Missing (2023)

Berusaha mengulang kesuksesan Searching (2018), Sony Pictures merilis Missing (2023) pada awal tahun ini. Film ini berada di dunia yang sama dengan Searching (2018) namun ceritanya berdiri sendiri dan tidak berhibungan langsung dengan Searching (2018). Dengan sutradara yang berbeda, apakah Missing (2023) akan sebaik Searching (2018)?

Mirip dengan Searching (2018), Missing (2023) kembali mengangkat kisah yang menggali hubungan antara seorang orang tua tunggal dengan anak semata wayangnya ketika mereka terpisah jauh. Terpisah bukan karena disengaja, terpisah karena hilang tepatnya. Sejak kecil June Allen (Storm Reid) diasuh oleh ibunya Grace Allen (Nia Long) seorang diri. Maka dunia June seakan runtuh ketika Grace menghilang setelah sebelumnya pamit untuk berlibur ke Kolombia. Dengan berbekal semua yang June miliki, ia berusaha mencaritahu dimana ibunya berada. Sebagian besar usaha tersebut June lakukan dengan komputer yang ia miliki.

Penonton pun mengikuti likaliku pencarian ini melalui layar komputer dan jam tangan digital June. Tentunya, penyelidikan June dilalukan dengan menggunakan berbagai aplikasi yang kurang lebih mirip ada di Indonesia. Hanya saja komputer June adalah Machintost dan aplikasi-aplikasi yang ia gunakan bukanlah aplikasi yang lazim digunakan di Indonesia. Jadi sopasti ada sedikit perbedaan. Semua itu bukan masalah besar, sebab Missing (2023) cukup komunikatif dalam hal ini. Penonton yang kurang melek teknologi pun tidak akan kesulitan untuk mengerti. Film ini berhasil mengisahkan sebuah kisah dengan cara yang unik namun tetap informatif.

Sejak awal, jalan cerita Missing (2023) cukup menjanjikan. Saya senang dengan bagaimana June memproses informasi yang ia miliki. Dengan segala keterbatasan yang ada, June berhasil mengembangkan beberapa informasi yang ia miliki.

Missing (2023) memang berberapa kali berusaha berbelok ke kanan san ke kiri. Namun perlahan, kok jadi mudah ditebak. Misteri mengenai masa orang-orang di sekitar June agak klise dan sudah terlihat kemana arahnya sejak pertengahan film. Kemudian chemistri ibu dan anaknya tidak terlalu nampak.

Film ini memiliki cara penyampaian yang unik dan mudah dipahami. Sayang jalam ceritanya mulai kurang menarik dipertengahan film. Saya ikhlas untuk memberikan Missing (2023) nilai 3 dari skala maksimum 5 yang artinya “Lumayan”. Saya rasa Missing (2023) masih belum mampu mengungguli film pendahulunya, Searching (2018).

Sumber: http://www.sonypictures.com

Don’t Let Go (2019)

Di tengah-tengah kesibukan saya di rumah, saya menemukan sebuah film dengan tema yang unik, Don’t Let Go (2019). Film ini mengingatkan saya pada Frequency (2000), sebuah film yang dulu saya tonton bersama orangtua saya. Keduanya sama-sama mengisahkan mengenai komunikasi unik yang terjadi antara 2 orang di jalur waktu yang berbeda. Frequency (2000) berhasil mengisahkan dengan baik, hubungan ayah-anak yang terpisah oleh waktu dan kematian. Apakah Don’t Let Go (2019) berhasil melakukan hal yang sama?

Agak sedikit berbeda, Don’t Let Go (2019) mengisahkan hubungan antara seorang paman dengan keponakannya. Detektif Jack Radcliff (David Oyelowo) kaget bukan main ketika ia menerima sebuah telefon dari Ashley Radcliff (Storm Reid) yang sudah meninggal dunia. Beberapa minggu yang lalu, Jack sendiri menemukan Ashley dan kedua orangtuanya, menjadi korban pembunuhan. Sebuah peristiwa yang membuat Jack stres berat.

Jack seolah memperoleh kesempatan kedua ketika ia menerima telefon dari Ashley. Ashley di masa lalu, dapat berkomunikasi dengan Jack di masa depan melalui sebuah telefon genggam. Keduanya berusaha mengubah masa depan dengan menyelidiki siapa yang membunuh Ashley.

Misteri dan penyelidikan pada Don’t Let Go (2019) memang sangat menarik untuk diikuti. Namun hal ini hanya bertahan sampai separuh film. Don’t Let Go (2019) seakan kehilangan daya tariknya pada pertengahan film. Film ini terasa terlalu bertele-tele dan pelaku kejahatannya sudah mulai terkuak di pertengaham film. Selanjutnya, semua berlangsung dengan sangat klise.

Sayang sekali, Don’t Let Go (2019) sebenarnya memiliki potensi yang besar untuk menjadi sebuah film yang lebih menarik dibandingkan Frequency (2000). Hubungan paman dan keponakan pada Don’t Let Go (2019), terasa kurang memukau. Saya tidak merasakan kekhawatiran yang dalam dari Jack, ketika Ashley dalam bahaya besar.

Terlepas dari beberapa kelemahan yang ada, film ini masih layak untuk memperoleh nilai 3 dari skala maksimum 5 yang artinya “Lumayan”. Masih ok-laaah untuk dijadikan hiburan ringan, film ini tidak terlalu kompleks kok.

Sumber: http://www.dontletgomovie.com