Serial The Legend of the Condor Heroes Versi 2017

Ketika masih kecil dulu, saya suka menonton film kungfu. Saya masih belum mengerti istilah wuxia pada saat itu. Singkat kata, wuxia merupakan film-film tiongkok yang menunjukkan pertarungan ilmu bela diri dengan kekuatan meringankan tubuh, ilmu tenaga dalam dan hal-hal lainnya yang bersifat fantasi. Petualangan tokoh Guo Jing pada The Legends of the Condor Heroes adalah salah satu serial wuxia yang saya coba ikuti. Namun karena penayangannya agak malam, saya sering ketiduran, ahhh susahnya.

Sebenarnya serial wuxia tersebut merupakan adaptasi dari serial novel yang ayah saya baca. Beliau memiliki serial novel-novel berbentuk kecil karangan Jin Yong atau Louis Cha Leung-yung. Novel The Legend of the Condor Heroes merupakam salah satunya. Novel ini memang merupakan bagian pertama dari trilogi condor karangan Luois yang terbit di tahun 50-an.

Kepopuleran novel tersebut membuat beberapa rumah produksi membuat adaptasi The Legend of the Condor Heroes ke dalam bentuk film seri dan film layar lebar. Untuk film serinya saja novel tersebut pernah diadaptasi berkali-kali yaitu pada tahun 1976, 1983, 1988, 1992, 1993, 1994, 2003, 2008 dan 2017. Yaitsss, sering sekali yah. Kisah ini sepertinya memang sudah sangat melekat dengan masyarakat tiongkok.

Kisah The Legend of the Condor Heroes yang saya ikuti ketika masih kecil dulu, terpotong-potong, tidak komplit. Maka saat ini saya ingin menonton lengkap sampai akhir, tapi saya lupa yang dulu saya tonton di RCTI itu versi tahun berapa. Ahhh, daripada bingung saya lebih memilih untuk menonton versi yang lebih baru saja. Kali ini saya memilih untuk menonton yang versi tahun 2017. Konon versi ini memenangkan penghargaan dan didukung oleh teknologi terkini. Katany sih terkini. Semoga lebih bagus ketimbang naga-naga-an sinetron silat Indosiar :’D.

Yang namanya adaptasi, kadang tidak 100% sama dengan versi novelnya. Saya tidak masalah dengan hal itu. Toh Louis sendiri melakukan 2 kali revisi untuk versi novelnya. Revisi yang konon membuat cerita berubah. Aneh juga ya, novel kok direvisi, memangnya skripsi :P.

Mirip seperti di novelnya, peristiwa pada The Legend of The Condor Heroes terjadi di era pertikaian antara Dinasti Jin dengan Dinasti Song. Dinasti Jin merupakan kerajaan dari bangsa Jurchen yang berasal dari wilayah Manchuria, saat ini separuh masuk RRC bagian utara dan separuh lagi masuk Rusia. Sementara itu dinasti Song merupakan kerajaan dari bangsa Han. Saat ini, Han adalah bangsa atau suku yang menjadi mayoritas penduduk RRC (republik Rakyat Cina). Apakah dengan demikian, film seri ini akan condong memihak kepada Dinasti Song?

Kita mulai dahulu dari awal. Kisah diawali ketika 2 keluarga keturunan pendekar hebat tinggal sebagai petani biasa di desa terpencil. Keluarga Yang dan Guo memiliki hubungan yang sangat dekat. Ketika istri dari kedua keluarga sama-sama hamil, maka mereka melakukan perjanjian. Bila yang lahir adalah lelaki dan wanita maka akan dijodohkan, bila yang lahir sama jenis kelaminnya maka akan diangkat menjadi saudara.

Baik keluarga Yang maupun keluarga Guo, mereka merupakan warga Song yang tinggal di wilayah Dinasyi Jin. Pada saat itu Dinasti Jin memang sedang unggul dan berhasil mengambil beberapa wilayah Song, termasuk desa tempat keluarga Guo dan Yang tinggal. Secara mengejutkan, kedua keluarga tersebut dinyatakan sebagai pemberontak tanpa bukti yang jelas. Tentara Dinasti Jin pun datang memburu kedua keluarga tersebut hingga mereka tercerai-berai. Semua terpencar dan terpisah-pisah. Hal ini mempengaruhi anak dari kedua keluarga tersebut. Masing-masing dibesarkan oleh cara dan keadaan yang sangat berbeda.

Anak dari keluarga Yang bernama Yang Kang (Chen Xingxu). Ia dibesarkan oleh pangeran keenam dinasti Jin sebagai bangsawan dinasti Jin yang kaya raya dan sangat berkuasa. Ia memiliki konflik di dalam dirinya karena secara darah ia adalah keturunan Song, tapi orang yang sudah membesarkannya adalah seorang musuh besar dari Song. Yang Kang sendiri memiliki sifat yang licik, kejam dan labil. Namun ia terbilang cerdas dan sangat berbakat. Dengan menggunakan kekuasaannya, ia berhasil berguru pada berbagai ahli beladiri ternama. Pada serial ini, perlahan saya melihat transformasi yang terjadi pada Yang Kang.

Sementara itu anak dari kelurga Guo adalah Guo Jing (Xuwen Yang). Bertolak belakang dari Yang Kang, Guo Jing justru dibesarkan di tengah-tengah gurun pasir dalam keadaan yang sangat sederhana. Sifat pendekar sejati sangat melekat pada diri Guo Jing. Ia jujur, baik hati, suka menolong dan setia kawan. Sayangnya Guo terlalu polos dan kurang cerdas. Beruntung kekurangan tersebut berhasil ditutupi oleh budi baiknya. Berbagai kebaikan yang ia lakukan berhasil membuat banyak orang kagum. Ia pun memiliki banyak kesempatan untuk mempelajari berbagai ilmu beladiri terkuat yang ada. Tak hanya itu, Guo pun terjebak di dalam cinta segitiga antara ia, putri raja Mongol, dan putri seorang ahli beladiri ternama. Semua terpukau dengan sifat baik yang Guo miliki.

Apapun yang terjadi, Guo hanya mengganggap sang putri Mongol sebagai adik. Ia hanya mencintai putri seorang ahli beladiri ternama yang bernama Huang Rong (Li Yitong). Nona Huang bisa jadi merupakan wanita terpintar di serial ini. Kejeniusannya sering kali berhasil menuntaskan konflik yang ada. Ia rela melakukan apapun demi Guo Jing. Berbagai taktik cerdas ia lakukan demi mendukung Guo. Putri raja Mongol memang baik hati, memiliki harta dan kekuasaan. Namun Huang Rong mampu membantu Guo menguasai berbagai ilmu beladiri dan staretegi perang. Tak hanya itu, berbagai misteri pada serial ini pun sering kali dipecahkan oleh Huang Rong.

Siapakaha Huang Rong sebenarnya? Ia adalah putri semata wayang dari Huang Yaoshi Si Sesat dari Timur (Michael Miu). Ia adalah salah satu dari 5 pendekar terkuat di era Dinasti Song. Bersama dengan Huang, dunia bela diri mengenal Hong Qigong Si Pengemis Utara (Zhao Lixin), Duan Zhixing Si Kaisar Selatan (Ray Lui), dan Ouyang Feng Si Racun Barat (Heizi). Mereka berlima merupakan merupakan pendekar terkuat yang mulai menua dan mengalami perubahan dalam menjalani hidup.

Perkelahian tentunya mewarnai setiap episode serial The Legend of the Condor Heroes. Adegan perkelahiannya tidak ada yang membosankan. Semua karena durasinya yang pas dan makna dibalik perkelahian tersebut. Jadi bukan hanya asal pukul tendang saja. Ada hubungannya dengan plot atau jalan cerita yang kuat.

Saya suka dengan cara serial The Legend of the Condor Heroes versi 2017 ini bercerita. Serial ini memiliki banyak sub plot yang tidak membosankan sebab sub plotnya selalu sedikit berhubungan dengan plot utama. Kemudian plot utamanya dibuat sedikit terpisah sehingga ada jeda. Dengan demikian, tidak semua episode diakhiri oleh konflik yang menggantung. Selain itu, setiap sub plot dan bagian utama dibuat sedemikian rupa sehingga memiliki kandungan misteri. Jadi, akan ada sesuatu yang membuat saya penasaran tapi tidak monoton.

Karakter Huang Rong sering kali menjadi faktor penentu dalam memecahkan misteri yang ada. Yang paling epik adalah, Huang Rong mampu membuat lawannya saling bertikai sekaligus membersihkan nama keluarganya, hanya dengan modal bicara saja.

Ilmu bela diri Huang Rong tentunya berada di bawah Guo Jin. Tapi semua kemampuan Guo ia peroleh berkat Huang yang cinta mati dengan Guo. Saya menikmati kisah bagaimana perkembangan Guo yang bodoh, perlahan-lahan memiliki ilmu bela diri yang kuat. Dari yang awalnya hanya anak kecil biasa dari padang pasir, tumbuh menjadi salah satu pendekar terkuat di era Dinasti Song.

Sayang, tidak ada pertarungan maha dahsyat antara protagonis dan antagonis pada akhir film ini, sangat berbeda dengan versi lain yang saya tonton dulu. Perkelahian yang seru justru terjadi di pertengahan serial ini berjalan. Bagian akhir serial ini diselesaikan dengan perbincangan dan negosiasi. Jangan harap untuk melihat banyak peperangan kolosal antara Dinasti Song, Jin & Mongol. Saya memiliki kesan, kok penyesaiannya seolah dibuat terburu-buru. Masih banyak ruang untuk cerita-cerita lainnya. Mungkin ini disebabkan karena pengembangan cerita berikutnya akan melibatkan melibatkan banyak orang dan special effect. Ketika harus menggunakan green screen, special effect serial ini memang hanya setingkat di atas special effect serial silat Indonesia. Hasilnya kurang halus, tidak seperti serial-serial papan atasnya Amerika. Untunglah special effect green screen tidak terlalu banyak. Yaaah intinya sih penghematan mungkin ya. Atau mereka ingin menunjukkan bahwa tidak semua pertikaian harus diselesaikan dengan jalan kekerasan, cie ciee. Ah saya tidak tahu alasan pastinya.

Awalnya, saya pikir semua plot utama mengarah ke peperangan kolosal yang menunjukkan kejayaan Dinasti Song. Ternyata saya salah. Nama Guo Jing dan Yang Kang memiliki makna bahwa keduanya diharapkan tetap setia kepada Song sebagai kampung halamannya. Setia di sini ternyata setia kepada warga Dinati Song, buka pejabat atau rajanya. Di sana dikisahkan bahwa baik Song, Jin, dan Mongol, masing-masing memiliki keburukan. Guo Jing dan kawan-kawan hanya berpihak kepada kemanusiaan. Mereka hanya menginginkan perdamaian….

Bagian akhir yang agak antiklimaks dan sedikit mengecewakan, tetap dapat ditutupi oleh kisah yang bagus dan adegan perkelahian yang seru. Dengan demikian serial The Legend of the Condor Heroes versi 2017 ini layak untuk memperoleh nilai 4 dari skala maksimal 5 yang artinya “Bagus”. Pada awalnya, saya menonton The Legend of the Condor Heroes versi 2017 sebari menunggu 2 episode terakhir serial Loki yang saya tunggu-tunghu. Terimkasih kepada The Legend of the Condor Heroes versi 2017, semua itu teelewatkan. Saya telat seminggu lebih menonton serial Loki karena penasaran dengan kisah Guo Jing dan kawan-kawan :’D.

Sumber: http://www.huacemedia.com/television/movieInfo/16.html

Shadow (2018)

Shadow (2018) atau å½± bukanlah film yang saya nanti-nantikan untuk saya tonton. Keberadaan film inipun baru saya ketahui beberapa minggu yang lalu, hohohohoho. Secara tidak terduga, film Tiongkok yang satu ini ternyata memberikan visual yang cantik sekali. Nuansa yang didominasi oleh warna hitam putih, ternyata mempu memberikan perasaan yang senada dengan tema cerita Shadow (2018).

Konon pada zaman dahulu kala, wilayah Cina terbagi ke dalam berbagai kerajaan. Kerajaan Pei dan Kerajaan Yang merupakan 2 kerjaan yang sempat memperebutkan Kota Jingzhou. Entah apa alasannya, kota yang satu ini seolah-olah menjadi sebuah lambang kejayaan bagi Kerajaan yang menguasainya. Pada awal cerita, dikisahkan bahwa Kerajaan Yang berhasil menguasai Kota Jingzhou. Sementara itu, raja dari Kerajaan Pei berusaha sekuat tenaga agar perdamaian antara Kerajaan Yang dengan Kerajaan Pei dapat tetap terjaga, dengan mengikhlaskan Kota Jingzhou. Tidak semua pihak setuju dengan kebijakan raja Kerajaan Pei yang terlihat lemah. Panglima besar Kerajaan Pei bahkan berani menentang titah rajanya dengan menantang raja Kerajaan Yang untuk melakukan duel 1 lawan 1.

Lalu, dimana Shadow-nya?? Wkwkwkwkwk. Nah, konon para pejabat pemerintahan menggunakan orang lain untuk menyamar sebagai diri mereka. Hal ini dilakukan untuk mencapai berbagai tujuan tertentu. Diantara pejabat pemerintahaan Kerajaan Pei, terdapat seorang shadow atau bayangan yang sedang menyamar. Hal ini membuat 15 menit pertama Shadow (2018) nampak membingungkan. Lama kelamaan nampak betapa rumitnya politik dan intrik yang Shadow (2018) suguhkan. Hal inilah yang menjadi daya tarik Shadow (2018). Saya sangat menikmati bagaimana cerita pada Shadow (2018) berjalan.

Film ini disutradarai oleh Zhang Yimou yang sukses membesut House of Flying Dagger (2004) dan Hero (2002). Dua film yang banyak menuai pujian tapi kurang saya sukai hehehehe. Kali ini, saya senang dengan film garapab Opa Zhang. Shadow (2018) penuh intik dan kejutan, disertai oleh visual yang sangat cantik. Adegan aksi ala kung-fu-nya pun terbilang lumayan keren. Saya rasa Shadow (2018) sudah sepantasnya memperoleh nilai 4 dari skala maksimum 5 yang artinya “Bagus”. Ini merupakan salah satu film Tiongkok terbaik yang pernah saya tonton.

Sumber: http://www.le.com