Princess Mononoke (1997)

Melihat sebuah film kartun yang judulnya menggunakan kata princess, membuat saya berfikir untuk menontonnya bersama anak saya. Olala, hal ini ternyata tidak berlaku bagi Princess Mononoke (1997). Disney memang memiliki hak cipta atas film kartun Jepang yang satu ini. Tapi percayalah, Princess Mononoke (1997) bukanlah film anak-anak.

Mengambil latar belakang Jepang di era Muromachi (sekitar tahun 1336-1573), wilayah Jepang masih dipenuhi oleh hutan-hutan yang lebat. Para roh dan dewa kuno masih hidup di sana. Wilayah hutan semakin menyempit karena keserakahan manusia akan sumber daya. Perlahan, manusia merusak lingkungan sekitar mereka sendiri demi kekuasaan.

Di tengah-tengah hutan belantara yang lebat terdapat sebuah Pabrik Besi yang memproduksi senjata api. Eboshi Gozen (エボシ御前) adalah pemilik dan penguasa pabrik ini. Ia merupakan pemimpin yang tegas dan baik hati. Ia harus memilih kepada siapa senjata api buatannya dijual. Terdapat berbagai pihak yang sedang berperang, menginginkan senjata dari Eboshi. Dari sisi ini, Eboshi terlihat baik sekali. Akantetapi, dibalik itu Eboshi cukup congkak dan serakah karena ia menggunakan senjata api miliknya untuk memburu para roh dan dewa penguada hutan. Pada era Muromachi ini, senjaya api menjadi senjata yang sangat canggih. Senjata api mulai muncul di tengah-tengah para samurai masih tetap setia dengan pedang, panah dan kudanya.

Membunuh roh hutan yang sudah lama dianggpa sebagai dewa kuni, bukanlah hal mudah. Eboshi harus berhadapan dengan seorang gadis yang berkeliaran di hutan bersama kawanan serigala. Gadis tersebut bernama San/サン (Yuriko Ishida) dan dialah yang disebut Putri Mononoke (もののけ姫), putri para monster dan roh kuno. San berjuang sekuat tenaga untuk melindungi hutan dan para roh di dalamnya. Sejak kecil ia diasuh oleh kawanan serigala dan menggangap hutan sebagai rumahnya. Perseteruan San dan Eboshi sungguh sengit dan menimbulkan korban di kedua belah pihak.

Di tengah-tengah perseturuan di antara kedua wanita kuat tersebut, hadir Ashitaka/アシタカ (Yoji Matsuda). Nahhhh dari sudut pandang Kang Mas Ashitaka inilah film ini disajikan. Ia merupakan calon raja dari suku Emishi. Malang menimpa Ashitaka, ia terluka oleh serangan seekor siluman babi. Tangan Ashitaka terkena sebuah kutukan. Konon lama kelamaan hal tersebut akan menyebar ke seluruh tubuh Ashitaka sampai akhirnya ia tewas.

Ashitaka memilih untuk pergi jauh berkelana mencari penyembuh. Di perjalanan ia melihat barbagai perbuatan tak terpuji. Dunia saat itu dipenuhi oleh orang jahat dan licik. Tangan Ashitaka yang terkutuk, beberapa kali menunjukkan kekuatannya. Tanpa dapat Ashitaka kendalikan, tangan tersebut mampu melakukan berbagai perbuatan keji bagi lawan-lawan Ashitaka. Jangan kaget kalau teman-teman melihat kepala terpenggal atau badan putus ketika tangan Ashitaka beraksi. Sebenarnya ini bisa jadi merupakan daya tarik film ini. Tapi hal ini pulalah yang menjadi alasan utama kenapa Princess Mononoke (1997) tidak pantas untuk ditonton anak-anak. Beberapa adegan sadis pun terkadang hadir secara tiba-tiba pada film kartun Disney yang satu ini.

Lalu apa hubungan Ashitaka dengan Eboshi dan San? Di sini Ashitaka berperan sebagai penengah. Ia tak ingin kedua wanita tersebut tewas. Ashitaka mengenal keduanya dan tahu betul bahwa keduanya sama-sama bukan orang jahat.

Para penghuni dan pekerja Pabrik Besi pun sangat bergantung pada kepemimpinan Eboshi. Eboshi menampung pengangguran dan PSK ke dalam Pabrik Besi agar mereka dapat berdikari dan menjauhi dunia kriminal. Saya kagum melihay bagaimana Princess Mononoke (1997) menggambarkan kehidupan Pabrik Besi dengan sangat jelas. Alur logika mengenai kehidupan di sana sangat mudah dipahami.

Sementara itu hutan dan penghuninya masih membutuhkan San atau Putri Mononoke sebagai pelindung. Peran San di sini sebenarnya masih di bawah Ashitaka. San memang pemberani dan pantang menyerah tapi yaaa Ashitaka tetap tampil sebagai tokoh utama di sini. Saya pribadi kurang setuju kalau judul filmnya Putri Mononoke, kenapa judulnya tidak Pangeran Ashitaka saja? :P.

Mirip seperti beberapa film Jepang yang saya tonton. Princess Mononoke memiliki soundtrack yang halus alias sunyi senyap. Animasinya terbilang sempurna bagi film kartun yang menggunakan teknik manual. Berbeda dengan film-film lain yang menggunakan mesin animasi canggih, Princess Mononoke (1997) menggunakan gambar manual menggunakan tangan! Wow. Konon hal ini dilakukan agar hasilnya lebih artistik dan manusiawi. Sayang, saya yang kurang berjiwa seni, tidak terlalu melihat keartistikannya, maaf oh 1000 maaf.

Tema yang diambil pun, entah kenapa, mirip seperti beberapa film Jepang yang dulu saya tonton. Alam melawan manusia. Alam bisa saja marah, dan perdamaian antara manusia dan alam adalah solusi yang tepat. Awalnya saya pikir ahhhh ini sih pasti film Jepang bedarah-darah yang diakhiri oleh kematiab. Aaahhh ternyata saya salah, Princess Mononoke (1997) tetap saja termasuk film Disney jadi yaaa ending-nya Hollywood friendly laaah.

Bagi yang hanya mencari hiburan ringan saja, jauhi Princess Monoke (1997). Film ini memberikan bahan untuk merenung dan pesan moral yang bagus. Saya pribada ikhlas kalau Princess Mononoke (1997) memperoleh nilai 3 yang artinya “Lumayan”. Ingat, ini bukan film untuk anak-anak hehehehehe.

Sumber: http://www.studioghibli.com.au/princessmononoke/