The Lion King (2019)

Disney kembali membuat ulang salah satu film animasinya yang sangat populer di era 90-an. Kali ini giliran The Lion King (1994) yang pernah saya tonton ketika SD dan menjadi salah satu film animasi kesukaan saya pada waktu itu. Dengan menggunakan teknologi terbaru, Disney menghidupkan kembali The Lion King (1994) dalam sebuah film yang penuh special effect pada The Lion King (2019). Singkat kata, The Lion King (2019) adalah versi live action dari The Lion King (1994).

Kisah yang disuguhkan sama persis. Di sebuah area hutan Afrika yang disebut Tanah Kebanggaan, para singa memerintah dengan adil sesuai lingkaran kehidupan hewan yang ada sejak dahulu kala. Raja Mufasa (James Earl Jones) yang telah lama memerintah, dibunuh oleh saudaranya sendiri, Scar (Chiwetel Ojiofor). Kemudian melalui tipu daya dan fitnah, Scar mengasingkan Sang Putra Mahkota, Simba (Donald Glover), jauh keluar dari Tanah Kebanggaan.

Simba tumbuh besar diasuh oleh Pumbaa (Seth Rogen) dan Timon (Billy Eichner). Timon yang seekor merkaat dan Pumbaa yang seekor babi hutan, memberikan rumah baru bagi Simba. Semua nampak indah sampai Nala (Beyonce Knowles) datang dan memberitahukan keadaan Tanah Kebanggaan yang Simba tinggalkan. Di bawah kekuasaan Scar, para singa berada di bawah kendali para hyena. Sesuatu yang tidak sesuai dengan rantai makanan dan lingkaran kehidupan. Ibu dari Simba pun masih hidup di sana dan hidup dalam tekanan dan ancaman.

Walau awalnya menolak, Simba akhirnya kembali ke Tanah Kebanggaan untuk merebut tahta dan mengembalikan lingkaran kehidupan yang Scar rusak. Jika salah satu lingkaran kehidupan diubah dengan paksa, maka semuanya akan terpengaruh.

Klise? Yaah betul sekali. Film ini memang pada dasarnya mengisahkan mengenai seorang pangeran yang datang untuk membalas dendam dan menyelamatkan keluarganya. Tapi The Lion King (1994) lebih berhasil menghasilkan sebuah eksekusi yang menarik dan berkesan. Hadir dengan teknologi terkini yang indah, The Lion King (2019) seperti tidak ada jiwanya. Ceritanya terasa datar dan standard.

Karakter Pumbaa dan Timon yang seharusnya lucu dan konyol, gagal membuat saya tertawa. Soundtrack film ini pun sepertinya terlalu dibuat ke-Afrika-an dan kurang cocok di telinga saya. Sumpah saya lebih suka dengan yang versi tahun 1994 meskipun hadir dengan animasi yang tidak sebagus The Lion King (2019).

Kelebihan yang sangat terlihat pada The Lion King (2019) sopasti adalah pada visualnya. Binatang dan alam yang ditampilkan memang nampak indah dan mengagumkan. Semuanya seperti sungguhan dan sangaaaat halus. Kalau untuk masalah visual, The Lion King (2019) sayah kasih 2 jempok deh :). Tapi disini pulalah letak hilangnya jiwa pada The Lion King (2019). Karena visualnya yang sangat realistis, saya tidak dapat melihat mimik kesedihan atau kemarahan pada film ini. Berbeda dengan yang versi tahun 1994 dimana raut muka karakter-karakter masih dapat digambarkan dengan jelas. Aahhh kenapa sih kok selalu dibandingkan dengan The Lion King (1994)? Tentu saja, karena The Lion King (2019) adalah sebuah remake, bukan reboot, jadi saya mengharapkan adanya keunggulan lain dari aspek-aspek yang ada. Dari segi cerita dan karakter saja sudah sama persis.

Dengan begitu, saya rasa The Lion King (2019) masih layak untuk mendapatkan nilai 3 dari skala maksimum 5 yang artinya “Lumayan”. Film tersebut aman ditonton semua umur, tidak ada cium-ciuman di sana meski tak ada satu karakter pun yang menggunakan baju. Yaaa jelas isinya binatang semua :P.

Sumber: http://www.lionking.com