Avatar: The Way of Water (2022)

Avatar (2009) sempat menjadi film dengan special effect terbaik pada masanya. Bahkan kalau kita menonton Avatar (2009) pada tahun 2023 ini, film ini tetap nampak indah dan tidak kalah dengan film-film keluaran terbaru. Mungkin itulah alasan mengapa beberapa bioskop sempat memutar ulang Avatar (2009) kembali sebelum sekuelnya dirilis. Selain itu, jeda sekitar 13 tahun bukanlah waktu yang singkat. Para penonton bisa saja sudah lupa mengenai apa saja yang pernah terjadi di Planet Pandora.

Pada Avatar (2009), manusia berusaha menginvasi Planet Pandora. Mereka datang dengan berbagai teknologi canggih, termasuk terknologi avatar. Dengan taknologi ini, manusia dapat terhubung ke dalam tubuh dari mahluk biru yang disebut Na’vi. Dengan tubuh ini, manusia diharapkan untuk mampu menyusup dan mempelajari Na’vi. Di antara berbagai spesies yang ada di Pandora, Na’vi dinilai sebagai calon ancaman. Selain ciri fisiknya menyerupai manusia, Na’vi memiliki fisik yang lebih besar dan kuat. Hanya saja, mereka masih menggunakan cara hidup dan teknologi yang sederhana. Semua masih mengacu dan berhubungan dengan alam. Alam Pandora pulalah yang berhasil mempermanenkan perpindahan jiwa dan kesadaran manusia ke dalam avatar Na’vi mereka.

Ehwa adalah pohon kehidupan di Pandora yang memiliki kekuatan apiritual yang besar. Dengan bantuan Ehwa, Kopral Jake Sully (Sam Worthington) berhasil menjadi Na’vi seutuhnya. Usaha yang sama pun telah dilakukan kepada Dr. Grace Augustine (Sigourney Weaver), namun usaha ini dianggap gagal. Sebelum upacara pemindahan dilalukan, Grace sudah terlebih dahulu terluka akibat konfrontasi dengan Kolonel Miles Quaritch (Stephen Lang), sang komandan invasi manusia.

Pada akhirnya, Quaritch gugur dan Jake Sully berhasil memimpin Na’vi meraih kemenangan. Sebuah kemenangan legendaris yang dikenang oleh seluruh suku-suku Na’vi. Paling tidak ini adalah latar belakang yang tidak terlalu dijelaskan dengan lengkap pada Avatar: The Way of Water (2022).

Film ini dimulai dengan perdamaian di Planet Na’vi. Jake pun menikah dan dikaruniai 3 anak. Perpindahan avatar Dr. Grace memang dianggap gagal, namun di dalam tubuh Na’vi Dr. Grace, ditemukan bayi Na’vi kecil. Bayi ini diangkat anak sebagai bagian dari keluarga Sully. Ketika Quaritch gugur, beberapa anggotanya ada yang memutuskan untuk pulang ke Bumi. Sebagian lagi ada yang memutuskan untuk tinggal di Pandora, hidup damai bersama Na’vi. Anak kandung Quaritch sendiri, termasuk yang tinggal dan bermain bersama para Na’vi sejak kecil.

Bencana datang ketika manusia kembali datang dan menginvasi Pandora. Kali ini mereka tidak membawa teknologi Avatar. Mereka datang dengan kloning Na’vi. Jadi, manusia berhasil mengkloning kesadaran beberapa tentara handal ke dalam tubuh Na’vi. Kloning Quaritch ada di antaranya.

Pertempuran sengit pun terjadi dan manusia kali ini datang dengan kekuatan yang jauh lebih besar. Jake dan keluarganya sampai harus mundur keluar dari hutan. Mereka harus mengungsi ke wilayah kepulauan yang dihuni oleh suku Metkayina.

Di sana, kita dibawa ke dalam dunia Pandora yang lebih luas dan beranekaragam. Ternyata di dalam Pandora terdapat berbagai spesies lain yang tak kalah kuatnya dengan Na’vi. Spesies Na’vi pun terdiri dari berbagai suku dengan adat dan budaya yang berbeda-beda.

Sang sutradara seolah tidak segan-segan untuk membeberkan ini semua dalam waktu yang cukup lama. Jangan kaget kalau Avatar: The Way of Water (2022) memakan waktu hingga 3 jam-an hohohoho. Masuk bioskop siang, keluar bioskop sudah sore, ganasss :’D. Dengan visual yang cantik, saya tetap betah menonton film ini meskipun kadang agak terasa lambat yaa. Bagusnya film ini adalah bagaimana menampilkan alam bawah laut Pandora yang nampak indah. Tidak rugi deh kalau menonton Avatar: The Way of Water (2022) di bioskop atau layar lebar, kereeennnn.

Tapi jangan berharap untuk menyaksikan adegan peperangan yang spektakuler. Adegan aksinya memang ok, tapi memang terasa sedikit dan relatif biasa-biasa saja. Film ini lebih fokus untuk memperkenalkan alam Pandora beserta ada para suku Metkayina yang hidup di kepulauan.

Selain itu, ceritanya sendiri memang panjang. Banyak permasalahan yang muncul di sana. Mulai dari masalah invasi, adaptasi keluarga Sully di tempat baru, misteri bagaimana Dr. Grace memiliki anak, hubungan antara anak Quaritch dengan kloningan Quaritch, dan lain-lain. Sebagian terjawab, sebagian masih menyisakan misteri hingga akhir film.

Sepertinya Avatar: The Way of Water (2022) dijadikan pembuka bagi sebuah franchise baru. Sudah hampir dipastikan film ini akan ada kelanjutannya. Saya pun kemungkinan besar akan menontonnya bila tak ada halangan.

Saya pribadi ikhlas untuk memberikan Avatar: The Way of Water (2022) nilai 4 dari skala maksimum 5 yang artinya “Bagus”. Sebenarnya ini merupakan sebuah penurunan bila dibandingkan dengan Avatar (2009). Banyak misteri yang tidak jelas akhirnya, kemudian ada beberapa bagian film yang terasa lambat sekali. Tapi secara keseluruhan, yaaa masih baguslah :).

Sumber: http://www.avatar.com

Alien: Covenant (2017)

Sewaktu masih kecil dulu, film-film Alien karya sutradara Ridley Scott berhasil menjadi film favorit saya. Diawali dengan Alien (1978), kemudian diikuti oleh beberapa sekuel yaitu Aliens (1986), Alien 3 (1992) dan Alien Resurrection (1997). Keempat film Alien di atas sama-sama mengisahkan teror di atas kapal atau stasiun luar angkasa oleh sebuah mahluk parasit yang menggunakan tubuh manusia sebagai tempat untuk bertelur. Ellen Ripley (Sigourney Weaver) adalah tokoh sentral keempat film tersebut yang mengawal benang merah kesinambungan jalan cerita antar film.

Alien (1979) dan Aliens (1986) berhasil memberikan tontonan yang menegangkan dengan cerita yang menarik. Jadi tidak hanya kejar mengejar di dalam kapal luar angkasa saja. Ada cerita lain di sana yang membuat kedua film tersebut lebih berkualitas dibandingkan film-film lain di eranya.

Sama seperti kedua pendahulunya, Alien 3 (1992) dan Alien Resurrection (1997) masih mengisahkan petualangan Ripley menghadapi mahluk luar angkasa di lorong-lorong sempit pesawat dan penjara luar angkasa. Sayang sekali, Alien 3 (1992) dan Alien Resurrection (1997) hanya menonjolkan adegan kejar mengejar saja, tiada cerita yang menarik di sana. Saya pribadi lebih memilih untuk menganggap bahwa petualangan Ripley berakhir di Aliens (1986).

Pada tahun 2012, Ridley Scott kembali menghadirkan mahluk luar angkasa yang menjadi lawan Ripley pada Prometheus (2012). Tapi film ini bukanlah sekuel dari Alien (1979), melainkan prekuel. Jadi Prometheus (2012) mengisahkan kisah sebelum Alien (1979). Asal muasal mahluk luar angkasa seolah tidak menjadi topik utama pada film tersebut. Asal muasal manusialah yang justru ditonjolkan pada film tersebut. Pencarian para awak kapal Prometheus terhadap pencipta manusia, justru membawa bencana bagi seluruh awak kapal. Prometheus (2012) jelas lebih menarik ketimbang Alien 3 (1992) dan Alien Resurrection (1997). Kabarnya Prometheus (2012) akan menjadi film pertama bagi trilogi prekuel Alien (1979).

Saya pikir, film setelah Prometheus (2012) akan berjudul Prometheus 2. Ow saya salah besar, Ridley Scott justru memilih judul Alien: Covenant. Alien: Covenant (2017) mengambil peristiwa sebelum Alien (1979) dan sesudah Prometheus (2012). Dikisahkan bahwa kapal luar angkasa Covenant membawa ribuan manusia yang hendak bermigrasi dari Bumi menuju planet lain yang layak untuk ditinggali. Di tengah-tengah perjalanan, terjadi kecelakaan yang membunuh kapten kapal Covenant dan membuat kapal Covenant berhenti sejenak. Ketika para penumpang lainnya masih ditidurkan di dalam kapsul es, para awak kapal dibangunkan untuk memperbaiki situasi. Mereka seharusnya ditidurkan di dalam kapsul es selama puluhan tahun dan akan dibangunkan ketika mereka tiba di Planet tujuan yaitu Origae-6.

Sayangnya, kapten kapal pengganti yaitu Chris Oram (Billy Crodup), memilih untuk mampir ke Planet yang baru terdeteksi ketika para awak kapal sedang memperbaiki Covenant. Planet tersebut nampak mirip dengan Bumi, bersahabat, layak dihuni dan posisinya jauh lebih dekat ketimbang Planet Origae-6. Keputusan Chris berujung bencana karena di Planet misterius yang kosong ini, mereka bertemu dengan David 8 (Michael Fassbender) lengkap dengan bibit mahluk luar angkasa parasit yang pernah hadir pada film-film Alien sebelumnya. David 8 sendiri adalah salah satu awak kapal Prometheus yang selamat pada Prometheus (2012). Di sini akan terungkap apa yang terjadi kepada awal kapal Prometheus yang tersisa setelah Prometheus (2012) berakhir. Sudah pasti, para awak kapal Covenant satu demi satu berguguran.

Uniknya, para awak kapal Covenant merupakan pasangan suami istri sehingga ketika salah satu terancam bahaya atau tewas, maka pengambilan keputusan pasangannya akan terpengaruh. Tennessee Faris (Danny McBride) beberapa kali mengambil keputusan sebagai pilot Covenant dengan dipengaruhi oleh emosi karena ketidakjelasan nasib istrinya yang juga seorang pilot. Chris, sebagai Kapten pengganti pun mengalami shock dan tidak mampu memimpin lagi ketika bahaya dan bencana menimpa istrinya yang berprofesi sebagai ahli Biologi Covenant. Chris sampai harus melimpahkan tampu kepemimpinan kepada Daniels (Katherine Waterston) yang sudah lebih dahulu kehilangan suaminya. Daniels adalah istri dari kapten Covenant pertama yang gugur ketika kecelakaan di awal film terjadi. Seperti film-film Alien sebelumnya, protagonis utama diperankan oleh seorang wanita berambut pendek yang tangguh seperti Daniels. Walaupun Daniels memang nampak lebih tabah dan tangguh, sangat sulit bagi Daniels untuk menyaingi Ellen Ripley, tokoh utama keempat film Alien pertama. Saya rasa tokoh Ripley lebih tangguh dan perkasa :’D.

Sepanjang film, terjadi kerjar mengejar antara awak kapal Covenant dengan mahluk luar angkasa. Pengejaran ini juga berlangsung di lorong-lorong pesawat luar angkasa yang sempit, mirip seperti film-film Alien sebelumnya. Sayang adegan kejar mengejar ini tidak ada gregetnya dan cenderung membosankan.

Hal ini semakin diperburuk dengan tidak adanya misteri atau sesuatu yang dapat membuat saya penasaran seperti pada Prometheus (2012). Awalnya saya berharap Alien: Covenant (2017) mampu memberikan sedikit jawaban akan misteri penciptaan manusia yang belum seluruhnya terungkap pada Prometheus (2012). Pertanyaan besar akan asal mula manusia yang digembar-gemborkan pada Prometheus (2012) seakan menguap tanpa sisa. Apakah ini karena Opa Ridley Scott takut akan kontroversi dan kemarahan dari para pemuka agama?

Ahhhh, Alien: Covenant (2017) benar-benar tidak sesuai ekspektasi saya. Film ini hanya mampu memperoleh nilai 2 dari skala maksimum 5 yang artinya “Kurang Bagus”. Walaupun bagian akhirnya menyisakan beberapa pertanyaan, saya ragu bahwa jawabannya akan muncul pada film Alien berikutnya. Lama kelamaan Alien akan menjadi salah satu franchise film yang bergulir tanpa arah yang jelas.

Sumber: http://www.alien-covenant.com