The Conjuring: The Devil Made Me Do It (2021)

The Exorcist (1973) merupakan salah satu contoh film horor yang sangat populer di Amerika sana. Pada intinya sih itu film mengenai kesurupan ala Amerika. Kemudian ada ritual pengusiran setan atau roh halus dari tubuh korban yang kesurupan. Film horor-horor sejenis ini banyak bergentayangan dan cukup membosankan bagi saya pribadi. Kesurupannya Indonesia lebih seram dan masif daripada itu :’D.

Semua sedikit bergeser ketika James Wan menelurkan The Conjuring (2013) dan The Conjuring 2: The Enfield Polteegeist (2016). Tokoh utamanya diambil dari karakter nyata di dunia nyata. Edward “Ed” Warren Miney dan Lorraine Rita Warren. Keduanya merupakan pasangam suami istri yang konon telah menyelidiki sampai 10000 kasus paranormal . Mereka bahkan memiliki koleksi akan berbagai benda paranormal dari beberapa kasus yang telah mereka tangani. Saya pribadi tidak terlalu peduli mengenai apakah ini berdasarkan kisah nyata atau tidak. Kalau sudah masuk film, sopasti ada yang diubah agar menarik untuk ditonton.

Yang menjadi kelebihan dari 2 film besutan James Wan tersebut terletak pada kedua karakter Ed dan Lorraine yang diperankan oleh Patrick Wilson dan Vera Varmiga. Lorraine memiliki kemampuan cenayang, sedangkan Ed menjadi otot yang menjadi tumpuan Lorraine. Kerjasama keduanya terbilang enak untuk diikuti. Apalagi The Conjuring (2013) dan The Conjuring 2: The Enfield Polteegeist (2016) bukan hanya kerasukan dan kesurupan saja. Ada misteri dan jalan cerita yang beragam di sana.

Kesuksesan kedua film Conjuring menelurkan berbagai film spinoff yang menceritakan mengenai hal-hal terkait kasus Ed dan Lorraine Warren. Tapi keabsedan tokoh Ed dan Lorraine membuat spinoff-spinoff tersebut terasa hambar. Apalagi mereka menggunakan jump scare tak penting yang tidak pernah digunakan James Wann pada 2 film Conjuring.

Setelah 5 tahun menanti, akhirnya lahirlah film ketiga Conjuring yaitu The Conjuring: The Devil Made Me Do It (2021). Ini bukan spinoff yaaa, ini Conjuring original :P. Namun sangat disayangkan, Kokoh James Wan tidak akan mengisi posisi sutradara lagi. Ia terlibat sebagai produser dan penulis, cie cieee udah jadi pak bos euy. Lalu siapa sutradaranya? Michael Chaves, salah satu sutradara film spinoff dari Conjuring. Aaahhh, di sini saya agak ragu…..

Beruntung trailer The Conjuring: The Devil Made Me Do It (2021) terlihat keren jadi perlahan saya lupa siapa sutradara film ketiga Conjuring ini. The Devil Made Me Do It merupakan salah satu judul berita di koran tahun 80’an. Isinya mengenai kasus persidangan pembunuhan. Eeeeeiiit tapi ini bukan kasus pembunuhan biasa. Untuk pertama kalinya dalam sejarah Amerika, kesurupan dijadikan alasan sebuah pembunuhan. Arne Cheyenne Johnson menyatakan bahwa ia dipengaruhi dan dikendalikan oleh setan ketika melakukan pembunuhan. Ed dan Lorraine pun hadir sebagai saksi ahli yang berusaha membuktikan bahwa Arne benar. Ed dan Lorraine berjuang di pengadilan berusaha membuktikan mengenai kesurupan setan. Sesuatu yang kontoversial dan bukan hal yang mudah. Nahhh ini adalah kisah nyata dari kasus tersebut. Isinya pengadilan saja dooong, seperti menonton Serial Law & Order duuong x_x.

Ok, beruntung versi filmnya dibuat berbeda. Karena tidak semua yang asli kisah nyata itu menarik untuk ditonton. Pada The Conjuring: The Devil Made Me Do It (2021), dikisahkan bahwa Ed dan Lorraine sedang menangani kasus kesurupan anak bungsu keluarga Glatzel. Arne Cheyenne Johnson (Ruari O’Connor) hadir sebagai kekasih si kakak. Di sana Arne ditampilkan sebagai pemuda baik hati yang sudah seperti menjadi bagian keluarga Glatzel. Maka tidak mengherankan ketika pada sebuah insiden, Arne menawarkan tubuhnya untuk dijadikan inang baru si setan. Arne tidak tega melihat penderitaan adik kekasihnya yang masih kecil.

Tak disangka, setan tersebut benar-benar menjadikan Arne sebagai inang yang baru. Ini sebenarnya lebih berbahaya karena kini si setan memiliki kendali atas tubuh seorang remaja, bukan anak kecil. Masalahnya, benarkah semua ini adalah udah setan? Untuk pertama kalinya Ed dan Lorraine harus berhadapan dengan lawan yang tidak 100% setan. Jangan apa-apa disalahakan ke setan dong, kasian amet jadi setan ;P.

Bak detektif paranormal, Ed dan Lorraine menelusuri berbagai petunjuk yang ada. Investigasi merupakan bagian yang paling saya suka dari film ini. Belum lagi terdapat unsur thriller yang bagus di sana. Penggunaan jump scare memang relatif lebih banyak dibanding 2 film Conjuring sebelumnya, tapi masih dalam batas wajar kok.

Terus terang saya lebih suka dengan The Conjuring: The Devil Made Me Do It (2021) ketimbang 2 film pendahulunya. Unsur misteri dan thriller-nya terasa lebih kental. Memang hal ini mengorbankan unsur horornya sih. Tapi toh yang dikorbankam itu horor kesurupan, ah saya ikhlas sajalah. Saya tidak terlalu terkagum-kagum dengan ritual pengusiran setan. Bosen ahhh, sekali-kali Ed & Lorraine pakai cara yang lainlah untuk menyelesaikan kasusnya.

Dengan demikian The Conjuring: The Devil Made Me Do It (2021) sudah selayaknya memperoleh nilai 4 dari skala maksimum 5 yang artinya “Bagus”. Ternyata keraguan saya kepada Mas Sutradara Michael Chaves terbukti salah. Saya ternyata cocok dengan caranya mengolah kasus Ed dan Lorraine, mangap ya Mas Chaves :).

Sumber: http://www.theconjuringmovie.net

Franchise Insidious (2010 – 2018)

Berawal dari kesuksesan Insidious (2010), lahirlah Insidious: Chapter 2 (2013), Insidious: Chapter 3 (2015) dan Insidious: The Last Key (2018). Produser mana yang tidak senang dengan film beranggaran rendah dengan profit setinggi langit. Hal itulah yang terus terjadi pada film-film Insidious. Tak heran kalau akan terus bermunculan film-film Insidious berikutnya. Insidious pun menjelma menjadi sebuah franchise yang terdiri dari banyak film. Sampai saat saya menulis tulisan ini, sudah ada 4 film Insidious yang dirilis dan Insidious: The Last Key (2018) adalah yang terbaru. Jadi kali ini saya akan membahas keempat film Insidious yang sudah dirilis.

Kalau dilihat dari urutan perilisan, memang Insidious: The Last Key (2018) adalah yang paling akhir muncul. Namun, kalau dilihat dari urutan waktu pada jalan ceritanya, film tersebut bukanlah yang terakhir. Beginilah urutan film-film Insidious kalau dilihat dari waktu. Semua diawali oleh Insidious: Chapter 3 (2015), kemudian diikuti oleh Insidious: The Last Key (2018), Insidious (2010) dan diakhiri oleh Insidious: Chapter 2 (2013). Wah acak-acakan yah :’D.

Pada dasarnya, keempat film tersebut mengisahkan kasus supranatural yang dihadapi oleh Elise Rainier (Lin Shaye) dan rekan-rekan. Elise merupakan paranormal handal yang menggunakan kemampuannya untuk menolong. Semua kasus yang ia hadapi berhubungan dengan dunia roh yang pada film ini disebut The Furher. Hanya roh orang-orang tertentu saja yang dapat pergi menuju The Futher. Pintu menuju sangat banyak dan tidak mengenal batasan waktu. Hal inilah yang menjadi daya tarik Insidious.

Supaya sesuai dengan urutan waktunya, mari kita mulai dari Insidious: Chapter 3 (2015) :). Pada awal film, dikisahkan bahwa Elise berhenti dari kegiatan supranatural karena ketakutannya akan sosok yang diramalkan akan menjadi lawan terberatnya. Sebuah sosok yang akan Elise hadapi pada Insidious (2010) dan Insidious: Chapter 2 (2013). Kekhawatiran akan kegagalan dan kematian terus menghantui Elise sampai hatinya tergerak untuk menolong seorang gadis yang mengalami gangguan supranatural. Disinilah awal mula Elise bertemu dengan kedua anak muda yang menjadi rekan barunya. Melalui kasus ini pulalah, Elise memperoleh kepercayaan dirinya kembali untuk terus menggunakan kekuatannya untuk kebaikan.

Kemudian pada Insidious: The Last Key (2018), Elise dan kedua rekan barunya, pergi ke kampung halaman Elise untuk menyelesaikan sebuah kasus. Yang menarik di sini adalah, lokasi kejadiannya adalah rumah masa kecil Elise. Di sini, Elise harus berhadapan kembali dengan masa lalunya yang kelam. Mau tak mau, kasus yang kini ia hadapi, berhubungan erat dengan masalah keluarga Elise.

Uniknya, detail kecil pada akhir dari Insidious: The Last Key (2018) menunjukkan asal mula dari segala bencana yang muncul pada Insidious (2010). Hanya saja, saya sendiri harus mengulang bagian akhirnya untuk mengerti hal tersebut. Inilah salah satu kelebihan dari film-film Insidious. Film yang satu bisa berkaitan dengan cara yang tidak terduga dengan film lainnya.

Hal yang sama pun terjadi pada Insidious (2010) dan Insidious: Chapter 2 (2013). Insidious: Chapter 2 (2013) menjelaskan beberapa kejadian misterius pada Insidious (2010). Kedua film ini memang sangat erat hubungannya karena pada kedua film inilah Elise dan kawan-kawan berhadapan dengan kasus yang sangat berat.

Insidious (2010) dan Insidious: Chapter 2 (2013) mengambil latar belakang setelah kejadian pada Insidious: The Last Key (2018). Kali ini dikisahkan bahwa keluarga Lambert mengalami gangguan supranatural sejak mereka pindah rumah. Kalau mengikuti pola film horor pada umumnya, ya sopasti si korban terus saja ada di rumah tersebut dan menghadapi teror-teror yang ada. Nah, keluarga Lambert melakukan hal yang sangat logis. Mereka langsung pindah rumah. Sayang, teror terus mengikuti mereka dimanapun mereka berada.

Elise dan kawan-kawan pun dipanggil untuk menolong. Sumber dari semua masalah tersebut ternyata merupakan sesuatu yang sangat jahat dan kuat. Sekilas, memang semua nampak klise ya. Akhir dari Insidious (2010) pun seolah membuat film ini mengikuti pola film horor pada umumnya. Semua berubah 180 derajat ketika saya menonton Insidious: Chapter 2 (2013). Kedua film tersebut memang merupakan kesatuan yang saling melengkapi.

Insidious (2010) dan Insidious: Chapter 2 (2013) hadir dengan jump scare dan sound effect ala film horor lawas yang bernada tinggi. Namun semuanya tidal nampak murahan sebab penggunaannya memang untuk bagian-bagian yang penting saja. Sentuhan James Wan sebagai sang sutradara memberikan perbedaan yang sangat nyata. Kedua film yang ia sutradarai ini berhasil memberikan kengerian dengan alur cerita yang tidak membosankan. Rasa penasaran terus menghantui saya ketika menonton film-film tersebut.

Bagaimana dengan Insidious: Chapter 3 (2015) dan Insidious: The Last Key (2018)? Walaupun skrip keempat film Insidious ditulis oleh orang yang sama, keduanya tidak disutradarai oleh James Wan. Sebenarnya, jalan cerita kedua film tersebut memiliki potensi yang besar. Sayang kok eksekusinya terasa sedikit hambar. Misterinya memang masih ada, hanya saja alur ceritanya tidak terlalu ngeri dan ada beberapa bagian yang cukup membosankan. Terus terang kualitas Insidious: Chapter 3 (2015) dan Insidious: The Last Key (2018) berada di bawah Insidious (2010) dan Insidious: Chapter 2 (2013). Bisa jadi, semua karena perbedaan siapa sutradaranya.

Hal-hal diataslah yang membuat saya hanya dapat memberikan Insidious: Chapter 3 (2015) dan Insidious: The Last Key (2018), nilai 3 dari skala maksimum 5 yang artinya “Lumayan”. Sedangkan untuk Insidious (2010) dan Insidious: Chapter 2 (2013), saya ikhlas untuk memberikan nilai 4 dari skala maksimum 5 yang artinya “Bagus”. Kabarnya, film Insidious kelima akan hadir dengan judul Insidious: Death’s Lair. Melihat trend, semakin menurunnya kualitas film-film Insidious, saya ragu apakah film kelima tersebut dapat mengulang kesuksesan film pertama dan keduanya? Kita lihat saja nanti ;).

Sumber: http://www.sonypictures.com