Venom merupakan lawan Spider-Man favorit saya sepanjang masa. Pada perkembangannya, Venom pun menjadi semacam anti-hero ketika dunia diserang Carnage. Yaaah mungkin kata-kata saya di atas terlihat aneh dan asing bagi teman-teman yang tidak memgikuti komik Spider-Man. Pada komiknya ya Venom memamg tidak selalu jahat. Penggambaran Venom yang pernah diperlihatkan Sam Raimi pada Spider-Man 3 (2007) merupakan awal dari Venom dimana Venom memang masih sangat buas.
Nah kali ini, asal mula Venom dibuat dengan cara yang berbeda dan tanpa mengikutsertakan Spider-Man. Venom (2018) adalah benar-benar film solo dari Venom. Entah apakah Venom yang satu ini akan masuk ke dalam MCU (Marvel Cinematic Universe) atau tidak, sebab Venom (2018) 100% tidak menampilkan superhero atau supervillain dari jagad MCU.
Baiklah, Venom sendiri sebenarnya bukan manusia, melainkan sebuah entitas berbentul cairan hitam dari luar angkasa. Cairan tersebut dapat menempel dan bergabung dengan tubuh manusia. Hasil dari penggabungan ini menghasilkan tubuh manusia dengan kekuatan jauh di atas rata-rata.
Venom tidak sembarangan memilih tubuh untuk dihinggapi. Proses penggabungan yang kurang cocok, akan membuat manusia yang di hinggapi mengalami kesakitan yang luar biasa, sampai akhirnya tewas. Itulah yang Carlton Drake (Riz Ahmed) lakukan, dengan cairan hitam misterius yang ditemukan pada roket luar angkasa yang jatuh di Malaysia, ahhh kenapa Malaysia, mana Indonesia??? :P. Drake menggunakan beberapa manusia sungguhan dalam eksperimen penggabungan cairan misterius dengan tubuh manusia. Drake sendiri sedang mengalami tuntutan hukum terkait dugaan penggunaan manusia pada beberapa eksperimennya.
Tuntutan hukum ini masuk ke dalam radar Eddie Brooks (Tom Hardy), seorang jurnalis idealis yang pemberani. Eddie kemudian tidak sengaja bersentuhan dengan cairan misterius di dalam laboratorium milik Drake ketika Eddie sedang menyelinap ke sana. Di sini, Eddie mulai mendengar suara-suara di dalam kepalanya. Ia pun mendadak memiliki kekuatan aneh ketika menghadapi bahaya. Mulai saat itu, tubuh Eddie seakan dimiliki pula oleh cairan hitam yang menamakan dirinya sebagai Venom.
Melihat Eddie berkeliaran dengan suara-suara di dalam kepalanya, sambil sesekali berubah wujud, memang menyenangkan. Pengenalan dan adaptasi Eddie terhadap apa yang menimpanya menjadi daya tarik film ini. Selain itu, adegan aksi pada Venom (2018) terbilang cukup menghibur juga.
Sayang hal di atas tidak diikuti dengan alur cerita yang “wah”. Membuat versi awal yang beda bagi Venom memang merupakan langkah yang unik. Tapi beberapa bagian film ini terkadang membuat saya mengantuk.
Dengan demikian, rasanya Venom (2018) masih layak untuk memperoleh nilai 3 dari skala maksimum 5 yang artinya “Lumayan”. Pendapatan yang sangat besar dari Venom (2018), tentunya akan membuat memicu hadirnya sekuel dari Venom (2018). Semoga kalaupun ada, sekuelnya bisa lebih bagus lagi :).
Sumber: http://www.venom.movie