Serial Shōgun

Film samurai pertama yang saya tonton ketika masih kecil dulu adalah serial Shōgun. Serial ini dibuat berdasarkan novel karangan James Clavell yang terbit di tahun 1975. Kepopuleran novelnya membuat sebuah serial yang mulai tayang pada 1980 di Amerika nun jauh di sana, oh waw lawasnya hehehe. Saya sendiri menontonnya di tahun 90-an dan masih terlalu kecil untuk paham betul ceritanya. Puluhan tahun kemudian, pada 2024, hadir remake dari Shōgun 1980. Nah kali ini kita bercerita mengenai Shōgun versi 2024, bukan yang versi 1980. Kali ini saya sudah cukup dewasa untuk mengerti jalan ceritanya ;).

Yaaahhh serial ini memang serial untuk dewasa yaaaa. Selain banyak adegan sadisnya, banyak pula konsep-konsep yang terlalu rumit bagi anak-anak. Shōgun banyak sekali mengisahkan pergolakan politik yang terjadi di Jepang.

Latar belakang serial ini adalah Jepang di era feodal. Serial ini dibuat agar mudah dipahami namun ada beberapa hal yang tidak dipaparkan. Banyak yang mengira sistem feodal Jepang ya sama seperti kerajaan Eropa. Padahal pada masa itu sistemnya agak berbeda. Kaisar Jepang dan keturuannya merupakan kepala negara. Namun pada prakteknya, pemerintahan sehari-hari dilakukan oleh Shōgun. Shōgun memiliki kekuasaan penuh terhadap angkatan bersenjata Jepang. Sementara itu Kaisar seolah hanya menjadi simbol dan seremonial negara saja. Jabatan Shōgun telah lama kosong karena jendral yang menguasai seluruh angkatan bersenjata Jepang pada saat itu bukanlah keturunan bangsawan. Pada serial ini pun Ia hanya memperoleh gelar Taikō, bukan Shōgun. Karakter inilah yang pada awal-awal serial Shōgun dikisahkan tewas. Meninggalkan anaknya yang masih kecil untuk dijaga untuk pada suatu hari nanti dapat menggantikan posisi ayahnya.

Baiklah, sekarang kita lanjut masuk ke dalam kisah serial Shōgun :). Untuk menjaga keseimbangan dan persatuan, dibentuklah sebuah dewan yang diisi oleh para daimyo atau kepada daerah. Ada daimyo yang bukan keturunan bangsawan. Ada pula daimyo yang memilih agama baru. Hanya ada 1 daimyo yang keturunan bangsawan dan dianggap masih memegang teguh nilai-nilai tradisional Jepang, Yoshii Toranaga (Hiroyuki Sanada).

Semakin besarnya pengaruh Toranaga membuat daimyo lain khawatir. Apalagi Toranaga adalah seorang Minowara. Minowara di sini adalah keturunan Shōgun terdahulu, bukan bangsawan biasa. Ia pun dikenal sebagai seorang jendral perang yang jenius. Melalui berbagai taktik licik, para daimyo lain berusaha melengserkan Toranaga dari jabatannya yang sekarang. Kalah dalam jumlah dan kekuatan angkatan bersenjata membuat Toranaga harus memutar otak untuk dapat bertahan.

Kondisi ini diperkeruh dengan kedatangan bangsa barat. Bangsa Portugis telah lebih dahulu mendarat dan menyebarkan Kristen Katolik di sana. Usaha penjajahan yang dibalut oleh agama dan perdagangan.

John Blackthorne (Cosmo Jarvis) dan krunya adalah pelaut Inggris pertama yang berhasil mendarat di Jepang. Sebagai seorang Kristen Protestan dan utusan Kerajaan Inggris, Blackthorne merupakan lawan politik dari pihak Portugis yang sudah lebih dahulu menjalin hubungan diplomatis dengan Jepang. Walaupun kalah dari berbagai hal, membunuh lawan politik di negeri seberang bukanlah hal yang mudah. Pertikaian antara Toranaga dan anggota dewan lainnya adalah sesuatu yang dapat Blackthorne manfaatkan untuk bertahan.

Takdir mempertemukan Blackthorne dengan Toranaga. Disini, karakter Blackthorne mampu bergeser dari seorang tawanan, perlahan menjadi bagian dari klan Toranaga, sampai pada akhirnya menjadi tangan kanan sang penguasa Kanto tersebut. Karakter Blackthorne sebagai orang asing pun mengalami perkembangan karakter yang nyata. Dari seorang pelaut Inggris dengan budaya baratnya yang menjunjung tinggi indivialistis. Perlahan mulai menyatu dengan masyarahat Jepang dengan budaya kolektifnya yang ekstrim.

Di sana, Blackthorne dekat dengan Toda Mariko (Anna Sawai), seorang wanita bangsawan yang menjadi penerjemah bagi orang asing seperti Blackthorne. Lambat laun semakin terlihat bahwa Mariko ternyata bukan wanita bangsawan biasa. Ia bahkan memiliki peran besar dalam taktik Toranaga demi meraih kemenangan. Kemampuan Mariko memainkan peranannya menunjukkan bahwa peperangan tidak hanya kekuatan melulu. Bahkan seorang wanita yang lemah mampu merubah arah perang dengan cara yang tepat.

Toranaga memang digambarkan sebagai seorang ahli taktik yang jenius. Ia dapat memenangkan peperangan sebelum perangnya benar-benar terjadi. Aksi samurai dan ninja tetap ada pada Shōgun, tapi jangan harap akan ada adegan peperangan maha dahsyat pada serial ini. Shōgun berbicara mengenai taktik dan politik dengan latar belakang budaya Jepang tradisional.

Tentukan akan ada banyak adegan sadis. Karena serial ini menunjukkan betapa pentingnya kehormatan dan kesetiaan. Kalau para penguasa beradu licik. Para pengikutnya justru beradu kesetiaan. Seppuku atau harakiri atau bunuh diri menjadi bagian yang tak terpisahkan pada serial Shōgun.

Serial ini berhasil menggabungkan sejarah dengan fiksi. Banyak sekali unsur-unsur yang ditampilkan merupakan sesuatu yang dahulu kala memang benar adanya. Beberapa tokoh utamanya pun memang berdasarkan tokoh nyata. Yoshii Toranaga dibuat berdasarkan Tokugawa Ieyasu, Shōgun terakhir Kekaisaran Jepang. Blackthorne dibuat berdasarkan William Adams, orang asing paling berpengaruh di era Keshōgunan Tokugawa. Marika dibuat berdasarkan Hosokawa Tama, putri seorang penghianat yang menjadi martir Kristen pertama Jepang.

Terus terang saya terpesona dengan bagaimana serial ini meramu segala konflik yang ada. Elemen sejarah yang kental, membuat kisah-kisahnya semakin terasa nyata. Saya ikhlas untuk memberikan Shōgun nilai 5 dari skala maksimum 5 yang artinya “Bagus Sekali”.

Sumber: fxnetworks.com

Serial Barbarians

Nama Hermamn atau Arminius bisa jadi terasa asing bagi saya. Namun nama ini ternyata sudah menjadi legenda di Eropa sana, terutama di Jerman. Patung Arminius dapat ditemukan di hutan Teuteburg, Jerman. Hutan tersebut memang menjadi salah satu saksi kemampuan tempur Arminus dalam mengalahlan lawan-lawannya. Ia pun berperan besar dalam berbagai pertempuran lain di tengah-tengah masa keemasan Romawi.

Pada saat itu, belum ada negara Jerman. Beberapa wilayah Jerman dapat dikatakan disebut sebagai wilayah Germania. Suku-sukh yang ada di sana disebut Barbarian atau Barbaren. Semua karena mereka masih terpecah-pecah dan belum memiliki peralatan tempur yang mumpuni. Berbeda jauh dengan Romawi yang sudah memilki peralatan tempur lengkap dengan formasi tempur yang terbaik pada masanya.

Inilah dia latar belakang fim seri Barbarians atau Barbaren. Film berbahasa Jerman ini mengisahkan kondisi di saat Romawi menguasai wilayah Germania. Pergolakan tentunya terus terjadi, terutama ketika Romawi menguasai dengan cara yang kejam. Suku-suku yang hidup di Germania hidup dibawah tekanan.

Arminius (Laurence Rupp) dikirim ke Germania sebagai salah satu komandan Romawi. Uniknya, Arminius bukan keturunan asli Romawi. Ia adalah anak salah satu kepala suku Germania yang diserahkan kepada Romawi. Dulu, penyerahan Arminius merupakan simbol perdamaian dari para kepala suku. Ternyata, dibalik itu, Romawi memiliki rencana besar bagi Arminius.

Romawi melatih Arminius sehingga ia berhasil menjadi prajurit Romawi yang kompeten. Keahlian Arminius menjadikannya sebagai salah satu komandan di dalam militer Romawi. Melihat penindasan Romawi terhadap para penduduk asli Germania perlahan membuat Arminius berubah. Meskipun dibesarkan oleh Romawi sejak kecil, penduduk Germania tetaplah saudara bagi Arminius. Di sisi lain, Romawi terus memberikan penghargaan yang besar setiap Arminius menyelesaikan misinya. Ia bahkan menjadi calon kesatria Romawi, sebuah gelar yang ia dambakan sejak kecil. Selanjutnya, Arminius berperan besar sebagai pemimpin pada beberapa perang antara Romawi dan pemberontak Germania.

Karena dibuat berdasarkan sejarah, maka kurang lebih jalan cerita dan akhir dari Barbarian dapat ditebak. Semua dicatat sejarah. Hanya saja, Barbarian ternyata tidak 100% dibuat mengukuti sejarah. Banyak hal yang ditambahkan sebagai bumbu-bumbu agar ceritanya menarik. Sayangnya, saya tidak terlalu suka dengan bumbu-bumbu ini. Bahkan ada 1 karakter utama yang ternyata karakter karangan demi mendukung sebuah drama cinta segitiga.

Beruntung jalan cerita utamanya tetap menarik untuk ditonton. Terdapat penghianatan dimana-mana. Suku-suku barbarian memang tidak bersatu dan memiliki banyak agenda. Setiap suku atau pemimpin suku dapat memindahkan dukungannya kapan saja mereka mau. Di dalam Romawi pun terdapat beberapa keturunan bangsa Germania yang bisa saja berbalik menghianati Romawi.

Selain itu adegan pertempurannya pun melibatkan strategi perang. Jadi bukan hanya baku hantam saja. Namun ada beberapa adegan sadis yang tidak cocok bagi anak-anak. Ini memang bukan film anak-anak.

Kisah konflik di Germania ini memiliki kisah yang menarik dengan adegan aksi yang cerdas. Serial Barbarians sudah sepantasnya untuk memperoleh nilai 3 dari skala maksimum 5 yang artinya “Lumayan”.

Sumber: gaumonttelevision.com

The Admiral: Roaring Current (2014)

The Admiral: Roaring Current (2014) merupakan film Korea yang mengisahkan pertempuran Myeongnyang antara Kekaisaran Jepang dengan dinasti Joseon dari Korea. Kekaisaran Jepang secara khusus mengirim Kurushima Michifusa (Ryu Seung-ryong), si raja bajak laut. Sementara itu armada Korea dipimpin oleh Laksamana Yi Sun-sin (Choi Min-sik). Sejarah mencatat Yi Sun-sin (명량) sebagai Laksamana terbaik yang dinasti Joseon miliki. Kesuksesan Yi beberapa kali membuat banyak orang iri dan membuat Yi kehilangan jabatan dan dibuang. Politik di dalam dinasti Joseon yang pada saat itu memang agak kotor. Bahkan Laksamana secakap Yi beberapa kali mendapatkan hukuman atas kesalahan yang tidak ia perbuat. Namun karena reputasi dan kemampuan militernya, Yi selalu mendapatkan kembali jabatannya.

Jasa terbesar Yi bagi Korea adalah kemampuannya menghadapi invasi Jepang yang digaungkan Toyotomi Hideyoshi. Yi diangkat sebagai pemimpin tertinggi angkatan laut dinasti Joseon. Sementara Yi terus mememangkan pertempuran di laut, tentara Korea terus mengalami kekalahan di darat. Karena sikapnya yang keras dan lagi-lagi politik, Yi difitnah dan disingkirkan dari angkatan laut. Padahal pada saat itu Jepang berjaya di darat dan sukses membuat pemerintah Korea melarikan diri dari ibukota. Korea hanya menang di laut.

Di bawah komando laksamana lain, angkatan laut Korea hancur lebur dan selalu kalah. Apa yang kemudian para pemimpin Korea lakukan? Kembali memanggil Yi untuk memimpin angkatan laut lagi :’D. Hanya saja, saat Yi kembali menjabat, Korea hanya memiliki 12 kapal perang saja, ditambah 1 kapal perang spesial yang Yi desain.

Melalui sebuah aksi desersi, Yi kehilangan kapal perang spesial terakhirnya. Kondisi Korea semakin berat. Kali ini Yi bahkan tidak dapat menggunakan kapal perang andalannya, geobukseon atau kapal perang kura-kura. Dahulu, Yi berhasil memenangkan berbagai pertempuran laut dengan menggunakan kapal tipe ini. Bentuknya unik karena bagian atas kapal bentuknya tertutup seperti rumah kura-kura.

Sekarang, Yi mau tak mau harus memanfaatkan 12 kapal perang terakhir yang ia miliki untuk menahan laju invasi Jepang. Pihak Jepang sendiri membawa 133 kapal perang yang dipimpin oleh Kurushima dan 2 laksamana Jepang lainnya. Jadi pertempuran kali ini adalah 12 melawan 133, sangat tidak berimbang yaa. Pemimpin Korea kala itu, sampai hendak membubarkan saja angkatan lautnya. Bisa apa dengan 12 kapal saja?

Dengan cerdiknya, Yi memilih wilayah Myeongnyang sebagai lokasi pertempuran. Arus laut di sana memiliki karakteristik unik yang pihak Jepang tidak ketahui. Inilah kunci kesuksesan Yi agar 12 kapal perangnya dapat mengatasi 133 kapal perang Jepang.

Durasi The Admiral: Roaring Current (2014) lumayan panjang, 2 jam loh. Pada sekitar 1 jam pertama, tempo film ini berjalan lambat. Dikisahkan bahwa terdapat keraguan di dalam anak buah Yi sendiri. Kemudian setelah beberapa kali dibuang, kenapa Yi masih tetap sudi membela dinasti Joseon. Agak drama sih. Sampai-sampai saya ragu ini film ada perangnya atau tidak ya. Jangan-jangan isinya hanya politik dan persiapan perang saja @_@.

Ternyata saya salah besar, sekitar 1 jam terakhir pertempuran Myeongnyang benar-benar dikisahkan dengan cara yang sangat bagus. Adu taktik perangnya benar-benar seru. Jarang-jarang ada film kerajaan yang mengisahkan taktik perang laut sebaik ini loh. Saya sangat suka dengan bagian ini, keeren.

Apalagi kostum-kostum pada film ini terbilang bagus, terutama yang dipergunakan pihak Jepang. Para pejabat kekaisaran tampil dengan aneka kostum tradisional Jepang yang berwarna-warni. Memang agak kontras dengan kostum perang tentara Korea yang hanya itu-itu saja.

Kemudian yang perlu digarisbawahi juga adalah akting Choi Min-sik sangat bagus disana. Ia berhasil memerankan sosok Laksamana Yi yang keras dan pantang menyerah disaat Yi sudah menua dan sakit sekalipun. Beberapa tindakan Yi memang ekstrim tapi di sana ditunjukkan pula bagaimana ia merasa bersalah akan keputusan yang ia buat. Mulai dari mimik sampai intonasi, semuanya benar-benar bagus sekali.

The Admiral: Roaring Current (2014) sudah sepantasnya memperoleh nilai 4 dari skala maksimum 5 yang artinya “Bagus”. 2 jempol deh untuk film ini, kereen.

Sumber: m.cjem.net

Serial Rise of Empires: Ottoman

Kisah kejayaan Kesultanan Ottoman Turki tentunya sudah melegenda dan diceritakan dalam berbagai bentuk. Salah satunya pernah saya bahas pada Fetih 1453 (2012). Sebuah film Turki yang mengisahkan penaklukan Konstantinopel oleh Kesultanan Ottoman dibawah kendali Sultan Mehmed II. Bertahun-tahun kemudian, saya kembali menonton kisah penaklukan tersebut namun dalam bentuk film seri Rise of Empires: Ottoman. Mana yang lebih bagus ya?

Karena hadir berbentuk mini seri maka Rise of Empires: Ottoman akan memiliki lebih banyak durasi untuk menampilkan detail-detail kejayaan Ottoman tersebut. Kesultanan Ottoman memamg sempat menguasai banyak wilayah. Namun lambang kejayaan Ottoman memang terlihat ketika mereka mampu menaklukkan Kota Konstantinopel yang pada saat itu dikuasai oleh Kerajaan Romawi Timur atau Bizantium. Kota tersebut dikenal sebagai kota dengan berbagai lapisan pertahanan yang sulit ditembus.

Detail mengenai strategi perang antara Bizzantium dan Ottoman dibahas dengan detail pada serial ini. Taktik jenius Sultan Mehmed II (Cem Yiğit Üzümoğlu) yang memindahkan armada laut lewat jalan darat, dibahas dengan jelas disana. Menonton Rise of Empires: Ottoman, tak ubahnya seperti menonton pelajaran sejarah dengan cara yang menyenangkan.

Penggunaan narasi dari berbagai ahli sejarah, semakin memperkuat unsur dokumenter dari Rise of Empires: Ottoman. Jangan kaget kalau pada beberapa bagian film, terdapat beberapa ahli sejarah yang memberikan komentar sekaligus tambahan detail akan apa yang sedang terjadi. Sungguh menarik, sebab ada beberapa hal yang saya baru ketahui. Melalui film ini, saya memperoleh gambaran yang lebih luas mengenai berbagai alasan kenapa Konstantinopel dapat dikuasi Ottoman.

Saya rasa tidak ada pihak yang digambarkan sebagai penjahat pada Rise of Empires: Ottoman. Kaisar Konstantin XI (Tommaso Basili) tampil sebagai kaisar terakhir Kerajaan Bizantium yang berusaha bertahan. Ia tidak digambarkan sebagai seorang pemimpin yang kejam atau jahat. Sultan Mehmed II pun hadir dengan sangat manusiawi dengan berbagai kelebihan dan kekurangannya sebagai manusia biasa. Film ini tentunya banyak sekali membahas gejolak yang harus Mehmed II hadapi ketika memimpin.

Sayangnya, pembahasan mengenai konflik internal antara Mehmed II dan penasihat utamanya, ditampilkan terlalu banyak. Sejak masih bergelar putra mahkota, Mehmed II memang sudah berambisi untuk menaklukkan Konstantinopel. Hal ini ditentang oleh penasihat utama kerajaan. Selain itu terdapat berbagai hal yang menyebabkan keduanya memiliki banyak perbedaan, tapi tetap saling membutuhkan. Kemudian diperlihatkan pula mengenai keberadaan mata-mata dan pejabat kerajaan yang saling main mata. Hal-hal yang rasanya tidak terlalu penting dan kurang menarik. Bagian ini membuat saya agak mengantuk hehehehe. Rasanya akan lebih menarik bila konflik antara Bizantium dengan Paus dibahas dengan lebih detail. Krisis ekonomi dan perbedaan faham dengan kerajaan-kerajaan Eropa yang tunduk kepada Paus, rasanya hanya memperoleh porsi yang relatif kecil.

Porsi penampilan Kaisar Konstantin XI pun tidak sebanyak tokoh Giovanni Giustiniani (Birkan Sokullu). Namun hal ini masih masuk akal sebab Giustiniani merupakan pemimpin pertahanan Konstantinopel. Jadi, kalau dalam pengaturan strategi peperangan, Giustiniani-lah tokoh yang berhadapan langsung dengan Sultan Mehmed II.

Saya sadar bahwasanya akan selalu ada perdebatan dalam berbagai hal, termasuk sejarah. Detail-detail kecil pada Rise of Empires: Ottoman memang menunjukkan ketidaksempurnaan Sultan Mehmed II Sang Al-Fatih. Pada serial yang satu ini, Sultan Mehmed II memang tidak tampil sebagai mahluk sempurna. Namun itu tidak menghapus kegigihan dan kejeniusan beliau dalam menaklukan Konstantinopel. Julukan Al-Fatih memang pantas untuk diberikan kepadanya.

Saya rasa, Rise of Empires: Ottoman dapat dijadikan tontonan yang menghibur sekaligus mendidik bagi penonton dewasa. Terdapat beberapa bagian yang kurang pas untuk ditonton oleh anak-anak tapi tidak separah Fetih 1453 (2012). Film seri Turki yang satu ini masib setingkat lebih baik daripada Fetih 1453 (2012). Serial Rise of Empires: Ottoman masih layak untuk memperoleh nilai 3 dari skala maksimum 5 yang artinya “Lumayan”.

Sumber: http://www.netflix.com/id-en/title/80990771

The Great Battle (2018)

Mendengar kalimat Romance of the 3 Kingdoms, pastilah kita teringat akan kisah peperangan besar antara 3 kerajaan besar di dataran Cina sana, yaitu Shu, Wu dan Wei. Ternyata di Korea pun ada Romance of the 3 Kingdoms loh, yaitu antara kerajaan Baekja, Silla dan Goguryeo. Ketiganya terus bertempur demi menguasai seluruh Korea. Beberapa kisah pertempurannya sangat dipengaruhi oleh kerajaan tetangga seperti Cina dan Jepang.

Pada The Great Battle (2018) atau Ansi Fortress atau 안시성, dikisahkan bahwa Kekaisaran Tang yang sedang berkuasa di Cina, ingin menguasai Korea. Satu per satu wilayah Korea berhasil Tang kuasai. Sebagai kerajaan yang pada masa jayanya berhasil menguasai bagian tengah dan utara Korea, sampai daerah Mongolia, kerjaan Goguryeo menjadi target utama Kekaisaran Tang. Di bawah Kaisar Taizong atau Li Shimin (Park Sung-woong), bala tentara Tang terus maju ke dalam wilayah Goguryeo yang baru saja mengalami konflik internal.

Raja dari Guguryeo baru saja digulingkan oleh Jendral Yeon Gaesomun (Yu Oh-seong). Jendral Yeon segera menjadi penguasa Goguryeo secara de facto. Sejarah mencatat bahwa terjadi perdebatan sengit karena Raja Goguryeo saat itu dikabarkan memang lemah terhadap Kekaisaran Tang dan Sang Raja ternyata berusaha membunuh Yeon terlebih dahulu. Tidak semua rakyat Goguryeo mengakui kekuasaan Jendral Yeon, termasuk Yang Manchun (Jo In-sung).

Yang adalah penguasa Benteng Ansi yang melindungi semua penduduk di wilayah tersebut. Ia menolak untuk mengirimkan pasukan bantuan kepada Yeon padahal saat itu Yeon sedang membela Goguryeo dari invasi Tang. Pembangkangan ini membuat Yeon geram dan mengirimkan Sa-mul (Nam Joo-hyuk) sebagai mata-mata ke dalam Benteng Ansi. Di saat yang sama, pasukan Tang sedang bergerak ke arah Benteng Ansi. Mereka optimis dapat menguasai Ansi dengan mudah karena mereka sudah berhasil menguasai benteng-benteng Goguryeo lain yang lebih besar dari Benteng Ansi.

Kalah jumlah bukan berarti kalah semangat. Yang ternyata merupakan pemimpin cerdas yang kharismatik. Ia mampu memelihara mental prajuritnya selama berbulan-bulan. Sa-mul yang melihat itu, mulai gundah apakah ia akan tetap menjalankan perintah Yeon atau ikut membelot bersama Yang. Di mata Sa-mul, Yeon dan Yang sebenarnya sama-sama merupakan pemimpin baik yang rela mengorbankan apapun demi menyelamatkan Goguryeo dari invasi Tang.

Konflik batin yang Sa-mul hadapi sangat mudah ditebak arahnya. Cerita dan akhir The Greatest Battle (2018) pun sebenarnya sudah terlihat dari pertengahan cerita. Tapi taktik perang yang ditampilkan sangatlah menarik. Adegan aksinya pun sangat memukau. Inilah keunggulan utama dari The Greatest Battle (2018). Mungkin ada beberapa bagian yang tidak sesuai dengan sejarah, tapi saya rasa hal tersebut tidak terlalu fatal. Bagaimana pun juga, terdapat daerah abu-abu di dalam sejarah sebab sejarah ditulis oleh pemenang [^_^]v. Saya rasa film Korea yang satu ini layak untuk memperoleh nilai 4 dari skala maksimum 5 yang artinya “Bagus”.

Sumber: its-new.co.kr

Serial Extra History

 

Extra History merupakan sebuah serial produksi Extra Credits yang mengisahkan mengenai sejarah dari seorang tokoh, sebuah kerajaan, sebuah sistem, sebuah benda dan sebuah peristiwa penting dari seluruh penjuru dunia. Semua ditampilkan dalam bentuk kartun sederhana yang menarik. Tapi jangan harap untuk melihat kartun sekelas kartun-kartunnya Pixar atau Walt Disney yaa. Kartun di sini merupakan kartun sederhana yang informatif. Ditambah dengan narasi yang enak didengar dan santai, Extra History dapat menampilkan potongan sejarah dengan cara yang tidak membosankan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Memang, karena yang ditampilkan Extra History merupakan potongan, jadi terdapat beberapa hal yang tidak diceritakan. Bagaimanapun juga, penonton Extra History tidak semuanya mahasiswa jurusan Sejarah bukan ;). Detail yang terlalu berlebih atau terlalu kurang, dapat membuat semuanya menjadi membosankan. Dari serial ini, saya memperoleh tontonan santai yang dapat mempertajam pengetahuan saya.

Pada setiap episodenya, terdapat sentilan dan ungkapan yang memancing penontonnya untuk berpikiran kritis. Bukankah sejarah biasanya ditulis oleh pemenang? Mungkinkah ini benar kalau dilihat pakai logika? Terkadang sejarah memang diambil dari sebuah sumber yang mana ditulis berdasarkan sudut pandang sumber tersebut. Jadi, ya memang akan selalu ada sedikit ruang untuk perdebatan.

Terkadang, di sana terdapat pula celetukan mengenai hal-hal yang digambarkan oleh film-film Hollywood terkadang tidak sesuai dengan catatan sejarah. Yaaah, selama ini saya sendiri memang sering menonton film yang kisahnya diambil dari potongan sejarah. Terkadang film-film seperti ini sudut pandang dan kisahnya agak digeser-geser agar lebih menarik. Namanya juga film komersil, bukan film dokumenter ;). Kalau terlalu kaku dengan catatan sejarah, yah nanti tidak laku di bioskop dong.

Nah Extra History sendiri, sebenarnya dapat dikatakan sebagai kartun dokumenter yang bercerita tentang sejarah. Serial ini tentunya tidak hadir di bioskop atau stasiun TV lokal kita. Setelah sempat berpindah-pindah “rumah”, saat ini Extra History dapat ditemukan di patreon, youtube.com dan beberapa saluran TV on-line/off-line luar negeri lainnya. Saya pribadi biasa menonton serial ini di youtube saja, gratis hehehehe.

Sangat jarang saya dapat menemukan sebuah tontonan yang dapat menghibur sekaligus memperluas pengetahuan saya. Serial Extra History layak untuk memperoleh nilai 4 dari skala maksimum 5 yang artinya “Bagus”. Teman-teman yang belum pernah menontonnya, coba tonton episode mengenai Senguku Jidai, itu episode Extra History favorit saya ;).

Sumber: becausegamesmatter.com

Dunkirk (2017)

Dunkirk

Sudah banyak film yang mengangkat tema Perang Dunia II. Terus terang saya agak bosan dengan tema yang satu itu. Oleh karena itu, saya agak telat menontom Dunkirk (2017) sebab film ini tidak masuk ke dalam daftar film yang hendak saya tonton. Mendengar banyaknya pujian bagi Dunkirk (2017), akhirnya saya memilih untuk menonton Dunkirk (2017) di tengah-tengah sebuah perjalanan panjang. Ahhhh, daripada melamun, toh saat itu saya tidak dapat tidur x__x.

Siapa atau apa itu Dunkirk? Awalnya saya kira itu nama tokoh utamanya hehehehe. Ternyata Dunkirk merupakan bagian dari wilayah Perancis yang dilanda peperangan pada tahun 1940. Pada tahun 1940, pasukan sekutu yang terdiri dari pasukan Inggris dan Perancis, terpukul mundur oleh pasukan Jerman. Pasukan sekutu terus mundur ketika berusaha mempertahankan wilayah Perancis agar tidak dikuasai Jerman. Di daerah Dunkirk-lah banyak pasukan sekutu yang terjebak di sekitar pesisir pantainya. Mereka harus bertahan menghadapi gempuran angkatan darat dan udara Jerman yang terus menghalangi mereka untuk menaiki kapal ke wilayah yang masih dikuasai sekutu. Misi evakuasi pasukan sekutu dari Dunkirk-lah yang menjadi tema utama Dunkirk (2017). Uniknya, evakuasi ini dikisahkan dari 3 sudut pandang, yaitu darat, laut dan udara.

Di darat, Tommy (Fionn Whitehead), seorang serdadu Inggris yang kehilangan semua rekan satu timnya, berusaha untuk menaiki kapal dan pulang ke Inggris. Masalahnya, antrian untuk meniki kapal penjemput sangat panjang. Jumlah prajurit sekutu yang hendak dievakuasi, jauh lebih banyak ketimbang jumlah kapal penjemput. Belum lagi terdapat pesawat tempur Jerman yang terkadang datang dan menyerang dari udara. Tommy dan prajurit sekutu lainnya membutuhkan bantuan dari pihak lain, mereka tidak akan selamat kalau hanya mengandalkan kapal penjemput yang ada saja.

Dunkirk

Dunkirk

Dunkirk

Dunkirk

Dunkirk

Dunkirk

Dunkirk

Dunkirk

Bantuan bagi Tommy datang dari laut. Pihak Inggris meminta bantuan nelayan-nelayan untuk membantu menjemput para prajurit sekutu yang terjebak di Dunkirk. Diantara para nelayan pemberani tersebut, Dawson (Mark Raylance), Peter (Tom Glynn-Carney) dan George (Barry Keoghan). Ketiganya menaiki kapal mereka, Moostone, dari Weymouth menuju Dunkirk untuk mengevakuasi para prajurit sekutu. Dalam perjalanannya, mereka menyelamatkan seorang prajurit sekutu yang mengalami shock dan trauma. Konflik di laut terjadi ketika si prajurit panik ketika mengetahui bahwa kapal yang ia naiki bukan mengarah pulang, melainkan ke arah sebaliknya. Masalah bertambah ketika kapal nelayan mereka mendekati wilayah pantai Dunkirk. Di sana mereka harus menyelamatkan pasukan-pasukan sekutu yang berenang sambil ditembaki oleh pesawat Jerman dari udara. Beruntung, di udara ada pesawat tempur Inggris yang berusaha memuluskan proses evakuasi.

Dunkirk

Dunkirk

Dunkirk

Dunkirk

Dunkirk

Di udara terdapat 3 pesawat tempur Inggris yang berusaha menembak jatuh pesawat Jerman yang terus menerus menembaki prajurit sekutu di Dunkirk. Sayang hanya pesawat tempur yang dikemudikan Farrier (Tom Hardy) saja yang dapat terus melanjutkan misi.

Dunkirk

Dunkirk

Dunkirk

Dunkirk

Tommy yang berusaha pulang, nelayan kapal Moonstone yang berusaha menjemput, dan pesawat tempur Farrier yang berusaha memberikan dukungan dari udara, pada akhirnya saling berpapasan pada adegan klimaks Dunkirk (2017). Hebatnya, aroma tegang dan teror dapat dimunculkan tanpa karakter antagonis utama. Saya hanya melihat beberapa serdadu Jerman dan pilot Jerman yang tidak nampak terlalu dominan pada Dunkirk (2017). Adegan peperangan pada film ini pun terbilang seru dan lengkap. Ada peperangan di darat, laut dan udara. Konflik-konflik yang adapun dapat disuguhkan dengan apik. Saya sangat setuju kalau Dunkirk (2017) layak untuk mendapatkan nilai 4 dari skala maksimum 5 yang artinya “Bagus”. Satu karya spektakuler lagi dari Om Christopher Nolan sebagai sang sutradara. Ia berhasil meramu sebuah peritiwa yang benar-benar pernah terjadi, menjadi suguhan yang menarik untuk ditonton.

Sumber: http://www.dunkirkmovie.com

King Arthur: Legend of the Sword (2017)

Kerajaan Camelot yang dipimpin oleh Raja Arthur dan kesatria meja bundar sudah menjadi legenda paling terkenal di wilayah Inggris Raya. Walaupun keberadaannya yang masih diperdebatkan, sudah banyak cerita-cerita bertemakan legenda Camelot dengan berbagai pendekatan.

Salah satu yang pernah hadir di bioskop tanah air dan menjadi favorit saya adalah King Arthur (2004) yang menggunakan pendekatan sejarah sehingga Arthur dan kawan-kawan hadir di tengah-tengah konflik dan kerajaan lain yang memang ada di dalam sejarah dunia. Saya pribadi senang dengan jalan ceritanya, tapi film ini habis tak bersisa dikritik oleh para kritikus. Pendekatan film yang ke arah sejarah menimbulkan pro-kontra karena sampai saat ini saja kebenaran akan keberadaan Arthur masih diperdebatkan oleh para ahli sejarah. Tetapi saya tetap suka dengan King Arthur (2004) sebab pendekatannya yang berbeda, tidak mengikuti alur klasik dongeng Camelot, cinta segitiga Arthur-Guinevere-Lancelot yang memuakkan seperti pada First Knight (1995), blahhh. Bagi saya, King Arthur (2004) tetap menjadi salah satu film terbaik diantara film-film lain yang bertemakan Camelot.

Sudah banyak film bertemakan Camelot yang dianggap gagal. Tapi hal tersebut tidak membuat sineas Hollywood kapok menggarap film bertemakan Camelot. Pada tahun 2017, Guy Ritchie menelurkan film bertemakan legenda Camelot, King Arthur: Legend of the Sword (2017). Kali ini tidak ada unsur sejarah dibawa-bawa. Semuanya bersifat fantasi dengan dukungan kostum dan special effect yang lumayan bagus. Saya suka dan menikmati adegan pertarungan pada film ini, keren dan seru :D.

Tidak hanya itu, cara penceritaan pada film ini tidak monoton. Gabungan alur maju-mundur beberapa kali dilakukan tanpa membuat penonton bingung. Semua cukup informatif dan menambah nilai plus film ini. Bagaimana dengan ceritanya?

Syukurlah King Arthur: Legend of the Sword (2017) tidak mengangkat cinta segitiga klasik Camelot. Fokusnya lebih ke arah bagaimana Bang Arthur (Charlie Hunnam) bisa merebut kembali tahta kerajaan yang direbut pamannya sendiri, Vortigern (Jude Law). Vortigern menggunakan sihir jahat untuk membunuh ayah dan ibu Arthur. Arthur pun berhasil melarikan diri dan tumbuh menjadi pribadi yang cuek, sedikit selengehan tapi bijak dan baik hati. Sangat jauh berbeda dengan Arthur pada King Arthur (2004) yang terlihat lebih serius. Tapi kedua versi Arthur ini sama-sama tidak memiliki ambisi untuk menjadi raja, sama-sama “zero to hero story”, dari bukan siapa-siapa, mampu menjadi raja. Hanya saja Arthur pada King Arthur: Legend of the Sword (2017) dikisahkan sebagai keturunan ningrat dan pangeran terbuang yang direbut tahtanya.

Aroma fantasi pada King Arthur: Legend of the Sword (2017) terasa lebih kental karena memang banyak adegan sihir-sihirnya. Pedang Arthur pun bukan pedang sembarangan, pedang tersebut dapat memberikan Arthur kekuatan untuk melawan Vortigern dan sihir jahatnya.

Rasanya King Arthur: Legend of the Sword (2017) berhasil menggeser King Arthur (2004) sebagai film Camelot favorit saya. Kelebihan utama King Arthur: Legend of the Sword (2017) lebih ke arah alur penceritaan yang unik dan pembawaan Arthur yang lebih menarik. Meskipun kembali habis dibenci para kritikus film, bagi saya pribadi, film ini layak untuk memperoleh nilai 4 dari skala maksimum 5 yang artinya “Bagus”

Sumber: kingarthurmovie.com

Schindler’s List (1993)

Schindler1

Beberapa minggu yang lalu saya menonton Schindler’s List (1993) yang pada tahun 1993 dilarang pemutarannya di bioskop-bioskop Indonesia. Kenapa kok dilarang? Schindler’s List (1993) mengambil tema holocaust yang sudah pasti menggambarkan bangsa Yahudi sebagai bangsa yang tertindas. Padahal sampai saat ini tindak tanduk negara yang Yahudi bentuk, yaitu Israel, melakukan penindasan bagi rakyat Palestina. Film seperti ini yaa sudah pasti ditolak kedatangannya di Indonesia :D.

Karena penasaran, akhirnya saya tontonlah film tersebut. Seperti apa sih Schindler’s List (1993) itu? Nama Schindler ternyata bukanlah nama seorang Yahudi, Oskar Schindler (Liam Neeson) adalah pengusaha asal Cekoslowakia yang membuka pabrik di Polandia pada era perang dunia kedua. Pada saat itu Polandia berhasil dikuasai oleh Jerman. Bangsa Yahudi yang tinggal di Polandia pun langsung ditandai dan diusir dari rumah mereka untuk ditempatkan di tempat-tempat yang sudah militer Jerman tentukan. Sebagai pengusaha yang berhasil mendekati para pemimpin militer Jerman di Polandia, Schindler memperoleh Yahudi-Yahudi Polandia sebagai pekerja pabriknya dengan upah yang sangat murah. Ia pun mempercayakan Itzhak Stern (Ben Kingsley), seorang akuntan Yahudi, sebagai tangan kanannya.

 

Schindler6

Schindler10

Schindler5

Schindler7

Schindler11

Schindler3

Schindler12

Melihat perlakuan semena-mena militer Jerman kepada para Yahudi, hati Schindler yang dingin perlahan mulai luluh. Schindler memang seorang oportunis yang hobi main perempuan, mabuk dan pesta. Sebagai pengusaha pun, keahliannya lebih ke arah ahli melakukan negosiasi dengan cara apapun termasuk cara-cara yang kurang baik. Untuk menjalankan pabriknya saja, Schindler sangat bergantung pada Stern. Perbedaan Schindler dengan para pengusaha lainnya adalah hati nurani, sifat kemanusiaan Schindler tergerak dan pada ada akhirnya Schindler berani melakukan tindakan-tindakan yang menyelamatkan ribuan Yahudi. Film ini konon diambil dari kisah nyata dan sampai sekarang, para Yahudi yang Schindler selamatkan, dengan bangga menyebut diri mereka sebagai Yahudinya Schindler.

Schindler8

Schindler13

Schindler9

Dengan berbagai sifat buruk yang Schindler miliki, ia tidak hadir sebagai pahlawan yang sempurna. Sang sutradara, Steven Spielberg, berhasil menampilkan sosok manusia tidak sempurna yang mampu berbuat banyak bagi orang lain, tanpa kekuatan super atau kemampuan bertempur. Muatan drama pada Schindler’s List (1993) memang cukup kental. Banyak adengan yang mengharukan, namun kalau mengingat berita perkembangan konflik antara Israel dan Palestina, keharuan tersebut serta merta pudar hehehehe :’D.

Saya tidak melihat banyak adegan aksi di sana, hanya adegan-adegan yang menunjukkan penderitaan bangsa Yahudi. Opa Spielberg pun kali ini tidak menggunakan banyak special effect seperti film-film Spielberg lainnya. Bumbu unik yang ia berikan pada Schindler’s List (1993) hanyanya berupa penggunaan warna hitam putih pada sebagian besar adegan pada film tersebut walaupun mayoritas film-film pada tahun 1993 sudah berwarna.

Terlepas dari perseteruan antara Israel dan Palestina, Schindler’s List (1993) dapat dikatakan sebagai film yang enak ditonton, meskipun jalan ceritanya sedikit membosankan bagi saya yang bukan pecinta film drama. Saya tidak melihat sesuatu yang spesial pada film ini. Dengan demikian, rasanya Schindler’s List (1993) layak untuk memperoleh nilai 3 dari skala maksimum 5 yang artinya “Lumayan”.

Sumber: www.uphe.com/movies/schindlers-list

 

The Hunting Party (2007)

Hunting Party 1

Masih ingat dengan tragedi pemusnahan etnis muslim bosnia pada tahun 1992-1995 lalu? Perang tersebut adalah pemusnahan etnis masal pertama yang terjadi setelah perang dunia kedua. Menyusul pecahnya negara Yugoslavia, daerah Bosnia yang merupakan bagian dari Yugoslavia ingin mendirikan negara sendiri. Namun hal tersebut ditentang oleh kalangan dari petinggi-petinggi etnis Serbia. Etnis Serbia memang merupakan etnis terbesar di Yugoslavia. Pertumpahan darah tak dapat dielakkan ketika Tentara Yugoslavia datang menyerbu Bosnia yang mayoritas penduduknya beragama islam. Perang berakhir dengan campur tangan Amerika Serikat & NATO. Para petinggi Serbia dinyatakan sebagai penjahat perang dan harus dihukum.. . . . . andai tertangkap, kalau tak tertangkap yaaa statusnya buron saja terus sampai kiamat x__x.

Nah The Hunting Party (2007) mengangkat kisah perburuan salah satu penjahat perang tersebut. Jangan harap kita akan melihat aksi tentara NATO apalagi Amerika Serikat seperti saat mereka sedang memburu Osama. Karakter utama atau si pemburu pada The Hunting Party (2007) adalah seorang wartawan stres, Simon Hunt (Richard Gere).

Sesaat setelah perang Bosnia usai, Simon melakukan tindakan yang tidak pantas ketika membawakan sebuah siaran langsung TV terkait pembantaian etnis muslim Bosnia. Ia langsung dipecat dan menghilang dari dunia jurnalistik. Padahal sebelum insiden tersebut, Simon adalah wartawan yang cukup ternama dan sering meliput di daerah-daerah konflik.

Hunting Party 6

Hunting Party 9

Bertahun-tahun kemudian Simon kembali ke daerah bekas negara Yugoslavia untuk memburu Dragoslav “The Fox” Bogdanović (Ljubomir Kerekeš). Simon tidak sendiri, ia dibantu oleh sahabat sekaligus mantan kameramannya, Duck (Terrence Howard). Karena ketika Simon bertemu Duck, Duck sedang didampingi oleh Benjamin Strauss (Jesse Eisenberg), maka Benjamin pun ikut terseret ke dalam kegian perburuan ini. Mampukah mereka memburu penjahat perang yang tak dapat NATO dan Amerika Serikat temukan?

Hunting Party 5

MCDHUPA EC013

Hunting Party 2

Hunting Party 4

Hunting Party 7

Hunting Party 8

Sepanjang film diputar, terdapat flashback yang menjelaskan kenapa Simon menjadi stres dan sangat benci The Fox. Saya suka dengan alur cerita The Hunting Party (2007), ceritanya tidak membosankan, memiliki sedikit humor dan membuat saya penasaran :).

Sebenarnya akan sangat memalukan apabila pada kehidupan nyata, buronan penjahat perang dapat ditemukan oleh sepasang wartawan yang tidak memiliki kemampuan dan fasilitas seperti tentara atau agen rahasia sekelas CIA. Karakter The Fox memang hanyalah fantasi saja, namun profilnya mirip sekali dengan profil mantan presiden Republik Serbia, Radovan Karadžić, yang buron antara tahun 1996 sampai dengan tahun 2008. Penangkapan pada tahun 2008 pun terjadi ketika Republik Serbia sedang mendaftarkan diri untuk bergabung dengan Uni Eropa. Selamban itukah kerja Republik Serbia, Amerika Serikat dan sekutunya?

The Hunting Party (2007) memang agak menyindir kekurangniatan Republik Serbia, Amerika Serikat dan sekutunya dalam memburu penjahat perang Bosnia. Saya yakin The Hunting Party (2007) pasti kurang disukai oleh masyarakat Serbia karena film ini agak memojokkan Serbia, tapi saya tetap suka dengan cara The Hunting Party (2007) menyindir, terlebih lagi jalan ceritanya mudah dicerna dan menarik. Karena itulah The Hunting Party (2007) layak untuk mendapatkan nilai 4 dari skala maksimum 5 yang artinya “Bagus” ;).