Ghost in the Shell (2017)

攻殻機動隊 atau Mobile Armored Riot Police atau Ghost in the Shell merupakan manga asal Jepang, karya Masamune Shirow, yang sudah hadir pula dalam wujud film animasi dan video games. Mengikuti Parasyte, Crows Zero, Rurouni Kenshin dan lain-lain, Ghost in the Shell kali ini hadir versi film layar lebarnya. Sebenarnya saya belum pernah membaca manga atau menonton versi animasinya. Tapi saya tertarik begitu melihat trailer-nya yang memukau :).

Dikisahkan bahwa di masa depan, batas pembeda antara mesin dan manusia semakin memudar. Dengan semakin majunya teknologi, semakin banyak manusia yang mengganti atau membalut organ tubuhnya dengan mesin untuk berbagai keperluan. Hanka Robotics, sebagai salah satu perusahaan teknologi terbesar di dunia, melakukan terobosan baru dengan menggabungkan mesin dan otak manusia. Jadi, semua organ yang disebut shell, adalah mesin. Yang mengendalikan organ tersebut adalah otak manusia, bukan lagi AI yang pada saat itu sudah lazim dilakukan. Dengan penggabungan ini, Hanka Robotics mengharapkan terjadinya kesempurnaan. Sebuah tubuh mesin dengan kemampuan mengambil keputusan layaknya manusia biasa.

Dari berbagai percobaan gagal, akhirnya Mira Killian (Scarlett Johansson) berhasil menjadi karya Hanka Robotics pertama yang stabil dan nampak normal. Mira kemudian ditugaskan untuk bergabung dengan Section 9, sebuah unit antiteroris yang beroperasi di Jepang. Karena kemampuannya, Mira memperoleh promosi sampai ia memperoleh pangkat Mayor di sana, julukan Mira pun berubah menjadi Mayor.

Pada Ghost in the Shell (2017) Mayor dan Section 9 berhadapan dengan teroris misterius yang membunuh ilmuwan-ilmuwan Hanka Robotics. Semakin lama, Mayor menemukan fakta bahwa kasus ini ternyata berkaitan erat dengan masa lalu Mayor. Kebohongan demi kebohongan akhirnya terkuak. Sayang kebohongan yang terkuak bukanlah kejutan bagi saya. Semuanya klise dan mudah sekali ditebak. Semuanya terasa datar tanpa klimaks. Sayang sekali, padahal Robocop versi Jepang ini memiliki peluang untuk menampilakn cerita yang lebih baik lagi. Robocop (2014) saja bisa, kenapa yang ini tidak?

Beruntung Ghost in the Shell (2017) didukung dengan visual yang memukau. Gambaran latar belakang tempat Mayor dan kawan-kawan beraksi nampak bagus sekali. Adegan aksinya pun terbilang bagus karena terdapat efek yang bagus di mana-mana. Kostumnya juga dapat mendukung semua itu sehingga Ghost in the Shell (2017) terlihat futuristik tapi tetap realistis.

Dari tampilannya, sepertinya latar belakang Ghost in the Shell (2017) adalah Jepang di masa depan. Tapi kok protagonis utamanya justru bukan orang Jepang, yang dipilih justru wajah Amerika-nya Scarlett Johansson. Hal ini tambah lagi dengan dipergunakannya aktor-aktor non Jepang lain yang mengisi mayoritas peran-peran pembantu utama. Whitewashing benar-benar terasa kental pada film ini. Apakah hal ini dilakukan karena wajah kulit putih Hollywood dianggap lebih komersil? Ah kalau berlebihan seperti ini ya justru agak aneh jadinya hehehe. Selain itu saya tidak melihat karakter yang kuat dari film ini. Seperti jalan ceritanya, tidak ada emosi atau sesuatu yang greget dari tokoh-tokoh yang ada.

Berkat visual, kostum dan aksi yang di atas rata-rata, Ghost in the Shell (2017) masih terselamatkan dan masih dapar memperoleh nilai 3 dari skala maksimum 5 yang artinya “Lumayan”.

Sumber: www.ghostintheshellmovie.com

1 thought on “Ghost in the Shell (2017)

  1. Ping balik: Alita: Battle Angel (2019) | Alief Workshop

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s