Hari Keempat Wisata Korea – Gunung Seorak & Naksansa

Setelah kemarin berjalan-jalan di dalam kota Seoul pada Hari Ketiga Wisata Korea – Ihwa, Ewha, Itaewon & Banpo, hari ini kami akan pergi agak jauh di timur laut dari Seoul. Kami bermaksud untuk berkelana ke Gunung Seorak. Untuk mencapai Gunung Seorak, sebenarnya kami bisa saja naik kereta sampai Stasiun Express Bus Terminal yang kemarin kami lewati. Dari sana, kami bisa naik bis nomor 7 atau 7-11 jurusan Sakcho dan turun di pemberhentian terakhir yaitu Halte Bus Mount Seorak. Mengingat kami membawa bayi yang belum genap berumur 2 tahun, agak riskan kalau kami nekad pulang pergi naik bis umum ke sana.

Kami akhirnya memutuskan untuk membeli paket land tour melalui aplikasi Klook yang pada saat itu sedang promo hehehehe. Konsekuensinya adalah kami harus datang tepat waktu dan tidak bisa sesuka hati berlama-lama atau cepat-cepat di dalam sebuah area. Semua sudah ada itenarinya sendiri yang sudah diatur oleh rekanan Klook di sana yaitu Ktourstory.

Kami sudah membeli paket ini beberapa hari sebelum kami berangkat ke Korea. Berdasarakan petunjuk pada aplikasi, kami diharuskan berkumpul di depan Exit 10 Stasiun Dongdaemun History & Culture Park pada pukul 08:10. Setelah sarapan dan bersiap-siap, kami tiba sekitar 20 menit sebelum 08:10 di Exit 10 Stasiun Dongdaemun History & Culture Park. Di sana, kami bertemu dengan orang-orang Indonesia yang membeli land tour melalui Klook juga. Wah ternyata banyak juga yang seperti kami yaaah :).

Tak lama waktu berselang, Ktourstory datang dengan sebuah bis dan mini SUV. Dari sekian banyak orang yang menunggu di Exit 10, ternyata semuanya ikut rombongan menuju Pulau Nami :’D. Semua naik bis kecuali kami dan seorang warga Amerika Serikat bernama Dan. Kami kemudian naik mini SUV dari Ktourstory dan memuai perjalanan kami menuju Taman Nasional Seorak :D.

Rute kami cukup sederhana tapi lumayan jauh. Kami akan berwisata di Gunung Seorak dan Kuil Naksansa yang membutuhkan kurang lebih 3 jam perjalanan dari Seoul. Kali ini kami dapat melihat pemandangan luar kota Seoul yang indah. Jalanan yang kami tempuh, beberapa kali melewati bagian tengah bukit. Jadi, ada beberapa bukit yang dilubangi untuk jalan raya sehingga dapat menghemat waktu tempuh.

Di tengah-tengah perjalanan, kami berhenti sejenak di rest area. Di sanalah saya melihat banyak sekali warga lokal yang menggunakan jaket anti angin. Hiking ternyata memang menjadi hobi bagi mayoritas masyarakat Korea. Banyak orang-orang tua yang gemar hiking terutama di musim semi. Mereka datang lengkap dengan atribut jaket anti angin, sepatu hiking dan tongkat hiking. Identitas kami sebagai turis asing terlihat jelas karena kami hanya menggunakan jaket dan sepatu alakadarnya :’D.

Semakin lama di Korea, semakin kami sadari bahwa kami jarang sekali melihat anak kecil di sana, lebih banyak orang tuanya. Selama kami berjalan-jalan di dalam kota Seoul, kami hampir tidak melihat 1 anak kecil pun. Pantas saja anak kami sering menjadi pusat perhatian. Dalam 1 hari, paling tidak ada 1 atau 2 warga lokal yang meminta ijin saya untuk memberikan sesuatu kepada anak kami. Baik di kereta atau di jalan, anak kami kadang mendapatkan coklat, permen, makanan ringan atau mainan kecil. Semua nampak tulus diberikan kepada anak kami.

Dari obrolan sepanjang perjalanan menuju Taman Nasional Seorak, saya mendengar bahwa banyak kaum muda Korea Selatan memilih untuk menunda kehamilan karena membesarkan anak di sana itu mahal. Dampak dari keadaan ini adalah menurun drastisnya angka kelahiran di sana. Ternyata, angka kelahiran dan pertumbuhan penduduk Korea Selatan, adalah salah satu yang paling rendah di dunia. Jumlah penduduk usia muda semakin menurun dan jumlah penduduk usia tua terus naik. Saya salut dengan penduduk tua di sana. Mereka senang sekali hiking dan naik sepeda. Terkadang saya melihat mereka membawa sepeda ke dalam Stasiun untuk bersepeda di luar kota. Tangga-tangga Stasiun kereta yang curam dan panjang saja, sering digunakan oleh kakek-kakek dan nenek-nenek. Dengan gaya hidup sehat dan gemar berolahraga, penduduk usia tua memiliki usia yang semakin panjang. Hal ini sangat mirip dengan yang saya temui di Jepang beberapa tahun yang lalu. Kurang lebih, Jepang juga sedang menghadapi keadaan yang mirip seperti ini.

Tak terasa kami sudah masuk ke dalam area Taman Sogongwon yang merupakan bagian dari Taman Nasional Seorak. Gunung Seorak atau Seoraksan merupakan bagian dari Pegunungan Taebaek yang terletak di dalam area Taman Nasional Seorak. Sampai sana, kami memiliki beberapa opsi rute hiking, yaitu Jalur Benteng Gwongeumseong, Jalur Biseondae Rock, Jalur Heundeulbawi Rock, Jalur Ulsanbawi Rock, dan Jalur Biryong Waterfall & Towangseong Falls Oservatory.

Karena kami membawa bayi, Jalur Benteng Gwongeumseong tentunya menjadi jalur yang pertama kami pilih. Jalur ini adalah jalur yang paling mudah karena ada pilihan untuk menggunakan bantuan kereta gantung pada sebagian besar perjalanannya. Sesuai namanya, jalur ini merupakan jalur menuju reruntuhan Benteng Gwongeumseong di salah satu puncak Gunung Seorak. Benteng Gwongeumseong (설악산 권금성) atau Istana Gunung Onggeumsan atau Istana Toto konon berdiri pada pemerintahan Raja ke-23 Kerajaan Goryeo untuk menghadang invasi bangsa Mongol.

Untuk menuju Benteng Gwongeumseong, kami memutuskan untuk menggunakan Kereta Gantung meskipun dikenai biaya tambahan. Yaaaah kapan lagi, jarang-jarang naik yang seperti ini heheheheh. Dari Taman Sogongwon, kami berjalan menuju Stasiun Kereta Gantung Seorak-dong. Dari sana, kami menaiki sebuah Kereta Gantung yang dapat menampung sampai 50 orang sekali jalan. Kereta buatan Doppelmayr Ropeways of Switzerland ini nyaman untuk melihat pemandangan sekitar. Dari Kereta Gantung tersebut, kami dapat melihat Taman Sogongwon, Kota Sokcho, Jeohangnyeong, Laut Jepang, Ulsanbawi Rock dan Gwongeumseong dari ketinggian. Sayang, kami datang di awal musim semi, sehingga dedaunan di sana masih berwarna hijau. Konon, pemandangan dari Kereta Gantung ini akan sangat indah di saat dedaunan sudah berubah warna pada musim semi.

Perjalanan selama kurang lebih 10 menit yang menyenangkan, tak terasa sudah berakhir. Kami turun di Stasiun Kereta Gantung Gwongeumseong. Dari Stasiun tersebut, kami berjalan meniti jalan menanjak selama sekitar 20 menit. Beberapa bagian dari rute ini sudah dilengkapi dengan jalan bebatuan, tangga bebatuan dan pengaman yang rapi. Tapi, semakin ke atas, semuanya semakin terjal dan jalanan yang rapi perlahan berubah menjadi bebatuan yang tidak beraturan. Karena medan yang kurang bersahabat dan kencangnya angin, istri dan anak saya berhenti pada titik di mana puncak dari Benteng Gwongeumseong dapat terlihat. Saya meneruskan perjalanan ke atas sendirian hingga akhirnya tiba di puncak. Pada perjalanan hiking ini, saya membawa tas punggung dan depan berisi baju anak, perbekalan dan lain-lain. sementara itu istri saya menggendong anak kami dengan gendongan bayi. Memang sebaiknya istri dan anak saya tidak ikut ke atas karena jalan bebatuannya terlalu curam.

Ada apa di sana? Pada dasarnya area ini adalah reruntuhan dari Benteng tersebut. Kami tidak melihat bangunan di sana. Hanya bebatuan yang berwarna coklat keputihan. Warna bebatuan seperti inilah yang menjadi asal mula nama Gunung Seorak yang berarti gunung salju. Dari kejauhan, bebatuan yang membentuk gunung ini, nampak sepertu salju abadi yang terus ada sepanjang tahun. Pemandangan di atas sana benar-benar berbeda dengan gunung di Indonesia. Semakin ke atas, pepohonan semakin berkurang. Pemandangan berganti dengan semakin banyaknya formasi batu di sana. Laut Jepang dan Kota Sokcho kembali dapat dilihat dari Benteng Gwongeumseong. Pemandangan alam yang layak untuk dikunjungi.

Selesai dari puncak Benteng Gwongeumseong, kami kembali turun menuju Stasiun Gwongeumseong, lalu naik Kereta Kabel menuju Taman Sogongwon. Nah, dari sini kami harus memilih apakah mau hiking lagi atau bersantai di taman saja. Karena stamina kami masih ok dan putri kami tidak rewel, maka kami memutuskan untuk memilih salah satu dari 4 jalur hiking lain yang belum kami lalui. Mendatangi keempatnya dalam 1 hari merupakan hal yang hampir mustahil bagi kami. Mana ya yang akan kami pilih?

Jalur Biseondae Rock dan Jalur Heundeulbawi Rock adalah jalur yang pendek dan ringan. Pada kedua jalur ini kita sama-sama melewati Kuil Sinheungsa, Patung Jwabul Buddha pada awal perjalanannya. Kemudian, dari area Kuil Sinheungsa, kita harus memilih apakah hendak meneruskan menuju Jalur Biseondae Rock atau Jalur Heundeulbawi Rock. Jarak keduanya kurang lebih mirip, tapi tingkat kesulitan Jalur Heundeulbawi Rock relatif diatas tingkat kesulitan Jalur Biseondae Rock.

Pada bagian akhir Jalur Biseondae Rock kita akan menemui Biseondae Rock, formasi bebatuan pipih dengan ukiran puisi di atasnya. Nama Biseondae sendiri berasal dari dongeng mengenai peri-peri yang setiap malam turun dari surga untuk bernyanyi di tempat tersebut. Mereka datang karena mengagumi keindahan deretan batu pipih di dekat perairan yang jernih. Para seniman kemudian mengukir berbagai puisi pada batu-batu tersebut. Konon, sampai sekarang, keaslian dan keindahan lokasi tersebut masih terjaga dengan baik. Kalau mau tantangan lebih, dari ujung Jalur Biseondae Rock, kita dapat meneruskan perjalanan ke atas untuk mengunjungi Gua Geumgagul yang seingat saya tidak ada di dalam peta penunjuk jalan di Taman Seugongwon.

Bagaimana dengan Jalur Heundeulbawi Rock? Pada akhir perjalanannya, kita tentukan akan menemukan Heundeulbawi Rock, sebuah batu besar yang bentuknya agak bulat tapi tidak dapat didorong sampai menggelinding ke tempat lain. Konon, para pengunjung hanya dapat menggoyangkan batu tersebut saja walaupun sudah beramai-ramai mendorongnya.

Kalau masih memiliki waktu dan stamina, kita dapat melanjutkan menuju Jalur Ulsanbawi Rock. Dari Heundeulbawi Rock, terdapat jalur menanjak ke atas menuju Ulsanbawi Rock. Jalur ini secara keseluruhan merupakan jalur yang paling menantang dan paling tinggi puncaknya. Ulsanbawi Rock terdiri dari dereran 6 batu granit yang sangat panjang. Dari sana, konon kita dapat melihat Reservoir Haksapyeong, Laut Jepang dan Puncak Dalma dari kejauhan.

Terakhir, Jalur Biryong Waterfall & Towangseong Falls Oservatory merupakan jalur yang memiliki 3 air terjun yaitu Biryong, Yukdam dan Towangseong. Biryong sendiri merupakan air terjun yang paling terkenal karena bentuknya yang mirip dengan naga terbang. Itulah kenapa air terjun tersebut diberinama Biryong yang artinya naga terbang.

Hhhhmmmm, mana yang akan kami pilih? Maunya sih kami coba semua hehehehe. Karena kali ini kami ikut rombongan tour, maka mau tak mau kami harus disiplin mengikuti jadwal yang ada. Karena jarak dan waktu tempuh yang panjang, Jalur Ulsanbawi sudah pasti tidak kami pilih. Jalur Biseondae Rock dan Jalur Heundeulbawi Rock memang cukup menggoda karena melewati Kuil Sinheungsa dan Patung Jwabul Buddha, selain formasi bebatuan pada masing-masing puncaknya. Tapi karena toh setelah dari Taman Nasional Gunung Seorak, kami hendak mengunjungi Kuil Nakansa, kedua jalur ini tidak kami pilih. Cukup 1 kuil saja dalam sehari, tidak perlu 2. Air terjun pada Jalur Biryong Waterfall & Towangseong Falls Oservatory nampaknya lebih menggoda. Air terjun bukan buatan manusia, lebih alami dan kami sudah lama tidak melihat air terjun ;).

Kami memulai perjalanan sejauh 2 km dari Taman Sogongwon sampai Air Terjun Yukdam dengan jalur yang tidak terlalu sulit. Di awal-awal perjalanan, kami melalui daerah yang masih hijau dan jalan setapak yang landai. Semakin lama, terdapat sungai-sungai dari yang kering sampai yang penuh. Jalanan pun semakin curam tapi masih terdapat tangga pengaman di sana. Jalanan yang curam tersebut, dibentuk oleh bebatuan yang sudah disusun sehingga mirip dengan tangga sehingga tidak terlalu berbahaya. Semakin mendekati Yukdam, tangga pengaman kadang mulai hilang dan susunan bebatuan yang harus kami lalui semakin curam. Tapi memandangan semakin indah karena mulai terdapat sungai yang sangat jernih dengan latar belakang pegunungan yang asri. Kami beberapa kali berhenti untuk beristirahat meminum air yang kami bawa. Air Terjun Yukdam sendiri ternyata hanya air terjun kecil yang tidak terlalu istimewa.

Perjalanan sekitar 0,4 km berikutnya, dari Air Terjun Yukdam sampai Air Terjun Biryong, cukup menantang. Kami melawati banyak jembatan yang pajang dan kokoh. Di luar area jembatan, tangga pengaman sudah semakin sering tak ada dan jalanan curam yang kami lalui tidak dalam bentuk bebatuan yang seperti tangga lagi. Tapi hal tersebut sepadan karena Air Terjun Biryong memang nampak lebih panjang dan berkelok. Kami dapat menyaksikan separuh dari air terjun tersebut dari sebuah jembatan. Kemudian separuh sisanya dari bagian paling bawah dari deretan jembatan yang kami lalui. Air terjun ini memang tidak terlalu lebar, tapi agak panjang dan landai bentuknya.

Kami kemudian beristirahat dan menyantap bekal kami di bagian bawah Air Terjun Biryong. Anak dan istri saya memilih untuk tidak melanjutkan sampai ke Air Terjun Towangseong karena jalur yang nampak lebih ajaib. Saya melanjutkan perjalanan ini sendirian dan ternyata ini lebih melelahkan dari perjalanan sebelumnya karena jalur sejauh 0,4 km ini berisikan tangga semua. Jalur menuju air tersebut berupa tangga dari bebatuan yang tidak terlalu curam, lengkap dengan pengaman untuk berpegangan. Tapi jalur ini hampir tak ada landainya, semuamua tanggaaaaaaaa saja, gile benerrr ×_÷. Jalur yang saya lalui ini bukanlah jalur yang langsung menuju air terjunnya, melainkan menuju titik terbaik untuk melihat Air Terjun Towangseong secara keseluruhan dari atas sampai bawah. Air terjun ini adalah air terjun terpanjang di Korea Selatan loh. Semakin ke atas, pemandangan memang semakin indah dan unik. Sayang saya kehabisan waktu sehingga saya harus balik badan sebelum sampai ke puncak :(. Yaaaah inilah resiko ikut paket tour, ada batasan waktu.

Kami tergopoh-gopoh berjalan kembali menuju Taman Sogongwon. Beruntung kami datang pada hari kerja sehingga Taman Nasional Gunung Seorak tidak terlalu ramai. Andaikan kami datang di saat akhir pekan, jalan cepat atau berlari di jalanan yang kami lalui, hampir mustahil. Warga Korea nampaknya sudah biasa melakukan hiking sebagai arena rekreasi yang sehat dan menyenangkan. Saya pribadi tidak heran karena Gunung Seorak memang sangat rapi, bersih dan teratur. Hampir tidak ada sampah di sana. Saya kagum dengan bagaimana mereka dapat menjaga alam yang mereka miliki dengan sangat baik. Sebuah hal yang seharusnya dapat Indonesia contoh.

Sayangnya, kami sendiri memberikan nama yang kurang baik bagi Indonesia karena kami tiba di Taman Sogongwon sekitar 30 menit lebih lambat dibandingkan waktu yang sudah ditentukan. Turis Amerika sudah datang tepat waktu dan menunggu kami di sana, maaap ya mister hehehehe :’D. Andaika ingin puas di Gunung Seorak, kita memang sebaiknya mengambil paket tour di Klook yang tujuannya hanya Gunung Seorak saja, buka Gunung Seorak plus Kuil Naksansa.

Apa itu Kuil Naksansa? Kuil Naksansa (낙산사) merupakan kuil Buddha yang terletak di antara Kota Sokcho dan Wilayah Yangyang. Sebenarnya, kuil ini sudah berdiri sejak masa pemerintahan Raja Munmu dari Kerajaan Silla, sekitar 1300 tahun yang lalu. Pada perjalannya, sebagian kuil ini sudah sempat terbakar pada masa invasi bangsa Mongol, perang Korea dan kebakaran hutan. Kuil ini terus diperbaiki dan dibangun ulang karena konon di tempat inilah Avalokitesvara Bodhisattva dahulu sempat hidup, sesuatu hal yang penting bagi umat Buddha Korea.

Kini, Kuil tersebut nampak bersih dan luas walaupun sudah beberapa kali terbakar. Dari sana, kami dapat melihat Laut Jepang dari jarak dekat, di sela-sela bebatuan karang dengan latar belakang paviliun-paviliun dari Kuil Naksansa, sebuah pemandangan yang indah.

Tak jauh dari salah satu bagian kuil yang dekat dengan Laut Jepang, terdapat patung granit raksasa dari Haesugwaneumsang setinggi 15 meter. Patung ini berdiri tegak memandang ke arah Laut Jepang. Patung ini merupakan salah satu patung tertinggi untuk jenisnya. Pemandangan dari patung tersebut nampak indah. Anak kami sempat jajan es krim di area tersebut. Kamipun istirahat sejenak melepas lelah di sana.

Sebelum pulang, kami memutari seluruh kompleks kuil. Satu lagi bangunan yang unik dan penting di sana adalah Naksansa Chilcheung Seoktap, bangunan pagoda tingkat 7 yang didirikan pada masa pemerintahan Raja Sejo dari dinasti Joseon. Sekilas, pagida tersebut nampak sederhana dan tidak terlalu besar, namun ternyata bangunan tersebut dianggap penting bagi umat Buddha Korea karena mereka percaya bahwa di dalamnya terdapat rosario Buddha dan manik-manik ajaib.

Kami pulang menjelang sore dan diantarkan kembali sampai Exit 10 Stasiun Dongdaemun History & Culture Park oleh mobil SUV Ktourstory. Pada perjalanan pulang inilah untuk pertama kalinya kami merasakan apa yang orang Korea sebut “macet”. Jalanannya memang agak tersendat, tapi ini tidak ada apa-apanya dibandingkan macetnya Jakarta pada jam pulang kantor :’D.

Apakah dari Stasiun kami langsung pulang ke penginapan? Oh tentu tidak :D. Kami mengelilingi apM Place, hello apM, Migliore, Doota dan pertokoan sekitarnya. Daerah tersebut memang seperti Tanah Abangnya Seoul. Banyak warga lokal yang membeli baju dan kain dalam jumlah banyaaaaak sekali. Hilir mudik membawa troli bukanlah hal yang aneh di sana.

Setelah belanja, kami sempat singgah di kedai kaki lima yang menjual sushi. Di sana serba instant dan tidak ada tempat duduk. Tapi sushinya enak dan harganya bersahabat ;). Setelah itu, barulah kami pulang ke apartemen untuk kembali berpetualang dikeesokan hari pada Hari Kelima Wisata Korea – One Mount Snow Park, The War Memorial of Korea & Myeong-dong.

Baca juga:
Persiapan Wisata Korea 2017
Ringkasan Objek Wisata Korea Selatan
Hari Pertama Wisata Korea – Incheon, Namsan Tower & K Star Road
Hari Kedua Wisata Korea – Naminara Republic, Petite France & The Garden of Morning Calm
Hari Ketiga Wisata Korea – Ihwa, Ewha, Itaewon & Banpo
Hari Kelima Wisata Korea – One Mount Snow Park, The War Memorial of Korea & Myeong-dong
Hari Keenam Wisata Korea – Gyeongbokgung, Bukchon & Changdeokgung
Hari Ketujuh Wisata Korea – Gwangjang & Cheonggyecheon
Hari Kedelapan & Kesembilan Wisata Korea – Everland & Incheon