Akhirnya … Kena Covid-19 Juga

Kali ini saya akan menceritakan pengalaman saya ketika terpapar Covid-19 pada Juni 2021. Entah terkena varian virus yang mana, yang pasti, sedang terjadi lonjakan jumlah pasien Covid-19 di Indonesia. Well, sebenarmya, sejak Covid-19 merebak pada 2019 lalu, saya sekeluarga termasuk mahluk yang rajin semprot-semprot disinfektans dan antiseptik. Masker pun tidak pernah lepas. Kemanapun kami pergi, protokol kesehatan kami terapkan dengan ketat.

Saya sendiri Work From Home (WFH), hanya sesekali ke kantor, mungkin hanya 2 kali dalam sebulan. Istri dan ibu saya tergolong tenaga kesehatan (Nakes). Tapi keduanya sangat disiplin dalam protokol kesehatan. Status Nakes mereka pulalah yang membuat mereka sudah lebih dahulu mendapatkan suntik vaksin Covid-19. Alhamdulillah kami sekeluarga tetap bebas dari Covid-19.

Pada sekitar bulan Mei akhir, saya mendadak demam, sakit perut dan nyeri otot yang amat sangat. O’ow, gawat nih, apakah ini Covid-19? Setelah dilakukan pemeriksaan, ternyata saya terkena Demam Berdarah. Sekitar 7 tahun yang lalu, saya terkena demam berdarah dan gejalanya ringan sekali. Sayang oh sayang sekali, kali ini semua berbeda. Saya terkena jenis Demam Berdarah yang lebih ganas sehingga saya harus di rawat di rumah sakit. Nyeri otot dan mualnya benar-benar parah. Nafsu makan terjun bebas, padahal hobi saya kulineran. Beruntung saya tidak sampai mengalami kejang. Hari berlalu dan akhirnya saya sembuh dari Demam Berdarah dan memulai masa penyembuhan di rumah.

Baru sembuh dari Demam Berdarah, saya mendadak merasa demam lagi, mual lagi. Wahdu apa lagi ini? Saya bawa tidur, demam tidak kunjung turun, badan justru menjadi lemas. Tak lama saya mendapatkan kabar buruk. Hasil antigen periodik istri saya positif. Maka seketika itu pulalah, kami 1 rumah langsung berangkat untuk PCR. Bak disambar petir siang bolong, kami semua positif Covid-19 kecuali ibu saya. Alhamdulillah beliau lolos.

Anak-anak saya tetap ceria dan tidak menunjukkam gejala apapun. Begitu pula ibu dan istri saya yang bisa tetap bergerak lincah seperti tidak ada apa-apa. Asisten rumah tangga kami pun hanya pilek ringan. Pengasuh anak-anak sempat demam tapi sudah ok, paling hanya batuk sesekali. Sementara saya …. panas tinggi, pegal-pegal, mual dan ahhh …. sial. Daya tahan tubuh dari Demam Berdarah belum pulih, sudah kena yang lain lagi nih.

Penyekatan untuk isolasi mandiri pun kami lakukan di rumah. Karena kondisi badan saya yang tak kunjung membaik, akhirnya saya berobat ke Rumah Sakit. Kondisi Rumah Sakit sudah mulai penuh. Saya harus bolak-balik Rumah Sakit baru bisa masuk ruang perawatan. Tidak bisa sekali jalan langsung dapat tempat. Beberapa pasien bahkan ada juga yang beberapa hari menunggu di IGD (Instalasi Gawat Darurat). IGD Rumah Sakit nampak diperlebar dan diberikan tempat tidur tambahan untuk menampung pasien. Tapi karena jumlah pasiennya banyak, ya tetap harus mengantri diawali dari menggunakan kursi roda atau tempat duduk. Beruntung pada saat itu antrian pasien belum sampai selasar.

Saya akhirnya memperoleh tempat di ruang perawatan lantai 3. Satu ruangan diisi oleh 4 orang termasuk saya. Sayangnya, diantara keempat penghuni, saya termasuk yang paling lemas dan paling tidak nafsu makan, meskipun saya termasuk yang tidak kehilangan penciuman. Kalau dilihat, makanan Rumah Sakit untuk pasien Covid-19 ini tergolong mevahlah. Sayang mual dan nyeri perut membuat setiap sesi makan menjadi sesi perjuangan. Saya harus memaksakan makan atau ini akan bertambah buruk.

Obat infus dan suntik Rumah Sakit memang lebih joss khasiatnya. Kondisi saya membaik dan hanya sesekali saja mengalami demam. Maka, setelah beberapa hari di Rumah Sakit, sayapun dipersilahkam untuk pulang untuk isolasi mandiri di rumah. Walaupun, sebenarnya menjelang pulang, saturasi oksigen saya turun ke sekitar angka 94, 95, 96.

Setelah melalui proses administrasi dan lain-lain akhirnya kami bisa meninggalkan Rumah Sakit di malam hari. Seluruh biaya 100% ditanggung Kementrian Kesehatan RI, kami tidak mengeluarkan uang sepeserpun.

Tiba di rumah, sudah ada beberapa tabung Oksigen yang istri saya siapkan. Malam itupun saya bersiap untuk tidur bersama tabung-tabung tersebut. Namun, Saturasi oksigen bukanlah kekhawatiran utama kami malam itu. Demam saya yang terus menerus muncul lagi yang menjadi masalah. Obat minum seolah tidak berdaya. Saya terus demam dan tanpa kami sadari sepertinya saturasi Oksigen saya terus menurun. Sesak? Tidak ada rasa sesak saat itu, nafas terasa normal-normal saja.

Malam itu merupakan malam yang terlupakan bagi saya. Tapi tidak bagi keluarga saya. Saya tidur setelah meminum obat. Lalu saya tidak ingat apa-apa. Sekilas terdapat ingatan saya diikat, ada pesawat Star Treek, ada lomba menggambar, … ingatan yang aneh.

Baiklah, dari cerita istri saya sepertinya malam itu saturasi oksigen saya drop mungkin sampai ke angka 80-an atau 70-an entah selama berapa jam karena saya tidur sendiri di kamar bawah. Ketika istri saya masuk ke kamar saya, ia menemukan selang Oksigen terlepas dari hidung saya dan entah bagaimana regulator tabung Oksigen saya jatuh dan rusak.

Di pagi hari pun saya langsung diangkut ke Rumah Sakit dengan mencharter Angkot yang lewat. Sampai Rumah Sakit, saya harus mengantri di IGD. Mulai yang hanya duduk, kemudian akhirnya dapat kasur di IGD. Kondisi IGD Rumah Sakit sudah lebih penuh ketimbang saya terakhir ke sana.

Konon saturasi Oksigen saya pun langsung naik ke 97 begitu mendapatkan Oksigen Rumah Sakit. Namun karena cukup lama mengalami saturasi yang kecil, maka saya kehilangan kesadaran dan …. sedikit kewarasan.

Ada berapa tindakan aneh yang tanpa sadar saya lakukan selama terdampar di IGD. Yang pasti, di sana, saya satu-satunya pasien yang diikat. Sementara yang lain ngos-ngosan tapi pikirannya benar. Saya tidak ngos-ngosan tapi melakukan tindakan-tindakan aneh yang tidak saya sadari. Saya benar-benar tidak ingat selama itu berbuat apa saja. Ada kemungkinan ini disebut hipoksia, organ saya kekurangan Oksigen. Beruntung saya memiliki istri yang selama masa-masa gila itu, menemani saya terdampar di IGD.

Saya mulai sedikit sadar ketika tiba-tiba saya sudah berada di dalam ICU (Intensive Care Unit). Di sana saya bertemu banyak orang. Ada yang mengajak mengobrol, ada yang bisik-bisik dan lain-lain. Sebenarnya ini agak aneh, tapi saya tetap berbicara dengan mereka. Semua berlangsung sampai pada suatu titik dimana saya menyadari mereka semua hanya bagian dari halusinasi saya. Bahkan ketika saya sadar bahwa saya berhalusinasi, mereka tetap datang. Yaaah tak apalah, supaya ramai. Toh mereka datang mengajak bincang-bincang santai. Tidak ada yang kasar atau agresif :’D.

Kehilangan kesadaran dan halusinasi kemungkinan karena hipoksi. Ada apa ini sebenarnya? Konon beberapa pembuluh darah saya yang ke arah paru-paru dan jantung tersumbat. Waduh untung masih bisa selamat yaa. Saya paling ingat masa-masa di ICU karena disanalah saya perlahan mulai waras.

Di ICU kita tidak boleh memegang gadget, padahal kondisi di sana sangat membosankan, panas dan berisik. Rata-rata pasien yang masuk ICU sudah dalam kondisi berat sehingga mereka bisa jadi dibantu oleh 1 sampai 3 alat bantu penyokong hidup. 1 alat saja suaranya sudah nyaring. Bayangkan ruang ICU yang terdapat lebih dari 8 pasien. 1 ruang ICU memang besar dan dipergunakan bersama-sama. Saya hitung jumlah pasiennya ICU yah sekitar 8 atau 9. Yah mungkin nanti bisa jadi teman ngobrol sungguhan, bukan teman halusinasi. Hanya saja, kalau saya hitung kok jumlah pasiennya berubah-ubah terus ya. Aaahhh mungkin karena pikiran saya yang belum 100% waras.

Kebetulan saya di tempatkan di bagian pojok ICU. Jadi hanya ada teman di depan dan samping saja. Itupun ternyata mereka dalam keadaan berat semua. Selama beberapa hari di ruangan inilah saya melihat pasien yang berguguran. Kematian di ICU ternyata bisa terjadi dalam hitungan detik. Entah sekeras apa mental para Nakes ruang ICU. Dalam satu hari saja saya pernah mengalami pergantian tetangga selama 3 kali. Jadi pasien di sebelah saya 3 kali tidak terselamatkan. Belum lagi yang diseberang. Waduh, dalam 1 hari saya bisa melihat beberapa kematian.

Saya melihat perjuangan para Nakes di sana. Habis pasang alat ini itu, membujuk pasien supaya mau makan, tiba-tiba lari CPR ke pasien lain. Belum selesai 1, alat penyokong hidup ada yang membunyikan tanda bahaya. sungguh luar biasa. Apalagi kalau saya lihat kok Nakesnya itu-ituuuu saja. Mereka seperti tidak pernah pulang. Yang paling saya tidak tega adalah ketika pasien ICU adalah orang tua dari si Nakes sendiri. Sudah dipasang macam-macam alat bantu dan tetap tidak selamat. Salah satu Nakes yang membantu saya makan dan infus harus menangis di dalam ruangan….

Mayoritas yang tidak selamat memang sudah datang dalam keadaan berat dan sesak nafas. Sayapun sebenarnya datang dalam keadaraan hilang kesadaran, hanya saya saya tidak ingat. Begitu banyak keharuan di dalam ruangan ICU. Saya tidak menyangka sebigini kerasnya perjuangan para Nakes.

Semua kejadian di ICU terasa jelas karena kondisi badan saya terus membaik ketika sedang di dalam ICU. Badan terasa segar meski belum bisa kemana-mana. Tangan kanan dan kiri diinfus, belum lagi kena dikateter. Obat minum yang saya konsumsi lumayan banyak, bisa 7 sampai 8 butir sekali telan di pagi hari. Nanti siang yaa 7 sampai 8 butir lagi. Malam yaaaa begitu lagi :”D. Kalau menjelang tengah malam biasanya saya memperoleh suntikan pengencer darah di perut. Kemudian suntikan obat lambung, vitamin C dan beberapa suntikan lain melalui selang infus. Yang pasti yang nyeri adalah suntik Vitamin C, yang lainnya tidak terasa apa-apa. Wah banyak sekali obatnya, tapi tak apalah, semua demi kesembuhan.

Selama saya di ICU, ternyata istri dan keluarga saya berkelana mencari obat tambahan yang dianjurkan oleh tim dokter yang merawat saya. Setiap malam istri saya muncul sesaat di jendela pojok ICU, ternyata selain menengok, ia memberikan obat yang disarankan kepada perawat ruangan.

Sebenarnya, Kementrian Kesehatan menanggung 100% biaya pasien Covid termasuk obat-obatnya. Obat-obatan yang ditanggung pun bukan obat murahan. Saya sendiri mendapatkan infusan 2 jenis antibiotik yang harganya lumayan mahal kalau bayar sendiri. Belum obat-obat yang lainnya, banyak sekali. Namun, memang terkadang ada obat-obat dari dokter yang tidak termasuk ke dalam paket bantuan Kementrian. Biasanya itu adalah obat yang agak langka dan tidak tersedia di Rumah Sakit. Olehkarena itulah keluarga saya harus berkelana mencari obat tambahan.

Ternyata, perjalanan mencari obat tambahan bagi saya, tidaklah mudah. Jadi, tim dokter yang merawat pasien ICU melakukan rapat setiap sore. Setelah rapat itulah pihak keluarga terkadang dikabari mengenai kondisi pasien, rencana tindakan dan daftar obat tambahan yang disarankan. Sejak awal, keluarga saya disarankan untuk mencari Remdesivir yang tidak tersedia di Rumah Sakit tempat saya dirawat. Istri saya langsung berkelana se-Jabodetabek untuk memperoleh stok Remdesivir. Sepertinya ini berlangsung beberapa hari karena dalam sehari saya membutuhkan lebih dari 1 kantong Remdesivir. Alhamdulilllah istri saya selalu berhasil memperoleh Remdesivir tepat waktu sehingga saya cepat siuman. Obat infus yang satu ini berfungsi melemahkan dan mematikan virus Covid-19 dengan lebih cepat.

Namun virus bisa saja melemah tapi ia akan terus mengeluarkan racun yang merusak. Kerusakan terparah yang biasa Covid-19 lakukan adalah badai sitokin. Indikasi akan terjadinya badai sitokin antara lain dapat dilihat dari nilai interleukin dari cek darah. Nah, pada suatu siang, ibu saya mendadak ditelefon langsung oleh tim dokter agar sesegera mungkin menyediakan obat tambahan Actemra dan Ivermectin. Ada apa ini? Jadi nilai interleukin saya ternyata amat sangat tinggi sekali sehingga entah dalam hitungan berapa jam lagi akan ada badai sitokin besar yang akan menghantam tubuh saya. Ada kemungkinan apabila badai sitokin ini benar-benar terjadi, saya tidak akan selamat. Mungkin hal inilah yang terjadi pada pasien-pasien ICU yang saya lihat mendadak tidak terselamatkan.

Untuk Ivermectin kebetulan tidak sulit untuk diperoleh pada saat itu. Kami mendapatkan Ivermectin dari tetangga kami yang baik hati. Namun Actemra adalah obat yang sulit untuk diperoleh. Kalau memesan ke perusahaannya langsung, harus menunggu selama 3 hari, terlalu lama. Keluarga saya sampai menefon semua keluarga yang ada, sampai keluarga yang di luar kota. Dari sana diperoleh info bahwa masih ada sedikit stok Actemra di daerah Pasar Minggu dan Pondok Indah. Maka istri saya berburu ke Pasar Minggu dan tante saya berburu ke Pondok Indah. Di Pondok Indah tante saya berhasil memperoleh 70mg Actemra, padahal kebutuhan saya total adalah 400mg, waduh 😦

Di Pasar Minggu, istri saya bertemu dengan anak almarhum seorang dokter. Dokter tersebut terkena Covid-19 dan memiliki nilai interleukin yang tinggi seperti saya. Kebetulan ia berhasil mendapatkan 2 kantung 400mg Actemra. Sayang, setelah pemberian kantung yang pertama, respon tubuh beliau terhadap Actemra kurang baik sehingga akhirnya beliau meninggal. Actemra memang memiliki efek samping ke jantung bagi beberapa orang. Beruntung masih ada 1 kantung 400mg Actemra yang disimpan di lemari es. Keluarga almarhum bersedia menjual 400mg Actemra kepada istri saya dengan harga lama, kalau harga baru sopasti sudah membumbung tinggi. Malam itu juga istri saya langsung mengantarkan 400mg Actemra tersebut ke Rumah Sakit tempat saya dirawat. Aksi cepatnya tidak terlambat dan sepertinya berhasil mencegah badai sitoksin besar terjadi. Wah makin cinta deh sama istri :D.

Karena kondisi semakin membaik dan stabil, maka akhirnya saya dipindahkan ke HCU (High Care Unit), horeeeee. Pasien ICU yang kondisinya membaik, biasanya dikirim ke HCU untuk observasi lagi. Kondisi pasien HCU tetap dimonitor alat macam-macam seperti di ICU. Hanya saja di Rumah Sakit tempat saya dirawat ini, modelnya 1 ruangan terdiri dari 2 pasien. Ada kamar mandi dan boleh memegang gadget. Kateter boleh dilepas asalkan kuat berjalan. Saya optimis untuk lepas kateter, mau mandi sendiri, mau ke toilet sendiri. Namun ternyata semua tak mudah. Ternyata, tanpa bantuan oksigen, nafas saya ngos-ngosan saat berusaha mandi atau melakukan aktifitas fisik lainnya. Saya bahkan sempat gagal mandi dan hanya berhasil cuci muka saja.

Sementara itu teman 1 ruangan saya di HCU mengalami sesak nafas yang lumayan, tapi tidak nampak separah pasien-pasien ICU. Beliau pun tidak ikut kompetisi mencoba mandi seperti saya, masih berjuang mengatur nafas yang tersengal-sengal. Baru sekitar 5 atau 6 jam bersama-sama di HCU, saya kaget ketika Nakes HCU tiba-tiba berlari untuk melakukan CPR kepada tetangga sebelah saya tersebut. Hasilnya terbilang sedih. Beliau akhirnya tidak terselamatkan dan ternyata beliau adalah orang tua dari 2 Nakes yang bertugas.

Beruntung pengalaman di atas akan menjadi kematian terakhir yang saya saksikan. Rekan sekamar HCU saya yang baru, mengalami sesak nafas yang sama seperti rekan sekamar saya sebelumnya. Hanya saja, ia masih muda dan masih bisa diajak berkomunikasi. Kami berdua ngobrol sambil ngos-ngosan @_@. Jadi, rekan sekamar saya yang satu ini kolaps setelah suntuk pertama vaksin. Ternyata kondisi badannya memang tidak terlalu fit ketika akan vaksin. Bisa jadi dia sudah positif Covid-19 sebelum vaksin. Wah-wah harus waspada juga ya ketika hendak disuntik vaksin.

Karena saturasi Oksigen saya tetap stabil meskipun selang oksigen saya sudah diperkecil, saya akhirnya sudah bisa pindah ke ruang perawatan biasa. Di sana tim rehab medik mulai melakukan edukasi mengenai latihan pernafasan. Saya pun pelan-pelan belajar untuk tidak 24 jam menggunakan selang Oksigen lagi. Selang 2 hari di kamar perawatan, saya diijinkan pulang ke rumah. Namun kali ini dengan kondisi yang jauh lebih prima. Tidak ada mual, tidak ada demam, nafsu makan sudah ok. Hanya saja nafas memang masih bermasalah.

Saya kembali pulang ke rumah, tidur di kamar isolasi saya yang dilengkapi beberapa tabung Oksigen. Sampai saat ini saya masih positif, begitu pula kedua anak saya beserta pengasuhnya. Beruntung anak-anak dan pengasuhnya tanpa gejala. Sementara gejala dominan yang masih saya rasakan adalah batuk & nafas yang ngos-ngosan. Untuk mandi saja saya harus membagi ke dalam 3 tahap. Sikat gigi dulu lalu istirahat. Lanjut cuci muka, tangan dan kaki lalu istirahat lagi x__x. Terakhir, barulah sabunan badan. Kalau 1 kali jalan siy saya masih belum kuat.

Saturasi oksigen, tensi dan nadi saya masih dimonitor di rumah. Kemudian setelah 1 minggu lewat, saya harus kontrol ke dokte paru-paru, cek darah, & cek jantung. Semua untuk melihat apakah kerusakan yang Covid-19 tinggalkan sudah mereda. Ini demi keselamatan jangka panjang.

Baru beberapa hari isolasi mandiri di rumah, saya menerima kabar mengejutkan dari lingkungan perumahan. Jadi ada tetangga saya yang seumuran dengan saya. Dia diduga terpapar Covid-19 beberapa hari setelah saya. Gejalanya mirip & masuk ICU karena alasan yang kurang lebih sama dengan saya. Hanya saja halusinasi yang ia alami sepertinya lebih tak terkendali. Istrinya terpaksa setiap hari masuk ke ICU menggunakan full APD Covid-19 untuk menenangkan. Mirip seperti saya, ia juga memperoleh obat tambahan. Keluarga kami bahkan berbagi stok obat karena obat tambahannya memang mirip. Dia pun cepat membaik dan dipindahkan dari ICU ke HCU. Di HCU dia memperoleh hasil PCR yang menunjukkan bahwa ia sudah negatif. Hebatnya Covid-19 adalah ia dapat membunuh dan merusak meskipun sudah mati di dalam tubuh. Itulah yang terjadi pada tetangga saya. Tak lama terdapat pengumuman bahwa ia mendadak meninggal. Kemungkinan karena mengalami badai sitokin atau serangan jantung akibat kerusakan yang sudah Covid-19 berikan. Wuuuaaahhhh, kok seram begini ya? Saya yang pada hari itu mulai bandel mau coba-coba membuka VPN untuk WFH (Work From Home), langsung mendadak insyaf. Saya langsung berjemur di luar sambil senam pernafasan, kemudian kembali merebahkan badan di kasur x__x.

Mengingat semua yang baru saya alami, terutama ketika di dalam ruang ICU & HCU, hidup terasa sangat berharga. Terlebih lagi orang-orang yang berusaha mempertahankan hidup orang lain. Mereka sangatlah berharga. Pengorbanan dan dedikasi Nakes sangat terlihat disana. Padahal mereka harus berhadapan dengan kematin setiap hari, bahkan ketika pasien mereka sudah memperoleh nilai PCR negatif. Pokoknya bravo untuk Nakes Indonesia di manapun kalian berada. Tak lupa saya juga sangat berterimakasih kepada berbagai pihak yang sudah ikhlas membantu saya memperoleh obat dan dukungan moral. Ternyata masih banyak masyarakat yang bersedia untuk saling menolong. Semoga kesehatan selalu menyertai kalian dan keluarga. Aamiin.

Hari Keenam Wisata Korea – Gyeongbokgung, Bukchon & Changdeokgung

Setelah pada Hari Kelima Wisata Korea – One Mount Snow Park, The War Memorial of Korea & Myeong-dong kami mengunjungi jejak Perang Korea, pada hari keenam petualangan kami ini, kami mengunjungi beberapa jejak peninggalan Korea di era feodal. Jauh sebelum Korea terpecah 2 akibat perang ideologi, Korea dikuasai oleh satu atau beberapa kerajaan. Hari itu kami akan mengunjungi Istana Gyeongbokgung, Kampung Hanok Bukchon dan Istana Changdeokgung.

Kami memulai hari itu pagi-pagi sekali. Setelah sarapan, kami pergi keluar penginapan menuju Stasiun Dongdaemun History & Culture Park. Dari sana, kami naik Kereta Seoul Metro jalur 5 (ungu) ke arah Stasiun Euljiro 4(sa)ga untuk turun di Stasiun Gwanghwamun. Kami kemudian berjalan cukup panjang untuk keluar di Exit 9. Kenapa kok Exit 9 yang agak jauh? Keluar dari Exit 9, kami langsung berada di tengah-tengah area Gwanghwamun Square, tak pakai acara menyeberang, langsung di tengah ;).

Gwanghwamun Square (광화문광장) merupakan area hijau di seberang Istana Gyeongbokgung. Di sana terdapat patung raksasa dari Laksamana Yi Sun-Shin (이순신) dan Raja Sejong (세종대왕). Nama Raja Sejong sudah sangat terkenal. Tapi, siapa pula Yi Sun-Shin itu? Sekilas ia seperti salah satu panglima perang Tiongkok pada film Red Cliff :’D. Ternyata, Yi Sun-Shin merupakan pahlawan nasional Korea yang memimpin peperangan di laut pada era Perang Imjin atau Perang 7 Tahun melawan Jepang. Ketika Korea menolak untuk memberikan jalan bagi Jepang untuk menginvasi Cina, Jepang melakukan serangan darat dan laut ke dalam wilayah Korea. Mayoritas wilayah darat Korea dapat dengan mudah dikuasai. Berkat kepemimpinan Laksamana Yi Sun-Shin, wilayah laut Korea sulit untuk dikalahkan. Armada Jepang bahkan akhirnya mundur dan dinyatakan kalah. Kisah kepahlawanan Yi Sun-Shin ini ternyata sudah beberapa kali di angkat ke layar kaca, sayanya saja yang kurang gaul nih hohoho.

Lantas, apakah Raja Sejong ada hubungannya juga dengan Perang 7 Tahun? Raja Sejong merupakan raja keempat dari Dinasti Joseon yang bertahta jauh sebelum Jepang menginvasi Korea. Ia merupakan raja yang sangat terkenal karena kemajuan ilmu pengetahuan Korea di era pemerintahaanya. Aksara Korea yang di sebut hangeul merupakan hasil karyanya yang termashur. Itulah mengapa di depan patung Raja Sejong yang terletak di Gwanghwamun Square, terdapat patung yang menggambarkan alfabet hangeul, bola dunia selestial, alat pengukur hujan dan jam bayangan matahari. Keempatnya merupakan simbol kemajuan Korea di era Raja Sejong.

Kami mengamati patung-patung tersebut disela-sela tenda putih yang sedang dipasang. Pagi itu, terdapat bazar atau eksebisi yang baru saja buka di Gwanghwamun Square. Karena semua dalam tulisan dalam tulisan hangeul, kami kurang paham itu acara apa. Di sana, mereka menjual aneka makanan kecil dan minuman ringan. Kemudian terdapat pula video games virtual reality di pasang di sana. Entah apa maksudnya, kami memilih untuk berjalan ke arah Istana Gyeongbokgung.

Kami tidak langsung masuk ke dalam Gyeongbokgung karena kami ingin mencari tempat penyewaan hanbok. Whoaaw, apa itu hanbok? Baju hanbok merupakan baju tradisioanal Korea yang dapat disaksikan pada beberapa drama Korea berlatar belakang dinasti Joseon. Tentunya akan menjadi sebuah pengalaman yang seru kalau kami dapat berkeliling Istana menggunakan baju tradisional tersebut. Sebenarnya, kami bisa saja mem-booking hanbok sejak di Indonesia, tapi lokasi penyewaan dan perhitungan waktu membuat kami batal melakukan booking. Kami memilih untuk mencari penyewaan hanbok yang lokasinya dekat dengan pintu gerbang Gyeongbokgung di hari kedatangan saja ;). Saya sadar, resikonya adalah kami gagal menyewa hanbok yang keren ;). Di dalam kompleks Istana Gyeongbokgung, terdapat menyewaan hanbok gratis. Tapi yaaaaa, ada harga, ada rupa, bentuk hanboknya kurang bagus :’D.

Kami terus berjalan ke arah barat Gyeongbokgung dan menemukan jejeran gerai penyewaan habok, tepatnya di sekitar Jahamun-ro 2-gil. Aaaahhh, ternyata banyak penyewaan habok di sana, tak perlu pakai acara booking lewat online. Di sana, kami dapat mendapatkan banyak pilihan hanbok yang siap untuk disewa. Ada tipe hanbok klasik dan tipe modern, semuanya bagus-bagus loh, tinggal pilih sesuai selera ;).

Di dalam penyewaan hanbok, kita hanya dapat mencoba 2 hanbok saja. Kemudian, pada 1 paket biasanya kita memperoleh juga pelayanan make-up dan hair stylist. Sepatu, tas dan aksesoris tambahan lainnya, biasanya tidak termasuk ke dalam paket. Kita harus membayar biaya tambahan bila ingin menambahkan aksesoris. Saya pribadi menggunakan sepatu Wakai yang sudah saya bawa dari rumah. Bentul dan modelnya masih cocoklah kalau bertemu dengan hanbok. Oh yaaa, hanbok itu bukan hanya milik wanita loh, kaum Adam juga ada versi hanboknya. Kalau canggung menggunakan hanbok, terdapat pula kostum pejabat negara atau kaisar di sana. Namun saya pribadi pernah menyewa kostum pejabat negara atau kaisar ketika berkunjung ke Tembok Cina beberapa tahun yang lalu. Aaahh, bentuknya mirip, tak jauh berbeda. Itulah mengapa saya memilih mengenakan hanbok laki-laki ketimbang baju kaisar atau pejabat kerjaan ;).

Penyewaan hanbok biasanya dihitung per-jam dan kita biasanya diharuskan membayar 2 jam pertama di muka plus uang deposit. Kami pun memperoleh loker untuk menitipkan barang bawaan kami. Tidak seru juga kan kalau menggunakan hanbok sambil menggendong tas-tas ransel. Selain berat, hambok juga bisa kusut atau rusak. Kerusakan akibat penggunaan bisa dipotong dari uang deposit yang kita bayar di muka loh.

Kami bertiga berjalan keluar menuju Istana tanpa rasa malu karena menggunakan hanbok bukanlah hal aneh di sana. Kami berjalan menyusuri penyewaan hanbok yang berada di sekitar dinding barat Gyeongbokgung. Semakin siang, semakin banyak yang terlihat buka. Menjamurnya bisnis penyewaan hanbok di sekitar Istana Gyeongbokgung, Kampung Hanok Bukchon dan Istana Changdeokgung sebenarnya tak lepas dari usaha Pemerintah untuk melestarikan budayanya. Siapa saja yang datang dengan menggunakan hanbok, diperbolehkan gratis masuk ke dalam beberapa Istana yang tersebar di dalam Kota Seoul. Program pemerintah Korea Selatan ini dapat dibilang berhasil karena selain memberikan bisnis baru bagi masyarakat lokal, kaum muda Korea pun ada yang ikut menggunakan hanbok di sekitar area Istana. Kapan yah Indonesia bisa seperti ini? 😀

Kami tiba di Gerbang Gwanghwamun, gerbang utama Istana Gyeongbokgung, pada sekitar pukul 10 siang. Pada sekitar jam inilah biasanya terdapat atraksi pergantian penjaga ;). Pergantian penjaga ini diawali dengan bunyi gong yang besar. Kami melihat sekumpulan penjaga, lengkap dengan atributnya berbaris dan melakukan serangkaian atraksi dengan senjata mereka :D.

Setelah pergantian penjaga berakhir, kami dapat berfoto dengan komandan penjaga yang membawa rantai dan golok hohohoho. Di sana, kami pun menjadi objek foto bersama, oleh backpaker-backpaker asal Indonesia yang tidak tahu perihal sewa menyewa hanbok :’D. Setelah menginformasikan tempat menyewaan hanbok, kami berpisah dengan mereka, dan kami berjalan ke dalam area Kompleks Istana Gyeongbokgung yang luas ;).

Istana Gyeongbokgung (경복궁) adalah istana terbesar dari 5 istana yang pernah dibangun pada era Dinasti Joseon. Istana megah ini dibangun pada tahun 1935 dan sempat hancur pada era Perang Imjin, invasi Jepang di tahun 1500-an. Istana ini kemudian direstorasi lagi oleh Raja Gojong hingga sebagian bentuknya masih dapat kami saksikan saat itu. Setelah era Raja Gojong, terdapat beberapa perubahan karena Jepang melakukan perombakan terhadap Gyeongbokgung ketika mereka berhasil menjajah Korea pada tahun 1900-an.

Bentuk istana di Seoul ini agak berbeda dengan istana-istana di Jepang yang bentuknya vertikal ke atas. Saya rasa bentuk istana milik Korea lebih mirip dengan istana milik Cina yang melebar dengan banyak pintu di mana-mana. Korea di era feodal memang banyak dipengaruhi oleh dinasti Ming dan Qing dari Cina.

Kami berputar-putar kompleks istana mengagumi keindahan arsitektur khas Korea yang ada di depan mata. Istana ini luas sekali sehingga pengunjung tidak perlu berdesak-desakan seperti pada Hari Ketiga Membawa Bayi Ketika Wisata Bangkok & Pattaya di Bangkok dulu :’D. Di sana banyak sekali ruangan dan pintu-pintu unik yang indah. Pada bagian tengah, terdapat ruangan tempat raja bertahta. Ruangan tersebut tidak terlalu besar, tapi nampak beda dan keren, seperti di film-film kerajaan.

Ketika kami berjalan-jalan di sana, Istana Gyeongbokgung dikunjungi pula oleh satu atau dua rombongan dharmawisata sekolahan. Bisa dibilang ini adalah record kami melihat gerombolan anak-anak selama di Korea. Negeri tersebut angka kelahirannya memang sangat kecil sehingga jumlah anak-anak di sana dikabarkan terus menurun. Anak kami sendiri, dengan riangnya berlari-lari dengan hanboknya, di dalam kompleks istana :). Dengan banyaknya pengunjung yang berpakaian hanbok ke sana, kami seperti sedang benar-benar berkunjung ke Istana Gyeongbokgung di masa lampau.

Setelah selesai berputar-putar di bagian depan dan tengah kompleks, kami menemukan National Folktale Museun pada halaman belakang Istana. Di sana, terdapat berbagai alat-alat yang masyarakat Korea pernah gunakan di masa lampau. Kami tidak terlalu lama di sana karena keterbatasan waktu, masih banyak objek wisata yang hendak kami kunjungi.

Kalau ke arah belakang istana lagi, wilayah di seberang tembok belakang istana tepatnya, terdapat Cheong Wa Dae atau Blue House. Rumah tradisional Korea bergenting biru ini merupakan kediaman resmi presiden Korea Selatan. Namun karena kepergian kami ke Seoul memang agak singat waktu persiapannya, kami tidak meneruskan untuk berkunjung ke Blue House. Untuk masuk ke dalam Blue House, kita diharuskan mengisi form di situs resmi kepresidenan paling tidak 3 minggu sebelum rencanan kedatangan. Wah, rumit, sudahlah, kapan-kapan saja kalau ada kesempatan ;).

Dari Istana Gyeongbokgung, kami kembali ke tempat penyewaan hanbok untuk berganti pakaian dan mengambil barang bawaan kami. Demi efisiensi waktu dan biaya, kami memilih untuk menggunakan baju biasa saja pada kunjungan kami ke Kampung Hanok Bukchon dan Istana Changdeokgung ;). Dari tempat penyewaan, kami berjalan ke arah timur, menyusuri Yukgok-ro, arah tempat Kampung Hanok Bukchon dan Istana Changdeokgung berada. Di tengah-tengah perjalanan, kami berhenti di sebuah halte bus untuk menyantap bekal dan mengganti popok anak kami hehehehe. Setelah itu, kami kembali berjalan menyusuri trotoar Kota Seoul yang ramah pejalan kaki. Dengan bantuan GPS, kami akhirnya tiba di Istana Changdeokgung. Loh? Bukankah Kampung Hanok Bukchon berada diantara Istana Gyeongbokgung dan Istana Changdeokgung? Betul, tapi lokasi Kampung Hanok Bukchon agak berbelok ke utara, sedangkan untuk menuju Istana Changdeokgung kami dapat dengan mudahnya berjalan lurus mengikuti Yukgong-ro saja. Selain itu, Istana Changdeokgung ada jam tutupnya, sedangkan Kampung Hanok Bukchon tak ada jam tutupnya. Kami masih dapat mengunjungi Kampung Hanok Bukchon di sore hari.

Kami tiba di Istana Changdeokgung sekitar pukul 1 siang. Istana ini relatif lebih sepi dibandingkan Gyeongbokgung. Ketika kami tiba di sana, sebagian besar pengunjung pun tidak menggunakan hanbok, sedikit berbeda dengan kondisi di Gyeongbokgung. Kami sendiri memasuki Istana Changdeokgung dengan membayar tiket karena kami sudah tidak menggunakan hanbok lagi di sana.

Istana Changdeokgung (창덕궁) merupakan salah satu istana yang paling disukai oleh keluarga kerajaan. Istana ini memang bukan pusat pemerintahan, tapi keadaannya yang lebih menyatu dengan alam, membuat para putri raja betah untuk tinggal di sana. Raja Sujong, raja terakhir dinasti Joseon, hidup di dalam istana ini sampai ajal menjemputnya. Bahkan sampai saat ini, anak dan keturunan Raja Sujong masih tinggal di dalam salah satu bagian dari istana ini. Apa istimewanya Istana Changdeokgung? Arsitektur dan dekorasi dari istana ini sangat mirip dengan Istana Gyeongbokgung. Bangunan istana utamanya sendiri sebenarnya tidak terlalu luas, tapi kompleks istana tersebut jadi nampak luaaaas karena menjadi satu dengan Kuil Jongmyo dan Huwon.

Kuil Jongmyo (종묘) merupakan salah satu kuil Konfusius tertua di dunia. Sebagai penguasa yang berkepercayaan Konfusianisne, raja dan ratu dinasti Joseon menyimpan tablet-tablet memorial mereka di dalam ruangan-ruangan yang terdapat di dalam kuil tersebut. Praktis semua upacara keagaaman yang berhubungan dengan nenek moyang keluarga kerjaan dipusatkan di kuil ini. Kami melihat banyak sekali ruangan-ruangan kecil tempat menyimpan tablet, di dalam area kuil tersebut. Konon, dahulu ruangannya lebih panjang dan banyak. Tapi sebagian sudah dihancurkan Jepang untuk membangun jalan. Kemudian, di sana terdapat pula rumah-rumah hanok yang dulu dijadikan tempat tinggal para pemuka agama. Rumah-rumah hanok tersebut agak memanjang dengan banyak kamar dengan halaman atau taman kecil di tengah, lebih mirip seperti penginapan dibandingkan rumah.

Huwon adalah sebuah taman di belakang istana yang terdiri dari pepohonan, kolam dan pendopo-pendopo khas dinasti Joseon. Di sanalah keluarga kerjaan biasa berkumpul, belajar, bermeditasi dan mengadakan perjamuan makan malam. Ada suatu masa di mana hanya raja yang boleh memasuki taman ini, sehingga taman ini disebut juga Biwon atau Taman Rahasia. Untuk memasuki Huwon, kita harus didampingi oleh pemandu wisata resmi sesuai jadwal yang ada. Karena kami tiba di sana di waktu yang kurang tepat, maka kami memutuskan untuk tidak masuk ke dalam Huwon. Kami tiba di saat sebuah rombongan baru memasuki Huwon. Kami harus menunggu rombongan berikutnya untuk masuk, wahh pasti lama ini. Kalau dari luar sih, terlihat bahwa dedaunan di dalam sana masih hijau, belum berubah warna. Andaikan kami tiba di tengah-tengah musim semi, kami akan menunggu dan mengantri untuk masuk ke dalam Huwon.

Kalau saya lihat, keberadaan Huwon dan Kuil Jongmyo jelas membuat keluarga raja senang tinggal di Istana Changdeokgung. Itulah mengapa, pihak kerajaan terus menerus merestorasi istana ini walaupun istana tersebut pernah hancur pada invasi Jepang, penyerangan Manchu dan insiden internal Korea. Keberadaan tablet nenek moyang membuat keluarga merasa lebih dekat dengan keluarga yang telah wafat. Keberadaan taman dan lingkungan yang asri, membuat istana terasa lebih teduh.

Setelah selesai berwisata di di Istana Changdeokgung, kami berjalan ke arah barat laut menuju Kampung Hanok Bukchon. Kalau di peta sih, masuknya ke daerah Bukchon-ro 11-gil. Tempatnya memang agak masuk ke dalam jalan yang sempit. Kami sempat beberapa kali memperoleh petunjuk jalan yang salah dari warga lokal. Bagi teman-teman yang hendak berkunjung ke Kampung Hanok Bukchon, sebaiknya percaya saja kepada GPS dalam hal ini. Banyak warga lokal yang kurang paham bahasa Inggris :’D.

Kampung Hanok Bukchon (북촌한옥마을) sudah ada sejak 600 tahun yang lalu. Daerah ini dulunya merupakan tempat tinggal pejabat dan bangsawan dari dinasti Joseon. Lebar jalan yang kecil memang menggambarkan keadaan perkampungan Korea di era feodal. Tapi rumah-rumah yang agak kecil sebenarnya merupakan hasil dari penjajahan Jepang pada tahun 1900-an. Untuk memecah dan merusak martabat dinasti Joseon, Jepang membagi-bagi rumah yang pada awalnya besar, menjadi kecil-kecil. Yaaah, pada dasarnya, Jepang-lah yang mengakhiri kekuasaan dinasti Joseon di Korea Selatan. Setelah dinasti tersebut runtuh, praktis runtuh pulalah era feodal di Korea Selatan.

Kami tiba di Kampung Hanok Bukchon sekitar pukul setengah empat sore. Sinar matahari sudah tidak terlalu terasa panas dan angin musim semi bertiup cukup kencang saat itu. Kampung Hanok Bukchon pun tidak terlalu padat :D. Kami mengelilingi area yang penuh dengan rumah tradisional Korea tersebut dengan tetap menjaga ketertiban dan kebersihan karena rumah-rumah yang ada di sana bukan rumah-rumahan. Rumah-rumah tersebut masih dijadikan tempat tinggal oleh warga Korea. Beberapa rumah ada yang dijadikan penginapan dan restoran, tapi bentuk aslinya tetap tidak diubah sehingga bentuknya yaa tetap seperti rumah, tidak seperti toko modern. Karena keasliannya, area ini berhasil memberikan atmosfer perkampungan di era dinasti Joseon. Apalagi ketika terdapat pengunjung berpakaian hanbok lalu lalang di sana.

Sebenarnya, terdapat 2 kampung hanok di Seoul, yaitu Kampung Hanok Bucheon dan Kampung Hanok Namsagol. Keduanya sama-sama terdiri dari rumah-rumah tradisional Korea yang disebut hanok. Hanya saja, Kampung Hanok Namsagol bukanlah tempat tinggal seperti yang Kampung Hanok Bucheon miliki. Hanok-hanok yang Kampung Hanok Namsagol miliki, khusus dibangun pada tahun 1998 untuk memperlihatkan budaya Korea di masa lampau. Kampung Hanok Namsagol tentunya lebih luas dan lebih lenggang dibandingkan dengan Kampung Hanok Bucheon, tapi lokasi yang kurang pas dengan itenari kami dan kekurang-original-an, membuat kami memilih untuk berkunjung ke Kampung Hanok Bucheon saja. Toh lokasi diantara 2 istana yang menjadi tujuan kami di hari tersebut. Pilihan ini tentunya lebih efisien dari segi waktu.

Dari Kampung Hanok Bucheon, kami kembali berjalan ke arah Stasiun Anguk dengan bantuan GPS. Dari sana, kami naik Kereta Seoul Metro jalur 3 (oranye) arah Stasiun Jongno 3(sam)ga untuk turun di Stasiun Jongno 3(sam)ga. Kemudian kami naik Kereta Seoul Metro jalur 5 (ungu) arah Stasiun Euljiro 4(sa)ga untuk turun di Stasiun Dongdaemun History & Culture Park.

Karena hari belum terlalu malam, maka kami kembali berjalan-jalan di pertokoan dan pusat perbelanjaan yang ada di daerah Dongdaemun. Yaaahh inilah keuntungan dari menginap di dekat pusat perbelanjaan ;). Kami pun kembali mampir di pedagang kaki lima sushi yang hampir setiap malam kami kunjungi hehehehe. Setelah makan malam, kami bermaksud mencari baju anak dan menemukan baju-baju berbentuk aneh. Sebenarnya kami sudah melihat ini selama di Seoul tapi baru kali ini kami melihat dengan jelas bahwa baju tersebut adalah baju anjing :’D. Selama di Seoul kami memang sering melihat anjing-anjing lucu yang berjalan menggunakan baju dan aksesoris layaknya manusia. Pemilik anjing-anjing tersebut adalah kaum muda Korea. Melihat menurunnya jumlah bayi dan angka kelahiran di sana, apakah kaum muda Korea beralih ke anjing? Apakah mereka lebih memilih memiliki anjing sebagai pengganti bayi yang sulit mereka miliki? Berdasarkan obrolan saya dengan salah satu warga lokal, ia menganggap bahwa menikah dan memiliki anak itu mahal. Siapa sih yang tak ingin punya anak. Sayang biaya hidup di Korea itu tak murah. Akhirnya, kaum muda sana lebih memilih memundurkan usia menikah mereka. Setahu saya, semakin tua usia kita, semakin sulit memiliki anak. Wah jadi ingat film The Boss Baby (2017). Sekejap, film tak masuk akal tersebut, menjadi sangat masuk akal.

Setelah lelah dan mengantuk, kami berjalan pulang ke penginapan dan langsung beristirahat. Esok hari akan menjadi hari yang lebih santai karena tujuan wisatanya jauh lebih sedikit pada Hari Ketujuh Wisata Korea – Gwangjang & Cheonggyecheon. Hal ini memang disengaja karena kami membawa anak di bawah 2 tahun. Tidak mungkin kalau setiap hari kami berangkat pukul 7 pagi.

Baca juga:
Persiapan Wisata Korea 2017
Ringkasan Objek Wisata Korea Selatan
Hari Pertama Wisata Korea – Incheon, Namsan Tower & K Star Road
Hari Kedua Wisata Korea – Naminara Republic, Petite France & The Garden of Morning Calm
Hari Ketiga Wisata Korea – Ihwa, Ewha, Itaewon & Banpo
Hari Keempat Wisata Korea – Gunung Seorak & Naksansa
Hari Kelima Wisata Korea – One Mount Snow Park, The War Memorial of Korea & Myeong-dong
Hari Ketujuh Wisata Korea – Gwangjang & Cheonggyecheon
Hari Kedelapan & Kesembilan Wisata Korea – Everland & Incheon

Hari Kelima Membawa Bayi Ketika Wisata Bangkok & Pattaya Saat Songkran – Ananta Samakhom, MBK & Suvarnabhumi

Bangkok

Setelah pada Hari Keempat Membawa Bayi Ketika Wisata Bangkok & Pattaya kami menemukan deretan toko yang masih buka di Pertokoan Pratunam. Ternyata hal ini masih membuat istri saya penasaran. Akhirnya, ia berangkat sendiri di pagi hari, sebelum saya dan si kecil bangun tidur, untuk melihat daerah yang semalam kami kunjungi. Dan ternyata ia menemukan banyak sekali toko pakaian yang buka di belakang Indra Square, sebuah area di samping area pertokoan Pratunam. Di sana, model-modelnya bagus dan harganya relatif lebih ekonomis. Bahkan sampai saya menulis tulisan ini, baju-baju yang istri saya beli di sana masih nampak bagus dan tidak ada di Indonesia :D.

Setelah puas belanja, istri saya kembali ke dalam penginapan dan bersiap untuk berjalan-jalan di hari terakhir kami ini. Sebelum menuju Bandara Svarnabhumi, tujuan kali hari ini adalah Ananta Samakhom Throne Hall, Vimanmek Mansion dan bertemu dengan teman istri saya yang tinggal di Bangkok.

Setelah sarapan di penginapan dan membeli bekal makanan halal di 7-Eleven, kami kembali berjalan kaki tapi tidak menuju Stasiun Ratchaprarop. Kali ini kami berjalan ke arah jalan raya untuk mencoba naik tuk-tuk. Tuk-tuk pada dasarnya merupakan bajaj yang lebih panjang dan terbuka. Kami naik Tuk-Tuk dari ujung Jalan Ratchaprarop 9 sampai depan Ananta Samakhom Throne Hall dengan harga yang entah terlalu mahal atau tidak, yang pasti memang akan jauh lebih murah menggunakan kereta hehehehe. Yaaaah pengalaman naik tuk-tuk memang unik dan beda. Tapi, sesuai dugaan, Pak Supir mengajak kami jalan-jalan ke tempat lain. Saya tentunya langsung menolak dengan sopan, jangan ada rasa sungkan menolak kalau naik taksi atau tuk-tuk di Bangkok :D.

Meskipun kompleks Grand Palace yang pernah kami kunjingi pada Hari Ketiga Membawa Bayi Ketika Wisata Bangkok & Pattaya adalah kediaman resmi Raja Thailand, tapi mendiang Raja Bhumibol Adulyadej dan keluarga lebih memilih untuk tinggal di kompleks istana Dusit yang lebih bergaya Eropa. Istana seluas 64749 meter persegi ini selesai dibangun pada tahin 1901 dan telah menjadi kediaman 13 Raja Thailand yang pernah bertahta. Bangunan utama kompleks ini adalah Ananta Samakhom Throne Hall yang dulu dibuka sebagai museum. Bangunan putih ini memang nampak menonjol terlihat dari kejauhan.

Sayang ketika tiba di sana, kompleks Istana Dusit beserta Ananta Samakhom Throne Hall tutup karena hal yang kurang kami fahami. Di sana kami bertemu banyak sekali wartawan yang tidak dapat berbahasa Inggris :’D. Dari penjelasan bahasa tubuh dan isyarat tangan mereka, saya simpulkan bahwa sebentar lagi akan ada deretan anggota kerajaan keluar dari Istana. Kami pun hanya dapat melihat Istana Dusit dari kejauhan karena ada banyak tentara memblokir jalan menuju Istana Dusit. Tak lama kemudian kami melihat deretan mobil-mobil keluar dari Istana. Sumpah ini mobil yang keluar banyak sekali dan seragam semua. Nampak ada 2 atau 3 mobil sedan yang berbeda di tengah barisan. Aaahhh, mungkin ini keluarga kerajaan mau ke warung beli snack :P.

Setelah selesai, wartana dan barisan tentara membubarkan diri. Kami berjalan menuju pagar Istana Dusit dan memperoleh keterangan bahwa Istana Dusit tutup tapi para turis diperbolehkan mengambil gambar dari pagar saja. Beruntung Ananta Samakhom Throne Hall terletak tak jauh dari pagar sehingga ada beberapa spot foto yang lumayan ok di sana. Toh saya memang tidak berniat masuk ke dalam, isinya hanya museum saja sepertinya. Menurut informasi yang saya peroleh, ternyata Istana Dusit masih terus tutup sampai 2018 loh.

Bangkok

Hari itu kami terus berjalan kami menuju Vimanmek Mansion yang konon terletak di kompleks yang sama. Tempat tersebut adalah istana kayu jati terbesar di dunia dan merupakan kediaman raja lainnya yang berfungsi sebagai museum. Bad news, Vimanmek Mansion 100% tidak dapat dilihat karena sedang direnovasi. Semua ditutupi dengan pembatas yang besar-besar.

Istri saya ternyata mendapat pesan bahwa temannya menunggu di Ma Boon Krong Center atau populer dengan nama MBK Center. Karena posisi kami jauh dari Stasiun, maka kami mencari taksi yang dapat mengantarkan kami ke MBK Center. Entah kenapa banyak taksi menolak dengan bahasa Thailand yang kami tak pahami. Semua menolak dalam bahasa Thailand walaupun saya sudah menunjukkan tulisan latin MBK Center , tulisan Thai MBK Center, dan posisi MBK Center di googlemaps saya. Aduh kurang apa lagi yaaa, kenapa kok begini. Setelah hampir 45 menit mencari, akhirnya ada supir taksi yang mampu berbahasa Inggris dan mau mengantar kami. Perjalan sepanjang kurang lebih 6 kilometer tersebut dijalani dengan cepat karena jalanan Bangkok saar Songkran tidak semacet biasanya.

MBK Center merupakan mall yang sempat menjadi pusat perbelanjaan terbesar di Asia pada 1995. Kalau sekarang sih rasanya di Jakarta juga ada yang sebesar ini. Di sana terdapat lebih dari 2000 toko yang menjual aneka souvenir, baju, elektronik, kosmetik, pakaian dan lain-lain. Sama seperti di Pratunam atau Chatucak, ada sedikit tawar menawar di sana. Ruangan dan lorong yang nyaman ber-AC memang menjadi nilai plus tempat ini dibandingkan Pratunam atau Chatucak, tapi belanja di MBK Center rasanya tak jauh berbeda seperti belanja di Mall biasa hehehehe. Kami sendiri membeli buah-buahan kering di sana. Kadang cara menawar di sana adalah dengan membeli lebih banyak. Kami mau beli lebih dari 1 kalau harganya turun, barulah si penjual mau. Tidak hanya belanja, kami pun bersilaturahmi dengan keluarga teman istri saya yang tinggal di dekat Asiatique The Riverfront.

Bangkok

Dari MBK Center, kami kembali ke habitat kami, ….. kembali berjalan ke Stasiun untuk naik kereta :D. Dari Stasiun National Stadium, kami naik kereta jalur hijau muda sampai Stasiun Siam yang ternyata dekaaaaat sekali :P. Dari Stasiun Siam kami naik kereta jalur hijau tua sampai Stasiun Phaya Thai. Dari Stasiun Phaya Thai kami naik kereta jalur merah jambu sampai Stasiun Rachaprarop. Lalu kami berjalan kaki sampai penginapan kemi di Jalan Rachaprarop 9. Hari ini tidak ada tanda-tanda perang air sama sekali, mungkin ini terjadi karena puncak Songkran sudah lewat. Kami benar-benar kering ketika tiba di penginapan.

Kami sampai di penginapan untuk kembali mengatur koper dan barang bawaan. Di sinilah anak kami mulai rewel minta ampun. Perjalanan kami agak tertunda karena hal ini. Sama seperti ketika tiba di Bangkok pada Hari Pertama Membawa Bayi Ketika Wisata Bangkok & Pattaya, kami kembali akan menggunakan kereta untuk mencapai Bandara Suvarnabhumi. Setelah berjalan sampai Stasiun Ratchaprarop, kami naik kereta jalur merah muda menuju Bandara Suvarnabhumi. Di sana, kami langsung check-in dan menunggu waktu boarding. Setelah masuk ke dalam pesawat anak kami kembali rewel. Baru ketika mendarat di Jakarta ia agak tenang.

Bangkok

Bangkok

Perjalanan Bangkok – Jakarta di atas pesawat tersebut terbilang sulit. Kenapa yaaa? Saya rasa ini adalah karena faktor kelelahan dan karena tidak membawa sunblock. Wow, sunblock? Yaaaa, hal yang lupa kami pertimbangkan ketika merencanakan perjalanan ini. Berbeda dengan Singapura, sarana transportasi Thailand belum saling tersambung sehingga kami beberapa kali harus berjalan di bawah teriknya matahari. Mungkin, kulit yang sering terpapar matahari selama beberapa hari tersebut, menimbulkan rasa tidak nyaman yang menumpuk di hari terakhir. Saya akui kami sering sekali berjalan di bawah teriknya matahari untuk pindah Stasiun atau berjalan menuju Dermaga. Tapi ya memang sih, sarana transportasi yang menantang tersebut memberikan petualangan yang tak terlupakan, tapi ternyata ada dampak negatifnya juga. Objek wisata di Thailand pun, banyak yang sifatnya outdoor sehingga kami pun semakin sering terpapar sinar matahari. Parahnya, kami datang bertepatan ketika Songkran tiba. Songkran biasa jatuh pada saat suhu udara Thailand sedang sangat panas sekali. Ketika melihat ke cermin, wajah dan tangan saya nampak seperti terbakar. Pulang dari Thailand kulit kami sekeluarga semakin gosong :’D. Aduhhh, kalau tau begini, dari awal pakai sunblock deh. Yaaah ini pasti akan dijadikan sebagai pembelajaan kami para perjalanan wisata berikutnya. Kami belum kapok dan masih siap untuk kembali berpetualang ke negeri orang. Tapi, nabung dulu yaaaa…. ;).

Baca juga:
Hari Keempat Membawa Bayi Ketika Wisata Bangkok & Pattaya
Persiapan Wisata Thailand 2017
Ringkasan Objek Wisata Bangkok & Pattaya
Bagaimana Cara Naik Kereta di Bangkok?
Bagaimana Cara Naik Chao Praya Express di Bangkok?

Hari Keempat Membawa Bayi Ketika Wisata Bangkok & Pattaya Saat Songkran – Ancient City, Chatuchak & Pratunam

Setelah pada Hari Ketiga Membawa Bayi Ketika Wisata Bangkok & Pattaya kami berkeliling di pusat kota Bangkok, kali ini kami berencana untuk mengunjungi Ancient City atau Mueang Boran yang terletak sedikit di luar Bangkok, tepatnya di Propinsi Samut Prakan. Tujuan wisata ini bukan tujuan wisata yang umum dikunjungi oleh turis Indonesia. Entah di sana ada yang dapat berbahasa Inggris atau tidak. Yaaaah, saya pribadi sebenarnya agak deg-deg-an juga ketika hendak berangkat :’D.

Hari itu kami bangun lebih siang dari biasanya. Tapi masih sesuai itenari karena kami sudah memprediksi bahwa kami akan kelelahan setelah hari ketiga. Setelah sarapan dan membeli bekal, kami meninggalkan penginapan sekitar pukul 10. Perjalanan menggunakan kereta kali ini akan lebih panjang dan rumit karena tujuan kami adalah Stasiun paling ujung yang paling dekat dengan Ancient City. Kalau menggunakan taksi langsung dari penginapan, harganya akan jauh lebih mahal.

Seperti hari-hari kemarin, kami berjalan sampai Stasiun Ratchaprarop dengan penuh hati-hati agar kami tidak terlalu basah terkena air, yang penting anak kami tidak kena siram :D. Kemudian kami naik kereta sampai Stasiun Phaya Thai milik SRT. Setelah berpindah ke Stasiun Phaya Thai milik BTS, kami naik kereta jalur hijau tua sampai Stasiun Siam. Dari Stasiun Siam, kami naik kereta warna hijau muda yang ke arah Bearing karena kami akan turun di Stasiun Bearing. Perjalanan dari Stasiun Siam menuju Stasiun Bearing ini terasa lama dan melewati banyak Stasiun. Semakin lama, gemerlap kota Bangkok semakin memudar, berganti wajah menjadi pertokoan kecil dan perumahan sederhana.

Ketika kami turun dari Stasiun Bearing, kami langsung menemukan taksi-taksi yang berbaris menunggu penumpang. Saya langsung menunjukkan tulisan Mueang Borang dalam tulisan latin dan tulisan Thai. Pak supir langsung mengerti dan mengantarkan kami ke sana dengan menggunakan argo ;).

Mueang Borang atau Ancient City pada dasarnya merupakan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) versi Thailand. Objek wisata yang mulai dibangun pada 1963 ini, berupa sebuah taman luas yang berisi sekitar 116 replika berbagai peninggalan Thailand dari era Dvaravati, Khmer, Ayutthaya, Lanna, Sukhothai, Thonburi dan lain-lain. Peninggalan asli dari kerajaan di Thailand sudah rata dengan tanah atau dalam bentuk reruntuhan seperti di Ayutthaya. Memang sih, objek wisata di Ayutthaya itu adalah peninggalan yang asli walaupun dalam bentuk reruntuhan. Tapi saya pribadi lebih tertarik melihat bentuk yang utuh saja walaupun dalam bentuk replika. Toh replikanya dalam bentuk dan ukuran yang sama persis. Pembangunan Ancient City melibatkan banyak ahli sejarah sehingga detailnya tak perlu diragukan lagi.

Bangkok

Bangkok

Bangkok

Ketika tiba di Ancient City, kami langsung membeli tiket yang sudah termasuk tiket naik bus wisata. Di sana terdapat bus wisata yang berhenti di beberapa halte. Kami dapat naik turun sepuasnya di sana. Istana-istana berbagai kerajaan yang ada di sana nampak indah dan cocok sekali untuk spot foto-foto dan bersantai. Tempat ini memang sudah beberapa kali menjadi tempat syuting film atau acara TV.

Bangkok

Masih dalam rangka Songkran, di dalam area Ancient City ini ada beberapa warga lokal yang berkeliling sambil perang air. Tapi mereka tidak menyiram kami ketika melihat ada bayi. Warga lokal memang lebih faham dan taat aturan tidak boleh menyiram bayi disaat Songkran :). Kadang kami memang harus kerja ekstra saja untuk berteriak “baby” ketika mengelilingi Ancient City yang luas sekali.

Bangkok

Bangkok

Bangkok

Bangkok

Bangkok

Setelah berkeliling, kami kembali ke loket depan untuk menyewa mobil golf. Mobil golf disewakan per jam di loket depan dengan memberikan passport sebagai jaminan. Ini merupakan pengalaman baru bagi saya, keliling istana menggunakan mobil golf hehehehe. Asal bisa mengemudikan mobil, pastilah dapat dengan mudah mengemudikan mobil golf ini, gampang kok.

Sayang sekali, setelah sekitar 90 menit mengemudi, mobil golf tersebut mogok di lokasi paling ikonik tapi paling ujung dari Ancient City yaitu Pavilion of the Enlightened. Saya mengelilingi area tersebut dan tidak menemukan petugas atau pengunjung yang dapat berbahasa Inggris. Berbeda dengan semua objek wisata yang kami kunjungi sebelumnya, hampir semua pengunjung Ancient City adalah warga lokal. Supir bus wisata yang saya temui pun tidak dapak berbahasa Inggris. Akhirnya kami naik bus tersebut menuju pintu masuk Ancient City untuk komplain. Kami agak khawatir juga, jangan-jangan kami justru dituduh merusak mobil golf dan harus membayar denda. Pihak pengelola kemudian mengirim teknisi dan ternyata mobil tersebut kehabisan listrik. Mobil golf yang naiki memang menggunakan listrik sebagai bahan bakarnya. Mungkin mayoritas pengunjung rata-rata menyewa selama 1 jam. Nah kami memang berniat menyewa selama 2 jam. Pihak pengelola salah melakukan perhitungan dalam men-charge mobil tersebut. Kami akhirnya mendapatkan permintaan maaf sekaligus pembebasan biaya sewa mobil golf.

Hari sudah siang dan kami pun berjalan keluar untuk mencari taksi. Sesuai itenari, tujuan kami berikutnya adalah Chatuchak Weekend Market. Sama seperti ketika berangkat, kami berniat untuk naik taksi dan kereta. Kami naik taksi dari Ancient City sampai ke Stasiun Bearing. Dari Stasiun Bearing, kami naik kereta jalur hijau muda sampai Stasiun Siam. Dari Stasiun Siam, kami naik kereta jalur hijau tua dan turun di Stasiun Mo Chit.

Dari Stasiun Mo Chit, kami singgah dulu di Taman Chatuchak yang terletak di antara Stasiun Mo Chit dan Chatuchak Weekend Market. Taman tersebut luas dan bersih. Di sana kami istirahat dan menyantap bekal kami. Di sana, anak kami berlari-lari mengejar burung-burung yang berkumpul di area taman. Setelah kenyang dan puas beristirahat, kami berjalan ke arah Chatuchak Weekend Market.

Pada 1983, SRT (State Railway of Thailand) menyumbangkan sebidang tanah di samping Taman Chatuchak untuk dijadikan pasar. Pasar inilah yang yang kemudian berkembang menjadi Chatuchak Weekend Market. Awalnya, pasar ini hanya buka di akhir pekan. Namun karena besarnya jumlah pengunjung, maka pasar ini kemudian buka pula di hari lain. Chatuchak Weekend Market terus berkembang hingga akhirnya menjadi pasar terbesar di Thailand dengan lebih dari 15000 pedagang di dalamnya. Kini, pasar ini menjual barang antik, tanaman, elektronik, buku, baju, kosmetik, makanan kering, hewan peliharaan dan lain-lain.

Sayang, ketika kami tiba di sana, Chatuchack Weekend Market didominasi dengan deretan toko-toko tutup :(. Sama sekali tidak ada perang air di sana. Saya perhatikan toko yang masih buka di sana selama Songkran ini adalah toko alat mandi, pakaian, souvenir, makanan dan minuman kering. Tawar menawar di Bangkok adalah hal yang wajar tapi kadang mereka tidak sesabar orang Indonesia. Mereka bisa marah kalau kita menawar terlalu jauh, jadi ya harus sedikit hati-hati. Setelah berputar-putar, akhirnya di sana kami membeli sabun buah, Nestea Thai Milk Tea, durian kering dan mangga kering. Barang-barang ini sulit ditemukan di Indonesia dan merupakan sesuatu yang khas Thailand. Saya sendiri pada akhirnya ketagihan Nestea Thai Milk Tea ;). Berbeda dari biasanya, menjelang sore, toko-toko tersebut mulai tutup. Yaaah datang ke Thailand di saat Songkran memang kurang pas bagi turis yang doyan belanja. Beruntung kami bukan maniak belanja, jadi tidak terlalu kecewa.

Kami kemudian berjalan menuju Stasiun Mo Chit untuk kembali ke penginapan. Dari Stasiun Mo Chit, kami naik kereta jalur hijau tuan dan turun di Stasiun Phaya Thai. Dari Stasiun Phaya Thai, kami naik kereta jalur merah jambu dan turun di Stasiun Rachaprarop. Sama seperti beberapa hari yang lalukami berjalan melalui jalan tikus yang terhubung ke bagian belakang penginapan.

Setelah menaruh barang belanjaan dan sholat, kami kembali berangkat ke arah pertokan Pratunam untuk belanja. Kali ini kami menemukan sudut Pratunam yang tokonya sudah buka semua :D. Pakaian di daerah ini lebih variatif dan unik. Saya pun membeli pakaian di sini. Setelah selesai belanja, kami kembali pulang ke penginapan untuk mulai membereskan koper karena esok sore akan pulang ke Jakarta.

Baca juga:
Hari Kelima Membawa Bayi Ketika Wisata Bangkok & Pattaya
Hari Ketiga Membawa Bayi Ketika Wisata Bangkok & Pattaya
Ringkasan Objek Wisata Bangkok & Pattaya
Bagaimana Cara Naik Kereta di Bangkok?
Bagaimana Cara Naik Chao Praya Express di Bangkok?

Hari Ketiga Membawa Bayi Ketika Wisata Bangkok & Pattaya Saat Songkran – Grand Palace, Wat Phra Kaew, Wat Pho, Wat Arun & Pratunam

Bangkok

Setelah kemarin berkelana keluar kota pada Hari Kedua Membawa Bayi Ketika Wisata Bangkok & Pattaya pada hari ketiga ini ini kami akan mengunjungi objek wisata di tengah kota Bangkok yaitu Grand Palace, Wat Phra Kaew, Wat Pho dan Wat Arun. Seperti pernah saya jelaskan pada Persiapan Wisata Thailand 2017, hari inilah yang perencanaan agak tricky karena objek wisata ada yang sedang direnovasi, ada yang sedang merayakan Songkran, ada yang sedang berkabung atas meninggalnya raja Thailand.

Selain masalah waktu kedatangan, busana juga harus diperhatikan untuk dapat masuk ke dalam objek-objek wisata tersebut. Objek-objek yang kami kunjungi memang mengharuskan kami untuk berpakaian sopan dan tidak terbuka. Hari itu, kami menggunakan pakaian yang sopan sesuai dengan aturan, agar tidak harus membeli kain di tengah jalan. Di luar objek-objek wisata tersebut, banyak penjual kain bagi turis yang menggunakan celana pendek atau rok mini atau pakaian terbuka lainnya. Saat itu, saya sendiri menggunakan celana panjang dan sepatu. Istri saya sudah setiap hari berjilbab sehingga pakaiannya otomatis aman untuk masuk ke dalam beberapa objek wisata yang akan kami kunjungi.

Setelah selesai sarapan di penginapan dan membeli bekal di 7-Eleven, kami berjalan menyusuri Jalan Ratchaprarop 9 ke arah Stasiun Ratchaprarop. Jalanan pagi itu sepi sekali, bertolakbelakang dengan keadaan di malam hari. Kami tiba di Stasiun Ratchaprarop dalam keadaan kering. Cuaca Bangkok pagi itu terasa panas sekali. Songkran memang benar-benar berlangsung di saat Thailand sedang panas-panasnya.

Setibanya di Stasiun Rachaprarop, kami membeli tiket dan naik kereta jalur merah jambu dan turun di Stasiun Phaya Thai. Sama seperti pada …. kemarin, setelah berpindah ke Stasiun Phaya Thai milik BTS, kami naik kereta jalur hijau tua dan berhenti di Stasiun Saphan Taksin. Kemudian kami turun dari Stasiun dan berjalan kaki menuju Dermaga Sathorn dengan mengikuti petunjuk Google Maps.

Kali ini kami ke arah tempat orang-orang menunggu perahu lewat, janga pergi ke loket Asiatique. Perahu yang berhenti di dermaga ini adalah perahu Chao Praya Express. Karena tujuan pertama kami pagi itu adalah Grand Palace dan Wat Phra Kaew, maka kami menunggu perahu Chao Praya Express yang berlayar ke arah utara/north dan turun di Dermaga Tha Chang. Sesuai keterangan yang pernah saya jelaskan pada …., perahu Chao Praya Express yang dapat mengantarkan kami dari Dermaga Saphan Taksin sampai ke Dermaga Tha Chang [N9] adalah perahu dengan bendera warna oranye, hijau dan tanpa warna. Bagaimana dengan pembayarannya? Macam naik Metromini atau Patas, nanti ditagih di atas perahu, sebuah pengalaman yang unik ;).

Sedikit meleset dari itenari, kami tiba di Dermaga Tha Chang pada pukul 9 lewat. Dari sana kami berjalan menuju pintu masuk Grand Palace dan Wat Phra Kaew khusus turis asing dengan melihat penunjuk jalan resmi dan bertanya kepada petugas resmi. Di sini, pintu masuk orang lokal dipisah dengan pintu turis asing. Disinilah konon banyak terjadi penipuan. Pokoknya, kalau di Bangkok itu, sebisa mungkin jangan bertanya kepada sembarang orang yang bukan petugas atau polisi atau tentara. Terkadang ada yang sengaja membuat turis asing tersesat berjalan ke arah kuil lain atau pangkalan tuk-tuk. Di sanalah mereka melanjutkan aksi penipuan mereka dengan mengajak si turis untuk berjalan keliling kota dengan tarif yang tidak wajar. Buang-buang waktu dan uang saja. Bangkok itu sebenarnya aman, kitanya yang tetap harus waspada.

Setibanya di pintu masuk, kami membeli tiket dan mengantri masuk ke Grand Palace dan Wat Phra Kaew yang terletak di dalam area yang sama. Tempat ini ramai sekali, untuk masuk saja kami harus mengantri. Di dalam sana, banyak penduduk lokal yang datang dengan pakaian serba hitam dan duduk bersila di pinggir area Wat Phra Kaew. Hal ini terkait dengan berkabungnya mereka atas kematian Raja Bhumibol Adulyadej.

Di dalam, kondisinya ramai tapi tidak sampai penuh sesak, lebih lenggang dibandingkan keadaan di pintu masuk. Tempat ini luaaass dan memiliki banyak bangunan dengan gaya yang unik khas Thailand. Warna emas yang berkilau banyak sekali digunakan pada kompleks ini. Ini memang lokasi yang wajib dikunjungi ketika berwisata ke Bangkok, pokoknya bedalah suasananya. Awalnya, saya menggunakan peta untuk berkeliling di dalam area Wat Phra Kaew, lama kelamaan kami berkeliling saja tanpa peduli itu dimana. Kondisinya semakin ramai, panas terik dan semua bangunan lama kelamaan nampak mirip, hehehehe. Kami beberapa kali berfoto dan duduk sejenak menyantap bekal yang kami bawa. Bangunan yang paling penting dan unik pada dasarnya adalah bangunan utama Wat Phra Kaew atau Kuil Buddha Emerald, dan Chakri Maha Prasat. Di sekitar kedua bangunan tersebut memang banyak sekali paviliun dan kantor pemerintahan yang memiliki corak ala Thailand dan warna emas juga.

Bangkok

Bangkok

Bangkok

Wat Phra Kaew adalah bangunan dengan nomor urut 1 pada peta yang diberikan ketika membeli tiket. Kuil ini merupakan kuil Buddha paling sakral di Thailand. Kompleks kuil ini banyak menggunakan ornamen dan ukiran khas Thailand. Di dalam kuil tersebut, terdapat patung Budda Emerald yang warnanya hijau gelap seperti batu giok. Ini memang agak berbeda ya, mayoritas patung-patung di kuil tersebut berwarna emas.

Bangkok

Bangkok

Bangkok

Bangkok

Agak berbeda dengan Wat Phra Kaew, Chakri Maha Prasat Throne Hall nampak megah dengan gaya bangunan tua Eropa berwarna putih dan atap khas Thailand di atasnya. Bangunan ini dikelilingi dengan taman yang cantik, namun sayang kami tidak dapat melihat terlalu dekat atau masuk ke dalam karena Throne Hall sedang ditutup untuk upacara resmi Kerajaaan Thailand.

Bangkok

Jadi ketika saya ke sana, ada sekitar 2 bangunan yang tidak boleh dimasuki oleh pengunjung. Bangunan-bangunan tersebut nampak lebih western dibandingkan bangunan lainnya. Kalau dilihat jauh ke belakang, setelah ibukota kerajaan di Ayutthaya hancur akibat perang dengan Birma pada 1767, ibukota dipindah ke Bangkok. Kompleks Grand Palace mulai dibangun di pinggir Sungai Chao Praya dengan pagar-pagar yabg tinggi mengelilinginya. Di dalam kompleks tersebut, terdapat beberapa kantor pemerintahan dan Kompleks Wat Phra Kaew. Kompleks Grand Palace bisa dibilang memang dibangun di era yang sedikit modern. Istana lama mereka sendiri sekarang sudah dalam bentuk reruntuhan di wilayah Ayuttha dan sudah menjadi objek wisata.

Setelah keluar dari Kompleks Grand Palace, kami berjalan menyusuri tembok Grand Palace menuju Wat Pho jaraknya sekitar 500 meter ke arah selatan. Di sepanjang jalan inilah biasa terjadi penipuan dimana kadang ada orang lokal dan supir tuktuk yang menginformasikan bahwa Wat Pho tutup di siang hari. Selanjutnya mereka akan mengajak si korban untuk jalan-jalan keliling Bangkok sampai sore di saat Wat Pho sudah buka. Itu semua bohong, jangan percaya Wat Pho tutup sampai melihat sendiri di depan gerbangnya hohohohoho. Ketika kami menyusuri jalan antara Grand Palace dan Wat Pho, memang ada banyak supir tuktuk dan warga yang duduk tapi mereka tidak menawarkan apa-apa. Mereka seolah membuang muka ketika melihat saya berjalan sambil melihat Googlemaps di Smartphone saya ;). Walau rawan penipuan, jalan tersebut dijaga oleh beberapa polisi, jadi kami tetap merasa aman :).

Sesampainya di Wat Pho, keadaan cukup ramai karena ada perayaan Songkran di sana. Tapi syukurlah, perayaannya bukan dalam bentuk perang air, tapi seperti penyiraman air oleh beberapa biksu. Kami sendiri lebig memilih menontonnya sejenak, lalu masuk ke dalam bangunan utama War Pho untuk mengantri melihat Reclining Buddha. Kalau biasanya patung Buddha itu sedang dalam posisi duduk bersila, nah pada Reclining Buddha, Buddha nampak sedang dalam posisi separuh tidur. Patung dengan panjang 46 meter ini nampak panjang sekali. Untuk melihatnya, kami harus mengikuti jalur antrian menuju sebuah lorong yang terletak di depan patung tersebut. Patungnya memang bagus dan unik, tapi di sana terdapat sedikit kekurangan, bagian kaki yang paling ujung sedang diresrorasi sehingga sedikit tertutup oleh steger-steger kecil.

Bangkok

Setelah keluar dari bangunan utama, kami berkeliling kompleks kuil sebentar sebelum melanjutkan penjalanan kembali ke Dermaga Tha Tian. Dalam perjalanan menuju Dermaga Tha Tian, kami mampir di Tha Tian Market yang terletak menempel dengan Dermaga. Di sana kami menyantap berbagai makanan khas Thailand yang tidak menggunakan daging. Di sini memang relatif sulit memperoleh makanan halal :(.

Setelah kenyang, Dari Dermaga Tha Tian, kami menyebrang dengan kapal Ferry ke Wat Arun (Temple of Dawn). Wat Arun merupakan kuil yang sudah ada sejak ibukota kerajaan masih di Ayuttha. Tapi penambahan tinggi dan penambahan Prang yang kini membuat Wat Arun nampak unik, dilakukan setelah ibukota pindah ke Bangkok, pada masa pemerintahan Raja Rama II. Sebenarnya, gaya kuil ini mirip dengan kuil-kuil ikonik lain di Birma dan Myanmar. Bagi kami yang belum pernah ke Birma dan Myanmar, Wat Arun tentunya nampak unik dan megah, walaupun banyak steger pada Prang yang terbesarnya. Pada saat kami datang ke sana, Wat Arun tetap buka, tapi Prang utama akan direstorasi sehingga dalam waktu dekat Wat Arun akan tutup cukup lama. Dan ternyata, saat ini, setelah restorasi selesai, wajah Wat Arun agak berubah. Ketika kami ke sana, Wat Arun hadir natural sebagai bangunan tua dengan warna beton dan sedikit kehitaman. Sekarang, Wat Arun seperti dicet putih di beberapa bagian sehingga kuil ini nampak lebih putih dari kejauhan. Terjadi pro kontra dalam hal ini karena ada beberapa orang yang tidak suka dengan perubahan ini. Tapi saya rasa, pemandangan di Wat Arun tidak akan banyak berubah di saat senja datang. Sesuai julukannya, Temple of Dawn, kuil ini memang nampak cantik menjelang matahari terbenam.

Bangkok

Bangkok

Bangkok

Kami sendiri tidak menunggu sampai sunset di tempat ini. Kami memilih untuk berbelanja di pertokoan yang terletak di area Wat Arun. Di sana kami menyewa baju adat khas Thailand dan berfoto dengan latar belakang Wat Arun. Saya rasa ini lebih keren ketimbang foto studio yang kami lakukan pada ….. di Noong Noch. Selain itu, tarifnya sangat murah dan si pemilik bajunya mau membantu kami foto juga. Di area inipulalah terdapat pakaian-pakaian dengan harga yang sudah termasuk murah. Kami sendiri agak menyesal kenapa tidak membeli lebih banyak di sana. Jarang-jarang nih toko di area wisata menjual dengan harga murah.

Tak terasa hari sudah mulai gelap, dan kamipun mulai berjalan menuju Dermaga Wat Arun Ratchawararam [N8] untuk pulang ke penginapan. Dari saja, kami dapat memilih untuk naik perahu Chao Praya Express dengan bendera warna biru atau oranye atau tanpa warna sebagaimana pernah dibahas pada …. Kami naik perahu tersebut ke arah selatan dan turun di Dermaga Sathorn untuk selanjutnya berjalan ke Stasiun Saphan Taksin. Dari Stasiun Saphan Taksin kami kembali naik kereta jalur hijau tua dan berhenti di Stasiun Phaya Thai. Sama seperti ketika berangkat, kami kemudian naik kereta jalur merah jambu dan berhenti di Stasiun Rachaprarop.

Sepanjang hari itu, kami tidak terkena siraman air sama sekali. Semua objek wisata yang kami kunjungi hari itu, tidak ada perang airnya sama sekali. Nah perjalanan dari Stasiun Rachaprarop menuju penginapan di malam hari inilah yang penuh tantangan karena jalur yang kami lewati adalah jalur perang air yang sebenarnya seru dan heboh. Kami beberapa kali harus menenangkan anak kami yang kaget dan ketakutan melihat semprotan air dimana-mana. Saya sendiri sampai di penginapan dalam keadaan basah kuyup.

Sesuai dengan itenari yang sudah saya susun, sebenarnya tujuan selanjutnya adalah Pasar Pratunam dan Yok Yor Cruise. Tapi karena hari telah malam, kami memutuskan untuk hanya ke Pasar Pratunam saja. Yok Yor merupakan nama salah satu kapal yang menyajikan acara makan malam sambil menyusuri Sungai Chao Praya di malam hari. Biasanya terdapat hiburan musik pula di atas kapal seperti yang pernah kami lihat dari Asiatique The Riverfront pada Hari Pertama Membawa Bayi Ketika Wisata Bangkok & Pattaya. Ketika menaiki Chao Praya Express, kurang lebih kami sudah merasakan Sungai Chao Praya di sore hari. Makanan yang disajikan pun belum tentu enak. Selain itu, kami khawatir kalau angin malam dapat membuat anak kami sakit. Hari ini sudah terlalu melelahkan, sebaiknya kami menyimpan stamina untuk esok hari.

Setelah mandi dan ganti baju, kami keluar dari penginapan lewat pintu belakang. Ternyata ada jalan tikus yang aman dari perang air Songkran. Kami diberitahu turis Eropa yang melihat kami membawa bayi. Kebetulan kami memang menginap di wilayah Pratunam, jadi kami hanya berjalan sedikit untuk mencapai wilayah pertokoan. Sayang, pertokoan di Pratunam dan sekitarnya banyak yang tutup selama Songkran. Toko yang buka pun, tutup lebih cepat malam itu. Souvenir dan pakaian menjadi produk yang banyak dijual di wilayah pertokoan yang saya lewati. Harganya relatif murah untuk kualitas yang nampak bagus.

Setelah selesai belanja, kami makan malam di restoran India yang menyajikan hidangan India dan Thailand halal. Berbeda dengan di Singapura, McDonalds dan fastfood asing lainnya di Thailand ini, ternyata tidak halal. Sebenarnya di daerah Pratunam terdapat daerah yang penuh dengan restoran halal. Konon makanan halal sangat mudah dijumpai di dekat Masjid Darul Aman yang terletak di sekitar Stasiun Ratchatdewi. Tapi sayang lokasinya sangat jauh dari daerah pertokoan dan penginapan saya kalau dijangkau dengan berjalan kaki. Posisi kami saat itu pub tidak menguntungkan pula untuk berjalan menuju Stasiun terdekat, posisinya jauh. Ternyata hidangan di restoran India yang kami singgahi, terasa lumayan enak, entah karena kelapan atau kenapa ya, pokoknya lumayan enak, yummmm hehehehe.

Setelah kenyang, kami kembali mampir ke beberapa toko sebelum akhirnya pulang ke penginapan melewati jalur tikus yang aman dari perang air ;). Sampai penginapan, kami langsung tidur untuk melakukan perjalanan sedikit keluar kota pada Hari Keempat Membawa Bayi Ketika Wisata Bangkok & Pattaya. Sebuah perjalan yang cukup menantang karena kali ini kami akan menggunakan kereta dan taksi, objeknya agak jauh.

Baca juga:
Hari Keempat Membawa Bayi Ketika Wisata Bangkok & Pattaya
Hari Kedua Membawa Bayi Ketika Wisata Bangkok & Pattaya
Ringkasan Objek Wisata Bangkok & Pattaya
Bagaimana Cara Naik Kereta di Bangkok?
Bagaimana Cara Naik Chao Praya Express di Bangkok?

Hari Kedua Membawa Bayi Ketika Wisata Bangkok & Pattaya Saat Songkran – Noong Noch, Laser Buddha, Sanctuary of Truth, Wat Phra Yai & Pattaya View Point

Bangkok

Setelah kemarin tiba di Bangkok dan berjalan-jalan di Asiatique The Riverfront pada Hari Pertama Membawa Bayi Ketika Wisata Bangkok & Pattaya, hari ini kami memilih untuk berangkat ke Pattaya. Pattaya adalah sebuah kota yang terletak sekitar 150 km dari Bangkok. Kota ini terkenal akan pantai dan pertunjukan ladyboy-nya. Tapi kami tidak ke sana untuk melihat keduanya hehehehehe. Aneh bukan? Terus terang Pantai yang Pattaya miliki, ada juga di Indonesia. Bahkan Indonesia memiliki pantai yang lebih cantik daripada Pattaya. Kami datang ke Thailand untuk melihat sesuatu yang tidak ada di Indonesia ;). Bukankah pertunjukkan ladyboy tidak ada di Indonesia? Ya, betul, tapi pertunjukkan tersebut kurang cocok bagi bayi. Selain itu, saya pribadi kurang suka dengan pertunjukan-pertunjukan seperti itu. Kami datang ke Pattaya untuk mengunjungi objek lain selain kedua hal tersebut.

Awalnya, kami berencana untuk naik bus dari Terminal Bus Mo Chit ke Pattaya. Lalu naik songthaew setibanya di sana. Songthaew adalah mobil bak terbuka yang bagian belakangnya diberi bangku dan atap. Tapi karena kami membawa bayi di saat Songkran, akan sangat sulit untuk naik bus umum dan songthaew. Cuaca Thailand di saat Songkran biasanya sangat panas, kasihan bayi kami. Maka, akhirnya kami memutuskan untuk menyewa taksi selama seharian penuh di hari kedua kunjungan kami ini. Melalui Group Backpacker Indonesia di Facebook, kami memperoleh nomor supir taksi Thailand yang harganya sangat ekonomis. Di dalam grouo Facebook tersebut, banyak sekali nomor supir taksi beserta tarif dan testimoninya. Kalau saya perhatikan, supir taksi yang bisa berbahasa Indonesia akan menarik harga yang lebih mahal ketimbang supir taksi yang hanya bisa berbahasa Inggris dan Thailand saja. Dengan demikian, kami memilih supir taksi yang tidak bisa berbahasa Indonesia tapi memiliki testimoni yang bagus hehehehe, lebih hemat.

Setelah sarapan di penginapan, saya mampir ke 7-Eleven yang terletak di samping penginapan untuk membeli onigiri. Mirip seperti onigiri yang pernah dijual di 7-Eleven Indonesia dan Lawson Indonesia, onigiri-nya 7-Eleven Thailand terbuat dari ikan tuna/salmon, nasi, rumput laut dan saus. Mulai hari kedua ini, onigiri menjadi bekal kami setiap kami berangkat di pagi hari.

Setelah keluar dari 7-Eleven, saya bertemu dengan pak supir yang sudah datang tepat waktu, pukul 7 pagi. Kami membooking untuk berkeliling sesuai keinginan kami sejak pukul 7 pagi hingga 7 malam untuk beberapa ribu Bath. Akan ada biaya tambahan sebesar ratusan bath per jam kalau kami masih menggunakan jasanya di atas pukul 7 malam. Tujuan kami di hari kedua ini sudah kami rencanakan dan tiket masuknya sudah kami beli sejak di Indonesia secara on-line.

Taksi yang kami gunakan adalah mobil sedan yang nyaman dan bersih, bayi kami tidak rewel selama perjalanan. Perjalanan dari Bangkok ke Pattaya kami tempuh kurang lebih selama 2 jam. Tapi sebelum sampai di sana, saya baru menyadari bahwa saya lupa membawa print-out tiket online yang sudah saya siapkan, semua tiket masih berada di smartphone dan flashdisk saya. Maka kami berkeliling kota Pattaya sejenak untuk mencari toko yang menerima jasa print. Mayoritas penjaga toko di sana tidak bisa berbahasa Inggris, untunglah pak supir dengan cekatan membantu sampai akhirnya kami dapat mem-print tiket-tiket kami.

Setelah memperoleh print-out tiket, kami berangkat menuju Noong Noch. Setibanya di sana, saya memberikan print-out tiket saya kepada pak supir untuk ditukarkan dengan tiket fisik. Persaingan berbagai objek wisata di Pattaya menyebabkan adanya tip bagi orang yang membawa tamu ke objek wisata tersebut. Kemungkinan besar pak supir memperoleh tip dari pengelola objek wisata ketika ia menukarkan tiket. Kami tidak masalah dengan hal ini, toh beliau tepat waktu, ramah dan helpful. Setelah kami memperoleh tiket fisik, kami ke dalam Noong Noch, sementara pak supir standby menunggu di parkiran. Noong Noch adalah taman tropis seluas 2 kilometer persegi. Di sana terdapat berbagai taman tropis dengan tema yang berbeda-beda. Cuaca yang sangat panas, tentunya sangat menyulitkan bila kita harus berjalan mengitari taman-taman tersebut. Kami akhirnya memutuskan untuk naik mobil wisata yang berputar ke seluruh taman dan berhenti di 2 titik terpopuler. Taman tropis ini mungkin akan sangat menarik bagi pecinta tanaman dan turis yang berasal dari negara non tropis. Saya pribadi tidak melihat sesuatu yang menakjubkan di sana, tapi paling tidak memang ada beberapa ornamen yang unik. Alasan utama kami ke sana bukanlah untuk melihat taman, tapi melihat pertunjukan dan binatang.

Bangkok

Bangkok

Bangkok

Kedua hal itulah yang kemungkinan akan disukai oleh bayi kecil kami. Dalam perjalanan wisata ini, paling tidak harus ada objek yang memang untuk dia. Di sana kami menonton pertunjukkan budaya yang menunjukkan perkembangan budaya Thailand dari masa lalu hingga sekarang dalam bentuk tarian dan nyanyian. Pertunjukkannya lumayanlaaah, memang tidak sedahsyat pertunjukkan China Folk Culture Village di Shenzen sih, tapi pertunjukkan Noong Noch ini tetap merupakan sesuatu yang tidak dapat kami saksikan di Indonesia. Kemudiam kami melihat berbagai binatang yang membuat si kecil tertawa riang. Atraksi dari berbagai gajah merupakan sesuatu yang menarik. Anak kami memang agak takut tapi ia nampak penasaran. Pertunjukkan gajah di Noong Noch lebih variatif dan melibatkan lebih banyak gajah dibandingkan pertunjukkan gajah di Taman Safari atau Singapore Zoo. Tak lupa kami mampir ke studio di dekat pertunjukkan gajah untuk membuat foto keluarga menggunakan baju daerah Thailand, yaaaah buat kenang-kenangan.

Tidak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 1 siang padahal kami baru mengunjungi 1 objek wisata, jauh meleset dari itenari kami :’D. Untuk menghemat waktu, kami menyantap bekal kami di dalam mobil sambil melanjutkan perjalanan menuju Khao Chi Chan atau lebih dikenal dengan nama Laser Buddha. Pada dasarnya tidak banyak hal yang dapat dilakukan di sana. Kami hanya turun sejenak untuk melihat ukiran Buddha di Gunung Khao Chi Chan. Ukiran ini dibuat dengan memggunakan laser pada tahun 1996 dan konon merupakan ukiran buddha terbesar di dunia. Kami hanya melihat-lihat sebentar dan berfoto-foto untuk kemudian melanjutkan perjalanan menuju Sanctuary of Truth. Kalau kita memilih menggunakan jasa travel, sudah hampir pasti kita akan diajak ke Kebun Anggur karena Noong Noch, Laser Buddha dan Kebun Anggur memang berdekatan. Terus terang kami tidak tertarik untuk melihat kebun-kebun yang hijau-hijau lagi, sudahlah cukup di Noong Noch saja hehehehehe. Objek-objek selanjutnya bukanlah objek yang biasa dikunjungi oleh turis asal Indonesia ;).

Bangkok

Tapi sebelumnya, kami makan siang dulu. Bekal yang kami bawa sepertinya kurang apabila digunakan untuk menambal isi perut sampai malam. daripada kelaparan di sore hari, kami mampir ke restoran tom yam halal atas rekomendasi pak supir. Saya lupa apa namanya, yang pasti restoran ini terletak di samping masjid dan dipenuhi turis asal Malaysia. Rasa tom yam seafood yang kami pesan terasa asam-kecut-pedas dengan takaran yang pass. Yuummmm, ini tom yam paling enak yang pernah saya makan sekaligus termahal yang pernah saya makan juga. Tal apalah, rasa sepadan dengan rasanya kok. Lucunya, di tempat inilah kami membeli sepatu bebek yang sampai tulisan ini saya buat, menjadi sepatu kesayangan anak kami :’D.

Setelah kenyang, kami melanjutkan perjalanan ke Sanctuary of Truth. Berkat bantuan Waze, kami akhirnya tiba di Sanctuary of Truth atau Prasat Sajja Tham. Sepanjang perjalanan, pak supir sebenarnya beberapa kali menawarkan untuk mampir di objek wisata lain. Tapi karena kami sudah membeli tiket dan memiliki itenari yang fix, maka saya menolak semua tawaran tanpa rasa sungkan. Pak supirnya tidak marah kok, toh tiket online Sanctuary of Truth kami, dia yang menukarkan menjadi tiket fisik. Melihat raut mukanya yang sumringah ketika membawakan kami tiket fisiknya, mungkin beliau memperoleh tip? Atau memang mereka sangat sopan? Orang Thailand pada dasarnya memang sopan dan murah senyum seperti orang Indonesia ;).

Sanctuary of Truth adalah istana megah yang 100% terbuat dari kayu dan dipenuhi oleh ukiran dan patung dengan tema budaya Thailand. Bangunan yang terletak di pinggir laut ini mulai dibangun pada masa pemerintahan Raja Rama IX dan belum selesai sampai sekarang. konon, istana ini akan terus diperluas tanpa ada batasan kapan selesainya. Kami sendiri harus menggunakan helm ketika mengunjungi objek wisata ini. Ketika saya ke sana, saya melihat banyak seniman yang masih mengerjakan beberapa bagian. Hal ini tidak mengurangi keindahan dan keunikan Sanctuary of Truth karena saat itu saja bangunannya sudah besar dengan ukiran dan patung yang beranekaragam. Di sini banyak sekali spot foto yang unik dan beda. Sebenarnya, di sana terdapat pertunjukkan tari, perang pedang, penyewaan gajah, penyewaan kuda dan penyewaan baju adat. Tapi karena telat, kami hanya dapat berfoto dan bersantai sejenak di sana, menikmati pemandangan yang ada.

Bangkok

Bangkok

Bangkok

Bangkok

Bangkok

Bangkok

Bangkok

Bangkok

Waktu sudah menunjukkan pukul 4 sore, setelah Sanctuary of Truth, kami melanjutkan perjalanan menuju Wat Phra Yai Pattaya yang terletak di Bukit Pratumna, di antara Pattaya dan Pantai Jomtien. Terletak tinggi di atas bukit, Kuil Buddha yang dibangun pada tahun 1940 ini memiliki tangga masuk yang unik. Di atas, terdapat banyak patung-patung dan dekorasi berwarna emas. Dari atas, kami juga dapat melihat Pantai Jomtien dan sekitarnya.

Bangkok

Pemandangan Pattaya dan Pantai Jomtien akan nampak lebih indah lagi dari Pattaya View Point. Objek tersebut sebenarnya tidak masuk ke dalam radar kami. Pak supir yang menyarankan kami untuk ke sana karena lokasinya tak jauh dari Wat Phra Yai Pattaya dan tempat tersebut sangat bagus untuk melihat sunset. Pak supir berkata, “You go to Pattaya, you must see sunset near the sea”. Pak supir ada benarnya juga sih, daripada melihat sunset di Wat Phra Yai Pattaya, lebih baik pindah ke spot yang lebih ok. Sama seperti Laser Budda dan Wat Phra Yai Pattaya, objek ini gratis dan sedikit ramai, hore! Paling seneng deh kalau dengar kata-kata gratis hehehehehe. Di sana, kami dapat menikmati sunset tanpa harus berdesak-desakan. Pemandangan sore hari di sana benar-benar cantik, kami tidak menyesal deh ke sana.

Bangkok

Ini adalah objek wisata terakhir kami di hari kedua ini. Kami kemudian melanjutkan perjalanan pulang menuju penginapan. Sesuai informasi yang kemarin kami dapatkan, jalanan depan penginapan menjadi arena perang air. Karena kami naik taksi dan langsung berhenti di depan penginapan, kami tidak kebasahan. Sebenarnya saya sendiri tergoda untuk ikut bermain air, sepertinya seru. Tapi mengingat saya harus menjaga stamina dan ingat bahwa masih ada 3 hari lagi di Thailand, saya memilih untuk naik ke kamar setelah berpamitan dengan pak supir yang baik, sigap dan ramah :D. Saya rasa keputusan untuk menyewa taksi adalag keputusan yang paling tepat untuk kondisi kami karena penggunaan waktu kami menjadi lebih efisien sehingga kami dapat memperoleh banyak objek wisata dalam 1 hari. Besok, kami akan mengunjungi objek-objek wisata di jantung kota pada Hari Ketiga Membawa Bayi Ketika Wisata Bangkok & Pattaya.

Baca juga:
Hari Ketiga Membawa Bayi Ketika Wisata Bangkok & Pattaya
Hari Pertama Membawa Bayi Ketika Wisata Bangkok & Pattaya
Ringkasan Objek Wisata Bangkok & Pattaya
Bagaimana Cara Naik Kereta di Bangkok?
Bagaimana Cara Naik Chao Praya Express di Bangkok?

Hari Pertama Membawa Bayi Ketika Wisata Bangkok & Pattaya Saat Songkran – Suvarnabhumi & Asiatique

Bangkok

Setelah melakukan berbagai persiapan pada Persiapan Wisata Thailand 2017, akhirnya saya dan keluarga saya berangkat menuju Bangkok dengan menggunakan tiket Garuda Indonesia diskonan, sebuah promo yang kami peroleh pada travel fair :). Kami berangkat dari Bandara Soekarno Hatta pada pukul 09:30 dan tiba di Bandara Suvarnabhumi Bangkok pada pukul 13:10. Mirip seperti perjalanan kami ke Singapura pada Wisata Singapura, saya dan istri kembali membawa anak kami yang umurnya masih di bawah 2 tahun. Syukurlah perjalanan di atas pesawat berjalan lancar dan tidak terjadi huru-hara.

Karena negara ASEAN seperti Indonesia termasuk negara bebas Visa untuk masuk ke Thailand, maka ketika turun dari pesawat kami langsung berjalan ke arah loket imigrasi negara ASEAN. Kedatangan dari Jakarta ada di lantai 2 dan kami langsung berjalan mengikuti petunjuk arah yang ada. Syukurlah antrian dan proses imigrasi berjalan cepat dan lancar :). Kemudian kami pergi ke arah pengambilan koper untuk mengambil barang bawaan kami. Bandara yang terletak di ibukota Thailand ini tertata rapih dan memiliki penunjuk jalan yang mudah difahami. Akantetapi ada baiknya untuk tetap waspada karena Thailand adalah negara berkembang seperti Indonesia, kejahatan bisa saja datang apabila ada kesempatan. Dalam hal ini, kami sudah melakukan pembagian tugas. Saya membawa tas kecil di depan, tas punggung, stroller lipat dan 2 koper besar. Sementara itu istri saya menggendong anak kami dengan gendongan bayi, tas punggung dan 1 koper sedang. Formasi ini sudah pernah kami terapkan ketika kami berwisata ke Singapura. Tapi ini Thailand, sudah pasti perjalanan ini akan lebih menantang :’D.

Bangkok

Bangkok

Bangkok

Dari tempat pengambilan koper, kami pergi ke arah loket penjualan SIM Card. Pada dasarnya, loket penjualannya ada 2. Yang pertama terletak tepat di depan loket pengambilan koper. Yang kedua terletak agak keluar, di dekat pintu keluar bandara di lantai 1. Paket liburan dan paket hemat lainnya hanya tersedia di loket penjualan yang kedua, tapi antriannya panjang sekali. Loket penjualan yang pertama memang hanya menyediakan paket biasa yang sedikit lebih mahal tapi antriannya sepi. Karena kami membawa anak kecil dan memperhitungkan waktu juga, maka kami memilih untuk membeli di tempat yang pertama. Perbedaan harganya tidak terlalu jauh kok, toh kami hanya menggunakan sinyal Smartphone kami untuk membuka Waze, Google Maps dan sesekali Whatsapp. Toh kalau sedang liburan seperti ini, kami lebih sering berfoto-foto untuk photobook pribadi, bukan untuk diupload ke media sosial ;). Setelah membeli SIM Card, akan ada petugas yang membantu pendaftaran paket dan lain-lain, persyaratannya hanya passport saja ;).

Bangkok

Ok, mau apa selanjutnya? Menuju penginapan tentunya. Ada 3 pilihan transportasi yaitu kereta, taksi dan bus. Bus dan taksi tidak kami pilih karena jalanan Bangkok macetnya sama seperti Jakarta. Selain itu posisi penginapan kami terletak tak jauh dari Stasiun MRT Ratchaprarop yang secara langsung berada di jalur ARL (Airport Rail Link) atau City Line. Kami kemudian membeli tiket di loket ARL atau vending machine Bandara di lantai B seperti pernah dijelaskan pada…. Kemudian kami turun 1 lantai lagi untuk masuk ke ruang tungg kereta. Karena semua kereta dari Suvarnabhumi pasti berhenti di Stasiun tujuan kami, Stasiun Ratchaprarop, maka kami bebas memilih naik kereta mana saja. Setelah kereta datang, kami masuk ke dalam kereta dan turun sekitar 5 Stasiun kemudian. Pada kunjungan pertama ke Stasiun Ratchaprarop ini, kami turun menggunakan tangga yang panjang sekali, letak stasiun-stasiun di Bangkok memang tinggi sekali.

Bangkok

Bangkok

Bangkok

Bangkok

Bangkok

Dengan berbekal peta online, kami lalu berjalan 500 meter menuju penginapan kami, Shadi Home, yang terletak di Jalan Ratchaprarop 8. Orang-orang sekitar nampak acuh melihat kami yang berjalan dengan membawa koper-koper besar. Ketika saya menengok ke belakang, ternyata ada juga orang lain yang membawa koper besar seperti kami. Daerah Ratchaprarop ternyata merupakan daerah penginapan. Sepanjang Jalan Ratchaprarop 8 yang bersih dan rapih, saya melihat jejaran toko, kafe dan panti pijat di sela-sela penginapan kecil dan sedang. Sesekali kami berpapasan dengan ladyboy yang lalu lalang di jalan tersebut. Jujur saja awalnya saya agak khawartir apakah kami telah memilih wilayah penginapan yang salah? Apakah yaaa Bangkok memang seperti itu? Alasan kenapa kami memilih Shadi Home karena lokasi yang dekat dengan Stasiun, Pratunam, dan tersedianya makanan halal di sana. Andaikata kami kesulitan mencari makanan halal, kami dapat membeli bekal langsung di penginapan ;).

Kondisi bagian dalam penginapan tersebut bersih, rapih dan meyakinkan. Kamarnya pun sederhana, bersih dan nyaman. Syukurlah kondisi di dalam penginapan meyakinkan saya bahwa tempat ini aman dan bukan daerah rawan. Memang sih fasilitasnya tidak mewah tapi ini cukup pas untuk kami sekeluarga. Jadi tidak ada wifi, kolam renang dan TV kabel. Tapi ada TV lokal, AC, dan kamar yang cukup luas untuk harga yang ekonomis. Toh kami akan lebih banyak berjalan-jalan di luar penginapan. Seperti yang pernah saya jelaskan pada Persiapan Wisata Thailand 2017, kami datang jauh-jauh bukan untuk wisata hotel hehehehe.

Setelah istirahat dan makan siang di penginapan. kami berangkat menuju Asiatique The Riverfront di sore hari. Untuk pergi ke sana, kami menggunakan kereta dan perahu. Keluar dari penginapan, kami kembali berjalan menuju Stasiun Ratchaprarop. Ini adalah kedua kalinya kami mampir di Stasiun ini dan kami tidak menemukan lift. Terpaksa kami naik tangga yang panjang dan curam. Istri saya naik sambil menggendong si kecil menggunakan gendongan bayi, sedangkan saya naik sambil membawa tas dan stroller yang dilipat. Whoaaa, olah raga ini sih, lelah juga kalau harus seperti ini setiap hari. Kemudian sesampainya di atas, kami membeli tiket dan pergi ke peron. Peronnya tidak ber-AC dan pengap. Padahal kondisi Stasiun terbilang sepi. Apakah setiap hari sesepi ini kondisinya?

Kebetulan kami tidak sengaja tiba ke Bangkok, sehari sebelum hari raya Songkran. Songkran atau festival air adalah perayaan tahun baru yang berlangsung selama 3 hari. Perubahan tahun dalam kepercayaan mereka, berlangsung selama 3 hari, bukan sehari seperti tahun baru hijriah atau masehi. Selama Songkran berlangsung, mayoritas penduduk Thailand pulang ke kampung halaman masing-masing. Jadi kami datang di saat Bangkok sedang sepi dan tidak terlalu macet. Sayangnya, banyak toko-toko yang tutup dan banyak event-event yang sebenarnya seru tapi kurang pas untuk anak bayi. Selama Songkran berlangsung, seluruh kota menjadi ajang perang siram-siraman air. Mereka percaya bahwa ketika mereka menyiram orang lain ketika Songkran, mereka memberikan rezeki dan berkah bagi orang yang mereka siram. Jadi, apabila kita keluar berjalan-jalan di waktu Songkran berlangsung, bersiaplah untuk basah. Di mana-mana, akan terjadi perang air, terutama di waktu sore dan malam hari. Ada yang menggunakan pistol air raksasa, selang, ember dan lain-lain. Di tengah kota, bahkan mobil pemadam kebakaran dan gajah pun ikut bermain air, seru bukan? Iya seru kalau tidak membawa bayi :”(. Bayi tentunya akan menagis ketakutan dan masuk angin kalau disiram. Sebenarnya masyatakat asli Thailand itu tabu kalau menyiram air di waktu Songkran. Masalahnya, kami di Bangkok, dan orang-orang yang ikut main air di Bangkok adalah kaum pendatang dan wisatawan yang kadang kurang faham. Mayoritas penduduk lokal Bangkok sedang mudik, tersisalah kaum pendatang dan wisatawan.

Songkran bukanlah satu-satunya tantangan yang harus kami hadapi, tapi wafatnya Raja Thailand pun ikut berpengaruh. Jadi, ketika kami datang ke Thailand, Raja Bhumibol Adulyadej belum genap setahun wafat. Masa berkabung mereka ternyata bukan 3 hari, melainkan setahun. Maka akan ada upacara-upacara tertentu yang membuat beberapa objek wisata ditutup pada jam-jam tertentu. Kami harus lebih taktis dan cerdas dalam memilih waktu kunjungan di sini :’/.

Pada hari pertama wisata kami ini, Songkran belum dimulai, dan saya masih melihat banyak tulisan belasungkawa. Beberapa toko masih buka dan banyak sekali pedagang pistol air dan senapan air yang keren-keren. Esok hari, barulah perang dimulai. Hari ini belum ada perang air. Mulai besok, kami harus lebih waspada ketika sedang berada di jalanan. Konon bagian dalam kereta dan bus akan menjadi tempat yang aman dari siraman air.

Perjalanan kami dari penginapan ke Stasiun Ratchaprarop berjalan lancar tanpa siraman. Kemudian dari Stasiun Ratchaprarop kami naik kereta jalur merah muda untuk berhenti di Stasiun SRT Phaya Thai. Dari Stasiun SRT Phaya Thai, kami harus turun dan menyeberang jalan, kemudian naik ke Stasiun BTS Phaya Thai untuk menaiki kereta jalur hijau tua. Seperti saya jelaskan pada Bagaimana Cara Naik Kereta di Bangkok?, jalur kereta merah muda adalah milik SRT State Railway of Thailand), sedangkan jalur hijau tua adalah milik BTS (Bangkok Mass Transit System). Pemilik jalurnya berbeda, maka Stasiunnya berbeda pula walau namanya sama. Kalau sama-sama milik BTS, maka tidak perlu mencari Stasiun lain, paling hanya pindah lantai saja, tapi lokasi stasiunnya tetap sama. Kenapa sih kok BTS dan SRT tidak kompak membuat Stasiun bersama? Huff, agak repot dan kurang nyaman sih kalau begini, kita harus naik turun tangga. Tapi pada penjalan inilah kami menemukan lift. Oooooh ternyata pada beberapa stasiun, tersedia lift di pojokan, kita harus teliti mencari.

Dari Stasiun Phaya Thai milik BTS, kami naik kereta jalur hijau tua untuk berhenti di Stasiun Saphan Taksin. Kemudian kami turun dan berjalan menuju Dermaga Sathorn. Kami masuk ke area Dermaga dan menghampiri seseorang tak berseragam yang berteriak “Asiatik” berkali-kali seperti timer terminal. Di Thailand, perahu-perahu memang seperti angkot, dan Dermaga itu seperti Terminal. Setelah kami membayar di loket, kami memperoleh karcis yang akan diperiksa di dalam perahu. Ruang tunggu di Dermaga ini sederhana dan penuh angin, beruntung kami sudah siap dengan jaket. Tak lama kemudian, datang perahu yang membawa kami menuju Asiatique The Riverfront. Baiklah, kali ini kami melakukan kesalahan. Sebenarnya ada perahu gratis dari Dermaga Sathorn menuju Asiatique. Seharusnya ketika tiba di Dermaga Sathorn, kami mengabaikan terikan kenek perahu. Seharusnya kami cukup mengikuti tanda jalan berwarna merah dengan tulisan “Asiatique”.

Asiatique The Riverfront pada dasarnya merupakan pasar malam di pinggir sungai dengan sarana yang bersih dan rapih. Sesampainya di Asiatique kami melihat matahari terbenam di pinggir Sungai Chao Praya dan melihat kapal-kapal unik melewati Sungai tersebut. Pada malam hari, banyak Dinner Cruise hilir mudik di sepanjang Sungai. Mereka melewati Asiatique dengan lampu-lampu hias dan musik yang kencang, yaaah sekalian iklan. Agak masuk ke dalam, kami melihat kincir angin raksasa dan anek permainan anak-anak. Di sana terdapat pula aneka jajanan ringan yang nampak lezat. Kemudian terdapat pula toko-toko yang menjual baju, souvenir dan lain-lain. Diantara terdapat Miniso yang pada saat saya ke sama, belum buka cabang di Indonesia. Diantara beberapa toko souvenir yang ada, terdapat toko Kon Fai. Inilah toko yang direkomendasikan di Group Backpacker Indonesia. Pedagangnya bisa berbahasa Indonesia dan katanya sih murah. Pada waktu itu kami tidak membeli banyak di Kon Fai karena ini adalah objek wisata pertama kami, aaahhhh siapa tahu do tempat lain lebih murah. Aw ternyata kami salah, di akhir perjalanan wisata Thailand ini, kami baru menyadari bahwa souvenir yang Kon Fai jual memang termasuk lumayan murah .. ah nasibbb nasibbb.

Setelah menyantap makanan ringan dan jus duren yang enaaaaak sekali, kami pulang dengan cara yang sama seperti berangkat. Dari tempat kami tiba di Asiatique, kami membeli tiket perahu untuk pergi dan turun di Dermaga Sathorn. Dari Dermaga Sathorn kami menuju Stasiun Saphan Taksin dan kembali naik kereta jalur hijau tua menuju Stasiun Phaya Thai. Setelah turun dari Stasiun Phaya Thai milik BTS dan naik ke Stasiun Phaya Thai milik SRT, kami naik kereta jalur merah jambu untuk turun di Stasiun Rachaprarop. Naahhhhh disaat itulah kami menemukan lift, kenapa tadi siang tidak terlihat yaa? x__x.

Pada perjalanan kami dari Stasiun Rachaprarop menuju penginapan, terlihat sudah banyak orang-orang yang bermain air. Saya sendiri sudah basah kuyup ketika tiba di penginapan. Sementara itu istri saya dan bayi kami relatif tetap kering tapu sepanjang jalan harus terus berkata “baby”. Semua kosa kata bahasa Thai yang sudah kami siapkan di Indonesia menguap begitu saja :’D. Menurut info dari salah satu penjaga toko, jalan di depan penginapan kami ini akan menjadi “Songkran war zone” besok malam. Waduh, perjalanan wisata hari kedua kami nampaknya akan lebih menantang lagi. Bersambung ke Hari Kedua Membawa Bayi Ketika Wisata Bangkok & Pattaya yaaaah ;).

Baca juga:
Hari Kedua Membawa Bayi Ketika Wisata Bangkok & Pattaya
Persiapan Wisata Thailand 2017
Ringkasan Objek Wisata Bangkok & Pattaya
Bagaimana Cara Naik Kereta di Bangkok?
Bagaimana Cara Naik Chao Praya Express di Bangkok?

Bagaimana Cara Naik Kereta di Bangkok?

Bangkok

Ketika saya berkunjung ke Bangkok pada awal 2017 lalu, saya melihat perkeretaan Bangkok setingkat lebih maju daripada kota-kota di Indonesia. Berbeda dengan Indonesia, mereka sudah lebih dahulu memiliki MRT dan LRT yang dijalankan oleh 3 organisasi yang berbeda. Di sana terdapat SRT (State Railway of Thailand), BTS (Bangkok Mass Transit System) dan MRT (Metropolitan Rapid Transit).

SRT adalah perusahaan kereta api milik pemerintah Thailand dibawah kendali Kementrian Transportasi Thailand. Di wilayah Bangkok dan sekitarnya, SRT mengoperasikan jalur merah dan merah muda. Jalur yang paling populer dan sering saya pergunakan adalah jalur merah muda atau ARL (Airport Rail Link). Teorinya ada 2 jenis kereta yang melalui jalur ini yaitu City Line dan Express Line. City Line berhenti di semua Stasiun, sementara itu Express Line memang lebih cepat tapi hanya berhenti di Stasiun Lat Krabang, Ban Thap Chang, Hua Mak, Ramkamhaeng, Makkasan Ratchaprarop dan Phaya Thai. Kenyataannya, selama saya di Bangkok 2017 lalu, Express Line sudah tidak berfungsi lagi.

BTS atau รถไฟฟ้า yang beroperasi di Bangkok, merupakan kereta milik pemerintah Thailand di bawah kendali penerintah lokal kota Bangkok. Di dalam kota Bangkok, jalur yang dilalui BTS adalah jalur hijau tua (Silom) dan jalur hijau muda (Sukhumvit). Kedua jalur ini melewati tengah kota Bangkok yang membantu kami mencapai beberapa objek wisata belanja dan Dermaga-Dermaga yang dilewati perahu-perahu Chao Praya Express. Chao Praya Express sering digunakan untuk mencapai objek wisata budaya dan sejarah yang teeletak di tepi Sungai Chao Praya. BTS dapat dikatakan adalah kereta yang paling sering saya gunakan selama saya di Bangkok.

MRT di Bangkok beroperasi dibawah kendali agensi pemerintah Thailand yang bekerja sama dengan perusahaan publik. Teorinya, jalur yang dilalui kereta MRT terbilang banyak, yaitu jalur biru, kuning, oranye dan ungu. Tapi belum semuanya jadi yaaaa, hohohoho. Jalur kuning dan oranye masih dalam tahap pembangunan sampai tahun 2022, kalau lancar. Saya sendiri jarang sekali naik kereta MRT karena mayoritas jalur yang dilewati bukanlah jalur menuju tempat wisata. Nampaknya, MRT lebih banyak melewati wilayah penduduk dan perkantoran.

Bangkok

Dari penjelasan singkat di atas, dapat diketahui bahwa kereta-kereta yang lalu lalang di Bangkok, memiliki jalur dengan warna-warna yang berbeda. Ketika naik kereta di Bangkok, akan lebih mudah mengingat warna jalurnya. Untuk arah, tidak ada patokan yang sistematis. Misalkan kita hendak menuju Stasiun Bang Chak dari Stasiun Siam. Dari peta, dapat disimpulkan bahwa kita harus mengambil jalur hijau muda. Tapi arahnya kemana? Kalau salah, bisa-bisa kita justru tersesat ke arah yang menjauh dari Stasiun tujuan. Penunjuk arah di Stasiun hanya akan memberikan warna dan nama Stasiun berikutnya saja. Dalam kasus ini, kita harus mengikuti papan penunjuk arah ke Stasiun Bearing atau Stasiun Samrong atau Stasiun Udom Sok karena Stasiun-Stasiun tersebut berada searah dengan Stasiun tujuan kita, Stasiun Bang Chak. Yaah pokoknya kita harus mencari tulisan salah satu Stasiun yang arahnya sama. Setahu saya memang tidak ada rumus mengenai hal ini. Kita memang terpaksa harus melihat petunjuk arah sambil melihat peta jalur kereta, apakah petunjuk arah tersebut menunjukkan arah ke Stasiun dengan arah yang sama dengan Stasiun tujuan kita?

Terkadang jalur dan petunjuk arah yang kita cari tidak ada di Stasiun yang kita datangi. Loh kok bisa begitu? Salah Stasiun mungkin? Sistem perkeretaan Bangkok memang lebih maju dari Indonesia, tapi tetap saja masih di bawah negara maju seperti Jepang, Korea Selatan, atau Singapura. Ketiga organisasi yang mengendalikan perkeretaan di Bangkok, seolah memiliki jalur dan Stasiun yang tidak saling terkoneksi antara satu sama lain. Memang sih mereka bertiga sama-sama kompak buka sampai jam 12 malam, tapi kita terpaksa keluar berjalan di pinggir jalan raya kalau ingin pindah jalur ke jalur yang dimiliki oleh organisasi lain, walaupun lokasinya sebenarnya tidak jauh, syukur-syukur kalau tidak tersesat. Tidak ada semacam jalur penyambung yang nyaman dan mudah seperti di Singapura atau Korea Selatan.

Sebagai contoh, andaikata kita baru datang dari Bandara Suvarnabhumi dengan kereta City Line di jalur merah muda dan ingin berpindah ke jalur biru. Maka kita harus turun di Stasiun Makkasan milik SRT dan masuk ke Stasiun Phetchaburi milik MRT. Kita harus turun dari Stasiun Makkasan yang terletak di atas, kemudian berjalan sejauh 550 meter menuju Stasiun Phetchaburi yang terletak di bawah tanah.

Untuk persimpangan lain antara Stasiun dengan nama yang sama, kasusnya akan sama saja. Stasiun Phaya Thai milik BTS terletak di tempat yang berbeda dengan Stasiun Phaya Thai milik SRT. Namanya boleh sama, posisinya boleh sama-sama di atas jalan raya, tapi letaknya tetap saja berbeda. Belum ada koneksi yang nyaman di sana. Kita tetap harus berjalan di tengah teriknya matahari Bangkok. Inilah satu dari beberapa hal yang perlu diketahui ketika naik kereta di Bangkok.

Ketika kita berpindah ke Stasiun yang dimiliki oleh organisasi yang berbeda, kita harus menggunakan tiket yang berbeda pula. Jadi belum ada tiket universal yang dapat dipergunakan di semua Stasiun. Baik BTS, MRT, maupun SRT, masing-masing memiliki tiket sendiri yang hanya dapat dipergunakan di Stasiun masing-masing. Ketiganya sama-sama memiliki tiket dalam bentuk kartu yang dapat di-top-up dan kartu turis yag berlaku dalam kurun waktu tertentu. Tapi ya tetap saja kartu-kartu tersebut tidak dapat dipergunakan di Stasiun milik organisasi lain, tidak berlaku universal. Contohnya, kartu turis BTS hanya dapat dipergunakan di Stasiun milik BTS dan tidak dapat dipergunakan di Stasiun milik MRT, dan demikian pula sebaliknya. Saya rasa hal ini tidak menguntungkan bagi wisatawan yang hanya di sana selama 3 hari atau seminggu saja, lebih baik membeli Single-Trip Ticket saja. Sisi negatif dari menggunakan Single-Trip Ticket adalah, kita harus membeli Single-Trip Ticket setiap akan masuk Stasiun. Otomatis kita harus mengetahui tata cara membeli dan menggunakan Single-Trip Ticket di sana.

Cara membeli Single-Trip Ticket dan bentuk Single-Trip Ticket di Stasiun milik BTS, MRT dan SRT pun sedikit berbeda. Bentuk dan kompabilitas vending machine nya saja berbeda :’D. Wah kurang kompak nih, beruntung di setiap vending machine, terdapat keterangan berbahasa Inggris. Tapi terus terang awalnya saya tetap saja kebingungan ketika hendak membeli Single-Trip Ticket di vending machine. Tapi setelah 1 atau 2 kali menggunakan vending machine, aaahhhh gampang kok sebenarnya. Berikut cara menggunakan tiket kereta di Bangkok berdasarkan pengalaman saya berwisata di sana pada 2017 lalu.

A. BTS

Loket yang terdapat di Stasiun BTS tidak menjual Single-Trip Ticket. Mereka hanya membantu menukarkan uang kertas menjadi uang logam. Selanjutnya, calon penumpang harus pergi ke vending machine untuk membeli tiket. Vending machine milik BTS tidak support uang kertas, hanya menerima uang logam saja.

  1. Perhatikan angka yang terdapat pada peta di samping Vending Machine. Contohnya, ketika kita bermaksud berkelana menuju Stasiun Siam, kita cari tulisan Siam pada peta. Setelah mencari, kita menemukan angka 31 di sana.

  1. Tekan angka 31 pada vending machine karena nama Stasiun tujuan kita ada angka 31-nya.

  1. 31 di sini adalah biaya yang harus dibayarkan untuk pergi ke Stasiun Siam.

  1. Masukkan uang logam sejumlah 31 THB ke dalam vending machine. Kalau salah atau kelebihan, uang akan keluar kembali melalui bagian bawah mesin.

  1. Ambil tiket dan berjalan menuju baffle gate.

  1. Masukan tiket lewat bagian depan baffle gate,

  1. Ambil tiket yang muncul pada bagian atas baffle gate.

  1. Simpan tiket baik-baik dan naik kereta sampai Stasiun tujuan, dalam contoh kasus ini, Stasiun Siam.

  1. Untuk keluar dari Stasiun tujuan, masukkan kembali tiket ke bagian depan baffle gate.

B. SRT & MRT

Berbeda dengan BTS, bentuk Single-Trip Ticket SRT dan MRT sama-sama berbentuk seperti uang logam, bukan kartu. Sistem tiket di SRC dan MRT relatif lebih canggih dan nyaman. Kita bisa saja membeli tiket di loket. Tapi kalau loket sedang penuh, kita dapat pula membeli tiket lewat vending machine yang menerima uang kertas. Sebenarnya cara membeli tiket MRT dan SRT lewat vending machine tidak jauh berbeda. Berikut saya contohkan untuk yang SRT saja karena SRT sangat populer dengan jalur Airport-nya yang berwarna merah jambu.

  1. Lihat layar vending machine dan tekan tulisan “English” di pojok kanan atas layar kalau tulisan di layar masih dalam bahasa Thai.

  1. Tekan Stasiun yang dituju.

  1. Pilih jumlah penumpang. Di sini kita dapat membeli lebih dari 1 tiket dalam hanya 1 transaksi.

  1. Masukkan uang kertas.

  1. Ambil tiket.

  1. Kalau ada kembalian, ambil kembalian pada bagian bawah vending machine.

  1. Berjalan menuju baffle gate dan sentuhkan tiket pada bagian atas baffle gate, pada bagian yang ada logo kotaknya, biasanya ada tulisan “Touch Here”.

  1. Lewati baffle gate, simpan baik-baik tiket dan naik kereta sampai di Stasiun tujuan.

  1. Untuk keluar dari Stasiun tujuan, masukan tiket ke dalam bagian depan baffle gate dan keluar dari Stasiun.

Waaaah,gampang kan? Kereta adalah sarana transportasi favorit saya di Bangkok pada awal 2017 lalu :D.

Sumber:
http://www.bts.co.th
http://www.srtet.co.th
http://www.bangkokmetro.co.th

Baca juga:
Hari Pertama Membawa Bayi Ketika Wisata Bangkok & Pattaya
Ringkasan Objek Wisata Bangkok & Pattaya
Persiapan Wisata Thailand 2017
Bagaimana Cara Naik Chao Praya Express di Bangkok?

 

Ringkasan Objek Wisata Bangkok & Pattaya

Bangkok

Mirip ketika sedang merencanakan perjalanan ke Singapura pada 2016, pada tahun 2017 awal, saya kembali membuat rangkuman dan contekan mengenai objek wisata yang mungkin saya kunjungi di daerah Bangkok dan Pattaya. Informasi singkat ini merupakan rangkuman mengenai hal-hal yang penting saja demi melancarkan perjalanan wisata saya dan keluarga pada Hari Pertama Membawa Bayi Ketika Wisata Bangkok & Pattaya, Hari Kedua Membawa Bayi Ketika Wisata Bangkok & Pattaya, Hari Ketiga Membawa Bayi Ketika Wisata Bangkok & Pattaya, Hari Keempat Membawa Bayi Ketika Wisata Bangkok & Pattaya, Hari Kelima Membawa Bayi Ketika Wisata Bangkok & Pattaya. Berikut rangkuman atau ringkasan yang saya susun pada tahun 2017 lalu:

Samut Prakan Area

Ancient City (Mueang Boran atau เมืองโบราณ)

Bangkok

Tipe: Sejarah
Website: http://www.ancientcitygroup.net/ancientsiam/
Alamat: 296/1,Sukhumvit Rd., Bang Pu, Muang Samut Prakan, Samutparkan, 10270, Thailand. Telp. +66 2 709 1644.
Jam Buka: 09:00-19:00 setiap hari
Harga Tiket Masuk 2017: 400 THB (kendaraan), 700 THB (dewasa) dan 350 THB (anak). Diskon via website: 600 THB (dewasa) dan 350 THB (anak).
Penjelasan: Sebuah taman luas yang berisi replika berbagai peninggalan Thailand dari era Dvaravati, Ayuthaya, Lanna (13th – 18th century), Sukhothai (12th – 14th century), U-Thong (12th – 15th century), dan lain-lain. Taman Mini nya Thailand.
Transportasi: Gunakan kereta sampai Stasiun Bearing. Lanjut naik taksi selama kurang lebih 30-45 menit menuju Mueang Boran.
Saran:
Sekitar 1,5 jam perjalanan dari pusat kota Bangkok.
Rata-rata pengunjung menghabiskan 2,5 jam di sana.
Terdapat fasilitas trem dan sepeda gratis.
Jam-jam tram adalah 10-12 am, 1-3 pm, 3-5 pm, 5-7 pm.
Sewa golf cart tidak gratis, tarif sewanya perjam.
Belilah tiket melalui situs resmi, biasanya diskon sampai 50%, tapi harus siapkan akun paypal.

Bangkok Inner City Area

Grand Palace (Phra Borom Maha Ratcha Wang atau พระบรมมหาราชวัง) & Wat Phra Kaew (วัดพระแก้ว)

Bangkok

Tipe: Sejarah
Website: palaces.thai.net/vt/vtgp
Alamat: Na Phra Lan Rd, Phra Nakhon, Bangkok, 10200, Thailand. Telp. +66 2 222 8181.
Jam Buka: 08:30-15:30 setiap hari (kecuali kalau ada perayaan).
Harga Tiket Masuk 2017: 500 THB
Transportasi: Gunakan kereta sampai Stasiun Saphan Taksin (S6). Exit nomor 2. Lanjut naik Chao Phraya Express dari Dermaga Sathorn (Central Pier) ke Dermaga Tha Chang.
Saran:
Rata-rata pengunjung menghabiskan 0,5-1,5 jam di sana.
Harus menggunakan pakaian sopan dengan bahu dan kaki tertutup. Kalau tidak maka dapat menyewa kain penutup.
Gunakan sepatu, jangan sandal.
Ada pintu masuk khusus wisatawan lokal dan ada pintu masuk khusus wisatawan asing. Jangan salah pintu, ada modus penipuan di dekat pintu masuk, tanyalah petugas, jangan warga lokal biasa.

Wat Pho (Wat Phra Chetuphon Vimolmangklararm Rajwaramahaviharn atau วัดพระเชตุพนวิมลมังคลารามราชวรมหาวิหาร)

Bangkok

Tipe: Sejarah
Website: watpho.com
Alamat: 2 Sanamchai Road, Grand Palace Subdistrict, Pranakorn District, Bangkok 10200, Thailand. Telp. +66 2 225 9595.
Jam Buka: 08:00-17:00 setiap hari (kecuali kalau ada perayaan).
Harga Tiket Masuk 2017: 100 THB.
Transportasi: Gunakan kereta sampai Stasiun Saphan Taksin (S6). Exit nomor 2. Lanjut naik Chao Phraya Express dari Dermaga Sathorn (Central Pier) ke Dermaga Tha Tian (N8). Jalan kaki sekitar 250 meter menuju Thai Wang Road. Atau bisa juga jalan kaki sedikit dari Grand Palace.
Saran:
Harus menggunakan pakaian sopan dengan bahu dan kaki tertutup. Kalau tidak maka dapat menyewa kain penutup.
Jalan antara Grand Palace dan Wat Pho rawan penipuan Tuktuk, waspadalaaaaah masbro.

Wat Arun (Wat Arun Ratchawaramahawihan atau วัดอรุณราชวราราม ราชวรมหาวิหาร)

Bangkok

Tipe: Sejarah
Website: http://www.watarun.net
Alamat: 158 Wang Doem Rd, Khwaeng Wat Arun, Khet Bangkok Yai, Krung Thep Maha Nakhon 10600, Thailand. Telp. +66 2 891 2185.
Jam Buka: 08:00-17:30 setiap hari.
Harga Tiket Masuk 2017: 50 THB
Transportasi:
Gunakan kereta sampai Stasiun Saphan Taksin (S6). Exit nomor 2. Lanjut naik Chao Phraya Express dari Dermaga Sathorn (Central Pier) ke Dermaga Tha Tian (N8). Gunakan fery penyeberangan menuju Wat Arun [N8].
Saran:
Harus menggunakan pakaian sopan dengan bahu dan kaki tertutup. Kalau tidak maka dapat menyewa kain penutup.
Paling bagus dilihat ketika sunset dari sisi seberang Dermaga Tha Tian.

Ananta Samakhom Throne Hall & Vimanmek Mansion

Bangkok

Tipe: Sejarah
Website: http://www.vimanmek.com/
Alamat: 16 Rajvithi Rd, Khwaeng Dusit, Khet Dusit, Krung Thep Maha Nakhon 10300, Thailand. Telp. +6626286300.
Jam Buka: 10:00-16:00 selasa-minggu kecuali kalau ada event.
Harga Tiket Masuk 2017: 150 THB.
Transportasi: Naik kereta jalur Sukhumvit dan turun di Stasiun Victory Monument. Exit Nomor 3. Jalan ke arah Jalan Rajavithee dan naik bus no. 515, 539, 28, atau 108.
Saran:
Harus menggunakan pakaian sopan dengan bahu dan kaki tertutup. Kalau tidak maka dapat menyewa kain penutup.
Gunakan sepatu, jangan sandal.
Tidak boleh membawa kamera atau ponsel ke dalam gedung.
Tiket Grand Palace dapat digunakan untuk masuk gratis, berlaku sampai 7 hari setelah kedatangan di Grand Palace.

Chatuchak Weekend Market (Jatujak Market atau ตลาดจตุจักร)
Tipe: Belanja
Website: http://www.chatuchak.org
Alamat: 587/10 Kamphaeng Phet 2 Rd, Khwaeng Chatuchak, Khet Chatuchak, Krung Thep Maha Nakhon 10900, Thailand.
Jam Buka: 07:00-18:00 di rabu & kamis, 18:00-24:00 di jumat, 09:00-18:00 di sabtu & minggu.
Transportasi:
Gunakan kereta sampai Stasiun Mo Chit atau Stasiun Chatucak Park.
Saran:
Ambil peta di meja informasi.
Taruh barang berharga di depan, awas copet.
Siapkan uang tunai karena ATM susah dicari dan mayoritas pedagang tidak menerima kartu kredit.
Waktu datang yang paling tepat adalah di awal Chatuchak mulai buka karena tokonya sudah buka tapi pengunjung belum terlalu ramai.
Makanan halal ada di dekat Clock Tower section 16.

Pratunam Market (ประตูน้ำ)
Jam Buka: 24 jam.
Transportasi: Gunakan kereta sampai Stasiun Ratchathewi atau Stasiun Phaya Thai.
Saran:
Pedagang di pagi hari, berbeda dengan pedagang di malam atau sore hari. 1 lapak kadang dipakai bergantian.
Harga pakaian relatif murah.
Biasanya harga bisa ditawar untuk pembelian minimal 3 potong pakaian.
Penawaran relatif berkisar antara 10%-20% dari harga awal.
Taruh barang berharga di depan, awas copet.
Siapkan uang tunai karena ATM susah dicari dan mayoritas pedagang tidak menerima kartu kredit.

Asiatique The Riverfront

Tipe: Belanja
Website: http://www.asiatiquethailand.com
Alamat: 2194 Chroenkrung Rd., Wat Prayakrai, Bangkoleam, Bangkok. Telp. +66901972554.
Jam Buka: 17:00-24:00.
Transportasi: Gunakan kereta sampai Stasiun Saphan Taksin (S6). Exit nomor 2. Lanjut naik perahu khusus Asiatique dari Dermaga Sathorn (Central Pier) ke Asiatique.
Saran:
Ada boat gratis menyusuri Sungai Chao Praya selama 15 menit.
Jadwal shuttle boat gratis Asiatique sudah beroperasi dari jam 16:00 sampai 23:30 dan bisa antri di Dermaga Sathorn.

Area Pattaya

Sanctuary of Truth (Thai Prasat Sut Ja-Tum atau ปราสาทสัจธรรม)

Bangkok

Tipe: Arsitektur
Website:
Alamat: 206/2 M., Soi Na Klua 5, Pattaya City, Bang Lamung District, Chon Buri 20150, Thailand.
Jam Buka: 08:00-17:00
Harga Tiket Masuk 2017: 500 THB di tempat. 792 THB berdua di http://www.hotels2thailand.com
Saran:
Lebih murah beli tiket via http://www.hotels2thailand.com tapi minimal pesan 2 tiket.
Optional extras at Sanctuary of Truth:
Biaya naik speed boat keliling istana 400 THB (20 menit).
Biaya naik perahu dayung keliling istana 250 THB per orang (20 menit).
Biaya naik gajak keliling istana 300 THB per orang (30 menit).
Biaya naik kereta kuda keliling istana 200 THB per orang (15 menit).
Biaya naik kuda didampingi staff 800 THB per orang (1 jam).
Biaya parkir per kendaraan 300 THB. Kalau sewa taksi, sebaiknya minta pak supir parker di luar saja. Nanti dijemput.
Pertunjukan budaya stiap 11:30 dan 15:30.

Nong Nooch Tropical Botanical Garden

Tipe: Taman
Website: http://www.nongnoochtropicalgarden.com
Alamat: 341/1 Moo 7, Na Jomtien, Pattaya, Thailand
Jam Buka: 08.00-18.00
Harga Tiket Masuk 2017: 500 THB.
Saran:
Beli tiket on-line lebih murah jatuhnya.
Ada bus keliling taman dengan tarif 100 THB per orang.
Pertunjukan gajah sehari ada 4 kali yaitu pada 09:45, 10:30, 15:00 dan 15:45.
Pengunjung rata-rata menghabiskan waktu 3 jam di tempat ini.

Laser Buddha (Kao Chi Chan atau พระพุทธรูปแกะสลักเขาชีจ รรย์)

Bangkok

Tipe: Modern
Alamat: Na Jomtien KM. 163, Na Jomtien, Pattaya, Thailand.
Jam Buka: 08:00-17:00.
Harga Tiket Masuk 2017: Gratis.
Saran:
Hanya untuk melihat sejenak saja plud foto-foto, isinya lapangan luas yang ada bukitnya saja.

Silverlake Vineyard (ไร่องุ่นซิลเวอร์เลค)
Tipe: Modern
Website: http://www.silverlakevineyard.com
Alamat: 32/62 Moo 7, Na Jomtien, Pattaya, Thailand.
Jam Buka: 09:00-18:00 di senin-jumat, 08:30-19:00 di sabtu-minggu dan tanggal merah.

Wat Phra Yai Pattaya

Bangkok

Tipe: Budaya
Alamat: Pattaya City, Bang Lamung District, Chon Buri 20150, Thailand. Telp. +66861252504.
Harga Tiket Masuk 2017: Gratis

No Telefon Penting

Taxi hotline: 1124
Tourist Assistance: 1337 ext 9
SOS – Police And Fire Department: 199/191/1195

Baca juga:
Hari Pertama Membawa Bayi Ketika Wisata Bangkok & Pattaya
Persiapan Wisata Thailand 2017
Bagaimana Cara Naik Kereta di Bangkok?
Bagaimana Cara Naik Chao Praya Express di Bangkok?

Persiapan Wisata Thailand 2017

Bangkok

Setelah merasa sukses berwisata dengan membawa bayi ke Singapura pada tahun 2016 lalu, maka kami kembali merencanakan acara jalan-jalan lagi di tahun 2017. Dari beberapa kandidat tujuan wisata yang ada, kami akhirnya memilih Thailand. Kenapa Thailand? Bebas Visa, biaya wisata relatif ekonomis, waktu penerbangan yang relatif singkat, tempat belanja murah dan objek wisata yang agak berbeda dengan kita miliki di indonesia. Sekilas fisik orang Thailand mirip dengan Indonesia, tapi ternyata mereka memiliki bahasa dan budaya yang agak berbeda dengan Indonesia. Saya pribadi lebih tertarik untuk datang ke Thailand dibandingkan Filipina atau Malaysia, pada saat itu.

Kami kembali memilih untuk tidak menggunakan jasa travel dan mengurus semuanya sendiri. Selain lebih ekonomis, kami dapat memilih tujuan wisata sesuka hati. Memang sih lebih repot, tapi ini pasti lebih memuaskan. Pergi ke Thailand dengan membawa bayi tentunya akan menantang karena Thailand merupakan negara berkembang seperti Indonesia. Selain itu, konon mencari makanan halal di sana bukanlah hal yang mudah karena mayoritas penduduknya beragama Hindu dan Buddha. Dengan demikian, jangan kaget kalau objek wisata di sana kebanyakan memiliki keterkaitan dengan Buddha dan Hindu. Bagi yang keberatan untuk datang ke tempat yang memiliki lambang-lambang Buddha atau Hindu, sebaiknya jangan datang ke Thailand. Mayoritas objek-objek wisata Thailand yang unik memang memiliki banyak simbol Buddha dan Hindu di dalamnya.

Sebenarnya, kota di Thailand yang menarik untuk kami kunjungi adalah Bangkok, Pattaya dan Chiang Rai. Di sana terdapat peninggalan sejarah dan budaya yang unik. Kami memang ingin bertualang melihat hal baru yang unik dan beda di negara lain selagi kami masih memiliki waktu, stamina dan anggaran, meski terbatas ;P. Karena keterbatasan itulah maka kami memutuskan untuk mencoret Chiang Rai yang terletak nun jauh di utara Bangkok. Mungkin lain kali kami akan ke sana untuk melihat Wat Rong Khun mereka yang serba putih.

Berbagai persiapan yang matang perlu dipersiapkan untuk perjalanan Bangkok & Pattaya. Berikut hal-hal yang kami dipersiapkan beserta segala pertimbangannya, ketika kami berangkat ke Thailand pada 2017 lalu.

  1. Passport dan Visa

Bangkok

Untuk masuk ke Thailand, warga Indonesia hanya perlu membawa passport dan mengisi formulir imigrasi saja di Bandara, tidak perlu pakai visa-visa-an ;). Sama seperti Singapura, negara Thailand membebaskan warga negara ASEAN lain untuk masuk ke negaranya. Tapi tetap saja, sebaiknya masuk dengan menggunakan passport yang masih berlaku di atas 6 bulan. Kalau teman-teman galau masalah pembuatan passport, coba cek di Perpanjang Passport di Kanim Bekasi ;).

  1. Tiket Pesawat

Kami memperoleh tiket pesawat Jakarta – Bangkok melalui promo kerjasama antara BNI dan Garuda di sebuah Travel Fair. Kami harus antri dan berdesak-desakan untuk promo tersebut, wah perjuangan lah pokoknya. Sepengetahuan saya, dari banyak Travel Fair yang marak diadakan di berbagai tempat, tidak semuanya memberikan promo yang benar-benar promo. Kalaupun ada, pasti ada syaratnya dan persaingannya ketat. Jadi, saran saya kalau teman-teman mau berburu tiket murah di Travel Fair, pelajari dahulu persyaratan promo yang ada. Jangan lupa datang di awal dengan perkiraan tujuan wisata. Kalau asal datang saja tanpa perkiraan tujuan wisata yang jelas, biasanya jadi hanya bisa lihat-lihat saja dan kalaupun beli tiket, dapatnya yang non promo :’D.

Saya sendiri datang ke Travel Fair dengan perkiraan hendak membeli tiket ke Malaysia atau Thailand atau Hongkong. Jadi fokus kami ke sana mencari promo 1 diantara ketiga calon destinasi tersebut. Setelah mempertimbangkan dan menghitung berbagai hal, akhirnya kami mantab membeli tiket Jakarta – Bangkok di bulan April. Berdasarkan pengalaman kami ke Singapura pada Persiapan Wisata Singapura, kali ini kami mencocokkan tanggal dengan ramalam cuaca sehingga kami berangkat disaat Thailand sedang menghadapi musim kemarau. Berwisata ke Thailand di saat musim hujan akan sangat merepotkan karena mayoritas objek wisata di Thailand, terletak di luar ruangan. Tanpa sadari kami ternyata datang disaat Thailand sedang panas-panasnya. Karena tidak menggunakan sunblock selqma di sana, maka ketika pulang, kulit kami sekeluarga semakin dekil x__x.

Ada satu hal lagi yang kami lupa pertimbangkan ketika membeli tiket, yaitu faktor hari raya. Tanpa kami sadari, kami datang tepat di tengah-tengah perayaan Songkran yang biasanya berlangsung selama 3 hari. Di Thailand, Songkran itu seperti Idul Fitri di Indonesia. Mayoritas penduduk lokal mudik ke kampung halaman masing-masing. Bangkok relatif hanya dipadati oleh turis asing saja sehingga antrian kereta api dan kepadatan lalu lintas relatif rendah. Beberapa objek wisata kemungkinan akan ditutup pada jam-jam tertentu selama Songkran. Kemudian, Songkran itu ternyata identik dengan perang air. Jadi, jalanan di Thailand akan penuh dengan orang-orang yang saling siram air. Mereka percaya bahwa menyiramkan air ke pada orang lain adalah sama saja dengan memberikan rizki bagi orang tersebut. Wah, kami datang di saat Thailand sedang heboh-hebohnya nih. Seru juga sih, tapi kan kami datang bersama anak kami yang umurnya belum sampai 2 tahun x__x. Beruntung warga lokal Thailand memiliki aturan untuk tidak menyiram bayi di saat Songkran. Nah bagaimana dengan turis asing lain? Sayang mereka kadang kurang pafam dan tetap berusaha menyiram sampai diingatkan oleh warga lokal yang ada. Yaaah, lain kali kami harus waspada dengan hari besar di daerah yang hendak kami tuju. Datang tepat di saat Songkran benar-benar di luar dugaan saya. Di Indonesia tidak ada Songkran. Songkran sendiri merupakan pergantian tahun dalam agama Buddha di Thailand. Berbeda dengan kalender masehi dan hijriah, pergantian tahun bagi mereka berlangsung selama 3 hari, bukan 1 hari saja. Nah kami kemarin itu tiba di Bangkok tepat sehari sebelum Songkran, dan pulang tepat sehari setelah Songkran :’D.

  1. Booking Penginapan

Dalam menentukan penginapan, ada beberapa hal yang kami pertimbangkan yaitu:

  1. Tingkat keamanan.
  2. Tingkat kebisingan, kami memilih penginapan yang tidak memiliki klub malam atau diskotek.
  3. Jarak dari stasiun kereta terdekat (saya berencana untuk menggunakan kereta saja selama di Thailand).
  4. Jarak dari objek wisata yang dituju.
  5. Jarak dari restoran yang menyediakan makanan halal atau jarak dari 7 Elevan terdekat (7 Eleven banyak cabangnya dan menyediakan makanan halal yang dapat dijadikan bekal).

Tersedianya kolam renang atau TV kabel tidak masuk menjadi bahan pertimbangan karena kami tidak jauh-jauh ke Thailand hanya untuk wisata Hotel. Kami memilih untuk bertualang keliling Bangkok dan Pattaya seefisien mungkin.

Akhirnya kami memilih untuk menginap di Shadi Home melalui http://www.hotels2thailand.com. Dengan harga yang ekonomis, kami mendapatkan kamar yang luas walapun tidak ada kolam renang atau TV kabelnya. Lokasi penginapan tersebut sangat dekat dengan pertokoan Pratunam, Stasiun Rachaprarop dan 7-Eleven. 1 lagi yang membuat kami langsung memilih penginapan ini adalah karena bagi yang menginap di sana, otomatis mendapatkan sarapan pagi di restoran halal yang terdapat di bawah penginapan. Mencari makanan halal bukanlah hal yang mudah di Thailand. Di sana, restoran fastfood seperti McD, KFC dan Burger King saja tidak halal loh :(. Oh ya, kalo dari peta, penginapan ini pun nampak tidak terlalu jauh dari Kedubes Indonesia dan Masjid loh ;).

  1. Transportasi

Pilihan transportasi yang dapat kami gunakan di Thailand adalah bus, taksi, tuktuk, kereta dan perahu. Karena faktor bahasa dan keamanan, kami memilih untuk tidak menggunakan bus. Taksi dan tuktuk sebenarnya relatif aman dan efisien, hanya saja ada oknum-oknum supir yang gemar melakukan penipuan argo dan melakukan penawaran-penawaran sepanjang jalan. Jadi, sepanjang jalan, turis ditawarkan untuk masuk ke toko atau objek wisata tertentu. Kita harus memiliki itenari atau rencana perjalanan yang fix sebelum masuk ke dalam tuktuk atau taksi. Untuk perjalanan ke luar kota, membooking taksi selama sehari merupakan keputusan yang tepat. Tapi kalau di dalam kota dengan tujuan wisata yang berdekatan, taksi bukan pilihan yanv paling efisien. Akhirnya perahu dan kereta menjadi pilihan utama kami ketika berkunjung ke Bangkok.

Bangkok

Thailand dan Indonesia memang sama-sama negara berkembang, tapi sarana transportasi ibukota mereka setingkat di atas ibukota kita. Bangkok memiliki kereta MRT/LRT mirip dengan Singapura dan negara-negara maju lain. Walaupun tingkat kenyamanan dan konektivitasnya tidak sebaik Singapura, tapi sara transportasi ini masih bersahabat untuk digunakan oleh turis-turis asing seperti kami.

Karena kami membawa bayi dan masih kurang yakin bahwa kereta di Bangkok benar-benar nyaman dan aplikatif untuk perjalanan wisata kami, maka kami memilih untuk membeli Single-Trip Ticket yang harus dibeli di vending machine atau loket Stasiun sebagaimana saya bahas pada Bagaimana Cara Naik Kereta di Bangkok?, Semua ini kami lakukan baik ketika kami naik kereta milik BTS maupun SRT. Dengan memilih menggunakan Single-Trip Ticket, maka otomatis kami harus membeli tiket di loket atau vending machine setiap akan naik kereta. Hmmmm, bukankah ini lebih repot? Sebagaimana saya jelaskan pada Bagaimana Cara Naik Kereta di Bangkok?, pemilik kereta di Bangkok ada 3 yaitu SRT, BTS dan MRT. Ketiga memiliki Stasiun yang terpisah dan sistem tiket yang terpisah. Jadi misalkan kami kami membeli tiket Smart Pass Ticket atau One Day Pass Ticket milik BTS, maka tiket tersebut tidak dapat dipergunakan untuk naik kereta SRT atau MRT. Bagi saya pribadi, menggunakan Single-Trip Ticket adalah yang paling efisien. Namun kalau ada teman-teman yang tetap ingin menggunakan sistem pembayaran dengan hitungan deposit atau buffet supaya tidak perlu mencari loket atau vending machine, bisa langsung cusss berangkat, saya sarankan untuk menggunakan One Day Pass Ticket dan Smart Pass Ticket milik BTS. Kenapa BTS? Jalur kereta BTS ada di tengah kota dan melewati berbagai objek wisata belanja dan Dermaga menuju berbagai objek wisata budaya.

Andaikata teman-teman yakin akan menggunakan kereta seharian di tengah kota Bangkok, sebaiknya pilihlah untuk membeli One Day Pass Ticket dimana tiket akan berlaku selama satu hari untuk naik kereta sepuasnya. Tiket ini akan otomatis tidak berlaku pada tengah malam disaat kereta berhenti beroperasi. Tidak perlu membeli tiket di loket atau vending machine setiap akan naik kereta.

Andaikata temana-teman yakin akan naik kereta di tengah kota Bangkok dengan intensitas yang tidak merata di 1 hari, sebaiknya belilah Smart Pass Ticket. Sistem yang digunakan adalah deposit. Jadi kita menyimpan deposit di dalam tiket tersebut. Deposit akan berkurang setiap tiket digunakan. Kalau depositnya habis, kita dapat isi deposit tiket di loket Stasiun. Sayang kalau ada deposit yang tersisa di dalam tiket, maka sisanya tidak dapat diuangkan. Tiket inipun hanya berlaku selama 1 bulan, weleh-weleh.

  1. SIM Card

Bangkok

Karena fasilitas transportasi yang kurang terkoneksi, jarang tersedianya Wi-Fi gratisan, mahalnya harga paket roaming dan masalah bahasa, maka kami memutuskan untuk membeli SIM Card di Thailand yang dapat dibeli di Bandara Suvarnabhumi seperti saya kisahkan pada Hari Pertama Membawa Bayi Ketika Wisata Bangkok & Pattaya. Tujuan utama kami adalah untuk melihat peta on-line dan berkomunikasi lewat WhatsApp. Kami membutuhkan paket data yang tidak terlalu banyak karena kami bukan tipe turis yang doyan upload di media sosial seperti Facebook, Path, Instagram atau Tik Tok :P. Kami berusaha menikmati petualangan yang di depan mata, tanpa banyak buka-buka smartphone.

Di Thailand sendiri terdapat 3 operator besar, yaitu DTAC, AIS, TRUE MOVE. Ketiganya memiliki paket turis dan berbagai paket lainnya dengan harga yang beda-beda tipis. Kualitas ketiganya pun cukup bagus kalau di tengah kota. Karena beberapa tujuan wisata kami kali ini ada yang di pelosok dan tidak umum dikunjungi turis Indonesia, maka kami memustuskan untuk menggunakan AIS sebagai operator terbesar di Thailand. Pada akhirnya AIS memang tidak mengecewakan. Saya masih bisa melihat peta, chatting dan browsing dengan baik ketika sedang di atas kereta dan sedang dalam perjalanan di pinggiran kota.

  1. Peta

Peta yang saya siapkan adalah peta jalur kereta dan perahu yang saya download sejak di Indonesia. Pada akhirnya peta ini sangat terpakai untuk melihat arah jalur mana yang harus saya pilih seperti saya jelaskan pada Bagaimana Cara Naik Kereta di Bangkok? dan Bagaimana Cara Naik Chao Praya Express di Bangkok?. Peta ini dapat diperoleh juga di loket informasi Bandara.

Bangkok

 

Bagaimana dengan peta Bangkok atau Pattaya? Peta Thailand tidak tersedia untuk di-download pada Google Maps. Sebenarnya ada aplikasi alternatif lain yang menyediakan peta Thailand untuk di-download seperti MAPS.ME dan HERE We Go sih, tapi saya lupa mengunduh salah satunya sampai tak terasa sudah tiba waktunya untuk berangkat ke Bandara. Ah sudahlah toh kami berencana untuk membeli SIM-Card di sana. Lihat petanya on-line saja, lebih responsif.

  1. Stroller

Kali ini kami kembali membawa troller Chocollate Pockit Recline yang ringan dan kecil ketika dilipat. Tangga menuju Stasiun memang tinggi sekali, tapi kalau kita teliti, biasanya tersedia lift pada sudut Stasiun. Ketika kami akan naik perahu, maka stroller kami lipat. Sisi positif datang ke Bangkok di saat Songkran adalah Stasiun dan Dermaga dalam keadaan sepi. Hal ini mempermudah penggunaan stroller karena konon, kalau dalam kondisi normal, Stasiun dan Dermaga akan penuh sesak. Memang sarana transportasi Thailand tidak terlalu ramah stroller, tapi stroller masih masuk akal untuk digunakan di sana.

  1. Gendongan Bayi

Gendongan bayi ini wajib dibawa, kalau perlu yang paling nyaman. Walai sekilas semua gendongan bayi itu sama saja, tingkat kenyamanannya beda-bda lho. Kami sendiri menggunakan gendongan bayi yang relatif agak mahal tapi tidak membuat pegal. Ada beberapa kondisi dimana stroller tidak dapat digunakan dan harus dilipat. Kita tidak dapat memgandalkan stroller saja ketika berjalan jauh di negeri asing seperti ini.

  1. Itenari

Kalau saya perhatikan, mayoritas paket wisatanya jasa tour & travel tidak memasukkan Grand Palace, Wat Pho, Wat Arun, Ananta Samakhom dan Vimanmek Mansion ke dalam 1 paket perjalanan wisata, pasti salah satu atau beberapa tidak ada di dalam intenarinya. Kenapa ya? Padahal kan objek-objek tersebut sangat ikonik. Ketika membuat itenari pada perjalanan wisata ini, ternyata saya baru menyadari bahwa keempat objek wisata tersebut tidak terus menerus buka sepanjang tahun. Tanpa adanya masa berkabung dan Songkran saja, ada waktu-waktu dimana salah satu dari mereka tutup karena restorasi, renovasi, perluasan, hari raya dan berbagai alasan lainnya. Setelah mencari-cari, akhirnya saya menemukan daftar tutupnya Area Grand Palace di http://www.brh.thaigov.net, tepatnya di dalam halaman forum dengan link: http://www.brh.thaigov.net/webboard/index.php?topic=15.msg381#msg381. Semuanya dalam bahasa Thailand kecuali tabel tanggal dan alasan kenapa tutup. Biasanya, setiap tahun, daftarnya diupdate di forum tersebut, link di atas untuk tahun 2017.

Untuk objek lainnya, saya mengumpulkan keterangan dari Group Facebook Backpacker Indonesia dan Tripadvisor. Ada kemungkinan ketika saya datang di sana, Ananta Samakhom & Vimanmek Mansion akan tutup karena sedang berkabung dan direnovasi, maka keduanya sengaja saya jadikan objek wisata opsional yang mungkin akan kami kunjungi di hari terakhir.

BangkokApabila kami ikut dengan rombongan travel, kemungkinan objek-objek ini tidak terlalu diusahakan untuk dapat dilihat. Toh setiap anggota rombongan memiliki kesenangan yang berbeda-beda. Setiap orang atau keluarga memang pasti memiliki kesenangan masing-masing. Saya dan istri saya sendiri senang akan petualangan melihat tempat-tempat di Thailand yang unik dan tidak ada di Indonesia, biasanya berhubungan dengan budaya dan sejarah. Tentunya tetap akan ada slot untuk belanja di pusat perbelanjaan yang unik, murah dan meriah di sana ;). Kemudian akan ada slot dimana kami melihat binatang karena kami membawa anak kami yang senang melihat binatang :). Yang namanya acara melihat pembuatan kerajianan atau melihat kebun anggur akan kami lewatkan karena kami kurang senang dengan acara-acara seperti itu hehehehe. Setelah dimusyawarahkan semua disusun dalam bentuk itenari yang fix, lengkap dengan objek wisata cadangan agar perjalanan kami ini efektif.

Pada prakteknya, itenari atu rencana perjalanan ini memang pasti ada yang meleset sebagaimana saya kisahkan selengkapnya pada Hari Pertama Membawa Bayi Ketika Wisata Bangkok & Pattaya, Hari Kedua Membawa Bayi Ketika Wisata Bangkok & Pattaya, Hari Ketiga Membawa Bayi Ketika Wisata Bangkok & Pattaya, Hari Keempat Membawa Bayi Ketika Wisata Bangkok & Pattaya, Hari Kelima Membawa Bayi Ketika Wisata Bangkok & Pattaya. Tapi paling tidak kami memiliki patokan dan arahan ketika tiba di Thailand. Sayang kan kalau sudah jauh-jauh datang, eeeeh sampai di sana bingung mau ke mana. Berikut contoh itenari yang saya pergunakan pada 2017 lalu:

Hari Jam Kegiatan
11-Apr 9:40 Berangkat dari Soekarno Hatta terminal 2 menggunakan GA 866
13:10 Tiba di Suvarnabhumi International Airport Bangkok, urus imigrasi dan pergi ke Shadi Home
15:00 Tiba di Shadi Home
16:00 Keliling Pratunam Market
17:00 Menuju Asiatique The Riverfront
17:30 Jalan-jalan dan makan malam di Asiatique The Riverfront
20:00 Kembali ke Hotel
12-Apr 7:00 Dijemput dari Hotel ke Sanctuary of Truth di Pattaya oleh taksi bookingan
9:15 Tiba dan Jalan-Jalan di Laser Buddha
9:40 Pergi menuju Nong Nooch
10:00 Wisata dan makan siang di Nong Nooch
13:00 Pergi menuju Wat Phra Yai Pattaya
13:30 Tiba dan jalan-Jalan di Wat Phra Yai Pattaya
14:00 Menuju Sanctuary of Truth
14:30 Tiba dan jalan-jalan di Sanctuary of Truth
17:00 Acara bebas dan kembali ke Hotel di Bangkok
13-Apr 8:00 Menuju Grand Palace
9:00 Tiba dan wisata di Grand Palace
10:00 Menuju Wat Pho
10:30 Tiba dan wisata di Wat Pho
11:45 Makan siang di Tha Tien Market
13:00 Menuju Wat Arun
14:00 Wisata di Wat Arun
15:00 Menuju Pratunam Market
15:30 Keliling Pratunam Market
17:00 Menuju Yok Yor untuk dinner cruise
18:00 Tiba di Yok Yor
22:00 Kembali ke Hotel
14-Apr 10:00 Menuju Ancient City
11:30 Wisata dan makan di Ancient City
15:30 Menuju Chatuchak
17:00 Keliling Chatuchak dan acara bebas
15-Apr 8:00 Menuju Vimanmek Mansion
9:00 Wisata di Vimanmek Mansion
11:00 Acara bebas
15:00 Menuju Airport
16:00 Tiba di airport
17:15 Take off ke Jakarta
  1. Contekan & Coretan

Ketika saya sedang mempersiapkan hal-hal di atas, saya membuat coretan untuk setiap objek yang saya print untuk dijadikan contekan dan pertimbangan ketika memilih waktu kunjungan. Isinya kurang lebih mengenai informasi penting dari objek-objek yang masuk ke dalam itenari dan objek-objek cadangan. Yaa mana tau tiba-tiba terjadi suatu hal, kami tetap dapat manfaatkan kunjungan wisata kami dengan optimal. Contoh coretan yang saya pernah buat untuk perjalanan ini dapat dilihat pada ….

  1. Tiket Atraksi

Untuk objek wisata yang terletak di tengah kota Bangkok, kami memilih untuk membelinya langsung di loket ketika sudah tiba di sana. Dalam kasus ini, membeli on-line tidak memberikan keuntungan apapun. Membeli tiket secara on-line terkadang membuat kita untuk menentukan tanggal kedatangan. Kalau semuanya dibeli melalui on-line, rencana perjalanan kita otomatis tidak terlalu fleksibel. Saya akan membeli lewat on-line bila harganya memang lebih murah saja.

Berbeda dengan Bangkok, semua tiket masuk dari objek wisata yang akan kami kunjungi di luar kota Bangkok, sudah kami beli sejak masih di Indonesia lewat on-line. Ini sudah kami lakukan karena untuk objek-objek tersebut, membeli tiket lewat on-line memang akan lebih murah. Yaaaah, selama harganya lebih murah, sikaaattttt :D.

Sekian sedikit tips dari saya, semoga bermanfaat terutama bagi teman-teman yang berencana mengunjungi Bangkok dan Pattaya tanpa menggunakan paket tour lengkap.

Sumber:
http://www.chaophrayaexpressboat.com
http://www.bts.co.th
http://www.srtet.co.th
http://www.bangkokmetro.co.th

Baca juga:
Hari Pertama Membawa Bayi Ketika Wisata Bangkok & Pattaya
Ringkasan Objek Wisata Bangkok & Pattaya
Bagaimana Cara Naik Kereta di Bangkok?
Bagaimana Cara Naik Chao Praya Express di Bangkok?