Pemanfaatan Energi Air Untuk BTS Remote Area

Tulisan ini dibuat oleh rekan-rekan saya dari Magister Manajemen Telekomunikasi & Magister Manajemen Tenaga Listrik dan Energi Universitas Indonesia yaitu Irfan K. Putra, Hendra Gunawan & Jakson Harianto J. Sagala untuk memenuhi tugas mata kuliah Pemodelan & Simulasi Lanjut yang wajib dimuat di media massa atau blog. Formatnya sudah saya ubah tapi isinya kurang lebih masih original, selamat menikmati dan semoga dapat bermanfaat 😀

Abstrak Terus meningkatnya harga minyak dunia dan kelangkaan bahan bakar minyak solar berdampak pada pengoperasian BTS di daerah terpencil yang masih menggunakan generator set sebagai pembangkit listrik utamanya. Pemilihan alternatif energi sebagai pengganti BBM solar harus mengacu pada potensi energi terbarukan yang ada didaerah tersebut, teknologinya mudah, dan ekonomis. Dalam makalah ini, akan dijelaskan secara singkat mengenai teori, prinsip kerja, teknologi turbin air, dan aspek-aspek yang diperlu dipertimbangkan dalam perencanaan mikrohidro.

Kata kunci: PLTMH, BBM, turbin, generator set,BTS, debit air, tinggi jatuh, run off river, transmisi, distribusi

Ketergantungan pada energi fossil untuk menghidupkan BTS di remote area yang belum terjangkau jaringan PLN merupakan beban tersendiri bagi operator telekomunikasi. Beban tersebut akan semakin berat bila harga minyak dunia terus merangkak naik dari tahun ke tahun dan terjadi kelangkaan stok bahan bakar minyak (BBM) dipasaran, sedangkan disisi lain, pemerintah tidak memberi subsidi bagi industri yang menggunakan bahan bakar minyak untuk keberlangsungan proses produksinya.

1. PENDAHULUAN

Untuk mengatasi hal ini, maka perlu dicarikan alternatif energi yang harganya relatif murah dan ketersediaannya berlimpah serta terbarukan. Alternatif energi terbarukan yang bisa dimanfaatkan di Indonesia cukup banyak, diantaranya energi matahari, panas bumi, angin, biogas/biomassa, dan air. Menurut hasil survei dari JICA, potensi energi terbarukan di Indonesia yang terbesar adalah tenaga air yaitu sebesar 76.4GW, biomassa/biogas sebesar 49.8GW, dan panas bumi sebesar  29GW. Meskipun energi matahari sangat berlimpah yaitu sekitar 4.8 kWh/m2/day, tetapi efisiensi teknologi solarcell masih berkisar 6-16%. Untuk potensi tenaga angin di Indonesia berkisar 3-6 m/det. Nilai ini masih dibawah rata-rata angin yang dibutuhkan oleh turbin untuk menghasilkan listrik secara optimal yaitu 12 m/det.

Dalam makalah ini akan dibahas pemanfaatan energi air menjadi listrik yang merupakan potensi energi terbarukan terbesar di Indonesia untuk menghidupkan BTS di daerah terpencil.

2. DEFINISI, KLASIFIKASI & FORMULASI

Pembangkit listrik tenaga air pada prinsipnya memanfaatkan tinggi jatuh dan debit air untuk memutar sebuah turbin guna menghasilkan listrik. Berdasarkan kapasitas, pembangkit ini terbagi menjadi beberapa kelompok, yaitu picohydro (kap. ≤1kW), mikrohydro (kap. 1kW – 1 MW), minihydro (kap. 1-100MW), PLTA (kap. ≥100MW). Sedangkan berdasarkan tipe pembangkitan, pembangkit listrik ini terbagi menjadi: tipe reservoir dan tipe conduit/run off river.

Secara umum, formulasi untuk menghitung potensi hidrolik (Ph) adalah sebagai berikut:

Ph = ɳ x 9.8 x Q x h

Dimana:

ɳ = efisiensi turbin ~ 0.6

Q = debit air (m3/det)

h = head/tinggi jatuh

Namun demikian, tidak semua energi potensial yang terkandung pada air jatuh dapat dimanfaatkan karena adanya energi yang hilang akibat gesekan pada saat air tersebut mengalir melalui sebuah saluran sebelum mencapai turbin.

3. PRINSIP KERJA & JENIS TURBIN

Untuk aplikasi BTS yang hanya membutuhkan daya berkisar 1.5-5kW, maka pembangkit listrik yang digunakan adalah mikrohydro dengan tipe conduit atau run off river. Prinsip kerja pembangkit ini adalah mengalihkan sebagian aliran sungai dengan cara membendung sungai tersebut,  untuk dialirkan ke sebuah bak penenang, kemudian air dijatuhkan dari bak penenang melalui sebuah pipa penstock guna memutar turbin yang berada di didalam rumah pembangkit. Turbin tersebut tersambung secara mekanik dengan generator listrik. Listrik yang dihasilkan kemudian ditranmisikan atau didistribusikan melalui kabel ke beban-beban.

Air yang digunakan untuk memutar turbin dialirkan kembali ke sungai, begitu pula air limpahan dari bak penenang dan bendungan, sehingga ekosistem mahluk hidup didalam maupun dipinggiran sungai tetap terjaga meskipun pembangkit listrik mikrohidro ini beroperasi. Menjaga kelestarian hutan di hulu sungai sangatlah penting guna menjamin ketersediaan air sungai yang merupakan sumber energi primer pembangkit ini.

Jenis turbin yang digunakan pada pembangkit listrik tenaga air dikategorikan menjadi dua yaitu: turbin impulse, seperti turbin Pelton, Crossflow, Turgo-Impulse, dan turbin reaction, seperti turbin Francis, Propeller, Kaplan, Tubular. Pemilihan jenis turbin tergantung pada tinggi jatuh dan debit air sungai. Jenis turbin yang sudah dikembangkan di Indonesia adalah tubin crossflow dan propeller. Kedua jenis turbin ini dikenal lebih ekonomis dan mudah dikuasai teknologinya secara lokal.

4. STUDI KELAYAKAN

Sebelum pembangunan mikrohydro dimulai, ada dua hal yang harus diperhatikan yaitu studi teknis yang meliputi pengukuran debit air sungai dan ketinggian jatuh air, pemetaan topografi lokal, jaringan transmisi-distribusi, dan studi non teknis, yang meliputi aspek lingkungan, pemerintah setempat, sosial, dan ekonomi. Kedua studi tersebut sangat menentukan keberlangsungan umur dari pembangkit listrik mikrohydro (PLTMH).

4.1  Aspek Teknis

Pengukuran debit air sungai, idealnya dilakukan minimal satu tahun, dan debit air yang menjadi acuan adalah debit minimal pada bulan-bulan kemarau. Selain data pengukuran debit air yang digunakan, data curah hujan dari badan meteorologi dapat dimanfaatkan sebagai data sekunder atau data penguat.

Untuk jaringan transmisi-distribusi dari rumah pembangkit ke beban sebaiknya tidak melebihi dari 3 km. Semakin jauh jaraknya maka rugi-rugi daya pada jaringan akan semakin besar pula, dan membutuhkan investasi yang tidak sedikit untuk mengatasi hal tersebut terutama pada ukuran dan tipe kabel, tiang listrik dan penyediaan trafo.

4.2  Aspek Non-Teknis

Perijinan pemerintah dan masyarakat setempat terkait dengan penggunaan dan pemanfaatan lahan untuk lokasi PLTMH merupakan tantangan tersendiri dalam studi kelayakan ini. Sosialisasi adalah suatu cara yang terbukti efektif untuk mengatasi tantangan tersebut. Sharing daya listrik yang berlebih dari kebutuhan BTS kepada masyarakat seperti untuk penerangan lampu jalan, rumah ibadah, kantor pedesaan/kelurahan, dan layanan publik lainnya, dapat diterapkan untuk menjaga keberlangsungan pengoperasian PLTMH dalam jangka panjang.

Penggunaan energi air sebagai pengganti BBM solar untuk penggerak generator set yang umum digunakan oleh operator telekomunikasi di daerah terpencil, sangat menguntungkan perusahaan baik secara finansial maupun non-finansial.

Secara finansial, sumber energi primer pembangkit listrik mikrohydro ini hanya menggunakan air yang tersedia melimpah di alam dan tidak perlu mengeluarkan biaya untuk memanfaatkannya selama operasi. Berikut gambaran perbandingan biaya investasi dan operasi antara PLTMH  dan generator set di Sumalata-Gorontalo, yang digunakan untuk menyuplai listrik ke BTS salah satu operator telekomunikasi terkemuka di Indonesia. Biaya pembangkitan listrik dengan menggunakan PLTMH sebesar Rp130.2/kWh, sedangkan generator set sebesar Rp1,071.2/kWh untuk kapasitas 16kW.

Secara non-finansial, pengoperasian PLTMH tidak menghasilkan residu karena tidak ada proses pembakaran didalamnya. Beda halnya dengan generator set, residu yang dihasilkan berupa COx dan SOx dapat mencemari udara dan berakibat pada pemanasan global dalam jangka panjang. Reduksi emisi Karbon yang diperoleh dengan pemanfaatan PLTMH ini adalah 716 tCO2/kWh. Selain itu, suara generator set pada saat beroperasi dapat memicu isu dilingkungan warga sekitar lokasi BTS.

5. KESIMPULAN

Pengoperasian BTS didaerah terpencil dengan menggunakan generator set telah membuat biaya operasional perusahaan telekomunikasi menjadi naik. Apalagi, ditambah dengan harga minyak dunia yang terus berfluaktif dan tidak dapat diprediksi dikemudian hari. Pemanfaatan energi alternatif berupa pembangkit listrik tenaga mikrohidro terbukti mampu mengurangi biaya operasional dilokasi tersebut hingga 87%. Turbin yang digunakan sudah bisa dipabrikasi lokal sehingga memudahkan pada saat pemeliharaan dan perbaikan. Pada fase perencanaan PLTMH, selain aspek teknis, aspek non-teknis berupa lingkungan, pemerintah, sosial dan ekonomi juga perlu diperhatikan untuk menjamin keberlangsungan pengoperasian dari PLTMH itu sendiri.

6. REFERENSI

[1]. Presentasi Telkomsel Go Green, Power System Group, 2011.

[2]. Didi Sukaryadi, “Aspek-aspek penembangan mikrohidro dan implementasinya di Indonesia”, Puslitbangtek Ketenagalistrikan dan Energi Terbarukan, 2008.