Venom: Let There Be Carnage (2021)

Ketika masih kecil dulu, saya sering memainkan Spider-Man and Venom: Separation Anxiety di console Sega Mega Drive 2. Sebenarnya, permainan itulah yang memperkenalkan Venom kepada saya. Tak lupa, lawan terakhir permainan tersebut pun ikut memperkenalkan saya kepada Carnage. Begitu Venom: Let There Be Carnage (2021), tentunya film ini lanngsung masuk ke dalam daftar tonton saya.

Carnage sebenarnya memiliki kemampuan yang sangat mirip dengan Venom. Hanya saja, kali ini Carnage bersimbiosis dengan Cletus Kasady (Woody Harrelson), seorang pembunuh berantai. Dengan demikian Carnage dan Cletus hidup di dalam 1 tubuh yang sama. Baik Carnage mapun Venom, memang merupakan mahluk luar angkasa yang membutuhkan inang atau tubuh manusia untuk hidup. Carnage sendiri lahir dari ketika bagian dari Venom tercampur dengan darah Cletus melalui gigitan. Terlahir dan hidup di dalam tubuh seorang pembunuh berantai melahirkan seorang Carnage yang kejam dan tega berbuat apa saja tanpa batasan apapun.

Sangat jauh berbeda dengan Venom yang hidup di dalam tubuh Eddie Brock (Tom Hardy). Eddie memang tidak ramah atau baik hati seperti Peter Parker. Namun, Eddie maih memiliki moral dan kebaikan jauh di dalam lubuk hatinya. Hal inilah yang membuat Venom terpengaruh untuk membatasi diri dari berbuat semena-mena. Venom selalu lapar dan haus akan daging dan darah manusia. Selama ini, Eddie selalu menahan Venom dari berbuat kejam. Ia bahkan berusaha mengganti hidangan makan malam Venom dari manusia menjadi ayam atau coklat.

Lama kelamaan Venom merasa bahwa Eddie membelenggunya. Bila terus menerus bersama dengan Eddie, Venom tidak dapat menjadi diri sendiri. Eddie sendiri sudah muak dengan berbagai kekacauan yang Venom lakukan. Padahal tanpa Venom dan Eddie sadari, mereka memang saling membutuhkan satu sama lain. Hubungan benci tapi sayang inilah yang menjadi inti dari Venom: Let There Be Carnage (2021).

Eddie dan Venom pun berusaha memperbaiki hubungan mereka ketika Cletus dan Carnage memburu Eddie. Ternyata Eddie adalah reporter yang bertanggung jawab dalam menyingkap lokasi para korban dari kekejaman Cletus. Tak lupa Cletus dan Carnage dibantu pula oleh Frances Barrison / Shriek (Naomie Harris). Walau nampak seperti 2 lawan 1, sebenarnya duo Venom dan Eddie jauh lebih kuat bila mereka bisa bersatu.

Komedi segar antara Eddie dan Venom, menghiasi jalannya film ini. Semua hadir disaat yang tepat sehingga Venom: Let There Be Carnage (2021) berhasil membuat saya tertawa beberapa kali. Akting Tom Hardy dalam memerankan Eddie yang praktis banyak berbicara sendiri, sunggu prima dan menonjol. Saya sadar betul bahwa formula ini sudah pernah dilakukan pada Venom (2018). Tapi saya masih tetap menikmatinya dan sama sekali tidak merasa bosan.

Jalan cerita yang mudah ditebal dan akhir yang sudah jelas terlihat pun, seolah tidak membuat film ini menjadi membosankan. Eddie pada semesta yang satu ini jauh lebih menyenangkan dibandingkan Eddie pada semesta Trilogi Spider-Man versi Sam Raimi yang hadir pada tahun 2007 lalu.

Saya ikhlas untuk memberikan Venom: Let There Be Carnage (2021) nilai 4 dari skala maksimum 5 yang artinya “Bagus”. Akibat film pertama dan kedua Venom sukses di pasaran, kabarnya akan ada film kerita Venom yang melibatkan Multiverse. Konon pada akhirnya Venom akan kembali bertemu dengan Spider-Man. Wah, kemungkinan saya akan menonton kerjasama Venom dan Spider-Man seperti permainan yang saya mainkan di console e Sega Mega Drive 2 dahulu kala ;).

Sumber: http://www.venom.movie

Venom (2018)

Venom merupakan lawan Spider-Man favorit saya sepanjang masa. Pada perkembangannya, Venom pun menjadi semacam anti-hero ketika dunia diserang Carnage. Yaaah mungkin kata-kata saya di atas terlihat aneh dan asing bagi teman-teman yang tidak memgikuti komik Spider-Man. Pada komiknya ya Venom memamg tidak selalu jahat. Penggambaran Venom yang pernah diperlihatkan Sam Raimi pada Spider-Man 3 (2007) merupakan awal dari Venom dimana Venom memang masih sangat buas.

Nah kali ini, asal mula Venom dibuat dengan cara yang berbeda dan tanpa mengikutsertakan Spider-Man. Venom (2018) adalah benar-benar film solo dari Venom. Entah apakah Venom yang satu ini akan masuk ke dalam MCU (Marvel Cinematic Universe) atau tidak, sebab Venom (2018) 100% tidak menampilkan superhero atau supervillain dari jagad MCU.

Baiklah, Venom sendiri sebenarnya bukan manusia, melainkan sebuah entitas berbentul cairan hitam dari luar angkasa. Cairan tersebut dapat menempel dan bergabung dengan tubuh manusia. Hasil dari penggabungan ini menghasilkan tubuh manusia dengan kekuatan jauh di atas rata-rata.

Venom tidak sembarangan memilih tubuh untuk dihinggapi. Proses penggabungan yang kurang cocok, akan membuat manusia yang di hinggapi mengalami kesakitan yang luar biasa, sampai akhirnya tewas. Itulah yang Carlton Drake (Riz Ahmed) lakukan, dengan cairan hitam misterius yang ditemukan pada roket luar angkasa yang jatuh di Malaysia, ahhh kenapa Malaysia, mana Indonesia??? :P. Drake menggunakan beberapa manusia sungguhan dalam eksperimen penggabungan cairan misterius dengan tubuh manusia. Drake sendiri sedang mengalami tuntutan hukum terkait dugaan penggunaan manusia pada beberapa eksperimennya.

Tuntutan hukum ini masuk ke dalam radar Eddie Brooks (Tom Hardy), seorang jurnalis idealis yang pemberani. Eddie kemudian tidak sengaja bersentuhan dengan cairan misterius di dalam laboratorium milik Drake ketika Eddie sedang menyelinap ke sana. Di sini, Eddie mulai mendengar suara-suara di dalam kepalanya. Ia pun mendadak memiliki kekuatan aneh ketika menghadapi bahaya. Mulai saat itu, tubuh Eddie seakan dimiliki pula oleh cairan hitam yang menamakan dirinya sebagai Venom.

Melihat Eddie berkeliaran dengan suara-suara di dalam kepalanya, sambil sesekali berubah wujud, memang menyenangkan. Pengenalan dan adaptasi Eddie terhadap apa yang menimpanya menjadi daya tarik film ini. Selain itu, adegan aksi pada Venom (2018) terbilang cukup menghibur juga.

Sayang hal di atas tidak diikuti dengan alur cerita yang “wah”. Membuat versi awal yang beda bagi Venom memang merupakan langkah yang unik. Tapi beberapa bagian film ini terkadang membuat saya mengantuk.

Dengan demikian, rasanya Venom (2018) masih layak untuk memperoleh nilai 3 dari skala maksimum 5 yang artinya “Lumayan”. Pendapatan yang sangat besar dari Venom (2018), tentunya akan membuat memicu hadirnya sekuel dari Venom (2018). Semoga kalaupun ada, sekuelnya bisa lebih bagus lagi :).

Sumber: http://www.venom.movie

Dunkirk (2017)

Dunkirk

Sudah banyak film yang mengangkat tema Perang Dunia II. Terus terang saya agak bosan dengan tema yang satu itu. Oleh karena itu, saya agak telat menontom Dunkirk (2017) sebab film ini tidak masuk ke dalam daftar film yang hendak saya tonton. Mendengar banyaknya pujian bagi Dunkirk (2017), akhirnya saya memilih untuk menonton Dunkirk (2017) di tengah-tengah sebuah perjalanan panjang. Ahhhh, daripada melamun, toh saat itu saya tidak dapat tidur x__x.

Siapa atau apa itu Dunkirk? Awalnya saya kira itu nama tokoh utamanya hehehehe. Ternyata Dunkirk merupakan bagian dari wilayah Perancis yang dilanda peperangan pada tahun 1940. Pada tahun 1940, pasukan sekutu yang terdiri dari pasukan Inggris dan Perancis, terpukul mundur oleh pasukan Jerman. Pasukan sekutu terus mundur ketika berusaha mempertahankan wilayah Perancis agar tidak dikuasai Jerman. Di daerah Dunkirk-lah banyak pasukan sekutu yang terjebak di sekitar pesisir pantainya. Mereka harus bertahan menghadapi gempuran angkatan darat dan udara Jerman yang terus menghalangi mereka untuk menaiki kapal ke wilayah yang masih dikuasai sekutu. Misi evakuasi pasukan sekutu dari Dunkirk-lah yang menjadi tema utama Dunkirk (2017). Uniknya, evakuasi ini dikisahkan dari 3 sudut pandang, yaitu darat, laut dan udara.

Di darat, Tommy (Fionn Whitehead), seorang serdadu Inggris yang kehilangan semua rekan satu timnya, berusaha untuk menaiki kapal dan pulang ke Inggris. Masalahnya, antrian untuk meniki kapal penjemput sangat panjang. Jumlah prajurit sekutu yang hendak dievakuasi, jauh lebih banyak ketimbang jumlah kapal penjemput. Belum lagi terdapat pesawat tempur Jerman yang terkadang datang dan menyerang dari udara. Tommy dan prajurit sekutu lainnya membutuhkan bantuan dari pihak lain, mereka tidak akan selamat kalau hanya mengandalkan kapal penjemput yang ada saja.

Dunkirk

Dunkirk

Dunkirk

Dunkirk

Dunkirk

Dunkirk

Dunkirk

Dunkirk

Bantuan bagi Tommy datang dari laut. Pihak Inggris meminta bantuan nelayan-nelayan untuk membantu menjemput para prajurit sekutu yang terjebak di Dunkirk. Diantara para nelayan pemberani tersebut, Dawson (Mark Raylance), Peter (Tom Glynn-Carney) dan George (Barry Keoghan). Ketiganya menaiki kapal mereka, Moostone, dari Weymouth menuju Dunkirk untuk mengevakuasi para prajurit sekutu. Dalam perjalanannya, mereka menyelamatkan seorang prajurit sekutu yang mengalami shock dan trauma. Konflik di laut terjadi ketika si prajurit panik ketika mengetahui bahwa kapal yang ia naiki bukan mengarah pulang, melainkan ke arah sebaliknya. Masalah bertambah ketika kapal nelayan mereka mendekati wilayah pantai Dunkirk. Di sana mereka harus menyelamatkan pasukan-pasukan sekutu yang berenang sambil ditembaki oleh pesawat Jerman dari udara. Beruntung, di udara ada pesawat tempur Inggris yang berusaha memuluskan proses evakuasi.

Dunkirk

Dunkirk

Dunkirk

Dunkirk

Dunkirk

Di udara terdapat 3 pesawat tempur Inggris yang berusaha menembak jatuh pesawat Jerman yang terus menerus menembaki prajurit sekutu di Dunkirk. Sayang hanya pesawat tempur yang dikemudikan Farrier (Tom Hardy) saja yang dapat terus melanjutkan misi.

Dunkirk

Dunkirk

Dunkirk

Dunkirk

Tommy yang berusaha pulang, nelayan kapal Moonstone yang berusaha menjemput, dan pesawat tempur Farrier yang berusaha memberikan dukungan dari udara, pada akhirnya saling berpapasan pada adegan klimaks Dunkirk (2017). Hebatnya, aroma tegang dan teror dapat dimunculkan tanpa karakter antagonis utama. Saya hanya melihat beberapa serdadu Jerman dan pilot Jerman yang tidak nampak terlalu dominan pada Dunkirk (2017). Adegan peperangan pada film ini pun terbilang seru dan lengkap. Ada peperangan di darat, laut dan udara. Konflik-konflik yang adapun dapat disuguhkan dengan apik. Saya sangat setuju kalau Dunkirk (2017) layak untuk mendapatkan nilai 4 dari skala maksimum 5 yang artinya “Bagus”. Satu karya spektakuler lagi dari Om Christopher Nolan sebagai sang sutradara. Ia berhasil meramu sebuah peritiwa yang benar-benar pernah terjadi, menjadi suguhan yang menarik untuk ditonton.

Sumber: http://www.dunkirkmovie.com

The Revenant (2015)

Revenant1

The Revenant (2015) merupakan film yang berlatar belakang Amerika di sekitar tahun 1823. Amerika baru saja ditemukan oleh pendatang dari Eropa yang mau tak mau harus berhadapan dengan suku Indian yang sudah lebih dulu ada di Amerika. Peperangan dengan Indian, bukanlah tema utama yang diangkat pada Revenant (2015), melainkan petualangan Hugh Glass (Leonardo DiCaprio) yang diilhami oleh kisah nyata.

Revenant17

Revenant9

Dikisahkan bahwa Glass dan teman satu timnya berprofesi sebagai pemburu kulit. Mereka memburu berang-berang lalu menguliti dan mengolah kulit berang-berang untuk kemudian selanjutnya dijual kepada produsen sarung tangan, sepatu, tas, jaket atau topi.

Ketika sedang mengumpulkan kulit di tengah hutan, Glass dan kawan-kawan diserang oleh sekumpulan suku Indian. Karena kalah dari segi jumlah dan kesiapan, Glass dan kawan-kawan terpaksa kabur sambil membawa tumpukan-tumpukan kulit yang bisa dibawa.

Revenant5

Revenant13

Dalam perjalanannya, Glass terluka parah ketika ia berduel melawan beruang. Penghianatan oleh salah satu rekan 1 tim Glass, John Fitzgerald (Tom Hardy), membuat Glass ditinggalkan begitu saja dalam keadaan sekarat. Tidak hanya meninggalkan Glass, Fitzgerald juga merenggut satu-satunya hal paling berharga yang Glass miliki. Glass hanya dapat terbaring lemah tak berdaya melihat semuanya, ia tidak kuat untuk berdiri atau berbicara.

Revenant16

Diluar dugaan, Glass tidak mati, ia mampu bertahan hidup dan memburu orang yang telah menghianatinya. Perjalanan dan perjuangan Glass untuk bertahan hidup inilah yang mendominasi keseluruhan film The Revenant (2015).

Revenant11

Kalau dilihat dari segi cerita, sebenarnya agak klise dan biasa saja. Adegan aksi pada bagian awal film memang keren karena menggunakan long continous take. Tapi adegan aksi pada bagian akhir film ini justru nampak biasa saja.

Menurut saya, yang menonjol dari The Revenant (2015) adalah visualisasinya. Keadaan Amerika tahun 1823 di musim salju yang keras, dapat tergambar dengan baik sekali. Keputusan sang sutradara, Alejandro G. Iñárritu, untuk mengambil gambar di ruang terbuka yang alami, terbukti tepat walaupun keputusan ini membuat para kru film tersiksa. Mereka harus bekerja di suhu yang sangat dingin.

Revenant3

Revenant2

Revenant12

Revenant7

Leonardo DiCaprio sendiri harus merasakan tidur di dalam bangkai kuda. Jangan kaget kalau terdapat beberapa hal yang agak menjijikan pada film ini. Bagi Mas Leo, pengorbanannya terbayar lunas karena melalui The Revenant (2015), ia berhasil memenangkan penghargaan Oscar 2016 sebagai aktor terbaik. Sebuah penghargaan dimana Leo sudah berkali-kali hanya lolos sebagai nominator, akhirnyaaa menang juga :P.

Revenant8

Revenant15

Revenant4

Revenant14

Film ini bukanlah film Leonardo DiCaprio terbaik yang pernah saya tonton, saya lebih suka Inception (2010) v(^_^). Walaupun sudah menang Oscar, The Revenant (2015) hanya mampu memperoleh nilai 3 dari skala maksimum 5 yang artinya “Lumayan”.

Sumber: www.revenantmovie.com

Mad Max: Fury Road (2015)

Mad Max 1

Setelah menjadi film Australia paling terkenal di masanya, Mad Max (1979) sampai sekarang telah memiliki 3 sekuel yakni Mad Max 2: The Road Warrior (1981), Mad Max Beyond Thunderdome (1985) dan Mad Max: Fury Road (2015). Pada Mad Max (1979), Mad Max 2: The Road Warrior (1981) dan Mad Max Beyond Thunderdome (1985), karakter Mad Max diperankan oleh Mel Gibson. Sedangkan pada sekuel Mad Max terbaru, Mad Max: Fury Road (2015), karakter Mad Max diperankan Tom Hardy yang tempo lalu memerankan Bane pada The Dark Knight Rises (2012). Walaupun pemeran utamanya berbeda, Mad Max: Fury Road (2015) tetap mengambil latar belakang masa depan yang serba kekurangan dan kesusahan.

Dikisahkan bahwa sumber daya yang Bumi miliki semakin menipis. Keserakahan dan perebutan sumber daya telah mengakibatkan perang yang menghancurkan kehidupan manusia. Minyak, air bersih, makanan dan penunjang kehidupan manusia lainnya menjadi hal yang sulit ditemui. Setelah perang, terjadi kekacauan di mana-mana dan jalanan dikuasai oleh geng-geng motor yang jahat.

Pada Mad Max (1979) diceritakan bahwa  Max Rockatansky adalah seorang polisi yang hidup bersama anak dan istrinya di tengah-tengah kekacauan yang melanda dunia. Akibat perseteruan Max dengan salah satu geng motor, anak dan istri Max terbunuh. Kehilangan anak dan istri membuat Max pergi berkelana tanpa tujuan yang jelas, hanya untuk bertahan hidup hari demi hari. Dalam pengembaraannya, Max bertemu berbagai masalah dan karakter lain yang dikisahkan pada Mad Max 2: The Road Warrior (1981) dan Mad Max Beyond Thunderdome (1985). Bagaimana dengan Mad Max: Fury Road (2015)?

Tidak jauh berbeda dengan film-film Mad Max sebelumnya, Max berpapasan dengan sekelompok komunitas sesat di tengah-tengah pengembaraannya. Kali ini Max tertangkap dan ditawan oleh sebuah komunitas yang dipimpin oleh Immortan Joe (Hugh Keays-Byrne). Joe sangat diagung-agungkan oleh para pengikutnya termasuk war boys, kelompok fanatik pemuda-pemuda ababil (abg labil) botak yang bersedia berbuat apapun demi Joe. Joe seolah Tuhan bagi anggota war boys. Menurut kepercayaan war boys, mereka akan dapat mencapai Valhala atau surga apabila mereka mati demi Joe (x__x).

Mad Max 4

Mad Max 18

Nux (Nicholas Hoult) merupakan salah satu war boys yang tetap ingin maju menjalankan misi dari Joe walaupun ia terluka dan kekurangan darah. Kebetulan saat itu istri-istri Joe melarikan diri bersama Imperator Furiosa (Charlize Theron), tangan kanan Joe yang berhianat. Nux ikut berangkat mengejar Furiosa dengan mengikatkan Max di depan kendaraannya selagi darah Max dialirkan ke dalam pembuluh darah Nux. Max diperlakukan sebagai kantong darah portable bagi Nux.

Mad Max 3

Mad Max 14

Aksi kejar-kejaran di jalanan yang tandus ini mendominasi sebagian besar Mad Max: Fury Road (2015). Saya rasa Mad Max: Fury Road (2015) agak mirip dengan Mad Max 2: The Road Warrior (1981) tapi Mad Max 2: The Road Warrior (1981) masih memiliki kejutan di bagian akhir cerita. Kalau dilihat dari segi jalan cerita, Mad Max: Fury Road (2015) cenderung dangkal dan mudah sekali ditebak apalagi bagi para penonton yang pernah menonton film-film Mad Max lainnya.

Mad Max 5

Mad Max 11

Mad Max 10

FRD-25474.TIF

Keunggulan Mad Max: Fury Road (2015) adalah dari segi adegan aksinya yang keren, kreatif dan memukau. Sejak awal para penonton disuguhkan oleh berbagai adegan aksi yang tidak monoton, padahal film ini tidak terlalu banyak menggunakan special affect lhooo, mantabbb. Selain itu kegilaan war boys dan konsep kepercayaan yang komunitas Immortan Joe miliki pun terbilang unik dan kreatif. Pemeran Immortan Joe pun ternyata merupakan pemeran Toecutter, tokoh antagonis utama pada Mad Max (1979). Sayang wajahnya tidak terlalu dapat dikenali karena faktor usia dan Opa Joe lebih sering menggunakan penutup mulut dan hidung sepanjang film.

Mad Max 16

Mad Max 13

Mad Max 9

Mad Max 6

Mad Max 12

Mad Max 20

Mad Max 17

Mad Max 19

Mad Max 2

Walaupun dari segi jalan cerita film ini terbilang sederhana, adegan aksi dan keunikan komunitas Opa Joe berhasil menjadi nilai plus yang sangat menonjol di mata saya. Dengan demikian, Mad Max: Fury Road (2015) layak untuk memperoleh nilai 4 dari skala maksimum 5 yang artinya “Bagus”. Mad Max: Fury Road (2015) merupakan film Mad Max terbaik yang pernah dibuat.

Sumber: www.madmaxmovie.com