaan Kerajaan Pei, terdapat seorang shadow atau bayangan yang sedang menyamar. Hal ini membuat 15 menit pertama Shadow (2018) nampak membingungkan. Lama kelamaan nampak betapa rumitnya politik dan intrik yang Shadow (2018) suguhkan. Hal inilah yang menjadi daya tarik Shadow (2018). Saya sangat menikmati bagaimana cerita pada Shadow (2018) berjalan.

Film ini disutradarai oleh Zhang Yimou yang sukses membesut House of Flying Dagger (2004) dan Hero (2002). Dua film yang banyak menuai pujian tapi kurang saya sukai hehehehe. Kali ini, saya senang dengan film garapab Opa Zhang. Shadow (2018) penuh intik dan kejutan, disertai oleh visual yang sangat cantik. Adegan aksi ala kung-fu-nya pun terbilang lumayan keren. Saya rasa Shadow (2018) sudah sepantasnya memperoleh nilai 4 dari skala maksimum 5 yang artinya “Bagus”. Ini merupakan salah satu film Tiongkok terbaik yang pernah saya tonton.

Sumber: http://www.le.com

Baahubali: The Beginning (2015) & Baahubali 2: The Conclusion (2017)

Kali ini saya akan membahas salah satu film India dengan biaya termahal sepanjang sejarah India yaitu Baahubali: The Beginning (2015) & Baahubali 2: The Conclusion (2017). Konon kedua film ini menggunakan special effect dan kostum yang terbaik pada masanya.

Kedua film Baahubali karya sutradara S. S. Rajamouli ini mengisahkan bagaimana 2 Baahubali menghadapi persaingan dan perebutan tahta Kerajaan Mahespati. Di dunia nyata, Kerajaan Mahespati memang benar-benara ada, namun lokasi dan sejarah konkretnya masih agak kabur. Nah kedua film ini mengisahkan versi imajinatif dari Mahespati. Maka otomatis semua kisah di dalamnya merupakan fantasi belaka. Di sana terdapat Mahendra Baahubali dan Amarendra Baahubali yang sama-sama diperankan oleh Prabhas. Inilah tokoh utama dari film garapan S. S. Rajamouli tersebut.

Sebagai salah satu calon pewaris tahta Kerajaan Mahespati, Amarendra Baahubali harus menghadapi berbagai taktik licik yang dilancarkan oleh sepupunya sendiri, Bhallaladeva (Rana Daggubati). Tahta sebuah kerajaan bukan hanya singgasana dan gelar saja. Baahubali berhasil menjadi raja di hati sebagian besar rakyat Mahespati, walaupun ia belum diangkat menjadi raja.

Amarendra tewas melalui sebuah penghianatan dari orang terdekatnya. Hal inilah yang seolah dijadikan sebuah misteri. Siapa dan kenapa? Bukankah Amarendra Baahubali sudah berbuat baik kepada semua orang?

Anak dari Amarendra Baahubali, yaitu Mahendra Baahubali berhasil lolos dari rencana pembunuhan. Ia kemudian dibesarkan di sebuah desa kecil tak jauh dari ibukota Mahespati. Ketika sudah beranjak dewasa, takdir membawa Mahendra Baahubali menuju ibukota Mahespati untuk membalas dendam dan merebut tahta dari keluarga Bhallaladeva yang sudah puluhan tahun menawan ibu dari Mahendra Baahubali di istana.

Aaahhh, sebuah kisah zero to hero yang sudah berkali-kali dikisahkan di film lain. Hanya saja yaaa film ini menggunakan latar belakang keraajan India dan kisahnya dilakukan secara flashback. Apakah cara penceritaan flashback ini merupakan sebuah masalah? Tidak. Tapi hal ini bukan pula merupakan kelebihan.

Terlalu banyak titik lemah pada cerita di kedua film ini. Sejak awal cerita, penonton tentunya sudah mengetahui bahwa Amarendra Baahubali telah gugur. Bagaimana ia gugur digunakan sebagai cara untuk memikat penonton agar terus menonton cerita Baahubalu yang sangat panjang sampai-sampai dipecah menjadi 2 film. Sayang alasan dan bagaimana Amarendar gugur, terasa kurang kuat dan yaaah hanya begitu saja, tidak spesial atau fenomenal.

Kemudian alasan kenapa kok ibunda Mahendra Baahubali sampai dirantai puluhan tahun di pelataran istana, terlalu dibuat-buat. Saya tidak melihat alasan yang kuat bagi Bhallaladeva sampai menyiksa seorang wanita seperti itu. Toh wanita tersebut pernah Bhallaladeva jadikan sebagai alat untuk mencurangi Amarendra Baahubali.

Taktik licik yang Bhallaladeva dan keluarganya lancarkan kok ya mengingatkan saya akan taktik licik ala opera sabun yah. Saya teringat akan kelicikan-kelicikan tokoh antagonis pada beberapa sinetron dan telenovela yang pernah saya tonton ketika saya masih kecil :’D.

Kemudian cara Mahendra membalas dendam pun sangat dapat ditebak. Taktik perang yang dijalankan terbilang absurd dan jauh dari akal sehat. Kalaupun saya menganggap bahwa Baahubali di sini adalah manusia super sakti, yaah taktik pada bagian akhir tersebut tetap saja terasa aneh.

Syukur adegan perang besar antara Kerajaan Mahesapati melawan Kerajaan Kalakeya terbilang sangat menghibur. Adegan tersebut menampilkan sebuah perang kolosal dengan special effect yang baik. Sayang penggunaan special effect pada beberapa bagian perkelahian lainnya, terasa kurang pas dan terlalu mengada-ada. Sementara penggunaan special effect untuk memvisualisasikan Mahespati, sudah nampak halus dan bagus.

Kedua film inipun memiliki lagu dan adegan joget-joget ala India. Bagian inilah yang selalu saya lewatkan ketika sedang menonton film India hehehehe, bukan hanya ketika menonton film ini. Yaaah, adegan musikalnya terbilang biasa saja, jadi yaaa saya skip :’D. Kalau joget dan nyanyiannya seperti The Greatest Showman (2017) sih sopasti saya tonton dan tidak akan saya skip atau lewati.

Baahubali: The Beginning (2015) & Baahubali 2: The Conclusion (2017) berada di bawah ekspektasi saya. Saya yang sebenarnya suka dengan film-film kerajaan dengan tema zero to hero, kali ini hanya dapat memberikan kedua film Baahubali tesebut 2 dari skala maksimum 5 yang artinya “Kurang Bagus”.

Sumber: baahubali.com

Aladdin (2019)

Bersama dengan Sinbad dan Ali Baba, Aladdin merupakan tokoh populer dari Hikayat 1001 Malam, sebuah kumpulan dari berbagai kisah-kisah petualangan yang menakjubkan. Konon Hikayat 1001 Malam berasal dari Baghdad di era pemerintahan Khalifah Abbasiyah. Baghdad pada saat itu melakukan banyak perdagangan dengan bangsa India dan Cina. Jadi tidak heran kalau salah satu kisahnya mengambil Cina sebagai latar belakangnya. Loh Cina? Ya, kisah Aladdin yang sesungguhnya menggunakan wilayah Cina sebagai latar belakangnya, bukan Arab atau India. Tapi karena nama dan asal kisahnya, Disney menggunakan wilayah Timur Tengah sebagai latar belakang Aladdin (1992). Film animasi inipun melakukan sedikit perubahan di sana dan di sini. Tapi saya tetap suka sekali dengan Aladdin (1992), bahkan saya lebih suka dengan versi Disney ini ketimbang versi aslinya hehehehe.

Bertahun-tahun setelah kehadiran Aladdin (1992), Disney kembali merilis Aladdin versi live action. Hal yang sama pernah Disney lakukan pula pada Cinderella (2015) dan Beauty and the Beast (2017). Nampaknya Disney akan terus membuat versi live action dari film-film animasi yang pernah mereka produksi :).

Sangat mirip dengan Aladdin (1992), pada Aladdin (2019) dikisahkan hiduplah seorang pemuda miskin bernama Aladdin (Mena Massoud). Bersama dengan monyetnya, ia berprofesi sebagai pencuri untuk bertahan hidup. Walaupun profesinya tidak halal, sebenarnya Aladdin memiliki hati yang baik. Ia rela menolong siapapun yang membutuhkan, tak terkecuali Putri Yasmin (Naomi Scott) yang sedang menyamar sebagai penduduk biasa. Pertemuan pertama yang dipenuhi oleh adegan kejar-kejaran dengan Penjaga, diam-diam membuat Yasmin dan Aladdin tertarik satu sama lain.

Yasmin sendiri merupakan putri tunggal penguasa Negeri Agrabah. Sudah ada banyak pangeran datang melamar, namun semuanya Yasmin tolak mentah-mentah. Diam-diam Penasehat Raja, Jafar (Marwan Kenzari), berniat untuk mempersunting Yasmin dan menjadi penguasa Agrabah yang baru. Untuk memperlancar usahanya, Jafar mencari sebuah Jin yang sangat kuat, yang sudah ratusan tahun terkurung di dalam sebuah gua. Sayang tidak semua orang dapat masuk ke sana. Berdasarkan petunjuk yang Jafar dapatkan, kemungkinan seseorang yang bersifat seperti Aladdin-lah yang dapat masuk ke dalam gua tersebut.

Kemudian Jafar mengelabui Aladdin sehingga Aladdin bersedia masuk ke dalam sebuah gua misterius di tengah padang pasir. Di dalam gua inilah awal pertemuan Aladdin dengan karpet ajaib dan Jin (Will Smith). Aladdin memiliki jatah 3 permintaan yang dapat Jin kabulkan. Yaaah sudah pasti Aladdin menggunakan kekuatan Jin untuk meminang hati Yasmin. Jin tidak memiliki ilmu pelet ya, jadi yang dapat Jin lakukan paling tidak adalah membuat status sosial Aladdin naik drastis agar bisa 1 strata dengan Yasmin. Selanjutnya, semua tergantung Aladdin sendiri.

Awalnya, Aladdin yang lugu, menjanjikan kebebasan Jin sebagai permintaan ketiganya. Ia sudah menganggap Jin sebagai sahabatnya. Namun lama kelamaan, Aladdin semakin kecanduan dengan berbagai bantuan dari Jin. Apakah Aladdin akan memenuhi janjinya?

Kisah Aladdin (2019) mirip dengan Aladdin (1992) hanya saja ada beberapa bagian termasuk lagu yang diubah dan ditambahkan agar sesuai dengan selera penonton saat ini. Seperti Aladdin (1992), terdapar banyak tarian dan nyanyian pada Aladdin (2019). Hanya saja, karena ini versi live action, maka Aladdin (2019) nampak lebih megah dan kolosal. Saya kagum dengan kostum dan make-up yang digunakan pada Aladdin (2019).

Sayang, entah kenapa, kok Aladdin (2019) tidak semagis Aladdin (1992). Chemistry antara Yasmin dan Aladdin tidak terlalu kuat. Kemudian tokoh Jin pada Aladdin (2019) tidak selucu Jin pada Aladdin (1992). Ahhh sayang sekali, padahal saya sudah berharap banyak pada Aladdin (2019), terlebih lagi, Aladdin (1992) merupakan salah satu film kartun Disney yang saya sukai.

Melihat berbagai aspek di atas, saya rasa Aladdin (2019) berhak untuk mendapatkan nilai 3 dari skala maksimum 5 yang artinya “Lumayan”. Mau bagaimana juga, secara visual, film ini termasuk nyaman di lihat mata loh ;).

Sumber: movies.disney.id/aladdin

Serial Elena of Avalor

Elena merupakan putri latin pertama yang Disney miliki. Kerajaan Avalor dan dunia dari film seri ini sangat dipengaruhi oleh budaya Amerika Latin. Kehadiran film seri Elena of Avalor sendiri diawali dari sebuah kisah dari Serial Sophia the First. Dikisahkan bahwa selama ini, kalung ajaib yang Sofia miliki ternyata merupakan penjara yang mengurung Elena (Aimee Carrero).

Elena merupakan putri mahkota Kerajaan Avalor yang saat itu sedang dikuasai oleh seorang penyihir jahat. Berkat bantuan Sofia, Elena akhurnya dapat bebas dan kembali menguasai Avalor. Karena umurnya yang masih belia dan kurangnya pengalaman, Elena memerintah Avalor dengan didampingi oleh sebuah majelis yang beranggotakan kakek nenek Elena, sepupu Elena, penyihir kerjaan dan sahabat-sahabat Elena lainnya. Sayang sifat Elena yang keras terkadang membuatnya mengambil keputusan sendiri tanpa menpedulikan apa kata majelis. Elena merupakan pemimpin yang cenderung lebih memilih untuk mengikuti kata hatinya dibandingkan apa kata orang lain. Hal ini beberapa kali membawa Elena dan Avalor ke dalam masalah, tapi karena memang niat Elena selalu baik, maka teman dan keluarga Elena selalu siap mendukung dan menolong. Bagaimanapun juga, Elena dapat menjadi contoh yang baik bagi anak-anak karena Elena selalu menolong, pantang menyerah dan bersedia mengakui kesalahannya serta memperbaiki kesalahan tersebut walaupun ia merupakan penguasa tertinggi sebuah kerajaan.

Berbeda dengan putri-putri Disney lainnya, Elena memiliki kekuatan sihir yang semakin berkembang seiring dengan berjalannya waktu. Hal ini karena secara tidak sadar, Elena menyerap kekuatan sihir selama terjebak di dalam kalung Sofia.

Dunia yang menjadi latar belakang Elena merupakan dunia yang penuh dengan keajaiban dan sihir. Sebagai tunggangan saja, Elena dan kawan-kawan biasa menaiki Jaquin, sebuah mahluk ajaib yang merupakan perpaduan antara jaguar dan burung. Wujudnya mirip macan tutul bersayap. Ini adalah sesuatu yang berbeda sebab biasanya kuda-lah yang menjadi hewan ajaib bersayap.

Film seri ini memenuhi beberapa persyaratan untuk disukai oleh anak-anak, namun sayang jalan cerita yang disajikan sering kali tidak terlalu menarik. Selain itu, tidak ada tokoh atau mahluk “imut” atau kejadian lucu pada film seri ini, sehingga anak saya sendiri kadang kehilangan minat untuk menonton Elena of Avalor.

Oleh karena itulah film seri anak yang satu ini layak untuk memperoleh nilai 3 dari skala maksimum yang artinya “Lumayan”. Yaaah paling tidak film seri ini relatif aman ditonton oleh anak-anak karena tidak ada konten dewasa di sana.

Sumber: disneychannel.ca/show/elena-avalor/

Serial Sofia the First

Seperti pernah saya bahas pada Frozen (2013), Walt Disney sudah memiliki banyak film putri-putrian. Nah untuk pertama kalinya, Disney memiliki putri yang masih kecil sekali. Sofia (Ariel Winter) pada film seri anak Sofia the First merupakan putri termuda yang dimiliki Disney. Ia dikisahkan sebagai anak biasa yang tiba-tiba menjadi anggota keluarga kerajaan Enchancia setelah ibunya, Miranda (Sara Ramirez) menikahi Raja Rolland II (Travis Willingham). Tidak hanya memiliki ayah tiri baru, kini Sofia memiliki 2 kakak tiri baru yaitu si kembar, Pangeran James (Zach Callison) dan Putri Amber (Darcy Rose Byrnes). Pada awal-awal episodenya, Putri Amber sepertinya akan menjadi tokoh antagonis. Tapi lama kelamaan, Putri Amber mau menerima Sofia sebagai sudaranya. Disney nampaknya ingin mengajarkan bahwa saudara tiri atau orang tua tiri itu, belum tentu jahat loh.

Saya masih ingat film-film Indonesia era 80-an yang selalu menokohkan saudara tiri dan orang tua tiri sebagai pribadi yang jahat. Ini adalah anggapan salah yang sudah seharusnya dihapuskan. Menanamkan nilai ini sejak kecil, adalah hal yang baik bagi anak-anak.

Selain itu, Sofia the First pun mengajarkan bahwa persahabatan dan kebaikan akan menang melawan kejahatan dan rintangan apapun heheheh, sesuatu yang kelise sih. Sofia memang selalu berhasil menyelesaikan segala masalah yang ada dengan kebaikan, kedewasaan dan kegigihannya. Selain Putri Amber, ada beberapa karakter lain yang pada awalnya berniat jahat kepada Sofia, lalu kemudian luluh dan menjadi teman Sofia. Padahal Sofia tidak memiliki kekuatan apa-apa loh, ia hanya berbekal kalung ajaib yang dapat membuatnya berkomunikasi dengan binatang.

Putri-putri Disney yang lain, terkadang mengunjungi Sofia untuk memberikan bimbingan. Cinderella, Yasmin, Mulan, Belle, Ariel, Aurora, Putri Salju, Rapunzel dan Tiana, pernah hadir mengunjungi Sofia. Permasalahan yang Sofia hadapi memang terkadang agak pelik dan hampir tidak mungkin diselesaikan oleh anak sekecil Sofia. Tapi yaaaah, semua dapat selesai dan selalu ada akhir bahagia di sana. Semua serba mudah ditebak sehingga cerita pada serial ini agak membosankan bagi penonton dewasa.

Tapi penonton cilik sepertinya akan senang melihat Sofia the First yang menggunakan kerajaan Eropa sebagai latar belakangnya. Tentunya ada tambahan unsur sihir, kuda terbang dan hal-hal ajaib di mana-mana. Semua disajikan dengan animasi yang cantik dan nyanyian yang penuh kegembiraan.

Menelaah semua hal di atas, saya rasa Sofia the First masih layak untuk memperoleh nilai 3 dari skala maksimum 5 yang artinya “Lumayan”. Not bad laaaah.

Sumber: disneynow.go.com/shows/sofia-the-first

Hari Keenam Wisata Korea – Gyeongbokgung, Bukchon & Changdeokgung

Setelah pada Hari Kelima Wisata Korea – One Mount Snow Park, The War Memorial of Korea & Myeong-dong kami mengunjungi jejak Perang Korea, pada hari keenam petualangan kami ini, kami mengunjungi beberapa jejak peninggalan Korea di era feodal. Jauh sebelum Korea terpecah 2 akibat perang ideologi, Korea dikuasai oleh satu atau beberapa kerajaan. Hari itu kami akan mengunjungi Istana Gyeongbokgung, Kampung Hanok Bukchon dan Istana Changdeokgung.

Kami memulai hari itu pagi-pagi sekali. Setelah sarapan, kami pergi keluar penginapan menuju Stasiun Dongdaemun History & Culture Park. Dari sana, kami naik Kereta Seoul Metro jalur 5 (ungu) ke arah Stasiun Euljiro 4(sa)ga untuk turun di Stasiun Gwanghwamun. Kami kemudian berjalan cukup panjang untuk keluar di Exit 9. Kenapa kok Exit 9 yang agak jauh? Keluar dari Exit 9, kami langsung berada di tengah-tengah area Gwanghwamun Square, tak pakai acara menyeberang, langsung di tengah ;).

Gwanghwamun Square (광화문광장) merupakan area hijau di seberang Istana Gyeongbokgung. Di sana terdapat patung raksasa dari Laksamana Yi Sun-Shin (이순신) dan Raja Sejong (세종대왕). Nama Raja Sejong sudah sangat terkenal. Tapi, siapa pula Yi Sun-Shin itu? Sekilas ia seperti salah satu panglima perang Tiongkok pada film Red Cliff :’D. Ternyata, Yi Sun-Shin merupakan pahlawan nasional Korea yang memimpin peperangan di laut pada era Perang Imjin atau Perang 7 Tahun melawan Jepang. Ketika Korea menolak untuk memberikan jalan bagi Jepang untuk menginvasi Cina, Jepang melakukan serangan darat dan laut ke dalam wilayah Korea. Mayoritas wilayah darat Korea dapat dengan mudah dikuasai. Berkat kepemimpinan Laksamana Yi Sun-Shin, wilayah laut Korea sulit untuk dikalahkan. Armada Jepang bahkan akhirnya mundur dan dinyatakan kalah. Kisah kepahlawanan Yi Sun-Shin ini ternyata sudah beberapa kali di angkat ke layar kaca, sayanya saja yang kurang gaul nih hohoho.

Lantas, apakah Raja Sejong ada hubungannya juga dengan Perang 7 Tahun? Raja Sejong merupakan raja keempat dari Dinasti Joseon yang bertahta jauh sebelum Jepang menginvasi Korea. Ia merupakan raja yang sangat terkenal karena kemajuan ilmu pengetahuan Korea di era pemerintahaanya. Aksara Korea yang di sebut hangeul merupakan hasil karyanya yang termashur. Itulah mengapa di depan patung Raja Sejong yang terletak di Gwanghwamun Square, terdapat patung yang menggambarkan alfabet hangeul, bola dunia selestial, alat pengukur hujan dan jam bayangan matahari. Keempatnya merupakan simbol kemajuan Korea di era Raja Sejong.

Kami mengamati patung-patung tersebut disela-sela tenda putih yang sedang dipasang. Pagi itu, terdapat bazar atau eksebisi yang baru saja buka di Gwanghwamun Square. Karena semua dalam tulisan dalam tulisan hangeul, kami kurang paham itu acara apa. Di sana, mereka menjual aneka makanan kecil dan minuman ringan. Kemudian terdapat pula video games virtual reality di pasang di sana. Entah apa maksudnya, kami memilih untuk berjalan ke arah Istana Gyeongbokgung.

Kami tidak langsung masuk ke dalam Gyeongbokgung karena kami ingin mencari tempat penyewaan hanbok. Whoaaw, apa itu hanbok? Baju hanbok merupakan baju tradisioanal Korea yang dapat disaksikan pada beberapa drama Korea berlatar belakang dinasti Joseon. Tentunya akan menjadi sebuah pengalaman yang seru kalau kami dapat berkeliling Istana menggunakan baju tradisional tersebut. Sebenarnya, kami bisa saja mem-booking hanbok sejak di Indonesia, tapi lokasi penyewaan dan perhitungan waktu membuat kami batal melakukan booking. Kami memilih untuk mencari penyewaan hanbok yang lokasinya dekat dengan pintu gerbang Gyeongbokgung di hari kedatangan saja ;). Saya sadar, resikonya adalah kami gagal menyewa hanbok yang keren ;). Di dalam kompleks Istana Gyeongbokgung, terdapat menyewaan hanbok gratis. Tapi yaaaaa, ada harga, ada rupa, bentuk hanboknya kurang bagus :’D.

Kami terus berjalan ke arah barat Gyeongbokgung dan menemukan jejeran gerai penyewaan habok, tepatnya di sekitar Jahamun-ro 2-gil. Aaaahhh, ternyata banyak penyewaan habok di sana, tak perlu pakai acara booking lewat online. Di sana, kami dapat mendapatkan banyak pilihan hanbok yang siap untuk disewa. Ada tipe hanbok klasik dan tipe modern, semuanya bagus-bagus loh, tinggal pilih sesuai selera ;).

Di dalam penyewaan hanbok, kita hanya dapat mencoba 2 hanbok saja. Kemudian, pada 1 paket biasanya kita memperoleh juga pelayanan make-up dan hair stylist. Sepatu, tas dan aksesoris tambahan lainnya, biasanya tidak termasuk ke dalam paket. Kita harus membayar biaya tambahan bila ingin menambahkan aksesoris. Saya pribadi menggunakan sepatu Wakai yang sudah saya bawa dari rumah. Bentul dan modelnya masih cocoklah kalau bertemu dengan hanbok. Oh yaaa, hanbok itu bukan hanya milik wanita loh, kaum Adam juga ada versi hanboknya. Kalau canggung menggunakan hanbok, terdapat pula kostum pejabat negara atau kaisar di sana. Namun saya pribadi pernah menyewa kostum pejabat negara atau kaisar ketika berkunjung ke Tembok Cina beberapa tahun yang lalu. Aaahh, bentuknya mirip, tak jauh berbeda. Itulah mengapa saya memilih mengenakan hanbok laki-laki ketimbang baju kaisar atau pejabat kerjaan ;).

Penyewaan hanbok biasanya dihitung per-jam dan kita biasanya diharuskan membayar 2 jam pertama di muka plus uang deposit. Kami pun memperoleh loker untuk menitipkan barang bawaan kami. Tidak seru juga kan kalau menggunakan hanbok sambil menggendong tas-tas ransel. Selain berat, hambok juga bisa kusut atau rusak. Kerusakan akibat penggunaan bisa dipotong dari uang deposit yang kita bayar di muka loh.

Kami bertiga berjalan keluar menuju Istana tanpa rasa malu karena menggunakan hanbok bukanlah hal aneh di sana. Kami berjalan menyusuri penyewaan hanbok yang berada di sekitar dinding barat Gyeongbokgung. Semakin siang, semakin banyak yang terlihat buka. Menjamurnya bisnis penyewaan hanbok di sekitar Istana Gyeongbokgung, Kampung Hanok Bukchon dan Istana Changdeokgung sebenarnya tak lepas dari usaha Pemerintah untuk melestarikan budayanya. Siapa saja yang datang dengan menggunakan hanbok, diperbolehkan gratis masuk ke dalam beberapa Istana yang tersebar di dalam Kota Seoul. Program pemerintah Korea Selatan ini dapat dibilang berhasil karena selain memberikan bisnis baru bagi masyarakat lokal, kaum muda Korea pun ada yang ikut menggunakan hanbok di sekitar area Istana. Kapan yah Indonesia bisa seperti ini? 😀

Kami tiba di Gerbang Gwanghwamun, gerbang utama Istana Gyeongbokgung, pada sekitar pukul 10 siang. Pada sekitar jam inilah biasanya terdapat atraksi pergantian penjaga ;). Pergantian penjaga ini diawali dengan bunyi gong yang besar. Kami melihat sekumpulan penjaga, lengkap dengan atributnya berbaris dan melakukan serangkaian atraksi dengan senjata mereka :D.

Setelah pergantian penjaga berakhir, kami dapat berfoto dengan komandan penjaga yang membawa rantai dan golok hohohoho. Di sana, kami pun menjadi objek foto bersama, oleh backpaker-backpaker asal Indonesia yang tidak tahu perihal sewa menyewa hanbok :’D. Setelah menginformasikan tempat menyewaan hanbok, kami berpisah dengan mereka, dan kami berjalan ke dalam area Kompleks Istana Gyeongbokgung yang luas ;).

Istana Gyeongbokgung (경복궁) adalah istana terbesar dari 5 istana yang pernah dibangun pada era Dinasti Joseon. Istana megah ini dibangun pada tahun 1935 dan sempat hancur pada era Perang Imjin, invasi Jepang di tahun 1500-an. Istana ini kemudian direstorasi lagi oleh Raja Gojong hingga sebagian bentuknya masih dapat kami saksikan saat itu. Setelah era Raja Gojong, terdapat beberapa perubahan karena Jepang melakukan perombakan terhadap Gyeongbokgung ketika mereka berhasil menjajah Korea pada tahun 1900-an.

Bentuk istana di Seoul ini agak berbeda dengan istana-istana di Jepang yang bentuknya vertikal ke atas. Saya rasa bentuk istana milik Korea lebih mirip dengan istana milik Cina yang melebar dengan banyak pintu di mana-mana. Korea di era feodal memang banyak dipengaruhi oleh dinasti Ming dan Qing dari Cina.

Kami berputar-putar kompleks istana mengagumi keindahan arsitektur khas Korea yang ada di depan mata. Istana ini luas sekali sehingga pengunjung tidak perlu berdesak-desakan seperti pada Hari Ketiga Membawa Bayi Ketika Wisata Bangkok & Pattaya di Bangkok dulu :’D. Di sana banyak sekali ruangan dan pintu-pintu unik yang indah. Pada bagian tengah, terdapat ruangan tempat raja bertahta. Ruangan tersebut tidak terlalu besar, tapi nampak beda dan keren, seperti di film-film kerajaan.

Ketika kami berjalan-jalan di sana, Istana Gyeongbokgung dikunjungi pula oleh satu atau dua rombongan dharmawisata sekolahan. Bisa dibilang ini adalah record kami melihat gerombolan anak-anak selama di Korea. Negeri tersebut angka kelahirannya memang sangat kecil sehingga jumlah anak-anak di sana dikabarkan terus menurun. Anak kami sendiri, dengan riangnya berlari-lari dengan hanboknya, di dalam kompleks istana :). Dengan banyaknya pengunjung yang berpakaian hanbok ke sana, kami seperti sedang benar-benar berkunjung ke Istana Gyeongbokgung di masa lampau.

Setelah selesai berputar-putar di bagian depan dan tengah kompleks, kami menemukan National Folktale Museun pada halaman belakang Istana. Di sana, terdapat berbagai alat-alat yang masyarakat Korea pernah gunakan di masa lampau. Kami tidak terlalu lama di sana karena keterbatasan waktu, masih banyak objek wisata yang hendak kami kunjungi.

Kalau ke arah belakang istana lagi, wilayah di seberang tembok belakang istana tepatnya, terdapat Cheong Wa Dae atau Blue House. Rumah tradisional Korea bergenting biru ini merupakan kediaman resmi presiden Korea Selatan. Namun karena kepergian kami ke Seoul memang agak singat waktu persiapannya, kami tidak meneruskan untuk berkunjung ke Blue House. Untuk masuk ke dalam Blue House, kita diharuskan mengisi form di situs resmi kepresidenan paling tidak 3 minggu sebelum rencanan kedatangan. Wah, rumit, sudahlah, kapan-kapan saja kalau ada kesempatan ;).

Dari Istana Gyeongbokgung, kami kembali ke tempat penyewaan hanbok untuk berganti pakaian dan mengambil barang bawaan kami. Demi efisiensi waktu dan biaya, kami memilih untuk menggunakan baju biasa saja pada kunjungan kami ke Kampung Hanok Bukchon dan Istana Changdeokgung ;). Dari tempat penyewaan, kami berjalan ke arah timur, menyusuri Yukgok-ro, arah tempat Kampung Hanok Bukchon dan Istana Changdeokgung berada. Di tengah-tengah perjalanan, kami berhenti di sebuah halte bus untuk menyantap bekal dan mengganti popok anak kami hehehehe. Setelah itu, kami kembali berjalan menyusuri trotoar Kota Seoul yang ramah pejalan kaki. Dengan bantuan GPS, kami akhirnya tiba di Istana Changdeokgung. Loh? Bukankah Kampung Hanok Bukchon berada diantara Istana Gyeongbokgung dan Istana Changdeokgung? Betul, tapi lokasi Kampung Hanok Bukchon agak berbelok ke utara, sedangkan untuk menuju Istana Changdeokgung kami dapat dengan mudahnya berjalan lurus mengikuti Yukgong-ro saja. Selain itu, Istana Changdeokgung ada jam tutupnya, sedangkan Kampung Hanok Bukchon tak ada jam tutupnya. Kami masih dapat mengunjungi Kampung Hanok Bukchon di sore hari.

Kami tiba di Istana Changdeokgung sekitar pukul 1 siang. Istana ini relatif lebih sepi dibandingkan Gyeongbokgung. Ketika kami tiba di sana, sebagian besar pengunjung pun tidak menggunakan hanbok, sedikit berbeda dengan kondisi di Gyeongbokgung. Kami sendiri memasuki Istana Changdeokgung dengan membayar tiket karena kami sudah tidak menggunakan hanbok lagi di sana.

Istana Changdeokgung (창덕궁) merupakan salah satu istana yang paling disukai oleh keluarga kerajaan. Istana ini memang bukan pusat pemerintahan, tapi keadaannya yang lebih menyatu dengan alam, membuat para putri raja betah untuk tinggal di sana. Raja Sujong, raja terakhir dinasti Joseon, hidup di dalam istana ini sampai ajal menjemputnya. Bahkan sampai saat ini, anak dan keturunan Raja Sujong masih tinggal di dalam salah satu bagian dari istana ini. Apa istimewanya Istana Changdeokgung? Arsitektur dan dekorasi dari istana ini sangat mirip dengan Istana Gyeongbokgung. Bangunan istana utamanya sendiri sebenarnya tidak terlalu luas, tapi kompleks istana tersebut jadi nampak luaaaas karena menjadi satu dengan Kuil Jongmyo dan Huwon.

Kuil Jongmyo (종묘) merupakan salah satu kuil Konfusius tertua di dunia. Sebagai penguasa yang berkepercayaan Konfusianisne, raja dan ratu dinasti Joseon menyimpan tablet-tablet memorial mereka di dalam ruangan-ruangan yang terdapat di dalam kuil tersebut. Praktis semua upacara keagaaman yang berhubungan dengan nenek moyang keluarga kerjaan dipusatkan di kuil ini. Kami melihat banyak sekali ruangan-ruangan kecil tempat menyimpan tablet, di dalam area kuil tersebut. Konon, dahulu ruangannya lebih panjang dan banyak. Tapi sebagian sudah dihancurkan Jepang untuk membangun jalan. Kemudian, di sana terdapat pula rumah-rumah hanok yang dulu dijadikan tempat tinggal para pemuka agama. Rumah-rumah hanok tersebut agak memanjang dengan banyak kamar dengan halaman atau taman kecil di tengah, lebih mirip seperti penginapan dibandingkan rumah.

Huwon adalah sebuah taman di belakang istana yang terdiri dari pepohonan, kolam dan pendopo-pendopo khas dinasti Joseon. Di sanalah keluarga kerjaan biasa berkumpul, belajar, bermeditasi dan mengadakan perjamuan makan malam. Ada suatu masa di mana hanya raja yang boleh memasuki taman ini, sehingga taman ini disebut juga Biwon atau Taman Rahasia. Untuk memasuki Huwon, kita harus didampingi oleh pemandu wisata resmi sesuai jadwal yang ada. Karena kami tiba di sana di waktu yang kurang tepat, maka kami memutuskan untuk tidak masuk ke dalam Huwon. Kami tiba di saat sebuah rombongan baru memasuki Huwon. Kami harus menunggu rombongan berikutnya untuk masuk, wahh pasti lama ini. Kalau dari luar sih, terlihat bahwa dedaunan di dalam sana masih hijau, belum berubah warna. Andaikan kami tiba di tengah-tengah musim semi, kami akan menunggu dan mengantri untuk masuk ke dalam Huwon.

Kalau saya lihat, keberadaan Huwon dan Kuil Jongmyo jelas membuat keluarga raja senang tinggal di Istana Changdeokgung. Itulah mengapa, pihak kerajaan terus menerus merestorasi istana ini walaupun istana tersebut pernah hancur pada invasi Jepang, penyerangan Manchu dan insiden internal Korea. Keberadaan tablet nenek moyang membuat keluarga merasa lebih dekat dengan keluarga yang telah wafat. Keberadaan taman dan lingkungan yang asri, membuat istana terasa lebih teduh.

Setelah selesai berwisata di di Istana Changdeokgung, kami berjalan ke arah barat laut menuju Kampung Hanok Bukchon. Kalau di peta sih, masuknya ke daerah Bukchon-ro 11-gil. Tempatnya memang agak masuk ke dalam jalan yang sempit. Kami sempat beberapa kali memperoleh petunjuk jalan yang salah dari warga lokal. Bagi teman-teman yang hendak berkunjung ke Kampung Hanok Bukchon, sebaiknya percaya saja kepada GPS dalam hal ini. Banyak warga lokal yang kurang paham bahasa Inggris :’D.

Kampung Hanok Bukchon (북촌한옥마을) sudah ada sejak 600 tahun yang lalu. Daerah ini dulunya merupakan tempat tinggal pejabat dan bangsawan dari dinasti Joseon. Lebar jalan yang kecil memang menggambarkan keadaan perkampungan Korea di era feodal. Tapi rumah-rumah yang agak kecil sebenarnya merupakan hasil dari penjajahan Jepang pada tahun 1900-an. Untuk memecah dan merusak martabat dinasti Joseon, Jepang membagi-bagi rumah yang pada awalnya besar, menjadi kecil-kecil. Yaaah, pada dasarnya, Jepang-lah yang mengakhiri kekuasaan dinasti Joseon di Korea Selatan. Setelah dinasti tersebut runtuh, praktis runtuh pulalah era feodal di Korea Selatan.

Kami tiba di Kampung Hanok Bukchon sekitar pukul setengah empat sore. Sinar matahari sudah tidak terlalu terasa panas dan angin musim semi bertiup cukup kencang saat itu. Kampung Hanok Bukchon pun tidak terlalu padat :D. Kami mengelilingi area yang penuh dengan rumah tradisional Korea tersebut dengan tetap menjaga ketertiban dan kebersihan karena rumah-rumah yang ada di sana bukan rumah-rumahan. Rumah-rumah tersebut masih dijadikan tempat tinggal oleh warga Korea. Beberapa rumah ada yang dijadikan penginapan dan restoran, tapi bentuk aslinya tetap tidak diubah sehingga bentuknya yaa tetap seperti rumah, tidak seperti toko modern. Karena keasliannya, area ini berhasil memberikan atmosfer perkampungan di era dinasti Joseon. Apalagi ketika terdapat pengunjung berpakaian hanbok lalu lalang di sana.

Sebenarnya, terdapat 2 kampung hanok di Seoul, yaitu Kampung Hanok Bucheon dan Kampung Hanok Namsagol. Keduanya sama-sama terdiri dari rumah-rumah tradisional Korea yang disebut hanok. Hanya saja, Kampung Hanok Namsagol bukanlah tempat tinggal seperti yang Kampung Hanok Bucheon miliki. Hanok-hanok yang Kampung Hanok Namsagol miliki, khusus dibangun pada tahun 1998 untuk memperlihatkan budaya Korea di masa lampau. Kampung Hanok Namsagol tentunya lebih luas dan lebih lenggang dibandingkan dengan Kampung Hanok Bucheon, tapi lokasi yang kurang pas dengan itenari kami dan kekurang-original-an, membuat kami memilih untuk berkunjung ke Kampung Hanok Bucheon saja. Toh lokasi diantara 2 istana yang menjadi tujuan kami di hari tersebut. Pilihan ini tentunya lebih efisien dari segi waktu.

Dari Kampung Hanok Bucheon, kami kembali berjalan ke arah Stasiun Anguk dengan bantuan GPS. Dari sana, kami naik Kereta Seoul Metro jalur 3 (oranye) arah Stasiun Jongno 3(sam)ga untuk turun di Stasiun Jongno 3(sam)ga. Kemudian kami naik Kereta Seoul Metro jalur 5 (ungu) arah Stasiun Euljiro 4(sa)ga untuk turun di Stasiun Dongdaemun History & Culture Park.

Karena hari belum terlalu malam, maka kami kembali berjalan-jalan di pertokoan dan pusat perbelanjaan yang ada di daerah Dongdaemun. Yaaahh inilah keuntungan dari menginap di dekat pusat perbelanjaan ;). Kami pun kembali mampir di pedagang kaki lima sushi yang hampir setiap malam kami kunjungi hehehehe. Setelah makan malam, kami bermaksud mencari baju anak dan menemukan baju-baju berbentuk aneh. Sebenarnya kami sudah melihat ini selama di Seoul tapi baru kali ini kami melihat dengan jelas bahwa baju tersebut adalah baju anjing :’D. Selama di Seoul kami memang sering melihat anjing-anjing lucu yang berjalan menggunakan baju dan aksesoris layaknya manusia. Pemilik anjing-anjing tersebut adalah kaum muda Korea. Melihat menurunnya jumlah bayi dan angka kelahiran di sana, apakah kaum muda Korea beralih ke anjing? Apakah mereka lebih memilih memiliki anjing sebagai pengganti bayi yang sulit mereka miliki? Berdasarkan obrolan saya dengan salah satu warga lokal, ia menganggap bahwa menikah dan memiliki anak itu mahal. Siapa sih yang tak ingin punya anak. Sayang biaya hidup di Korea itu tak murah. Akhirnya, kaum muda sana lebih memilih memundurkan usia menikah mereka. Setahu saya, semakin tua usia kita, semakin sulit memiliki anak. Wah jadi ingat film The Boss Baby (2017). Sekejap, film tak masuk akal tersebut, menjadi sangat masuk akal.

Setelah lelah dan mengantuk, kami berjalan pulang ke penginapan dan langsung beristirahat. Esok hari akan menjadi hari yang lebih santai karena tujuan wisatanya jauh lebih sedikit pada Hari Ketujuh Wisata Korea – Gwangjang & Cheonggyecheon. Hal ini memang disengaja karena kami membawa anak di bawah 2 tahun. Tidak mungkin kalau setiap hari kami berangkat pukul 7 pagi.

Baca juga:
Persiapan Wisata Korea 2017
Ringkasan Objek Wisata Korea Selatan
Hari Pertama Wisata Korea – Incheon, Namsan Tower & K Star Road
Hari Kedua Wisata Korea – Naminara Republic, Petite France & The Garden of Morning Calm
Hari Ketiga Wisata Korea – Ihwa, Ewha, Itaewon & Banpo
Hari Keempat Wisata Korea – Gunung Seorak & Naksansa
Hari Kelima Wisata Korea – One Mount Snow Park, The War Memorial of Korea & Myeong-dong
Hari Ketujuh Wisata Korea – Gwangjang & Cheonggyecheon
Hari Kedelapan & Kesembilan Wisata Korea – Everland & Incheon

Serial Extra History

 

Extra History merupakan sebuah serial produksi Extra Credits yang mengisahkan mengenai sejarah dari seorang tokoh, sebuah kerajaan, sebuah sistem, sebuah benda dan sebuah peristiwa penting dari seluruh penjuru dunia. Semua ditampilkan dalam bentuk kartun sederhana yang menarik. Tapi jangan harap untuk melihat kartun sekelas kartun-kartunnya Pixar atau Walt Disney yaa. Kartun di sini merupakan kartun sederhana yang informatif. Ditambah dengan narasi yang enak didengar dan santai, Extra History dapat menampilkan potongan sejarah dengan cara yang tidak membosankan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Memang, karena yang ditampilkan Extra History merupakan potongan, jadi terdapat beberapa hal yang tidak diceritakan. Bagaimanapun juga, penonton Extra History tidak semuanya mahasiswa jurusan Sejarah bukan ;). Detail yang terlalu berlebih atau terlalu kurang, dapat membuat semuanya menjadi membosankan. Dari serial ini, saya memperoleh tontonan santai yang dapat mempertajam pengetahuan saya.

Pada setiap episodenya, terdapat sentilan dan ungkapan yang memancing penontonnya untuk berpikiran kritis. Bukankah sejarah biasanya ditulis oleh pemenang? Mungkinkah ini benar kalau dilihat pakai logika? Terkadang sejarah memang diambil dari sebuah sumber yang mana ditulis berdasarkan sudut pandang sumber tersebut. Jadi, ya memang akan selalu ada sedikit ruang untuk perdebatan.

Terkadang, di sana terdapat pula celetukan mengenai hal-hal yang digambarkan oleh film-film Hollywood terkadang tidak sesuai dengan catatan sejarah. Yaaah, selama ini saya sendiri memang sering menonton film yang kisahnya diambil dari potongan sejarah. Terkadang film-film seperti ini sudut pandang dan kisahnya agak digeser-geser agar lebih menarik. Namanya juga film komersil, bukan film dokumenter ;). Kalau terlalu kaku dengan catatan sejarah, yah nanti tidak laku di bioskop dong.

Nah Extra History sendiri, sebenarnya dapat dikatakan sebagai kartun dokumenter yang bercerita tentang sejarah. Serial ini tentunya tidak hadir di bioskop atau stasiun TV lokal kita. Setelah sempat berpindah-pindah “rumah”, saat ini Extra History dapat ditemukan di patreon, youtube.com dan beberapa saluran TV on-line/off-line luar negeri lainnya. Saya pribadi biasa menonton serial ini di youtube saja, gratis hehehehe.

Sangat jarang saya dapat menemukan sebuah tontonan yang dapat menghibur sekaligus memperluas pengetahuan saya. Serial Extra History layak untuk memperoleh nilai 4 dari skala maksimum 5 yang artinya “Bagus”. Teman-teman yang belum pernah menontonnya, coba tonton episode mengenai Senguku Jidai, itu episode Extra History favorit saya ;).

Sumber: becausegamesmatter.com