Film samurai pertama yang saya tonton ketika masih kecil dulu adalah serial Shōgun. Serial ini dibuat berdasarkan novel karangan James Clavell yang terbit di tahun 1975. Kepopuleran novelnya membuat sebuah serial yang mulai tayang pada 1980 di Amerika nun jauh di sana, oh waw lawasnya hehehe. Saya sendiri menontonnya di tahun 90-an dan masih terlalu kecil untuk paham betul ceritanya. Puluhan tahun kemudian, pada 2024, hadir remake dari Shōgun 1980. Nah kali ini kita bercerita mengenai Shōgun versi 2024, bukan yang versi 1980. Kali ini saya sudah cukup dewasa untuk mengerti jalan ceritanya ;).
Yaaahhh serial ini memang serial untuk dewasa yaaaa. Selain banyak adegan sadisnya, banyak pula konsep-konsep yang terlalu rumit bagi anak-anak. Shōgun banyak sekali mengisahkan pergolakan politik yang terjadi di Jepang.
Latar belakang serial ini adalah Jepang di era feodal. Serial ini dibuat agar mudah dipahami namun ada beberapa hal yang tidak dipaparkan. Banyak yang mengira sistem feodal Jepang ya sama seperti kerajaan Eropa. Padahal pada masa itu sistemnya agak berbeda. Kaisar Jepang dan keturuannya merupakan kepala negara. Namun pada prakteknya, pemerintahan sehari-hari dilakukan oleh Shōgun. Shōgun memiliki kekuasaan penuh terhadap angkatan bersenjata Jepang. Sementara itu Kaisar seolah hanya menjadi simbol dan seremonial negara saja. Jabatan Shōgun telah lama kosong karena jendral yang menguasai seluruh angkatan bersenjata Jepang pada saat itu bukanlah keturunan bangsawan. Pada serial ini pun Ia hanya memperoleh gelar Taikō, bukan Shōgun. Karakter inilah yang pada awal-awal serial Shōgun dikisahkan tewas. Meninggalkan anaknya yang masih kecil untuk dijaga untuk pada suatu hari nanti dapat menggantikan posisi ayahnya.
Baiklah, sekarang kita lanjut masuk ke dalam kisah serial Shōgun :). Untuk menjaga keseimbangan dan persatuan, dibentuklah sebuah dewan yang diisi oleh para daimyo atau kepada daerah. Ada daimyo yang bukan keturunan bangsawan. Ada pula daimyo yang memilih agama baru. Hanya ada 1 daimyo yang keturunan bangsawan dan dianggap masih memegang teguh nilai-nilai tradisional Jepang, Yoshii Toranaga (Hiroyuki Sanada).
Semakin besarnya pengaruh Toranaga membuat daimyo lain khawatir. Apalagi Toranaga adalah seorang Minowara. Minowara di sini adalah keturunan Shōgun terdahulu, bukan bangsawan biasa. Ia pun dikenal sebagai seorang jendral perang yang jenius. Melalui berbagai taktik licik, para daimyo lain berusaha melengserkan Toranaga dari jabatannya yang sekarang. Kalah dalam jumlah dan kekuatan angkatan bersenjata membuat Toranaga harus memutar otak untuk dapat bertahan.
Kondisi ini diperkeruh dengan kedatangan bangsa barat. Bangsa Portugis telah lebih dahulu mendarat dan menyebarkan Kristen Katolik di sana. Usaha penjajahan yang dibalut oleh agama dan perdagangan.
John Blackthorne (Cosmo Jarvis) dan krunya adalah pelaut Inggris pertama yang berhasil mendarat di Jepang. Sebagai seorang Kristen Protestan dan utusan Kerajaan Inggris, Blackthorne merupakan lawan politik dari pihak Portugis yang sudah lebih dahulu menjalin hubungan diplomatis dengan Jepang. Walaupun kalah dari berbagai hal, membunuh lawan politik di negeri seberang bukanlah hal yang mudah. Pertikaian antara Toranaga dan anggota dewan lainnya adalah sesuatu yang dapat Blackthorne manfaatkan untuk bertahan.
Takdir mempertemukan Blackthorne dengan Toranaga. Disini, karakter Blackthorne mampu bergeser dari seorang tawanan, perlahan menjadi bagian dari klan Toranaga, sampai pada akhirnya menjadi tangan kanan sang penguasa Kanto tersebut. Karakter Blackthorne sebagai orang asing pun mengalami perkembangan karakter yang nyata. Dari seorang pelaut Inggris dengan budaya baratnya yang menjunjung tinggi indivialistis. Perlahan mulai menyatu dengan masyarahat Jepang dengan budaya kolektifnya yang ekstrim.
Di sana, Blackthorne dekat dengan Toda Mariko (Anna Sawai), seorang wanita bangsawan yang menjadi penerjemah bagi orang asing seperti Blackthorne. Lambat laun semakin terlihat bahwa Mariko ternyata bukan wanita bangsawan biasa. Ia bahkan memiliki peran besar dalam taktik Toranaga demi meraih kemenangan. Kemampuan Mariko memainkan peranannya menunjukkan bahwa peperangan tidak hanya kekuatan melulu. Bahkan seorang wanita yang lemah mampu merubah arah perang dengan cara yang tepat.
Toranaga memang digambarkan sebagai seorang ahli taktik yang jenius. Ia dapat memenangkan peperangan sebelum perangnya benar-benar terjadi. Aksi samurai dan ninja tetap ada pada Shōgun, tapi jangan harap akan ada adegan peperangan maha dahsyat pada serial ini. Shōgun berbicara mengenai taktik dan politik dengan latar belakang budaya Jepang tradisional.
Tentukan akan ada banyak adegan sadis. Karena serial ini menunjukkan betapa pentingnya kehormatan dan kesetiaan. Kalau para penguasa beradu licik. Para pengikutnya justru beradu kesetiaan. Seppuku atau harakiri atau bunuh diri menjadi bagian yang tak terpisahkan pada serial Shōgun.
Serial ini berhasil menggabungkan sejarah dengan fiksi. Banyak sekali unsur-unsur yang ditampilkan merupakan sesuatu yang dahulu kala memang benar adanya. Beberapa tokoh utamanya pun memang berdasarkan tokoh nyata. Yoshii Toranaga dibuat berdasarkan Tokugawa Ieyasu, Shōgun terakhir Kekaisaran Jepang. Blackthorne dibuat berdasarkan William Adams, orang asing paling berpengaruh di era Keshōgunan Tokugawa. Marika dibuat berdasarkan Hosokawa Tama, putri seorang penghianat yang menjadi martir Kristen pertama Jepang.
Terus terang saya terpesona dengan bagaimana serial ini meramu segala konflik yang ada. Elemen sejarah yang kental, membuat kisah-kisahnya semakin terasa nyata. Saya ikhlas untuk memberikan Shōgun nilai 5 dari skala maksimum 5 yang artinya “Bagus Sekali”.
Sumber: fxnetworks.com