A Haunting in Venice (2023)

Detektif Hercule Poirot (Kenneth Branagh) hadir kembali pada A Haunting in Venice (2023). Film ini dibuat berdasarkam novel Agatha Christie yang berjudul Hallowe’en Party. Pertama kali dirilis pada bulan Oktober 2023 agar bersamaan dengan perayaan Hallowen. Otomatis film ini memang akan menghadirkan suasana horor yang cukup kental. Sesuatu yang sedikit berbeda dibandingkan Murder on the Orient Express (2017) dan Death on the Nile (2022).

Namun A Haunting in Venice (2023) memiliki sebuah ciri khas yang sama seperti kedua film pendahulunya tersebut. Poirot mengunci dirinya bersama sekelompok orang yang ia curigai telah melalukan pembunuhan. Pemecahan misteri pembunuhan dimulai malam itu juga ketika pihak berwajib belum tiba.

Kali ini Poirot sebenarnya sedang menghadiri acara pemanggilan arwah di malam Halloween. Acara ini akan dipimpin oleh Joyce Reynolds (Michelle Yeoh), sang medium rog halus yang cukup terkenal. Lokasinya adalah bekas Panti Asuhan angker yang sudah dipugar menjadi rumah seorang aktris opera ternama. Hadir sebagai seseorang yang tidak percaya Tuhan dan semua hal yang berhubungan dengan roh halus, Poirot memang datang untung menantang sang medium.

Acara malam itu menjadi kacau ketika terjadi pembunuhan yang meninggalkan sebuah tanda. Tanda sama yang ditemukan pada peristiwa kematian beberapa tahun yang lalu. Kemudian semua ini seolah berhubungan pula dengan legenda yang membuat rumah lokasi kejadian disebut sebagai rumah angker. Poirot pun beberapa kali melihat dan mendengar berbagai hal yang tidak masuk akal.

Aroma horor pada A Haunting in Venice (2023) terasa cukup kental. Ada beberapa adegan yang menunjukkan penampakan. Ini adalah penyelidikan pembunuhan di tengah-tengah teror mahluk halus. Keskeptisan Poirot akan keberadaan mahluk halus benar-benar diuji di sini.

Film ini berhasil menampilkan sebuah proses penyelidikan yang unik dan menarik. Namun saya tidak melijat adanya klimaks yang spektakuler di sana. Semua seolah berjalan datar-datar saja.

Saya rasa A Haunting in Venice (2023) layak untuk memperoleh nilai 3 dari skala maksimum 5 yang artinya “Lumayan”. Film-film Hercule Poirot seperti ini akan selalu masuk ke daftar tonton saya :).

The Conjuring: The Devil Made Me Do It (2021)

The Exorcist (1973) merupakan salah satu contoh film horor yang sangat populer di Amerika sana. Pada intinya sih itu film mengenai kesurupan ala Amerika. Kemudian ada ritual pengusiran setan atau roh halus dari tubuh korban yang kesurupan. Film horor-horor sejenis ini banyak bergentayangan dan cukup membosankan bagi saya pribadi. Kesurupannya Indonesia lebih seram dan masif daripada itu :’D.

Semua sedikit bergeser ketika James Wan menelurkan The Conjuring (2013) dan The Conjuring 2: The Enfield Polteegeist (2016). Tokoh utamanya diambil dari karakter nyata di dunia nyata. Edward “Ed” Warren Miney dan Lorraine Rita Warren. Keduanya merupakan pasangam suami istri yang konon telah menyelidiki sampai 10000 kasus paranormal . Mereka bahkan memiliki koleksi akan berbagai benda paranormal dari beberapa kasus yang telah mereka tangani. Saya pribadi tidak terlalu peduli mengenai apakah ini berdasarkan kisah nyata atau tidak. Kalau sudah masuk film, sopasti ada yang diubah agar menarik untuk ditonton.

Yang menjadi kelebihan dari 2 film besutan James Wan tersebut terletak pada kedua karakter Ed dan Lorraine yang diperankan oleh Patrick Wilson dan Vera Varmiga. Lorraine memiliki kemampuan cenayang, sedangkan Ed menjadi otot yang menjadi tumpuan Lorraine. Kerjasama keduanya terbilang enak untuk diikuti. Apalagi The Conjuring (2013) dan The Conjuring 2: The Enfield Polteegeist (2016) bukan hanya kerasukan dan kesurupan saja. Ada misteri dan jalan cerita yang beragam di sana.

Kesuksesan kedua film Conjuring menelurkan berbagai film spinoff yang menceritakan mengenai hal-hal terkait kasus Ed dan Lorraine Warren. Tapi keabsedan tokoh Ed dan Lorraine membuat spinoff-spinoff tersebut terasa hambar. Apalagi mereka menggunakan jump scare tak penting yang tidak pernah digunakan James Wann pada 2 film Conjuring.

Setelah 5 tahun menanti, akhirnya lahirlah film ketiga Conjuring yaitu The Conjuring: The Devil Made Me Do It (2021). Ini bukan spinoff yaaa, ini Conjuring original :P. Namun sangat disayangkan, Kokoh James Wan tidak akan mengisi posisi sutradara lagi. Ia terlibat sebagai produser dan penulis, cie cieee udah jadi pak bos euy. Lalu siapa sutradaranya? Michael Chaves, salah satu sutradara film spinoff dari Conjuring. Aaahhh, di sini saya agak ragu…..

Beruntung trailer The Conjuring: The Devil Made Me Do It (2021) terlihat keren jadi perlahan saya lupa siapa sutradara film ketiga Conjuring ini. The Devil Made Me Do It merupakan salah satu judul berita di koran tahun 80’an. Isinya mengenai kasus persidangan pembunuhan. Eeeeeiiit tapi ini bukan kasus pembunuhan biasa. Untuk pertama kalinya dalam sejarah Amerika, kesurupan dijadikan alasan sebuah pembunuhan. Arne Cheyenne Johnson menyatakan bahwa ia dipengaruhi dan dikendalikan oleh setan ketika melakukan pembunuhan. Ed dan Lorraine pun hadir sebagai saksi ahli yang berusaha membuktikan bahwa Arne benar. Ed dan Lorraine berjuang di pengadilan berusaha membuktikan mengenai kesurupan setan. Sesuatu yang kontoversial dan bukan hal yang mudah. Nahhh ini adalah kisah nyata dari kasus tersebut. Isinya pengadilan saja dooong, seperti menonton Serial Law & Order duuong x_x.

Ok, beruntung versi filmnya dibuat berbeda. Karena tidak semua yang asli kisah nyata itu menarik untuk ditonton. Pada The Conjuring: The Devil Made Me Do It (2021), dikisahkan bahwa Ed dan Lorraine sedang menangani kasus kesurupan anak bungsu keluarga Glatzel. Arne Cheyenne Johnson (Ruari O’Connor) hadir sebagai kekasih si kakak. Di sana Arne ditampilkan sebagai pemuda baik hati yang sudah seperti menjadi bagian keluarga Glatzel. Maka tidak mengherankan ketika pada sebuah insiden, Arne menawarkan tubuhnya untuk dijadikan inang baru si setan. Arne tidak tega melihat penderitaan adik kekasihnya yang masih kecil.

Tak disangka, setan tersebut benar-benar menjadikan Arne sebagai inang yang baru. Ini sebenarnya lebih berbahaya karena kini si setan memiliki kendali atas tubuh seorang remaja, bukan anak kecil. Masalahnya, benarkah semua ini adalah udah setan? Untuk pertama kalinya Ed dan Lorraine harus berhadapan dengan lawan yang tidak 100% setan. Jangan apa-apa disalahakan ke setan dong, kasian amet jadi setan ;P.

Bak detektif paranormal, Ed dan Lorraine menelusuri berbagai petunjuk yang ada. Investigasi merupakan bagian yang paling saya suka dari film ini. Belum lagi terdapat unsur thriller yang bagus di sana. Penggunaan jump scare memang relatif lebih banyak dibanding 2 film Conjuring sebelumnya, tapi masih dalam batas wajar kok.

Terus terang saya lebih suka dengan The Conjuring: The Devil Made Me Do It (2021) ketimbang 2 film pendahulunya. Unsur misteri dan thriller-nya terasa lebih kental. Memang hal ini mengorbankan unsur horornya sih. Tapi toh yang dikorbankam itu horor kesurupan, ah saya ikhlas sajalah. Saya tidak terlalu terkagum-kagum dengan ritual pengusiran setan. Bosen ahhh, sekali-kali Ed & Lorraine pakai cara yang lainlah untuk menyelesaikan kasusnya.

Dengan demikian The Conjuring: The Devil Made Me Do It (2021) sudah selayaknya memperoleh nilai 4 dari skala maksimum 5 yang artinya “Bagus”. Ternyata keraguan saya kepada Mas Sutradara Michael Chaves terbukti salah. Saya ternyata cocok dengan caranya mengolah kasus Ed dan Lorraine, mangap ya Mas Chaves :).

Sumber: http://www.theconjuringmovie.net

Serial Mira, Royal Detective

Serial kartun anak yang mengambil latar belakang kerajaan, biasanya memiliki putri atau pangeran sebagai tokoh utamanya. Hal tersebut tidak berlaku pada Serial Mira, Royal Detective. Sang pangeran justru hadir sebagai tokoh pendukung. Mira (Leela Ladnier) merupakan anak dari punggawa Kerajaan Jalpur di abad ke-19. Dikisahkan bahwa Jalpur sendiri terletak di daerah India, Asia Tengah. Maka latar belakang serial anak yang satu ini adalah kerajaan ala ala Bollywood-laaah.

Apa istimewanya Mira? Ia memiliki kecerdasan dan berbagai nilai kebaikan lain yang patut untuk dicontoh. Pihak istana pun mengangkat Mira sebagai detektif kerajaan. Mira berhasil mengajak penonton ciliknya untuk memecahkan berbagai kasus yang ia hadapi.

Dengan menonton Mira, Royal Detective, anak-anak diajak untuk berfikir dengan teratur dan mengikuti petunjuk yang ada. Semuanya cukup mudah untuk diikuti oleh anak-anak. Kasusnya Mira memang bukan kasus kompleks yang rumit seperti benang kusut.

Mira, Royal Detective layak untuk memperoleh nilai 4 dari skala maksimal 5 yang artinya “Bagus”. Meskipun topiknya terkadang terkait tindak kriminal, serial ini tidak mengandung kekerasan dan hal-hal negatif lainnya kok. Aman untuk ditonton oleh anak-anak.

Sumber: disneynow.com/shows/mira-royal-detective

Contratiempo (2016)

Contratiempo (2016) merupakan film drama misteri kriminal yang cukup sukses di Spanyol sana. Film ini dirilis pula dengan nama The Invisible Guest (2016) sebagai judul internasionalnya. Kemudian bermunculan remake film Spanyol tersebut di Italia dan India pada Il Testimone Invisibel (2018), Evaru (2018) dan Badla (2018). Kisahnya kurang lebih mirip, yah namanya juga remake hehehehehe.

Kisah dari film tersebut diawali dengan kedatangan Virginia Goodman (Ana Wagener & Blanca Martínez) di kediaman Adrián Doria (Mario Casas). Virgina konon merupakan seorang pangacara hebat yang akan pensiun. Sementara itu, Doria adalah pengusaha sukses yang sedang menjadi terdakwa di sebuah kasus kriminal. Hadir sebagai pengacara kasus tersebut, Virginia menanyakan detail-detail yang Doria ketahui. Di sinilah dimulai cerita flashback dari sudut pandang Doria.

Virginia mendebat dan memberikan berbagai kemungkinan dari kisah versi Doria tersebut. Kita disuguhkan beberapa versi yang mungkin saja terjadi pada kasus kriminal yang menjerat Doria. Perselingkuhan, kecelakaan dan pembunuhan ternyata menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kasus yang Virginia hadapi. Sepanjang film, kita dibuat menebak-nebak siapakah pelaku sesungguhnya.

Film ini berhasil memberikan kejutan atau twist yang cukup tak terduga. Ceritanya sangat cocok ditonton bagi para pecinta kisah detektif. Semuanya nampak masuk akal dan mudah dipahami. Hanya saja penyajian dari flashback yang diulang-ulang terkadang nampak membosankan bagi saya pribadi. Dengan demikian, Contratiempo (2016) atau The Invisible Guest (2016) layak untuk memperoleh nilai 3 dari skala maksimum 5 yang artinya “Lumayan”.

Sumber: http://www.warnerbros.es

Serial Mindhunter

Saya sering menonton film-film detektif, beberapa diantaranya mengisahkan kasus pembunuhan berantai. dimana terdapat beberapa tindak kriminal dengan satu atau sekelompok pelaku yang sama. Pada beberapa film yang saya tonton, penyelidikan pembunuhan berantai, tentunya melibatkan FBI. Lembaga Amerika yang satu ini memiliki istilah dan prosedur tertentu ketika melakukan investigasi. Nah Serial Mindhunter mengisahkan asal mula bagaimana FBI mulai mengembangkan cara dan metode untuk memburu para pembunuh berantai beserta penanganan FBI terhadap berbagai kasus-kasus legendaris.

Semua diawai oleh ketertarikan Agen FBI Holden Ford (Jonathan Groff) terhadap isi pikiran dari seorang pembunuh berantai. Holden percaya bahwa dengan mempelajai perilaku dan pikiran pembunuh berantai yang ada di penjara, FBI dapat mendeteksi dan menangkap lebih banyak lagi pembunuh berantai. Daripada para pembunuh berantai tersebut membusuk di penjara, bukankah lebih baik kalau mereka digunakan untuk menangkap pembunuh berantai lain yang masih bebas di luar sana.

Memulai sesuatu yang tak lazim di zamannya, bukanlah hal yang mudah. Holden memperoleh penolakan dari berbagai sisi. Di sini saya melihat keuletan karakter Holden, sebab ia tetap berusaha mewujudkan idenya dengan berbagai cara.

Setelah melalui proses yang berliku-liku, mimpi Holden perlahan terwujud. Ia bersama dengan Agen FBI Bill Tench (Holt McCallany) dan Proffesor Wendy Carr (Anna Torv), berhasil memperoleh izin untuk mewawancarai beberapa narapidana populer. Dari sana, mereka berhasil membantu pihak kepolisian lokal dalam menghadapi berbagai kasus kriminal.

Mayoritas kasus kriminal yang muncul pada film seri ini dibuat berdasarkan kisah nyata. Pada Mindhunter, penonton akan disuguhkan berbagai tokoh dan kasus kriminal legendaris seperti kasus Edmund Kemper, John Wayne Gacy, Charles Manson, Ted Bundy, Pembunuhan Anak Kecil Atalanta, Sang Pembunuh BTK (Bind Torture, Kill), Montie Ralph Rissell, Shoe-Fetish Slayer, Richard Speck dan lain-lain. Modus operasi sampai ciri-ciri fisik si pelaku utama dari kasus-kasus tersebut ditampilkan dengan sangat mirip seperti aslinya.

Keaslian memang menjadi kelebihan dari Mindhunter, tapi terkadang hal tersebut menjadi sebuah kekurangan kalau dilihat dari sisi hiburan. Karena dibuat berdasarkan kisah nyata, maka beberapa kasus yang disuguhkan oleh Mindhunter terkadang seperti  memiliki akhir yang kurang spektakuler dan mengejutkan. Yaah, kehidupan nyata memang tidak sefantastis cerita karangan manusia bukan?

Film ini ternyata bercerita pula mengenai kehidupan pribadi Holden, Bill, Wendy dan kawan-kawan. Semuanya tentunya berkaitan dengan pekerjaan yang mereka lakukan di FBI. Semua dibuat berkaitan dan kadang menimbulkan konflik internal yang sangat mengena.

Saya pribadi terkadang terkagum-kagum dengan Mindhunter, tapi terkadang saya pun mengantuk kebosanan. Dengan demikian Mindhunter memperoleh nilai 3 dari skala maksumum 5 yang artinya “Lumayan”. Film ini cocok ditonton bagi teman-teman yang tertarik akan sejarah dan menginginkan sebuah film yang terasa asli dan mampu membuat penontonnya berfikir. Oh iya, Mindhunter mengandung beberapa konten dewasa yang tidak pantas ditonton oleh anak-anak.

Sumber: http://www.netflix.com/id-en/title/80114855

Bad Boys for Life (2020)

Bad boys, bad boys
Whatcha gonna do, whatcha gonna do
When they come for you

Ahhh, potongan syair lagu di atas adalah soundtrack dari Bad Boys (1995) yang masih saya ingat sampai sekarang :). Film tersebut merupakan film aksi komedi yang cukup populer di masanya. Namun baru pada tahun 2003-lah hadir sekuelnya, yaitu Bad Boys II (2003). Kemudian saya berfikir bahwa Bad Boys II (2003) adalah yang terakhir. Ternyata saya salah besar. 17 tahun setelah Bad Boys II (2003), ternyata Bad Boys for Life (2020) hadir. Aaaww lama sekali yah :P.

Sama seperti kedua film pendahulunya, Bad Boys for Life (2020) mengisahkan penyelidikan oleh 2 detektif narkoba dari kepolisian Miami, yaitu Marcus Burnett (Martin Lawrence) & Michael Eugene “Mike” Lowrey (Will Smith). Tentunya mereka terus berhadapan dengan kartel narkoba yang berasal dari Amerika Latin. Ledakan dan kerusakan sudah pasti mengikuti Mike dan Marcus. Berbagai aksi heboh yang nyaris mustahil selalu ada pada ketiga film Bad Boys. Saya rasa hal ini bukanlah keunggulan ya. Ledakan demi ledakan yang ditampilkan lama kelamaan terasa agak membosankan. Kehadiran polisi-polisi muda yang sok “bad ass” sama sekali tidak menolong dan hanya seperti hiasan semata hehehehe.

Beruntung adegan aksi mereka diselingi oleh berbagai kelucuan. Gaya Mike yang playboy, flamboyan dan nekat, bertemu dengan Marcus yang lebih senang bermain aman dan sangat family man. Interaksi keduanyalah yang membuat Bad Boys for Life (2020) mampu membuat saya tersenyum seperti ketika saya menonton Bad Boys (1995) & Bad Boys II (2003). Hhhhmmmm, kok hanya tersenyum? Yaah, era 90-an ada era dimana muncul berbagai pasangan detektif jenaka hadir ke layar lebar. Maaf sekali tapi Mike dan Marcus masih tidak selucu Carter dan Lee pada Trilogi Rush Hour hehehehe.

Agak sedikit berbeda dengan Bad Boys (1995) & Bad Boys II (2003), ternyata film ketiga Bad Boys kali ini berusaha menampilkan sebuah misteri. Tidak hanya menampilkan prosedur penyelidikan sebuah kasus narkoba, namun ternyata kasus yang Marcus dan Mike hadapi kali ini berhubungan dengan masa lalu Mike. Sebuah usaha yang bagus sekali, sebab misteri yang disuguhkan sebenarnya memiliki unsur kejutan yang tidak saya duga. Sayangnya, kejutan tersebut dibuat berdasarkan masa lalu yang baru dihadirkan pada Bad Boys for Life (2020), melalui adegan flashback. Bukan melalui sesuatu yang “ditanamkan” pada Bad Boys (1995) atau Bad Boys II (2003).

Bad Boys for Life (2020) cukup menghibur melalui berbagai adegan aksi dan kelucuan yang Mike dan Marcus hadirkan. Oleh karena itu film ini masih layak untuk memperoleh nilai 3 dari skala maksimum 5 yang artinya “Lumayan”. Mengikuti trend yang ada, Bad Boys akan dibuat sebagai franchise film sehingga jangan kaget kalau akan ada film keempat Bad Boys :). 

Sumber: http://www.sonypictures.com/movies/badboysforlife

The Poison Rose (2019)

Mengambil latar belakang Los Angeles pada 1978, The Poison Rose (2019) mengisahkan kisah klasik detektif ala Hollywood. Film ini sepertinya mencoba menjadi seperti film-film sejenis Mantese Falcon (1941) atau Chinatown.

Semua bermula ketika Carson Phillips (John Travolta) kembali ke kampung halamannya untuk menangani sebuah kasus. Di kota tersebut ia justru terlibat ditengah-tengah sebuah kasus pembunuhan yang melibatkan anak dari mantan kekasihnya. Tanpa Carson sadari, semua yang ia hadapi ternyata berkaitan dan memberikan sebuah kenyataan yang tidak terduga.

Cerita detektif pada film ini sedikit klise  dengan beberapa kejutan di bagian akhirnya. Kasus yang Carson hadapi memang terasa berputar-putar dan penuh kejutan. Tapi kok anehnya, saya tidak terkejut hehehehe. Lika-liku penyelidikan beserta kejutannya sudah ada di sana. Sayang penyajiannya kurang greget sehingga terasa hambar.

Tema femme fatale, sepertinya memang menjadi judul dan tema film ini. Wanita cantik, menyeret si tokoh utama dalam sebuah masalah. Hal ini mengigatkan saya pada beberapa film noir yang saya tonton. Sepertinya Poison Rose (2019) berambisi menjadi neo noir, tapi hasilnya tidak terlalu spesial.

Secara garis besar, Poison Rose (2019) layak untuk memperoleh nilai 3 dari skala maksimum 5 yang artinya “Lumayan”. Film ini adalah film detektif yang biasa-biasa saja, walaupun bertaburan dengan bintang Hollywood ternama.

Sumber: http://www.lionsgatepublicity.com/home-entertainment/the-poison-rose

 

Knives Out (2019)

Kisah detektif selalu menjadi sesuatu yang menarik bagi saya. Ketika masih sekolah dulu, novel detektif dari Alfred Hitchcock dan Agatha Christie sudah menjadi bacaan saya. Sayang beberapa kisah detektif yang diangkat ke layar kaca, tidak sebagus novelnya. Mungkin juga hal ini dikarenakan saya sudah tahu jalan cerita beserta akhir ceritanya :’D. Knives Out (2019) tidak dibuat berdasarkan novel apapun. Jadi saya benar-benar buta akan film ini. Trailer-nya saja belum pernah lihat hehehee.

Berbeda dengan beberapa film detektif yang pernah saya lihat, mayoritas sudut pandang Knives Out (2019) justru dilihat dari sisi seorang Marta Cabrera (Ana de Armas), salah satu tersangka pembunuhan. Marta adalah perawat dari seorang penulis novel misteri terkenal, Harlan Thrombey (Christopher Plummer). Harlan tewas meninggalkan anak-anak dan cucu-cucunya yaitu Walter “Walt” Thrombey (Michael Shannon), Donna Thrombey (Riki Lindhome), Jacob Thronbey (Jaeden Martell), Joni Thrombey (Toni Collete), Megan “Meg” Thrombey (Katherine Langford), Linda Drysdale (Jamie Lee Curtis), Richard Drysdale (Don Johnson), dan Hugh Ransom Drysdale (Chris Evans). Tak lupa pula ibu Harlan yang sudah sangat uzur, Wanetta Thrombey (Katherine Elizabeth Borman). Yahh itulah nama-nama tersangka atas sebuah kasus yang masih dipersebatkan apakah itu merupakan kasus kriminal atau murni hanya bunuh diri saja.

Detektif Benoit Blanc (Daniel Craig) beserta kepolisian setempat datang ke TKP dan melakukan penyelidikan. Melihat bagaimana Blanc melakulan penyelidikan, sungguh unik apalagi kalau dilihat dari sudut pandang salah satu tersangka. Setiap tersangka pada kasus ini memiliki ketergantungan finansial terhadap Harlan. Bahkan tersangka yang pada awalnya minim motif, tiba-tiba memiliki motif.

 

Saya suka dengan bagaimana Knives Out (2019) memutar-mutar fakta yang ada. Film ini sukses membuat saya penasaran dan sama sekali tidak mengantuk sampai akhir film. Akhir film ini ya sebenarnya biasa saja dan tidak terlalu mengejutkan, tapi jalan ceritanya sungguh menarik. Banyaknya karakter yang terlibat sama sekali tidak membuat saya kebingungan. Latar belakang dan motif setiap tersangka berhasil disampaikan dengan sangat informatif. Komedi hitam yang ada di dalamnya pun mengena meski agak sedikit basi :’D.

Tanpa saya duga, ternyata akting Daniel Craig terbilang sangat baik. Ketila melihat karakter detektif yang ia perankan, saya sama sekali tidak melihat James Bond di sana. Craig seolah menjadi detektif handal dengan aksen koboy yang kental.

Saya rasa, Knives Out (2019) adalah film detektif terbaik sepanjang tahun 2019. Film arahan Rian Johnson ini sudah sepantasnya untuk memperoleh nilai 4 dari skala maksimum 5 yang artinya “Bagus”.

Sumber: knivesout.movie

Detective Pikachu (2019)

Melihat judulnya, Detective Pikachu (2019) pasti merupakan film dengan latar belakang dunia Pokemon. Dunia dimana terdapat mahluk-mahluk imut bernama Pokemon, berdatangan dan tersebar di seluruh permukaan Bumi. Pikachu merupakan jenis Pokemon yang memiliki kemampuan memanipulasi sengatan listrik. Yah, dari berbagai jenis Pokemon yang ada, Pikachu merupakan yang paling populer. Bermula dari sebuah video game di tahun 1996, Pokemon telah berhasil meraih popularitas dan hadir di berbagai media lain. Tapi baru kali inilah Pikemon hadir film versi live action -nya. Kemarin-kemarin sih yang keluar versi film kartunnya saja.

Berbeda dengan film kartun dan video games -nya, Detective Pikachu (2019) tidak mengambil topik pelatih Pokemon atau perburuan Pokemon. Kali ini Pikachu (Ryan Reynolds) berperan sebagai detektif yang menyelidiki sebuah kasus ;). Sayang pikachu yang satu ini kehilangan ingatannya saat rekan kerjanya dikabarkan tewas terbunuh.

Biasanya, manusia tidak akan mengerti apa ucapan Pokemon. Untuk Pikachu saja, manusia biasa pasti hanya akan mendengar kata-kata “pika pika pika” dari mulut Pikachu. Kali inu, terjadi sebuah keajaiban. Tim Goodman (Justice Smith) tiba-tiba dapat mengerti semua ucapan Pikachu. Tim sendiri ternyata merupakan anak semata wayang dari almarhum rekan Pikachu. Keduanya kemudian bekerja sama untuk mengungkap misteri kematian aya Tim. Tak lupa hadir pula pertolongan dari Lucy Stevens (Kathryn Newton), jurnalis muda yang mencurigai bahwa kematian ayah Tim disebabkan oleh sesuatu yang besar. Ternyata dugaan Lucy tidak meleset, sebab penyelidikan mereka memang lambat laun melibatkan seorang pengusaha kaya dan Pokemon terkuat di muka Bumi.

Dari sekali melihat tokohnya saja, sudah dapat ditebak siapa yang sebenarnya jahat. Judul film ini menggunakan kata-kata detektif tapi kok ya tidak ada misteri yang dahsyat di dalam ceritanya. Saya bahkan sama sekali tidak penasaran ketika menonton Detective Pikachu (2019). Penyelesaian dan akhir dari kasus yang ditangani oleh Pikachu pun memiliki motif dan penyelesaian yang kurang kuat. Yaaah, sepertinya Detective Pikachu (2019) memang tidak dimaksudkan sebagai film misteri atau thriller. Ceritanya tergolong ringan dan tidak membuat penontonnya banyak berfikir.

Tapi kalau berbicara dari segi visual, Pikachu dan dunianya nampak unik dan bagus sekali. Saya suka melihat Pikachu yang nampak imut dengan bulu-bulu kuningnya :). Dunia Pokemon seolah dibuat hidup oleh film ini.

Visual yang memukau tapi tidak diikuti oleh cerita yang memukau membuat saya ikhlas untuk meemberikan Detective Pikachu (2019) nilai 3 dari skal maksimum 5 yang artinya “Lumayan”. Film ini cocok untuk ditonton bersama keluarga di rumah.

Sumber: http://www.detectivepikachumovie.com

L.A. Confidential (1997)

L.A. Confidential (1997) sebenarnya sudah lama masuk ke dalam daftar tonton saya. Tapi baru beberapa hari yang lalulah saya sempat menonton film yang katanya sih bagus :). Film ini sering dibanding-bandingkan dengan Chinatown (1974) yang mendapatkan banyak pujian dari banyak kritikus film. Tapi yaaa terus terang, saya pribadi kurang suka dengan Chinatown (1974) v(^_^). Apakah L.A. Confidential (1997) akan mengalami nasib yang sama?

Mirip seperti Chinatown (1974), L.A. Confidential (1997) mengambil latar belakang kepolisian Los Angles lawas, dengan tambahan bumbu kehadiran perempuan penggoda yang dapat mendatangkan malapetaka. Los Angeles di tahun 1950-an sudah menjadi kotanya selebritis. Banyak wanita cantik dan pria tampan datang ke sana untuk berkarir di dunia hiburan. Di balik gemerlap Los Angles, terdapat pula berbagai tindak kriminal yang diorganisir oleh organisasi yang terstruktur.

Di dalam kepolisian Los Angles, terdapat 3 polisi yang berusaha menyelesaikan berbagai kasus kejahatan dengan caranya masing-masing. Tak disangka, pada perjalannya, mereka menemukan fakta yang dapat mencoreng nama baik rekan mereka sendiri. Di tengah-tengah konflik yang ada, hadir wanita penggoda yang diperankan oleh Kim Basinger.

Lynn Bracken (Kim Basinger) muncul di tengah-tengah penyelidikan kasus pembantaian sadis di dalam sebuah restoran. Jack Vincennes (Kevin Spacey), Wendell ‘Bud’ White (Russell Crowe) dan Edmund J. Exley (Guy Pearce) adalah 3 detektif yang secara langsung dan tak langsung, aktif terlibat di dalam penyelidikan. Berbeda dengan film-film detektif lainnya, ketiga tokoh sentral ini bukan partner. Mereka bahkan terkadang tidak saling suka karena masing-masing memiliki motif yang agak berbeda ketika melakukan penyelidikan ini.

Jack merupakan detektif divisi narkoba yang terkenal karena keterlibatannya di dalam sebuah acara TV. Jack memiliki banyak koneksi di dalam dunia hiburan Los Angles dan lebih senang menyelesaikan masalah dengan kecerdikannya. Berbeda denga Jack, Bud merupakan detektif divisi pembunuhan yang tegas, tempramental dan setia kawan. Karena masa lalu Bud yang kelam, emosi Bud sangat mudah tersulut ketika ada wanita yang sedang dalam bahaya. Bud tidak segan-segan melakukan kekerasan dan perbuatan diluar peraturan. Kebalikan dari Bud, Edmund adalah detektif divisi pembunuhan yang sangat ambisius dan taat dengan peraturan. Bagi Edmund, semuanya harus dilakukan berdasarkan peraturan yang ada. Edmund tidak segan-segan untuk menindak tegas rekan sesama detektif yang melanggar peraturan. Inilah yang menjadi awal mula kenapa Edmund dan Bud terkadang saling benci satu sama lain, keduanya memiliki watak dan cara kerja yang bertolak belakang. Jack hadir sebagai polisi cerdik yang mampu membaca situasi dan secara tidak langsung berperan sebagai penengah sehingga Bud dan Edmund tidak terus menerus saling bergesekan. Kevin Spacey tampil dengan gemilang dalam memerankan Jack, rasannya ia layak untuk memperoleh 1 Oscar lagi di film ini :D.

Jalan cerita L.A. Confidential (1997) agak berliku-liku, penonton seolah dibuat tidak tahu kemana arah film ini. Tapi cara penceritaannya terbilang sangat menarik dan jauh dari kata membosankan. Saya menikmati bagaimana ketiga datektif melakukan tugasnya masing-masing, hingga pada akhirnya mereka menemukan fakta akan hubungan antara kasus-kasus yang mereka tangani :D.

Saya rasa, L.A. Confidential (1997) layak untuk memperoleh nilai 4 dari skala maksimum 5 yang artinya “Bagus”. Film ini jaaauuuuuh lebih bagus daripada Chinatown (1974). Bisa dibilang, L.A. Confidential (1997) adalah salah satu film detektif terbaik yang pernah saya tonton.

Sumber: http://www.warnerbros.com/la-confidential