Serial Vicenzo

Vicenzo (빈센조) merupakan serial asal Korea Selatan dengan karakter Vicenzo Cassano (Song Joong-ki) sebagai tokoh utamanya. Sekilas Vicenzo bukanlah nama orang Asia pada umumnya. Di sini Vicenzo adalah warga negara Italia keturunan Korea yang bekerja sebagai penasehat hukum keluarga mafia Italia. Ia pun memiliki status sebagai anak angkat pemimpin keluarga Cassano, salah satu keluarga mafia di Italia. Maka jelas sudah, Vicenzo bukan sekedar penasehat hukum biasa.

Di tengah-tengah perseteruan internal keluarga Cassano, Vicenzo memiliki untuk terbang ke Korea Selatan. Ia pulang ke tanah kelahirannya tanpa membawa pasukan atau pengawal. Penduduk Korea pun tidak menyadari bahwa ada seorang mafia yang berbahaya di antara mereka. Mau apa Vicenzo di Korea Selatan?

Ia hendak mengambil harta yang terpendam di bawah salah satu pertokoan di sana. Pada perjalannya, Vicenzo memperoleh pelajaran mengenai arti persahabatan dan cinta. Ia bertemu dengan teman baru dan lawan baru. Ia pun berhasil menemukan kebenaran mengenai orang tua kandungnya. Mengapa Vicenzo kecil ditempatkan di Panti Asuhan padahal ia masih memiliki seorang ibu.

Plot mengenai bagaimana Vicenzo mengajar semua lawannya terbilang menyenangkan untuk ditonton. Lawan-lawan Vincenzo, cenderung congkak, tidak sadar bahwa mereka sedang berhadapan dengan seorang petinggi mafia. Sayang plot terkait harta karun sedikit kurang menarik. Tapi kekurangan ini masih tertutupi sebab kisah perebutan harta karun memiliki porsi yang relatif kecil. Vicenzo lebih banyak bercerita mengenai perseteruan antara orang kecil melawan para penguasa.

Film seri ini tidak hanya menunjukkan adegan aksi. Sebab tak jarang Vicenzo berhasil menang karena taktiknya. Di sanalah terdapat berbagai adegan yang memuaskan. Sesuatu yang membuat saya terus menonton Vicenzo meskipun durasi per-episodenya dapat mencapai hampir 1,5 jam.

Diantara semua itu terdapat beberapa komedi yang bisa membuat saya tersenyum. Yaaah cukum senyum saja karena memang komedinya tidak terlalu lucu hohoho :’D.

Film seri ini berhasil menampilkan jalan cerita yang seru dengan menampilkan penyelesaian masalah yang cerdas. Dengan demikian Vicenzo layak untuk memperoleh nilai 4 dari skala maksimum 5 yang artinya “Bagus”. Oh yaaa, jangan kaget kalau di tengah-tengah film, Vicenzo sering memakan permen Kopiko. Produk Indonesia yang satu ini memang memiliki kerjasama dengan studio pembesut Vicenzo. Sebuah iklan yang tidak terduga :).

Sumber: http://www.studiodragon.net

Serial Revenge of Others

Serial Revenge of Others (3인칭 복수) merupakan serial asal Korea Selatan yang bercerita mengenai misteri pembunuhan di sebuah sekolah. Ok Chan Mi (Shin Ye-eun) rela pindah sekolah dari Busan ke Seoul demi menyelidiki kematian saudara kembarnya. Kepolisian Seoul menyatakan bahwa ini adalah kasus bunuh diri. Semua orang percaya dan menerima hal itu kecuali Ok Chan Mi.

Sekilas, lingkungan sekolah saudara kembar Ok Chan Mi, seperti lingkungan sekolah biasa. Lama kelamaan Chan Mi menemukan berbagai masalah di dalam lingkungan tersebut. Mulai dari bullying, pelecehan, sampai cinta terlarang. Semua dibungkus dibalik budaya ketimuran yang tidak sevulgar budaya barat.

Serial ini memiliki beberapa misteri yang terus menerus muncul secara bergantian. Misterinya tidak mengadung teka-teki yang rumit sehingga semua terbilang mudah dipahami. Sayangnya, terkadang yah misterinya terlalu mudah ditebak. Semua serba ringan karena Revenge of Others berbicara pula mengenai permasalahan remaja.

Kisah percintaan dan bullying ternyata cukup dominan juga pada serial ini. Bagian paling memuaskan pada serial ini justru pada beberapa adegan yang membahas bullying. Bukan ketika misterinya terungkap. Lucunya, bullying dan misteri pembunuhannya, bukanlah bagian yang menjadi sebab akibat langsung. Entah serial ini mau bercerita mengenai misteri pembunuhan atau permasalahan remaja.

Karena latar belakangnya adalah sekolahan, jadi masuk akal kalau permasalahan remaja ikut hadir disana. Walaupun memang agak overdosis. Selain itu terdapat beberapa bagian yang lumauan menegangkan dan menbuat saya penasaran. Bagaimanapun juga, Revenge of Others tetap menarik untuk diikuti. Serial ini mampu menjadi hiburan ringan di saat penat. Saya rasa Revenge of Others layak untuk memperoleh nilai 3 dari skala maksinum 5 yang artinya “Lumayan”.

Sumber: http://www.sbsmedia.co.kr

Serial Kingdom

Mengambil latar belakang era kekuasaan Dinasti Joseon di Korea, Serial Kingdom (킹덤) berbicara mengenai perebutan kekuasaan. Pertikaian memperebutkan kekuasaan memang sudah sering menjadi topik yang diangkat pada berbagai film lainnya. Agak berbeda dengan yang lain, Kingdom menambahkan unsur misteri dan horor ke dalam perebutan kekuasaan tersebut.

Diawali oleh kegagalan invasi Jepang ke wilayah Korea pada Perang Imjin. Korea berhasil bertahan namun dengan cara yang tidak lazim. Cara ini pun dipergunakan oleh petinggi kerajaan demi memperoleh kekuasaan. Cara yang tidak lazim ini melahirkan sebuah penyakit yang ganas dan sulit untuk dibendung.

Penderita penyakit misterius ini akan berperilaku seperti layaknya mayat hidup atau zombie. Penyakit ini sangat mudah menular karena dapat menyebar melalui gigitan. Apalagi para zombie pada Kingdom, dapat berlari dengan sangat agresif. Hal ini menambah ketegangan ketika menonton serial tersebut.

Dari banyak karakter licik dan kejam yang ada, paling tidak terdapat 1 tokoh mulia pada serial ini. Sang Putra Mahkota Lee Chang (Ju-Ji-hoon) memiliki ambisi untuk membangun pemerintahan yang adil dan memihak rakyat. Namun, cepat lambat ia tidak akan memiliki rakyat apabila para zombie masih berkeliaran menularkan penyakit.

Dengan dibantu oleh beberapa pihak tidak semuanya 100% setia, Chang harus memusnahkan para zombie dan mengamankan tahta kerajaan dari para pejabat kotor. Perlahan misteri mengenai penyakit zombie mulai terkuak. Sebuah misteri yang tidak terlalu misterius. Namun jalan yang ditempuh untuk memecahkan misterinyalah yang menyenangkan untuk ditonton.

Perebutan kekuasaannya pun menggunakan beberapa fitnah dan taktik licik lainnya. Semuanya dalam takaran yang pas sehingga saya tidak bosan ketika melihat Chang tertimpa kemalangan. Si tokoh utama tidak dizalimi terlalu lama. Kisah Kingdom tidak bertele-tele seperti sinetron. Selalu ada saja sesuatu yang baru. Jadi saya menemukan beberapa bagian yang menyenangkan ketika menonton Kingdom.

Saya pribadi ikhlas untuk memberikan Kingdom nilai 4 dari skala maksimum 5 yang artinya “Bagus”. Perebutan tahta kerajaan di tengah-tengah serangan zombie, ternyata mampu menjadi hiburan yang menarik.

Sumber: astory.co.kr

Serial Weak Hero Class 1

Bullying atau perundungan menjadi sebuah topik yang sudah sering diangkat ke layar kaca dan layar lebar. Ketika pertama kali melihat serial Weak Hero Class 1, saya pikir ini akan menjadi kisah from zero to hero. Anak yang menjadi korban bullying perlahan berhasil melawan si pelaku. Ah ternyata saya salah besar.

Pada Weak Hero Class 1 atau 약한영웅 Class 1, dikisahkan bagimana seorang Yeon Si-Eun (Park Ji-Hoon) menghadapi bullying. Ia hanyalah seorang anak sekolah yang ingin serius belajar, mendapatkan nilai bagus, lalu diterima kuliah di kampus ternama. Namun dalam perjalanannya, Si-Eun harus berhadapan dengan bullying. Berbeda dengan film mengenai bullying lainnya, Si-Eun sudah melakukan perlawanan yang sangat memuaskan sejak episode pertama.

Yang saya paling suka dari Weak Hero Class 1, si tokoh utama tidak menderita terlalu lama. Bisa jadi justru tokoh-tokoh antagonis yang menjadi bulan-bulanan target bullying mereka. Si-Eun menggunakan kecerdasan dan kenekadannya dalam menghadapi para pem-bully. Tanpa bekal ilmu kebal atau kesaktian ala superhero, Si-Eun berhasil membuat mereka semua gentar. Bagian ini terasa sangat memuaskan dan menyenangkan. Agak brutal sih, tapi ok loh. Bagusnya lagi, hal ini terjadi beberapa kali :D.

Sikap Si-Eun ini berhasil membuatnya memiliki teman …. dan musuh baru tentunya. Serial inipun akhirnya mengisahkan pula berbagai efek dari bullying. Selain itu, penyebab bullying terjadi pun ada di sana. Disinilah unsur drama Weak Hero Class 1 terasa semakin mengental. Saya pun mulai mengantuk pada bagian ini hehehe.

Serial asal Korea Selatan ini memang memiliki bagian yang sangat seru dan menyenangkan. Namun ada pula beberapa bagian yang sedikit membosankan. Bagaimanapun juga saya rasa Weak Hero Class 1 masih layak untuk memperoleh nilai 4 dari skala maksimum 5 yang artiny “Bagus”.

Sumber: http://www.wavve.com

Serial Big Mouth

Sejak melihat trailernya, saya sudah tertarik untuk menonton serial Big Mouth. Serial asal Korea Selatan yang menggunakan judul빅마우스 di negara asalnya. 빅마우스 sendiri sebenarnya berarti Big Mouse, bukan Big Mouth. Judul Big Mouse sebenarnya lebih cocok ya dijadikan sebagai judul. Film ini memang banyak mengisahkan misteri yang mengelilingi Big Mouse. Ia adalah karakter misterius yang sangat berkuasa di dunia kriminal. Dengan jaringan yang luas di mana-mana, siapapun bisa jadi merupakan mata-mata Big Mouse. Apakah Big Mouse jahat? Kalau menurut saya Big Mouse itu seperti antihero. Tokoh kriminal yang berseteru dengan tokoh-tokoh lain yang lebih jahat dan kejam darinya. Terdapat pejabat dan pengusaha yang diam-diam lebih jahat dari Big Mouse.

Di tengah-tengah perselisihan antara Big Mouse dengan berbagai pihak, muncul Park Chang-ho (Lee Jong-suk). Ia adalah pengacara sederhana yang banyak hutangnya dan jarang memenangkan kasus hukum. Hal ini diperburuk ketika Chang-ho tiba-tiba harus mendekam di penjara akibat kecelakaan mobil yang penuh rekayasa. Seketika itupulalah Chang-ho harus menjalani hidup yang berbeda. Di penjara, terjadi banyak hal yang menunjukkan bahwa Chang-ho merupakan Big Mouse. Masalahnya apakah ia benar-benar Big Mouse atau bukan?

Di sini terdapat banyak sekali misteri yang menyenangkan untuk disaksikan. Mulai dari kenapa Chang-ho dijebak, siapa Big Mouse, sampai rahasia besar sekelompok penguasa yang sudah ditutupi lebih dari puluhan tahun. Berbagai karakter dan berbagai pihak bisa saling membantu dan berhianat dalam hitungan detik. Adu strategi dan keberuntungan terlihat jelas di sana. Saya pun agak ragu menebak siapa yang paling jahat dari yang jahat.

Mayortitas ceritanya dilihat dari sudut pandang Chang-ho. Pembawaan karakter Chang-ho yang mendadak menjadi Big Mouse pun sangat menarik untuk disaksikan. Ia nampak berhasil menyelesaikan berbagai masalah yang datang dengan sangat cerdas. Bagian menyebalkan dimana karakter utama tersiksa, tidak terlalu banyak.

Di luar penjara, ada istri Chang-ho yang sangat setia, yaitu Ko Mi-ho (Im Yoon-ah). Romansa Mi-ho dan Chang-ho menjadi bagian yang mengharukan untuk ditonton. Mi-ho tidak hanya diam menunggu, ia pun melakukan penyelidikan mandiri bersama rekan-rekan Park lainnya.

Misteri ada, romansa ada, naaah komedi juga ada loh. Porsi komedi pada Big Mouth terbilang cukuplah porsinya. Masih ok sebagai selingan. Jadi serial ini tidak terus menerus membahas hal-hal yang serius.

Serial Big Mouth terbilang komplet. Ada tawa, haru dan ketegangan di sana. Unsur misteri dan tokoh utamanya berhasil membuat serial ini semakin greget. Saya rasa Big Mouth sudah sepantasnya untuk memperoleh nilai 4 dari skala maksimum 5 yang artinya “Bagus”. Serial ini mengambil latar belakang sebuah negara yang dipenuhi oleh korupsi dan pelanggaran hukum. Sesuatu yang agak fiksi yaaa. Karena selama saya di Korea dulu, yaah Korea itu sangat tertib dan taat hukum. Jadi, setelah menonton Big Mouth, jangan beranggapan bahwa di Korea Selatan seperti itu keadaannya :’D.

Sumber: astory.co.kr

The Wailing (2016)

The Wailing (2016) atau 곡성 merupakan film asal Korea Selatan dengan latar belakang pedesaan yang masih asri. Kedamaian desa tersebut terusik ketika beberapa penduduk ditemukan tewas dengan kondisi yang mengenaskan. Pembunuhan dilakukan oleh salah satu penghuni rumah, kepada penghuni rumah yang lain. Hal ini terus terjadi dari 1 rumah ke rumah lainnya. Dugaan sementara, hal ini terjadi karena keracunan jamur liar. Sekilas seperti film misteri pembunuhan bukan? Sampai di sini saya memandang The Wailing (2016) sebagai film detektif.

Semakin lama, penyelidikan kasus ini mengarah kepada ritual-ritual misterius yang dilakukan oleh seorang penghuni baru. Hadir pula cenayang lengkap dengan upacara-upacara perdukunan ala-ala Korea. Sesuatu yang belum pernah saya. Baiklah, seketika itu pulalah The Wailing (2016) berubah menjadi film horor. Ini bisa jadi merupakan berita buruk bagi saya pribadi.

Mayoritas film-film horor Jepang dan Korea memiliki akhir yang …… yah begitulah. Fokus utama mayoritas film-film tersebut bukanlah memberikan kengerian atau ketakutan, melainkan kesedihan dan keputusasaan. Sayangnya, The Wailing (2016) memang mengikuti pakem tersebut. Sesuatu yang kurang saya sukai dari sebuah film.

Padahal jalan cerita The Wailing (2016) terbilang memikat. Penonton beberapa kali dibuat menerka-nerka siapa dan apa yang terjadi di desa tersebut. Kebenaran yang diungkap pun, diluar dugaan saya. Meskipun untuk mengetahui kebenaran tersebut, saya harus menonton The Wailing (2016) dengan durasi sekitar 2 jam. Wow, lama juga ya hehehehe.

Ada beberapa bagian dari film ini yang membuat saya mengantuk. Mengantuk adalah sebuah kesalahan, sebab The Wailing (2016) memiliki detail yang menarik. Saya jadi harus mengulang menonton beberapa bagian agar faham betul akhir dari film ini. Bagian akhir film tidak dijelaskan secara gamblang. Hanya ada kesedihan dan keputusasaan di sana. Terlebih lagi The Wailing (2016) berhasil membuat saya peduli terhadap keluarga si tokoh utama. Aahhh sebuah akhir yang mudah ditebak bagi orang-orang yang sudah beberapa kali menonton film horor Jepang dan Korea.

Saya pribadi hanya dapat memberikan The Wailing (2016) nilai 4 dari skala maksimum 5 yang artinya “Bagus”. Saya tetap kurang suka dengan bagaimana The Wailing (2016) berakhir. Kelebihan film ini adalah pada misteri, jalan cerita dan karakternya.

Sumber: http://www.foxkorea.co.kr

The Great Battle (2018)

Mendengar kalimat Romance of the 3 Kingdoms, pastilah kita teringat akan kisah peperangan besar antara 3 kerajaan besar di dataran Cina sana, yaitu Shu, Wu dan Wei. Ternyata di Korea pun ada Romance of the 3 Kingdoms loh, yaitu antara kerajaan Baekja, Silla dan Goguryeo. Ketiganya terus bertempur demi menguasai seluruh Korea. Beberapa kisah pertempurannya sangat dipengaruhi oleh kerajaan tetangga seperti Cina dan Jepang.

Pada The Great Battle (2018) atau Ansi Fortress atau 안시성, dikisahkan bahwa Kekaisaran Tang yang sedang berkuasa di Cina, ingin menguasai Korea. Satu per satu wilayah Korea berhasil Tang kuasai. Sebagai kerajaan yang pada masa jayanya berhasil menguasai bagian tengah dan utara Korea, sampai daerah Mongolia, kerjaan Goguryeo menjadi target utama Kekaisaran Tang. Di bawah Kaisar Taizong atau Li Shimin (Park Sung-woong), bala tentara Tang terus maju ke dalam wilayah Goguryeo yang baru saja mengalami konflik internal.

Raja dari Guguryeo baru saja digulingkan oleh Jendral Yeon Gaesomun (Yu Oh-seong). Jendral Yeon segera menjadi penguasa Goguryeo secara de facto. Sejarah mencatat bahwa terjadi perdebatan sengit karena Raja Goguryeo saat itu dikabarkan memang lemah terhadap Kekaisaran Tang dan Sang Raja ternyata berusaha membunuh Yeon terlebih dahulu. Tidak semua rakyat Goguryeo mengakui kekuasaan Jendral Yeon, termasuk Yang Manchun (Jo In-sung).

Yang adalah penguasa Benteng Ansi yang melindungi semua penduduk di wilayah tersebut. Ia menolak untuk mengirimkan pasukan bantuan kepada Yeon padahal saat itu Yeon sedang membela Goguryeo dari invasi Tang. Pembangkangan ini membuat Yeon geram dan mengirimkan Sa-mul (Nam Joo-hyuk) sebagai mata-mata ke dalam Benteng Ansi. Di saat yang sama, pasukan Tang sedang bergerak ke arah Benteng Ansi. Mereka optimis dapat menguasai Ansi dengan mudah karena mereka sudah berhasil menguasai benteng-benteng Goguryeo lain yang lebih besar dari Benteng Ansi.

Kalah jumlah bukan berarti kalah semangat. Yang ternyata merupakan pemimpin cerdas yang kharismatik. Ia mampu memelihara mental prajuritnya selama berbulan-bulan. Sa-mul yang melihat itu, mulai gundah apakah ia akan tetap menjalankan perintah Yeon atau ikut membelot bersama Yang. Di mata Sa-mul, Yeon dan Yang sebenarnya sama-sama merupakan pemimpin baik yang rela mengorbankan apapun demi menyelamatkan Goguryeo dari invasi Tang.

Konflik batin yang Sa-mul hadapi sangat mudah ditebak arahnya. Cerita dan akhir The Greatest Battle (2018) pun sebenarnya sudah terlihat dari pertengahan cerita. Tapi taktik perang yang ditampilkan sangatlah menarik. Adegan aksinya pun sangat memukau. Inilah keunggulan utama dari The Greatest Battle (2018). Mungkin ada beberapa bagian yang tidak sesuai dengan sejarah, tapi saya rasa hal tersebut tidak terlalu fatal. Bagaimana pun juga, terdapat daerah abu-abu di dalam sejarah sebab sejarah ditulis oleh pemenang [^_^]v. Saya rasa film Korea yang satu ini layak untuk memperoleh nilai 4 dari skala maksimum 5 yang artinya “Bagus”.

Sumber: its-new.co.kr

Hari Kedelapan & Kesembilan Wisata Korea – Everland & Incheon

Setelah kemarin berkeliling di pusat kota pada Hari Ketujuh Wisata Korea – Gwangjang & Cheonggyecheon, di hari kedelapan ini kami akan pergi agak jauh keluar Seoul. Hari itu kami akan mengunjungi salah satu taman hiburan terbesar di Korea, Everland. Dalam 1 perjalanan wisata panjang, kami memang memberikan jatah minimal 1 objek wisata bagi anak kami. Kali ini, Everland-lah yang kami pilih walaupun lokasinya agak jauh dari tempat kami menginap. Hari itu kami berangkat agak pagi dengan membawa bekal seperti biasanya. Untuk mencapai Everland, kami harus naik kereta dan bus.

Kami berangkat dari Stasiun terdekat, yaitu Stasiun Dongdaemun History & Culture Park untuk naik Kereta Seoul Metro jalur 2 (hijau) arah Sindang dan turun di Stasiun Wangsimni. Dari Stasiun Wangsimni, kami naik Kereta Korail jalur Bundang (kuning) arah Stasiun Gangnam-Gu Office untuk turun di Stasiun Giheung. Sebuah perjalanan naik kereta yang cukup panjang. Sepanjang jalan kami melihat banyak manula Korea membawa sepeda untuk berolahraga di pinggir kota. Saya salut dengan semangat olahraga warga lokal.

Dari Stasiun Giheung kami masih harus naik Kereta Yongin Everline jalur Everline (hijau daun). Kereta ini nampak lebih kecil dan saya dapat berjalan ke ujung untuk melihat pemandangan dari bagian depan dan belakang kereta. Wah, sebuah pengalaman yang menyenangkan. Loh kemana masinisnya? Tidak ada :’D. Entah masinisnya di mana, sepertinya kereta yang beroperasi di jalur ini sudah beroperasi otomatis. Stasiun-Stasiun di Seoul pun memang sedikit sekali petugasnya. Semua sudah berjalan dengan otomatis dan dibantu mesin. Lha wong saya menyewa unit aparteme di daerah Dongdaemun saja, sudah 8 hari tapi belum pernah bertemu langsung dengan pemiliknya. Serah terima akses unit dilakukan dengan pemberian passport, mereka sudah tidak menggunakan kunci seperti di Indonesia :’D.

Kami akhirnya turun di Stasiun paling ujung yaitu Stasiun Jeondae-Everland. Nah dari Stasiun ini, kami keluar dan pergi ke halte bus untuk naik Bus gratisan yang akan mengantarkan kami menuju Everland. Pilihan transportasi seperti ini adalah pilihan yang paling ekonomis dan tidak terlalu repot. Mudah kok, tanda jalan dan petunjuk arahnya jelas. Hampir tidak mungkin kita salah halte bus atau naik bus yang salah ;). Kami naik bus tersebut sampai depan Everland persis.

Everland (에버랜드) merupakan taman hiburan outdoor yang dimiliki oleh Samsung. Kenapa kami memilih Everland dibandingkan Lotte World? Keduanya sama-sama besar dan dimiliko oleh konglomerat Korea Sekalan. Tapi Everland memiliki kebun binatang juga di dalamnya. Negatifnya adalah, Everland itu mayoritas atraksinya berada di luar ruangan. Nah kalau Lotte World itu atraksinya banyak juga yang di dalam ruangan jadi aman kalau kita datang di musim hujan. Kami sendiri sudah memperkirakan untuk datang ke Everland di saat cuaca sedang cerah, tidak ada hujan. Mirip seperti di Jepang, ramalan cuaca di Korea sana relatif akurat dan dapat dipercaya. Saya sendiri kurang tahu apa bedanya dengan yang di Indonesia, kok kadang saya kurang percaya. Masyarakat Korea akan siap keluar rumah membawa payung apabila lembaga ramalan cuaca mereka mengatakan bahkan hujan akan turun. Dan ajaibnya, yah hujan memang turun :’D.

Kami tiba di Everland di saat cuaca sedang sejuk tapi tak ada hujan. Suasana Everland yang asri dan kostum petugasnya yang unik, membuat tempat ini terasa spesial. Kami masuk dan melihat berbagai atraksi dari kelima zona yang ada. Pada dasarnya Everland dibagi ke dalam 5 zona yaitu Magic Land, European Adventure, American Adventure, ZooTopia dan Global Fair. Kelimanya memiliki tema dasar yang masing-masing berbeda. Kemudian tema dasar tersebut di tambahkan tema tambahan berdasarkan event yang selalu berubah. Kami datang ke sana ketika masih ada event Hallowen dan Red Flower. Jadi karnaval dan dekorasinya sebagian agak bernuansa zombie dan sebagian lagi bernuansa bunga-bunga merah. Wow, zombie? Beruntung dekorasinya tidak berlebihan sehingga anak kami tidak ketakutan di sana. Kami sendiri melihat karnaval Hallowen yang tidak nampak menyeramkan karena penuh nyanyian dan tari-tarian yang ramah anak.

Dari kelima zona yang ada, anak kami tentunya paling senang dengan ZooTopia. Zona ini pada dasarnya merupakan kebun binatang. Di sana, kami dapat melihat monyet, jerapah, gajah, burung, panda dan lain-lain. Kami dapat merasakan naik mobil amphibi yang dapat mengantarkan kami berkeliling untuk melihat binatang-binatang. Kemudian kami pun berkeliling melihat berbagai pertunjukan binatang yang ada. Pada dasarnya, ZooTopia memang berhasil memberikan beberapa hal yang tidak ada di Indonesia. Tapi kalau boleh jujur, Taman Safari Indonesia Cisarua tetap merupakan kebun binatang terbaik yang pernah saya kunjungi. Taman Safari itu lebih luas dan koleksi binatangnya lebih beraneka ragam.

Zona-zona lainnya seperti Magic Land, European Adventure, American Adventure dan Global Fair berisi berbagai atraksi permainan yang mayoritas memacu adrenalin. Wahana unggulan Everland adalah T-Express yang terdapat di Eropean Adventure. Kami sendiri hanya naik wahana yang dapat diikuti oleh anak kami yang berusia 1,8 tahun saat itu. Untunglah Everland memiliki banyak wahana yang masih dapat diikuti oleh anak kecil di bawah 2 tahun. Ini sangat berbeda dengan pengalaman kami di Universal Studio Singapore pada Wisata Singapura Hari Kedua. Wah wahana di Universal Studio Singapore sana, hampir tidak ada yang dapat dinaiki oleh anak berusia di bawah 2 tahun.

Entah mengapa, Everland hari itu nampak ramai, tapi antrian untuk masuk ke dalam wahana atau atraksi tidak terlalu lama. Jauh lebih lama kalau kami ke DuFan atau Universal Studio Singapore. Pihak Everland nampaknya berhasil membuat pengunjungnya untuk menikmati berbagai atraksi dengan waktu yang efisien. Tapi karena besarnya taman hiburan ini, kami tidak sempat menaiki semua wahana yang ada. Yahhh mungkin kapan-kapan kalau ada rejeki kami dapat berkunjung kembali ke sana.

Tak teraaa hari sudah malam dan kami pun mulai berjalan ke halte bus untuk naik bus menuju Stasiun Jeondae-Everland. Selanjutnya kami kembali berpindah-pindah jalur kereta di Stasiun Giheung dan Stasiun Wangsimni, sampai akhirnya kami turun di Stasiun Dongdaemun History & Culture Park. Kami langsung pulang ke penginapan untuk membereskan koper. Esok hari kami sudah harus pulang ke Indonesia :(.

Keeseokan harinya, kami membereskan berbagai perlengkapan yang kami gunakan di unit apartemen. Kami kemudian berpamitan dengan si pemilik via Whatsapp. Tidak perlu ada serah terima kunci fisik di sana karena akses unit apartemen tersebut menggunakan mesin ber-password. Lalu, kami menunggu Bus 6001 di Halte Bus Uljiro Co Op Residence yang berada tepat di depan apartemen.

Bus 6001 yang kami naiki, mengantarkan kami sampai ke Bandara Incheon. Sesampainya di sana, kami langsung check-in dan duduk santai sambil menunggu koper-koper kami diperiksa. Jadi, semua koper yang akan dimasukkan ke dalam bagasi, harus diperiksa dan kami harus siap menunggu di ruang tunggu sampai koper-koper kami dinyatakan lolos. Setelah koper-koper kami dinyatakan lolos, kami masuk ke dalam ruang pemeriksaan imigrasi untuk selanjutnya, masuk ke dalam area boarding walaupun waktu keberangkatan masih lama. Aaahhh di dalam sana kan banyak mainan anak san toko-toko, kami dapat bersantai di sana. Tak disangka, seketika, semua berubah menjadi keadaan yang menegangkan dan menyedihkan.

Smartphone istri saya hilang entah kemana :(. Saya sedih dan istri saya mulai berair matanya. Kok begitu? Harga smartphone tersebut bukan masalah, tapi kenangan yang ada di dalamnya yang kami sayangkan. Saat itu, otomatis kami hanya memiliki foto dan video perjalanan kami yang tersimpan di smartphone saya. Padahal mayoritas foto dan video kami selama 9 hari di Korea, tersimpan di dalam smartphone istri saya. Kami memang menyimpan kenangan-kenangan tersebut di smartphone saja, bukan untuk di-upload ke social media ya. Kami tidak berniat untuk meng-upload foto-foto wisata Korea kami di social media karena kami sudah bosan dengan social media, sudah bukan jamannya lagi, hehehehe. Semua foto wisata akan kami simpan dan sebagian akan kami cetak sebagai koleksi pribadi.

Karena kami baru menyadari hilangnya smartphone tersebut sesaat setelah lolos pemeriksaan imigrasi, maka kami yakin pasti smartphone tersebut pasti hilangnya di sekitar area check in atau ruang tunggu pemeriksaan koper atau ruang pemeriksaan imigrasi. Petugas imigrasi benar-benar kaku dan tidak mengizinkan kami untuk kembali keluar dari area boarding. Kami akhirnya diminta untuk melaporkan hal ini kepada pihak Asiana Airlines, sebagai maskapai yang akan membawa kami kembali ke Jakarta.

Berdasarkan ciri-ciri yang kami berikan, pihak Asiana memperoleh konfirmasi bahwa terdapat smartphone dengan ciri-ciri seperti itu di Loket Lost & Found yang terdapat di luar area boarding. Untuk memastikan dan mengambil barang temuan di Lost & Found, tidak dapat diwakilkan, harus si pemilik langsung. Dengan didampingi oleh petugas Asiana, istri saya bernegosiasi agar dapat keluar sebentar untuk memastikan apakah smartphone miliknya benar-benar ada di Lost & Found atau tidak. Proses yang sangat lama tersebut akhirnya usai dan istri saya dapat keluar menuju Lost & Found, dengan kawalan beberapa petugas tentunya. Ternyata, smartphone istri saya memang benar-benar ada di sana. Hore! 😀

Jadi, ada penumpang lain yang menemukan smartphone tersebut di ruang tunggu pemeriksaan koper. Beruntung penumpang tersebut jujur dan memberikannya kepada petugas bandara. Beruntung juga, petugas bandaranya jujur dan melaporkan hal ini kepada Lost & Found. Beruntung pangkat tiga, pihak Asiana sangat membantu kami dalam menghadapi semua proses ini. Sudah pesawatnya bagus, pelayanannya ok, sangat support terhadap masalah penumpangnya pula, Asiana benar-benar recommended lah pokoknya. Tak habis-habisnya kami berterima kasih kepada petugas Asiana Air yang hari itu membantu kami :D.

Kalau hal ini kejadian di Indonesia, wah tak tahulah bagaimana jadinya. Apalagi smartphone istri saya termasuk smartphone yang relatif baru dirilis kala itu. Awalnya saya agak pesimis karena saya masih ingat pengalaman buruk saya ketika kehilangan blackberry di Tembok Cina. Dimanapun berada, kita memang tetap harus waspada dan konsentrasi terhadap barang-barang bawaan kita. Keberadaan batita di dalam rombongan keluarga kecil kami memang memberikan tantangan lebih dan membutuhkan konsentrasi ekstra. Tapi kepergian kami tentunya tidak akan lengkap tanpa kehadiran bayi mungil kami. Tantangan kami untuk bepergian wisata seperti ini nampaknya akan meningkat karena setelah kami mendarat di Jakarta, istri saya ternyata mual-mual. Apakah ia sakit? Pada Hari Keempat Wisata Korea – Gunung Seorak & Naksansa, diakhir perjalanan kami menduga bahwa naik Gunung Seorak membuat ia kelelahan dan periode menstruasinya bergeser. Ahhhh ternyata kami salah, ia memang kelelahan dan itu menyebabkan muncul flek. Flek karena ternyata selama perjalanan ini, istri saya sudah 1,5 bulan mengandung anak kedua kami. Wwwuuuuuihhhhh, sebuah kejutan yang menyenangkan. Mungkin beberapa tahun ke depan, kami akan bepetualang lagi dengan tambahan 1 lagi bayi di dalam rombongan kami. Sampai jumpa di lain kesempatan hohohoohooho.

Baca juga:
Persiapan Wisata Korea 2017
Ringkasan Objek Wisata Korea Selatan
Hari Pertama Wisata Korea – Incheon, Namsan Tower & K Star Road
Hari Kedua Wisata Korea – Naminara Republic, Petite France & The Garden of Morning Calm
Hari Ketiga Wisata Korea – Ihwa, Ewha, Itaewon & Banpo
Hari Keempat Wisata Korea – Gunung Seorak & Naksansa
Hari Kelima Wisata Korea – One Mount Snow Park, The War Memorial of Korea & Myeong-dong
Hari Keenam Wisata Korea – Gyeongbokgung, Bukchon & Changdeokgung
Hari Ketujuh Wisata Korea – Gwangjang & Cheonggyecheon

Hari Ketujuh Wisata Korea – Gwangjang & Cheonggyecheon

Setelah kemarin pergi ke era kekuasaan dinasti Joseon pada Hari Keenam Wisata Korea – Gyeongbokgung, Bukchon & Changdeokgung, di hari ketujuh ini objek wisata tujuan kami agak longgar dan bebas. Tujuan utama kami hanya 2 yaitu Pasar Tradisional Gwangjang dan Cheonggyecheon Stream. Kami pun dapat bangun agak siang. Istri saya menyetrika beberapa baju dan membuat sarapan plus bekal. Kemudian kami berangkat menuju Stasiun Dongdaemun History & Culture Park. Dari sana kami naik Kereta Seoul Metro jalur 5 (ungu) arah Stasiun Euljiro 4(sa)ga untuk turun di Stasiun Euljiro 4(sa)ga. Kami kemudian keluar melalui Exit 4 dan berjalan sedikit menuju Pasar Gwangjang.

Pasar Gwangjang (광장시장) merupakan salah satu pasar tradisional terbesar dan tertua di Korea. Pasar ini dibangun sebagai reaksi warga lokal atas dikuasainya Pasar Namdaemun oleh Jepang pada masa penjajahan. Pasar Namdaemun sendiri merupakan pasar tradisional tertua di Korea yang didirikan di era Raja Gojong dari dinasti Joseon. Tapi lokasinya di sekitar Sungnyemun, dekat Seoul Station. Karena kami menginap di daerah Dongdaemun, tentunya Pasar Gwangjang akan sangat dekat bagi kami. Pasar Gwangjang ini dahulu kala sempat diberinama Pasar Dongdaemun dan merupakan pasar pertama di Korea yang memikiki bangunan permanen.

Berbeda dengan mall atau pertokoan modern Korea, Pasar Gwangjang memiliki bentuk yang lebih tradisional, namun tetap bersih dan tidak bau. Pasar tersebut menjual aneka ragam makanan ringan khas Korea, bahan makanan segar, obat tradisional Korea, souvenir, tekstil dan lain-lain. Selain bentuk pasarnya, yang nampak beda di sana adalah keberadaan kaki lima yang menjual bindaetteok dan mayak gimbap. Saya kurang tahu kehalalan makanan tersebut, yang pasti sekilas bahan-bahan yang dipergunakan adalah sayuran.

Kami sendiri tidak makan apa-apa di sana. Kami membeli aneka makanan ringan khas Korea dan hampir membeli hanbok anak-anak di sana. Di Pasar Gwangjang terdapat aneka hanbok yang bagus. Barang-barang yang sifatnya tradisional memang bagus-bagus di sana. Tapi harganya belum tentu bagus juga yaaa hehehehe. Berbeda dengan Cina dan Indonesia, tawar menawar tidak terlalu disukai oleh pedagang lokal. Pedagang lokal Korea memang tidak seketat Jepang yang menganut fixed price, kami biasanya hanya dapat menawar sedikit di sana. Hal ini berlaku kecuali di Itaewon. Harga bukaan di sana saja sudah miring, bisa ditawar lagi pula hehehe. Itulah mengapa, kami memutuskan untuk kembali berkunjung ke Itaewon setelah kami selesai berwisata di Gwangjang. Toh kami hanya kurang membeli souvenir saja kok, hal itu banyaknya memang di Itaewon. Kami batal ke Pertokoan Insadong siang itu. Perjalanan kami kali ini agak melenceng dari itenari yang saya susun pada Persiapan Wisata Korea 2017.

Dari Pasar Gwangjang, kami kembali berjalan menuju Stasiun Euljiro 3(sam)ga untuk naik Kereta Seoul Metro jalur 3 (oranye) arah Stasiun Chungmoro untuk turun di Stasiun Yaksu. Dari Stasiun Yaksu, kami naik Kereta Seoul Metro jalur 6 (coklat) arah Stasiun Samgaki untuk turun di Stasiun Itaewon.

Kami keluar dari Stasiun dan langsung bertemu dengan pertokoan Itaewon yang dipadati turis-turis asing. Di sana, kami membeli souvenir yang bagus-bagus dengan harga yang relatif miring ;D. Di sana pulalah kami dapat dengan lebih leluasa makan siang dan jajan karena mayoritas makanan di Itaewon, halal. Perjalanan jajan dan belanja kami di Itaewon berlangsung cepat karena kami sudah pernah ke sana pula pada Hari Ketiga Wisata Korea – Ihwa, Ewha, Itaewon & Banpo. Waktu masih banyak nih, matahari masih bersinar dengan terangnya. Masa langsung ke Cheonggyecheon Stream sih? Cheonggyecheon Stream nampak bagus di sore atau malam hari.

Dari Itaewon, kami akhirnya memutuskan ke Myeong-dong untuk kembali membeli oleh-oleh pernak-pernik K-Pop. Barang-barang di pertokoam Itaewon memang relatif murah, tapi tidak semuamuanya ada di Itaewon. Ada hal-hal tertentu yang dapat lebih mudah diperoleh di Myeong-dong atau Dongdaemun atau Gwangjang. Kami kemudian kembali berjalan menuju Stasiun Itaewon untuk naik Kereta Seoul Metro jalur 6 (coklat) arah Stasiun Samgaki untuk turun di Stasiun Samgaki. Dari Stasiun Samgaki, kami naik Kereta Seoul Metro jalur 4 (biru muda) arah Seoul Station untuk turun di Stasiun Myeong-dong.

Kami berputar-putar sejenak melihat dan membeli hal-hal yang kurang saya pahami hehehehe :’D. Kebanyakan barang-barang keperluan perempuan dan pernak-pernik K-Pop. Kami tidak terlalu lama di Myeong-dong karena istri saya sepeetinya sudah memiliki target mau belanja di mana saja.

Keluar dari pertokoan Myeong-dong, hari sudah mulai sore. Inilah waktu yang tepat untuk pergi menuju Cheonggyecheon Stream. Kami berjalan menuju Stasiun Myeong-dong untuk naik Kereta Seoul Metro jalur 2 (hijau) ke arah Stasiun Chungmoro untuk turun di Stasiun Chungmoro. Dari Stasiun Chungmoro, kami naik Kereta Seoul Metro jalur 3 arah Stasiun Euljiro 3(sam)ga (biru muda) untuk turun di Stasiun Euljiro 3(sam)ga. Perjalanannya terkesan pendek-pendek, tapi kalau dilakikan dengan jalan kaki ya pasti kami tidak kuat. Naik taksi? Aaahhh sayang uangnya, lebih baik uangnya untuk yang lain hehehe.

Dari Exit 4 Stasiun Euljiro 3(sam)ga, kami kemudian berjalan sedikit ke utara sampai bertemu dengan bagian tengah dari Cheonggyecheon Stream.
Awalnya, Cheonggyecheon Stream (청계천) merupakan drainase yang dibangun di era dinasti Joseon. Kemudian, seiring dengan berjalannya waktu, drainase ini terlupakan sampai tertutup oleh jalan raya bertingkat. Pada tahun 2005, Pemerintah Kota Seoul melakukan restorasi dengan membongkar jalan raya bertingkat yang menutup drainase tersebut. Gile bener, jalan raya bisa-bisanya dibongkar demi sebuah sungai, jalan raya tingkat 2 pula O_O. Pemerintah tidak hanya merestorasi, mereka pun mempercantik drainase tersebut dengan bentuk bersusun yang unik. Sebuah bentuk aliran air yang sekarang sudah ditiru di dekat Balai Kota Jakarta.

Aliran air sepanjang 8,4 km ini tak mungkin kami jelajahi semua pada sore itu. Karena bagian ujung barat sungai tersebut lebih populer dan memiliki pemandangan yang khas, maka kami memilih untuk menyusuri Cheonggyecheon Stream ke arah barat. Sepanjang sungai kami melihat artis jalanan yang kreatif dan menghibur. Jalanan nampak sedikit remang-remang dan aman karena banyak juga orang lalu-lalang di sana. Suasananya cukup romantis dan tak heran kalau lokasi ini digunakan oleh muda-mudi Korea untuk berjalan-jalan santai.

Semakin dekat ke bagian ujungnya, semakin banyak lampu hias dan dekorasi di bagian atas sungai. Dekorasi-dekorasi ini berubah-rubah seiring dengan berjalannya waktu. Ketika rekan kami ke sana, dekorasinya berupa kertas-kertas beetuliskan sesuatu dalam tulisan hangul. Ketika kami ke sana, dekorasinya sudah berubah menjadi deretan payung-payung cantik. Pada bagian paling ujung, terdapat air terjun dan wishing well yang unik. Di sana, kami iseng-iseng melempar koin agar masuk ke dalam wiahing well :D. Setelah beberapa percobaan yang berhasil, kami naik ke atas, ke jalan raya dan berjalan menuju Exit 5 Stasiun Gwanghwamun.

Dari Stasiun Gwanghwamun, kami naik Kereta Seoul Metro jalur 5 (warna ungu) arah Stasiun Jongno 3(sam)ga untuk turun di Stasiun Dongdemun History & Culture Park. Kami langsung berjalan pulang menuju penginapan kami yang terletak tak jauh dari Stasiun. Esok hari akan menjadi hari yang panjang. Kami akan berkelana sedikit keluar kota pada Hari Kedelapan & Kesembilan Wisata Korea – Everland & Incheon, sebuah tujuan yang tentunya akan membuat putri kami senang :).

Baca juga:
Persiapan Wisata Korea 2017
Ringkasan Objek Wisata Korea Selatan
Hari Pertama Wisata Korea – Incheon, Namsan Tower & K Star Road
Hari Kedua Wisata Korea – Naminara Republic, Petite France & The Garden of Morning Calm
Hari Ketiga Wisata Korea – Ihwa, Ewha, Itaewon & Banpo
Hari Keempat Wisata Korea – Gunung Seorak & Naksansa
Hari Kelima Wisata Korea – One Mount Snow Park, The War Memorial of Korea & Myeong-dong
Hari Keenam Wisata Korea – Gyeongbokgung, Bukchon & Changdeokgung
Hari Kedelapan & Kesembilan Wisata Korea – Everland & Incheon

Hari Keenam Wisata Korea – Gyeongbokgung, Bukchon & Changdeokgung

Setelah pada Hari Kelima Wisata Korea – One Mount Snow Park, The War Memorial of Korea & Myeong-dong kami mengunjungi jejak Perang Korea, pada hari keenam petualangan kami ini, kami mengunjungi beberapa jejak peninggalan Korea di era feodal. Jauh sebelum Korea terpecah 2 akibat perang ideologi, Korea dikuasai oleh satu atau beberapa kerajaan. Hari itu kami akan mengunjungi Istana Gyeongbokgung, Kampung Hanok Bukchon dan Istana Changdeokgung.

Kami memulai hari itu pagi-pagi sekali. Setelah sarapan, kami pergi keluar penginapan menuju Stasiun Dongdaemun History & Culture Park. Dari sana, kami naik Kereta Seoul Metro jalur 5 (ungu) ke arah Stasiun Euljiro 4(sa)ga untuk turun di Stasiun Gwanghwamun. Kami kemudian berjalan cukup panjang untuk keluar di Exit 9. Kenapa kok Exit 9 yang agak jauh? Keluar dari Exit 9, kami langsung berada di tengah-tengah area Gwanghwamun Square, tak pakai acara menyeberang, langsung di tengah ;).

Gwanghwamun Square (광화문광장) merupakan area hijau di seberang Istana Gyeongbokgung. Di sana terdapat patung raksasa dari Laksamana Yi Sun-Shin (이순신) dan Raja Sejong (세종대왕). Nama Raja Sejong sudah sangat terkenal. Tapi, siapa pula Yi Sun-Shin itu? Sekilas ia seperti salah satu panglima perang Tiongkok pada film Red Cliff :’D. Ternyata, Yi Sun-Shin merupakan pahlawan nasional Korea yang memimpin peperangan di laut pada era Perang Imjin atau Perang 7 Tahun melawan Jepang. Ketika Korea menolak untuk memberikan jalan bagi Jepang untuk menginvasi Cina, Jepang melakukan serangan darat dan laut ke dalam wilayah Korea. Mayoritas wilayah darat Korea dapat dengan mudah dikuasai. Berkat kepemimpinan Laksamana Yi Sun-Shin, wilayah laut Korea sulit untuk dikalahkan. Armada Jepang bahkan akhirnya mundur dan dinyatakan kalah. Kisah kepahlawanan Yi Sun-Shin ini ternyata sudah beberapa kali di angkat ke layar kaca, sayanya saja yang kurang gaul nih hohoho.

Lantas, apakah Raja Sejong ada hubungannya juga dengan Perang 7 Tahun? Raja Sejong merupakan raja keempat dari Dinasti Joseon yang bertahta jauh sebelum Jepang menginvasi Korea. Ia merupakan raja yang sangat terkenal karena kemajuan ilmu pengetahuan Korea di era pemerintahaanya. Aksara Korea yang di sebut hangeul merupakan hasil karyanya yang termashur. Itulah mengapa di depan patung Raja Sejong yang terletak di Gwanghwamun Square, terdapat patung yang menggambarkan alfabet hangeul, bola dunia selestial, alat pengukur hujan dan jam bayangan matahari. Keempatnya merupakan simbol kemajuan Korea di era Raja Sejong.

Kami mengamati patung-patung tersebut disela-sela tenda putih yang sedang dipasang. Pagi itu, terdapat bazar atau eksebisi yang baru saja buka di Gwanghwamun Square. Karena semua dalam tulisan dalam tulisan hangeul, kami kurang paham itu acara apa. Di sana, mereka menjual aneka makanan kecil dan minuman ringan. Kemudian terdapat pula video games virtual reality di pasang di sana. Entah apa maksudnya, kami memilih untuk berjalan ke arah Istana Gyeongbokgung.

Kami tidak langsung masuk ke dalam Gyeongbokgung karena kami ingin mencari tempat penyewaan hanbok. Whoaaw, apa itu hanbok? Baju hanbok merupakan baju tradisioanal Korea yang dapat disaksikan pada beberapa drama Korea berlatar belakang dinasti Joseon. Tentunya akan menjadi sebuah pengalaman yang seru kalau kami dapat berkeliling Istana menggunakan baju tradisional tersebut. Sebenarnya, kami bisa saja mem-booking hanbok sejak di Indonesia, tapi lokasi penyewaan dan perhitungan waktu membuat kami batal melakukan booking. Kami memilih untuk mencari penyewaan hanbok yang lokasinya dekat dengan pintu gerbang Gyeongbokgung di hari kedatangan saja ;). Saya sadar, resikonya adalah kami gagal menyewa hanbok yang keren ;). Di dalam kompleks Istana Gyeongbokgung, terdapat menyewaan hanbok gratis. Tapi yaaaaa, ada harga, ada rupa, bentuk hanboknya kurang bagus :’D.

Kami terus berjalan ke arah barat Gyeongbokgung dan menemukan jejeran gerai penyewaan habok, tepatnya di sekitar Jahamun-ro 2-gil. Aaaahhh, ternyata banyak penyewaan habok di sana, tak perlu pakai acara booking lewat online. Di sana, kami dapat mendapatkan banyak pilihan hanbok yang siap untuk disewa. Ada tipe hanbok klasik dan tipe modern, semuanya bagus-bagus loh, tinggal pilih sesuai selera ;).

Di dalam penyewaan hanbok, kita hanya dapat mencoba 2 hanbok saja. Kemudian, pada 1 paket biasanya kita memperoleh juga pelayanan make-up dan hair stylist. Sepatu, tas dan aksesoris tambahan lainnya, biasanya tidak termasuk ke dalam paket. Kita harus membayar biaya tambahan bila ingin menambahkan aksesoris. Saya pribadi menggunakan sepatu Wakai yang sudah saya bawa dari rumah. Bentul dan modelnya masih cocoklah kalau bertemu dengan hanbok. Oh yaaa, hanbok itu bukan hanya milik wanita loh, kaum Adam juga ada versi hanboknya. Kalau canggung menggunakan hanbok, terdapat pula kostum pejabat negara atau kaisar di sana. Namun saya pribadi pernah menyewa kostum pejabat negara atau kaisar ketika berkunjung ke Tembok Cina beberapa tahun yang lalu. Aaahh, bentuknya mirip, tak jauh berbeda. Itulah mengapa saya memilih mengenakan hanbok laki-laki ketimbang baju kaisar atau pejabat kerjaan ;).

Penyewaan hanbok biasanya dihitung per-jam dan kita biasanya diharuskan membayar 2 jam pertama di muka plus uang deposit. Kami pun memperoleh loker untuk menitipkan barang bawaan kami. Tidak seru juga kan kalau menggunakan hanbok sambil menggendong tas-tas ransel. Selain berat, hambok juga bisa kusut atau rusak. Kerusakan akibat penggunaan bisa dipotong dari uang deposit yang kita bayar di muka loh.

Kami bertiga berjalan keluar menuju Istana tanpa rasa malu karena menggunakan hanbok bukanlah hal aneh di sana. Kami berjalan menyusuri penyewaan hanbok yang berada di sekitar dinding barat Gyeongbokgung. Semakin siang, semakin banyak yang terlihat buka. Menjamurnya bisnis penyewaan hanbok di sekitar Istana Gyeongbokgung, Kampung Hanok Bukchon dan Istana Changdeokgung sebenarnya tak lepas dari usaha Pemerintah untuk melestarikan budayanya. Siapa saja yang datang dengan menggunakan hanbok, diperbolehkan gratis masuk ke dalam beberapa Istana yang tersebar di dalam Kota Seoul. Program pemerintah Korea Selatan ini dapat dibilang berhasil karena selain memberikan bisnis baru bagi masyarakat lokal, kaum muda Korea pun ada yang ikut menggunakan hanbok di sekitar area Istana. Kapan yah Indonesia bisa seperti ini? 😀

Kami tiba di Gerbang Gwanghwamun, gerbang utama Istana Gyeongbokgung, pada sekitar pukul 10 siang. Pada sekitar jam inilah biasanya terdapat atraksi pergantian penjaga ;). Pergantian penjaga ini diawali dengan bunyi gong yang besar. Kami melihat sekumpulan penjaga, lengkap dengan atributnya berbaris dan melakukan serangkaian atraksi dengan senjata mereka :D.

Setelah pergantian penjaga berakhir, kami dapat berfoto dengan komandan penjaga yang membawa rantai dan golok hohohoho. Di sana, kami pun menjadi objek foto bersama, oleh backpaker-backpaker asal Indonesia yang tidak tahu perihal sewa menyewa hanbok :’D. Setelah menginformasikan tempat menyewaan hanbok, kami berpisah dengan mereka, dan kami berjalan ke dalam area Kompleks Istana Gyeongbokgung yang luas ;).

Istana Gyeongbokgung (경복궁) adalah istana terbesar dari 5 istana yang pernah dibangun pada era Dinasti Joseon. Istana megah ini dibangun pada tahun 1935 dan sempat hancur pada era Perang Imjin, invasi Jepang di tahun 1500-an. Istana ini kemudian direstorasi lagi oleh Raja Gojong hingga sebagian bentuknya masih dapat kami saksikan saat itu. Setelah era Raja Gojong, terdapat beberapa perubahan karena Jepang melakukan perombakan terhadap Gyeongbokgung ketika mereka berhasil menjajah Korea pada tahun 1900-an.

Bentuk istana di Seoul ini agak berbeda dengan istana-istana di Jepang yang bentuknya vertikal ke atas. Saya rasa bentuk istana milik Korea lebih mirip dengan istana milik Cina yang melebar dengan banyak pintu di mana-mana. Korea di era feodal memang banyak dipengaruhi oleh dinasti Ming dan Qing dari Cina.

Kami berputar-putar kompleks istana mengagumi keindahan arsitektur khas Korea yang ada di depan mata. Istana ini luas sekali sehingga pengunjung tidak perlu berdesak-desakan seperti pada Hari Ketiga Membawa Bayi Ketika Wisata Bangkok & Pattaya di Bangkok dulu :’D. Di sana banyak sekali ruangan dan pintu-pintu unik yang indah. Pada bagian tengah, terdapat ruangan tempat raja bertahta. Ruangan tersebut tidak terlalu besar, tapi nampak beda dan keren, seperti di film-film kerajaan.

Ketika kami berjalan-jalan di sana, Istana Gyeongbokgung dikunjungi pula oleh satu atau dua rombongan dharmawisata sekolahan. Bisa dibilang ini adalah record kami melihat gerombolan anak-anak selama di Korea. Negeri tersebut angka kelahirannya memang sangat kecil sehingga jumlah anak-anak di sana dikabarkan terus menurun. Anak kami sendiri, dengan riangnya berlari-lari dengan hanboknya, di dalam kompleks istana :). Dengan banyaknya pengunjung yang berpakaian hanbok ke sana, kami seperti sedang benar-benar berkunjung ke Istana Gyeongbokgung di masa lampau.

Setelah selesai berputar-putar di bagian depan dan tengah kompleks, kami menemukan National Folktale Museun pada halaman belakang Istana. Di sana, terdapat berbagai alat-alat yang masyarakat Korea pernah gunakan di masa lampau. Kami tidak terlalu lama di sana karena keterbatasan waktu, masih banyak objek wisata yang hendak kami kunjungi.

Kalau ke arah belakang istana lagi, wilayah di seberang tembok belakang istana tepatnya, terdapat Cheong Wa Dae atau Blue House. Rumah tradisional Korea bergenting biru ini merupakan kediaman resmi presiden Korea Selatan. Namun karena kepergian kami ke Seoul memang agak singat waktu persiapannya, kami tidak meneruskan untuk berkunjung ke Blue House. Untuk masuk ke dalam Blue House, kita diharuskan mengisi form di situs resmi kepresidenan paling tidak 3 minggu sebelum rencanan kedatangan. Wah, rumit, sudahlah, kapan-kapan saja kalau ada kesempatan ;).

Dari Istana Gyeongbokgung, kami kembali ke tempat penyewaan hanbok untuk berganti pakaian dan mengambil barang bawaan kami. Demi efisiensi waktu dan biaya, kami memilih untuk menggunakan baju biasa saja pada kunjungan kami ke Kampung Hanok Bukchon dan Istana Changdeokgung ;). Dari tempat penyewaan, kami berjalan ke arah timur, menyusuri Yukgok-ro, arah tempat Kampung Hanok Bukchon dan Istana Changdeokgung berada. Di tengah-tengah perjalanan, kami berhenti di sebuah halte bus untuk menyantap bekal dan mengganti popok anak kami hehehehe. Setelah itu, kami kembali berjalan menyusuri trotoar Kota Seoul yang ramah pejalan kaki. Dengan bantuan GPS, kami akhirnya tiba di Istana Changdeokgung. Loh? Bukankah Kampung Hanok Bukchon berada diantara Istana Gyeongbokgung dan Istana Changdeokgung? Betul, tapi lokasi Kampung Hanok Bukchon agak berbelok ke utara, sedangkan untuk menuju Istana Changdeokgung kami dapat dengan mudahnya berjalan lurus mengikuti Yukgong-ro saja. Selain itu, Istana Changdeokgung ada jam tutupnya, sedangkan Kampung Hanok Bukchon tak ada jam tutupnya. Kami masih dapat mengunjungi Kampung Hanok Bukchon di sore hari.

Kami tiba di Istana Changdeokgung sekitar pukul 1 siang. Istana ini relatif lebih sepi dibandingkan Gyeongbokgung. Ketika kami tiba di sana, sebagian besar pengunjung pun tidak menggunakan hanbok, sedikit berbeda dengan kondisi di Gyeongbokgung. Kami sendiri memasuki Istana Changdeokgung dengan membayar tiket karena kami sudah tidak menggunakan hanbok lagi di sana.

Istana Changdeokgung (창덕궁) merupakan salah satu istana yang paling disukai oleh keluarga kerajaan. Istana ini memang bukan pusat pemerintahan, tapi keadaannya yang lebih menyatu dengan alam, membuat para putri raja betah untuk tinggal di sana. Raja Sujong, raja terakhir dinasti Joseon, hidup di dalam istana ini sampai ajal menjemputnya. Bahkan sampai saat ini, anak dan keturunan Raja Sujong masih tinggal di dalam salah satu bagian dari istana ini. Apa istimewanya Istana Changdeokgung? Arsitektur dan dekorasi dari istana ini sangat mirip dengan Istana Gyeongbokgung. Bangunan istana utamanya sendiri sebenarnya tidak terlalu luas, tapi kompleks istana tersebut jadi nampak luaaaas karena menjadi satu dengan Kuil Jongmyo dan Huwon.

Kuil Jongmyo (종묘) merupakan salah satu kuil Konfusius tertua di dunia. Sebagai penguasa yang berkepercayaan Konfusianisne, raja dan ratu dinasti Joseon menyimpan tablet-tablet memorial mereka di dalam ruangan-ruangan yang terdapat di dalam kuil tersebut. Praktis semua upacara keagaaman yang berhubungan dengan nenek moyang keluarga kerjaan dipusatkan di kuil ini. Kami melihat banyak sekali ruangan-ruangan kecil tempat menyimpan tablet, di dalam area kuil tersebut. Konon, dahulu ruangannya lebih panjang dan banyak. Tapi sebagian sudah dihancurkan Jepang untuk membangun jalan. Kemudian, di sana terdapat pula rumah-rumah hanok yang dulu dijadikan tempat tinggal para pemuka agama. Rumah-rumah hanok tersebut agak memanjang dengan banyak kamar dengan halaman atau taman kecil di tengah, lebih mirip seperti penginapan dibandingkan rumah.

Huwon adalah sebuah taman di belakang istana yang terdiri dari pepohonan, kolam dan pendopo-pendopo khas dinasti Joseon. Di sanalah keluarga kerjaan biasa berkumpul, belajar, bermeditasi dan mengadakan perjamuan makan malam. Ada suatu masa di mana hanya raja yang boleh memasuki taman ini, sehingga taman ini disebut juga Biwon atau Taman Rahasia. Untuk memasuki Huwon, kita harus didampingi oleh pemandu wisata resmi sesuai jadwal yang ada. Karena kami tiba di sana di waktu yang kurang tepat, maka kami memutuskan untuk tidak masuk ke dalam Huwon. Kami tiba di saat sebuah rombongan baru memasuki Huwon. Kami harus menunggu rombongan berikutnya untuk masuk, wahh pasti lama ini. Kalau dari luar sih, terlihat bahwa dedaunan di dalam sana masih hijau, belum berubah warna. Andaikan kami tiba di tengah-tengah musim semi, kami akan menunggu dan mengantri untuk masuk ke dalam Huwon.

Kalau saya lihat, keberadaan Huwon dan Kuil Jongmyo jelas membuat keluarga raja senang tinggal di Istana Changdeokgung. Itulah mengapa, pihak kerajaan terus menerus merestorasi istana ini walaupun istana tersebut pernah hancur pada invasi Jepang, penyerangan Manchu dan insiden internal Korea. Keberadaan tablet nenek moyang membuat keluarga merasa lebih dekat dengan keluarga yang telah wafat. Keberadaan taman dan lingkungan yang asri, membuat istana terasa lebih teduh.

Setelah selesai berwisata di di Istana Changdeokgung, kami berjalan ke arah barat laut menuju Kampung Hanok Bukchon. Kalau di peta sih, masuknya ke daerah Bukchon-ro 11-gil. Tempatnya memang agak masuk ke dalam jalan yang sempit. Kami sempat beberapa kali memperoleh petunjuk jalan yang salah dari warga lokal. Bagi teman-teman yang hendak berkunjung ke Kampung Hanok Bukchon, sebaiknya percaya saja kepada GPS dalam hal ini. Banyak warga lokal yang kurang paham bahasa Inggris :’D.

Kampung Hanok Bukchon (북촌한옥마을) sudah ada sejak 600 tahun yang lalu. Daerah ini dulunya merupakan tempat tinggal pejabat dan bangsawan dari dinasti Joseon. Lebar jalan yang kecil memang menggambarkan keadaan perkampungan Korea di era feodal. Tapi rumah-rumah yang agak kecil sebenarnya merupakan hasil dari penjajahan Jepang pada tahun 1900-an. Untuk memecah dan merusak martabat dinasti Joseon, Jepang membagi-bagi rumah yang pada awalnya besar, menjadi kecil-kecil. Yaaah, pada dasarnya, Jepang-lah yang mengakhiri kekuasaan dinasti Joseon di Korea Selatan. Setelah dinasti tersebut runtuh, praktis runtuh pulalah era feodal di Korea Selatan.

Kami tiba di Kampung Hanok Bukchon sekitar pukul setengah empat sore. Sinar matahari sudah tidak terlalu terasa panas dan angin musim semi bertiup cukup kencang saat itu. Kampung Hanok Bukchon pun tidak terlalu padat :D. Kami mengelilingi area yang penuh dengan rumah tradisional Korea tersebut dengan tetap menjaga ketertiban dan kebersihan karena rumah-rumah yang ada di sana bukan rumah-rumahan. Rumah-rumah tersebut masih dijadikan tempat tinggal oleh warga Korea. Beberapa rumah ada yang dijadikan penginapan dan restoran, tapi bentuk aslinya tetap tidak diubah sehingga bentuknya yaa tetap seperti rumah, tidak seperti toko modern. Karena keasliannya, area ini berhasil memberikan atmosfer perkampungan di era dinasti Joseon. Apalagi ketika terdapat pengunjung berpakaian hanbok lalu lalang di sana.

Sebenarnya, terdapat 2 kampung hanok di Seoul, yaitu Kampung Hanok Bucheon dan Kampung Hanok Namsagol. Keduanya sama-sama terdiri dari rumah-rumah tradisional Korea yang disebut hanok. Hanya saja, Kampung Hanok Namsagol bukanlah tempat tinggal seperti yang Kampung Hanok Bucheon miliki. Hanok-hanok yang Kampung Hanok Namsagol miliki, khusus dibangun pada tahun 1998 untuk memperlihatkan budaya Korea di masa lampau. Kampung Hanok Namsagol tentunya lebih luas dan lebih lenggang dibandingkan dengan Kampung Hanok Bucheon, tapi lokasi yang kurang pas dengan itenari kami dan kekurang-original-an, membuat kami memilih untuk berkunjung ke Kampung Hanok Bucheon saja. Toh lokasi diantara 2 istana yang menjadi tujuan kami di hari tersebut. Pilihan ini tentunya lebih efisien dari segi waktu.

Dari Kampung Hanok Bucheon, kami kembali berjalan ke arah Stasiun Anguk dengan bantuan GPS. Dari sana, kami naik Kereta Seoul Metro jalur 3 (oranye) arah Stasiun Jongno 3(sam)ga untuk turun di Stasiun Jongno 3(sam)ga. Kemudian kami naik Kereta Seoul Metro jalur 5 (ungu) arah Stasiun Euljiro 4(sa)ga untuk turun di Stasiun Dongdaemun History & Culture Park.

Karena hari belum terlalu malam, maka kami kembali berjalan-jalan di pertokoan dan pusat perbelanjaan yang ada di daerah Dongdaemun. Yaaahh inilah keuntungan dari menginap di dekat pusat perbelanjaan ;). Kami pun kembali mampir di pedagang kaki lima sushi yang hampir setiap malam kami kunjungi hehehehe. Setelah makan malam, kami bermaksud mencari baju anak dan menemukan baju-baju berbentuk aneh. Sebenarnya kami sudah melihat ini selama di Seoul tapi baru kali ini kami melihat dengan jelas bahwa baju tersebut adalah baju anjing :’D. Selama di Seoul kami memang sering melihat anjing-anjing lucu yang berjalan menggunakan baju dan aksesoris layaknya manusia. Pemilik anjing-anjing tersebut adalah kaum muda Korea. Melihat menurunnya jumlah bayi dan angka kelahiran di sana, apakah kaum muda Korea beralih ke anjing? Apakah mereka lebih memilih memiliki anjing sebagai pengganti bayi yang sulit mereka miliki? Berdasarkan obrolan saya dengan salah satu warga lokal, ia menganggap bahwa menikah dan memiliki anak itu mahal. Siapa sih yang tak ingin punya anak. Sayang biaya hidup di Korea itu tak murah. Akhirnya, kaum muda sana lebih memilih memundurkan usia menikah mereka. Setahu saya, semakin tua usia kita, semakin sulit memiliki anak. Wah jadi ingat film The Boss Baby (2017). Sekejap, film tak masuk akal tersebut, menjadi sangat masuk akal.

Setelah lelah dan mengantuk, kami berjalan pulang ke penginapan dan langsung beristirahat. Esok hari akan menjadi hari yang lebih santai karena tujuan wisatanya jauh lebih sedikit pada Hari Ketujuh Wisata Korea – Gwangjang & Cheonggyecheon. Hal ini memang disengaja karena kami membawa anak di bawah 2 tahun. Tidak mungkin kalau setiap hari kami berangkat pukul 7 pagi.

Baca juga:
Persiapan Wisata Korea 2017
Ringkasan Objek Wisata Korea Selatan
Hari Pertama Wisata Korea – Incheon, Namsan Tower & K Star Road
Hari Kedua Wisata Korea – Naminara Republic, Petite France & The Garden of Morning Calm
Hari Ketiga Wisata Korea – Ihwa, Ewha, Itaewon & Banpo
Hari Keempat Wisata Korea – Gunung Seorak & Naksansa
Hari Kelima Wisata Korea – One Mount Snow Park, The War Memorial of Korea & Myeong-dong
Hari Ketujuh Wisata Korea – Gwangjang & Cheonggyecheon
Hari Kedelapan & Kesembilan Wisata Korea – Everland & Incheon